layananhukum

Apakah Tanah yang Masuk HPT Masih Dapat Dibuatkan Sertipikat?

 

Pertanyaan

Selamat Pagi, Bapak.

Saya ingin berkonsultasi mengenai permasalahan status pertanahan yang sedang saya hadapi. Saya memiliki sebidang tanah di kampung halaman yang telah dikuasai dan digarap oleh keluarga saya secara turun-temurun. Baru-baru ini, saya mendapatkan informasi dari Kepala Desa setempat bahwa lokasi tanah kami tersebut, berdasarkan peta pemerintah, ternyata masuk ke dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Menurut beliau, karena statusnya sebagai HPT, tanah tersebut tidak dapat kami daftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dibuatkan sertipikat hak atas tanah. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian hukum bagi kami.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, mohon pencerahannya atas beberapa pertanyaan berikut:

1.        Secara hukum, apakah pernyataan bahwa tanah di dalam kawasan HPT tidak dapat disertipikatkan itu benar?

2.       Jika benar, apa yang menjadi dasar hukum utama (Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah) yang melarang proses sertipikasi di atas lahan berstatus HPT?

3.      Mengingat tanah ini sudah menjadi tumpuan hidup keluarga kami sejak lama, adakah solusi atau langkah-langkah hukum yang dapat kami tempuh agar bisa mendapatkan kepastian hukum dan pada akhirnya memperoleh sertipikat hak atas tanah tersebut?

Terima kasih banyak atas perhatian dan penjelasannya.

Jawaban

Pengantar

Dualisme yuridis antara rezim hukum agraria dan rezim hukum kehutanan di Indonesia telah lama menjadi sumber ketidakpastian hukum dan konflik sosial yang kompleks. Di satu sisi, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan pendaftaran seluruh bidang tanah di wilayah Republik Indonesia untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak.

Di sisi lain, Undang-Undang Kehutanan bertujuan mempertahankan eksistensi kawasan hutan negara demi kelestarian ekologis, fungsi hidrologis, dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Titik singgung kedua rezim ini seringkali menimbulkan ketegangan, terutama ketika masyarakat telah menguasai, menggarap, bahkan bermukim secara turun-temurun di atas lahan yang secara yuridis formal telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan Negara, salah satunya adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Fenomena ini melahirkan pertanyaan fundamental yang relevan bagi masyarakat, praktisi hukum, notaris, hingga aparatur pemerintah, sebagaimana yang Anda tanyakan juga yaitu secara normatif dan yurisprudensial, mungkinkah tanah yang telah ditetapkan sebagai bagian dari kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dapat menjadi objek pendaftaran hak atas tanah dan diterbitkan sertipikat?

Artikel ini akan mengupas tuntas persoalan tersebut secara komprehensif, kritis, dan analitis. Tesis utama yang diajukan adalah bahwa sertipikasi tanah di dalam kawasan HPT pada prinsipnya dilarang keras oleh peraturan perundang-undangan. Namun, larangan ini tidak bersifat absolut dan permanen. Terdapat mekanisme hukum spesifik yang memungkinkan perubahan status kawasan HPT menjadi tanah yang dapat disertipikatkan, yang akan dianalisis secara mendalam berdasarkan kerangka hukum yang berlaku dan preseden yudisial yang telah berkekuatan hukum tetap.

Definisi dan Kerangka Hukum Hutan Produksi Terbatas (HPT)

Definisi Normatif HPT

Untuk memahami status hukum Hutan Produksi Terbatas (HPT), esensial untuk menelusurinya dari hierarki peraturan perundang-undangan tertinggi di bidang kehutanan. HPT pada hakikatnya merupakan bagian integral dari Kawasan Hutan Negara.

Dasar definisi ini bermula dari Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut “UU Kehutanan”, yang menyatakan:   

“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”

Selanjutnya, Pasal 6 ayat (2) UU Kehutanan mengklasifikasikan kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya menjadi tiga kategori, yaitu:

a.       Kawasan hutan konservasi;

b.      Kawasan hutan lindung; dan

c.       Kawasan hutan produksi.   

HPT merupakan sub-kategori dari kawasan hutan produksiPenjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Kehutanan merinci lebih lanjut bahwa kawasan hutan produksi terdiri atas Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK). Secara teknis, HPT didefinisikan sebagai kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang setelah dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125 hingga 174. 

Kriteria ini mengindikasikan bahwa HPT memiliki kondisi biofisik yang cukup rentan, seperti topografi yang curam, sehingga eksploitasi hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dengan intensitas rendah melalui sistem tebang pilih untuk menjaga fungsi perlindungan tata air dan pencegahan erosi.   

Dasar Hukum Penetapan HPT

Penetapan suatu wilayah sebagai HPT merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK). Proses ini dikenal sebagai pengukuhan kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Kehutanan. Prosedur teknis penetapan ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, yang selanjutnya disebut “PP Penyelenggaraan Kehutanan” , dan peraturan teknisnya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan, yang selanjutnya disebut “Permen LHK 7/2021”.   

Wujud legalitas formal dari penetapan HPT adalah Surat Keputusan (SK) Menteri LHK yang disertai dengan peta lampiran yang memuat batas-batas definitif kawasan tersebut. SK inilah yang menjadi bukti hukum primer atas status suatu bidang tanah sebagai Kawasan Hutan Negara. Status hukum HPT tidak ditentukan oleh kondisi fisik aktual di lapangan (apakah masih berupa hutan lebat, lahan garapan, atau bahkan permukiman) melainkan oleh penetapan administratif (beschikking) dari Menteri LHKInilah sumber utama dari banyak konflik tenurial, di mana penguasaan fisik oleh masyarakat selama bertahun-tahun berhadapan dengan status yuridis formal yang ditetapkan oleh negara.   

Status Hukum HPT sebagai Kawasan Hutan Negara dan Implikasinya terhadap Hak Atas Tanah Prinsip Hak Menguasai Negara (HMN)

Status HPT sebagai Kawasan Hutan Negara tidak dapat dilepaskan dari prinsip konstitusional Hak Menguasai Negara (HMN). Pasal 4 ayat (1) UU Kehutanan secara tegas menyatakan:   

“Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Ketentuan ini merupakan derivasi langsung dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensi dari HMN adalah negara memiliki kewenangan penuh untuk mengatur peruntukan, penggunaan, pengelolaan, dan hubungan hukum atas seluruh kawasan hutan, termasuk menetapkan suatu wilayah sebagai HPT. Dengan demikian, tanah yang berada di dalam HPT adalah aset negara yang diperuntukkan secara khusus untuk fungsi kehutanan.

Eksklusi dari Rezim Hukum Agraria

Karena HPT merupakan bagian dari Kawasan Hutan Negara, tanah di dalamnya secara otomatis dikecualikan dari objek hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut “UUPA”. Hak-hak tersebut meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai.

Tanah HPT bukanlah “tanah negara bebas” yang dapat dimohonkan haknya oleh individu atau badan hukum kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Sebaliknya, ia adalah “tanah negara terikat” yang peruntukannya telah secara spesifik ditetapkan untuk fungsi kehutanan.

Terdapat dua rezim hukum yang berjalan paralel namun saling mengecualikan yaitu hukum kehutanan yang diadministrasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan hukum agraria yang diadministrasikan oleh Kementerian ATR/BPN. Sebuah bidang tanah tidak dapat secara bersamaan berstatus sebagai Kawasan Hutan Negara dan Tanah Hak Milik.

Salah satu status harus gugur terlebih dahulu. Dalam sengketa tumpang tindih, status “Kawasan Hutan” yang ditetapkan melalui SK Menteri LHK memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dan bersifat lex specialis (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum).

Oleh karena itu, pendaftaran tanah untuk penerbitan sertipikat tidak dapat dilakukan di atas tanah yang masih berstatus kawasan hutan. Prinsip ini ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang selanjutnya disebut “PP 18/2021”, yang menghendaki kejelasan status tanah sebelum dapat didaftarkan.   

Larangan Mutlak Sertipikasi di Dalam Kawasan Hutan yang Masih Aktif

Larangan penerbitan sertipikat di dalam kawasan HPT yang statusnya belum dilepaskan bersifat berlapis, mencakup ancaman sanksi pidana, penegasan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, dan pengamanan melalui prosedur administratif di Kementerian ATR/BPN.

UU Kehutanan tidak hanya melarang secara administratif, tetapi juga memberikan ancaman sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap status kawasan hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan menyatakan secara eksplisit:   

“Setiap orang dilarang mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.”

Dalam konteks ini, tindakan menguasai tanah di dalam HPT berdasarkan sertipikat yang diterbitkan secara tidak sah dapat dikualifikasikan sebagai “menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” yang memiliki konsekuensi pidana serius.

Kemudian, kekuatan larangan ini telah diuji dan ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014. Dalam putusannya, Mahkamah tidak menghapuskan larangan pidana tersebut, melainkan memberikan pengecualian yang sangat terbatas dan bersyarat, yaitu bagi “masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial”.   

Putusan ini justru memperkuat prinsip bahwa bagi pihak lain di luar kategori tersebut, misalnya, individu atau perusahaan yang membeli tanah untuk tujuan investasi, komersial, atau spekulasi, larangan pidana tetap berlaku penuh. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi secara implisit mengafirmasi bahwa tanah dalam kawasan hutan tidak dapat diberikan hak milik atau disertipikatkan sebelum adanya proses pelepasan kawasan yang sah dari negara.   

Kewajiban Verifikasi oleh Kementerian ATR/BPN

Sebagai benteng prosedural, Kementerian ATR/BPN diwajibkan untuk melakukan verifikasi status kawasan hutan sebelum memproses permohonan hak atas tanah. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, yang selanjutnya disebut “Permen ATR/BPN 18/2021”.   

Sebagai contoh, dalam persyaratan permohonan Hak Milik atas Tanah Negara, pemohon diwajibkan melampirkan surat pernyataan yang menegaskan bahwa tanah yang dimohon berada di luar kawasan hutan. Mekanisme check and balance ini dirancang untuk mencegah penerbitan sertipikat ilegal di dalam kawasan hutan.

Apabila sebuah sertipikat tetap terbit di dalam kawasan HPT, hal ini mengindikasikan telah terjadi pelanggaran berlapis yaitu potensi pelanggaran pidana oleh penguasa tanah dan adanya cacat prosedur atau kelalaian administratif di pihak Kantor Pertanahan. Kondisi ini membuat sertipikat tersebut sangat rentan untuk dibatalkan secara hukum.   

Mekanisme Hukum untuk Mengubah Status HPT Menjadi Tanah yang Dapat Disertipikatkan

Meskipun terdapat larangan yang ketat, hukum positif Indonesia menyediakan jalur legal untuk mengubah status HPT agar dapat disertipikatkan. Kunci utamanya adalah mengeluarkan bidang tanah tersebut dari status Kawasan Hutan Negara dan mengubahnya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). APL adalah kategori lahan yang berada di luar kawasan hutan dan pengelolaannya berada di bawah yurisdiksi hukum agraria. Negara menyediakan dua jalur utama untuk proses ini yaitu jalur reguler dan jalur khusus melalui program Reforma Agraria.

Prosedur Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

Mekanisme ini merupakan jalur reguler yang diatur dalam Pasal 19 UU Kehutanan, dan dirinci lebih lanjut dalam PP Penyelenggaraan Kehutanan (PP 23/2021) serta Permen LHK 7/2021. Perlu dicatat bahwa PP 23/2021 telah mencabut dan menggantikan peraturan sebelumnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015.   

Tahapan umum proses ini meliputi:

1.        Permohonan diajukan oleh pemerintah daerah, instansi pemerintah, atau badan hukum untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan (misalnya, infrastruktur, industri, atau permukiman). Usulan ini wajib selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berlaku;

2.       Menteri LHK membentuk Tim Terpadu yang terdiri dari para ahli dan perwakilan instansi terkait untuk melakukan penelitian komprehensif dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Tim ini akan memberikan rekomendasi teknis mengenai kelayakan perubahan peruntukan kawasan HPT tersebut.   

3.      Untuk perubahan peruntukan yang memiliki dampak penting dan cakupan yang luas, atau yang mengubah fungsi pokok kawasan hutan, diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari DPR RI.

4.       Apabila seluruh persyaratan terpenuhi dan usulan disetujui, Menteri LHK akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan. SK inilah yang secara resmi dan final mengubah status HPT menjadi APL. Setelah menjadi APL, kewenangan pengelolaan beralih ke Kementerian ATR/BPN, dan tanah tersebut baru dapat diproses untuk sertifikasi.

Mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan untuk Reforma Agraria (TORA)

Jalur ini merupakan mekanisme afirmatif yang dirancang khusus untuk menyelesaikan sengketa dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang telah lama menguasai tanah di dalam kawasan hutan. Dasar hukum utamanya adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, yang selanjutnya disebut “Perpres 62/2023”. Peraturan ini mencabut dan menyempurnakan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017.   

Mekanisme penyelesaian melalui skema Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) ini meliputi:   

1.        Pemerintah melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di tingkat daerah melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh masyarakat di dalam kawasan hutan.

2.       Hasil verifikasi tersebut kemudian diusulkan kepada Menteri LHK untuk dilepaskan dari status kawasan hutan.

3.      Menteri LHK menerbitkan SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk TORA.

4.       Setelah tanah tersebut resmi menjadi APL dan ditetapkan sebagai objek TORA, Kementerian ATR/BPN akan melaksanakan proses redistribusi tanah kepada subjek yang berhak dan menerbitkan sertipikat hak atas tanah.

Kedua jalur tersebut, meskipun berbeda tujuan dan prosedurnya, sama-sama berujung pada satu dokumen krusial yaitu SK Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri LHK. Tanpa adanya SK ini, tidak ada proses sertipikasi yang dapat dilanjutkan oleh Kementerian ATR/BPN.

Analisis Yuridis Terhadap Sertipikat yang Terlanjur Terbit di Kawasan HPT

Dalam praktik, tidak jarang ditemukan sertipikat hak atas tanah yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan di atas wilayah yang kemudian diketahui merupakan kawasan HPT. Sertipikat semacam ini secara hukum mengandung cacat yuridis dan dapat dibatalkan.

Status Hukum Sertipikat: Cacat Hukum Administratif

Sertipikat yang terbit di atas kawasan HPT yang belum dilepaskan mengandung cacat hukum administratif (administratiefrechtelijk gebrek) sejak awal penerbitannya. Cacat ini timbul karena objek tanah (tanah dalam kawasan HPT) secara hukum tidak memenuhi syarat untuk dapat dilekati hak atas tanah.

Dengan kata lain, syarat objektif untuk penerbitan hak tidak terpenuhi. Hal ini sejalan dengan adagium hukum nemo plus iuris transferre potest quam ipse habet, yang berarti tidak seorang pun dapat mengalihkan hak lebih dari yang ia miliki. Karena negara belum melepaskan haknya atas kawasan HPT tersebut, maka Kementerian ATR/BPN tidak berwenang untuk memberikan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain.

Yurisprudensi Pembatalan Sertipikat: Putusan Mahkamah Agung

Kekuatan hukum status Kawasan Hutan Negara yang mengalahkan sertipikat hak atas tanah telah berulang kali ditegaskan dalam yurisprudensi. Salah satu preseden penting adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 617 K/TUN/2015, tertanggal 23 Desember 2015.   

Dalam kasus tersebut, Kementerian ATR/BPN (dahulu BPN) telah menerbitkan sejumlah sertipikat hak milik di atas lahan yang diklaim oleh Perum Perhutani sebagai kawasan hutan negara yang berada di bawah pengelolaannya. Sengketa ini bergulir hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi) Hakim dalam putusan tersebut sangat jelas. Majelis Hakim Agung menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, termasuk peta dan SK penetapan, wilayah yang menjadi objek sengketa terbukti secara sah dan meyakinkan merupakan Kawasan Hutan Negara. Oleh karena itu, penerbitan sertipikat di atasnya adalah tindakan yang keliru dan melanggar hukum.   

Amar Putusan Mahkamah Agung adalah menyatakan batal keputusan tata usaha negara berupa sertipikat-sertipikat tersebut dan memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk mencabutnya dari buku tanah serta menyatakan sertipikat tersebut tidak berlaku lagi. Putusan ini menjadi yurisprudensi yang kokoh, menegaskan supremasi status Kawasan Hutan Negara atas sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan secara cacat prosedur. Ini menunjukkan bahwa sertipikat bukanlah “kitab suci” yang kebal hukum; kekuatan pembuktiannya dapat digugurkan jika terbukti proses penerbitannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.   

Langkah-Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh Masyarakat

Bagi masyarakat yang berhadapan dengan isu kepemilikan tanah di dalam atau di sekitar kawasan HPT, beberapa langkah proaktif dan preventif dapat ditempuh untuk memperoleh kepastian hukum:

1.        Verifikasi Status Lahan secara Resmi

Langkah pertama dan paling fundamental adalah memastikan status resmi lahan. Masyarakat dapat mengajukan permohonan informasi peta dan SK penunjukan kawasan hutan kepada Dinas Kehutanan Provinsi atau Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) setempat yang berada di bawah KLHK.

2.       Memanfaatkan Mekanisme Penyelesaian TORA

Bagi masyarakat yang telah terlanjur menguasai dan menggarap tanah di dalam kawasan HPT, jalur yang paling relevan dan dianjurkan adalah secara proaktif mendaftarkan diri atau mengajukan penyelesaian melalui skema TORA sebagaimana diatur dalam Perpres 62/2023. Proses ini biasanya dikoordinasikan oleh pemerintah daerah melalui Tim GTRA;

3.      Koordinasi dengan Kantor Pertanahan (BPN)

Sebelum melakukan transaksi jual-beli atau mengajukan permohonan sertipikat, sangat penting untuk melakukan pengecekan di Kantor Pertanahan setempat. Tanyakan secara spesifik apakah lokasi tanah tersebut terindikasi tumpang tindih dengan peta kawasan hutan yang dimiliki oleh BPN sebagai bagian dari proses verifikasi internal mereka;

4.       Mengumpulkan Bukti Penguasaan Fisik

Meskipun tidak dapat langsung menjadi dasar penerbitan sertipikat di dalam kawasan HPT, pengumpulan bukti-bukti penguasaan fisik secara terus-menerus (seperti Surat Keterangan Tanah dari desa/kelurahan, riwayat penguasaan tanah, bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan keterangan saksi) sangat krusial. Dokumen-dokumen ini akan menjadi bukti pendukung yang sangat kuat dalam proses penyelesaian melalui skema TORA.

Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran atas beberapa pertanyaan yang Anda ajukan dan jawaban kami yang mendalam terkait hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan tegas sebagai berikut:

1.        Tanah yang secara sah dan aktif masih berstatus sebagai bagian dari kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) tidak dapat diterbitkan sertipikat hak atas tanah. Larangan ini bersifat mutlak selama status kawasan hutannya masih melekat.

2.       Dasar larangan ini berakar kuat pada prinsip Hak Menguasai Negara atas hutan, diatur secara eksplisit dalam UU Kehutanan, ditegaskan oleh yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta dijaga oleh mekanisme verifikasi administratif di Kementerian ATR/BPN.

3.      Sertipikasi tanah di dalam HPT hanya dimungkinkan setelah status kawasan hutan pada tanah tersebut secara resmi dilepaskan atau diubah peruntukannya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) melalui sebuah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

4.       Proses pelepasan kawasan hutan dapat ditempuh melalui dua mekanisme utama:

a.     perubahan peruntukan kawasan hutan secara reguler untuk kepentingan pembangunan, atau

b.     melalui program penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan untuk Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) di bawah payung hukum Perpres Nomor 62 Tahun 2023.

5.       Sertipikat yang terlanjur terbit di atas kawasan HPT adalah produk hukum yang cacat administratif dan dapat dibatalkan, baik melalui keputusan Menteri ATR/Kepala BPN maupun melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pada akhirnya, kepastian hukum atas tanah di Indonesia mensyaratkan adanya sinkronisasi dan kepatuhan terhadap dua rezim hukum besar yaitu agraria dan kehutanan. Klaim hak atas tanah yang didasarkan pada penguasaan fisik semata tidak dapat menegasikan atau mengalahkan status Kawasan Hutan Negara yang telah ditetapkan secara sah oleh pemerintah.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.