Pengantar
Penalaran hukum (legal reasoning)
adalah inti dari proses peradilan dan pilar penting bagi tegaknya negara hukum.
Dalam setiap putusan yang dijatuhkan, hakim tidak hanya berperan sebagai “corong
undang-undang” (la bouche de la loi), tetapi juga sebagai penegak
kebenaran materiel yang bertugas menyusun dan menafsirkan realitas peristiwa
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Proses intelektual ini, yang berujung pada
vonis atau putusan, tidak hanya menentukan nasib hukum seorang terdakwa, tetapi
juga mencerminkan denyut rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Karena
itu, menelusuri alur penalaran hakim dalam sebuah putusan menjadi hal penting
untuk memahami bagaimana hukum dijalankan dan ditegakkan dalam praktik.
Artikel ini menjadikan kasus pembunuhan
Kepala Desa Karyamukti, Ketapang, sebagai studi kasus yang relevan dan kompleks
untuk dianalisis. Perkara ini menarik bukan semata-mata karena status korban
sebagai pejabat publik, melainkan karena kompleksitas pembuktiannya yang
melibatkan dinamika kekerasan dalam rumah tangga, pembuktian unsur esensial
pembunuhan berencana (met voorbedachten rade), serta pergeseran
paradigma penalaran yang kentara antara putusan pengadilan tingkat pertama dan
tingkat banding. Kasus ini menyediakan kanvas yang kaya untuk menelaah
bagaimana hakim pada level yang berbeda menafsirkan fakta, menerapkan norma,
dan pada akhirnya, memaknai keadilan.
Secara eksplisit, artikel ini bertujuan
untuk:
(1)
merekonstruksi alur
penalaran (ratio decidendi) Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri
Ketapang dan Pengadilan Tinggi Pontianak;
(2)
menganalisis secara kritis konsistensi penalaran tersebut
dengan doktrin dan asas-asas fundamental hukum pidana; dan
(3)
mengevaluasi implikasi putusan ini terhadap perdebatan
teoretis antara keadilan formalistik dan keadilan substantif dalam praktik
peradilan di Indonesia.
Metodologi yang digunakan adalah analisis
yuridis-kualitatif dengan menelaah secara mendalam dokumen putusan pengadilan
yang relevan, diperkaya dengan tinjauan terhadap teori hukum, doktrin, dan
yurisprudensi terkait.
Duduk Perkara dan Isu Hukum Utama
Latar Belakang Singkat Perkara
Perkara ini bermula dari penemuan jenazah
Andriyansyah, seorang Kepala Desa di Karyamukti, di kediamannya pada tanggal 29
November 2024. Terdakwa, Ratnida Alias Nida Binti Asri, yang merupakan istri
siri korban, pada awalnya menginformasikan kepada saksi-saksi bahwa korban
meninggal dunia akibat bunuh diri dengan cara gantung diri.
Namun, laporan awal ini segera runtuh ketika
pihak keluarga korban dan aparat penegak hukum menemukan berbagai kejanggalan
pada jenazah dan tempat kejadian perkara (TKP). Penyelidikan yang mendalam
akhirnya mengarahkan status tersangka tunggal kepada
Terdakwa.
Fakta persidangan mengungkap bahwa latar
belakang hubungan antara Terdakwa dan korban diwarnai oleh konflik rumah tangga
yang intens dan berkepanjangan. Terdakwa, yang dinikahi secara siri, kerap
mengalami kekerasan verbal dari korban yang sering merendahkannya dengan
sebutan “barang bekas” dan membanding-bandingkannya dengan istri sah
korban.
Puncak dari konflik ini terjadi pada malam
sebelum peristiwa pembunuhan, tanggal 28 November 2024, ketika terjadi
pertengkaran hebat yang dipicu oleh kecemburuan Terdakwa atas dugaan
perselingkuhan korban. Upaya Terdakwa untuk merekayasa TKP agar seolah-olah
terjadi peristiwa bunuh diri menjadi fakta material yang sangat signifikan,
yang kemudian digunakan oleh hakim sebagai salah satu pilar utama dalam
pembuktian unsur niat jahat (mens rea) dan
perencanaan.
Kerangka Yuridis: Dakwaan Pembunuhan Berencana
Berdasarkan hasil penyidikan, Penuntut Umum
menyusun surat dakwaan dengan konstruksi primair-subsidair. Dakwaan primair
yang menjadi fokus utama pembuktian adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”)
tentang pembunuhan berencana. Pasal tersebut berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.”
Struktur delik dalam Pasal 340 KUHP
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
-
Unsur Objektif
(a)
perbuatan merampas
nyawa orang lain (actus reus); dan
(b)
objeknya adalah nyawa orang lain.
-
Unsur Subjektif
(a)
dengan sengaja (opzet); dan
(b)
dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachten rade).
Elemen esensial yang membedakan tindak
pidana ini dari pembunuhan biasa (doodslag) sebagaimana diatur dalam Pasal
338 KUHP adalah adanya unsur “dengan rencana terlebih dahulu”. Pasal
338 KUHP sendiri menyatakan:
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Perbedaan ini tidak hanya bersifat teoretis,
tetapi juga berimplikasi pada ancaman pidana yang jauh lebih
berat.
Menurut doktrin hukum pidana dan
yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah mapan, unsur “dengan rencana
terlebih dahulu” tidak dapat diartikan sekadar sebagai niat sesaat yang
timbul dari emosi yang memuncak. Unsur ini mensyaratkan terpenuhinya tiga
kondisi kumulatif:
(1)
adanya keputusan kehendak untuk membunuh yang diambil dalam
suasana batin yang tenang;
(2)
adanya jeda waktu yang cukup (cooling-down period)
antara timbulnya kehendak dengan pelaksanaan perbuatan, yang memungkinkan
pelaku untuk berpikir dan mempertimbangkan kembali tindakannya; dan
(3)
pelaksanaan perbuatan dilakukan dengan pikiran yang tenang
dan terkendali.
Pembuktian unsur inilah yang menjadi
tantangan utama bagi Penuntut Umum dan menjadi titik sentral dalam penalaran
hukum hakim pada perkara ini.
Rekonstruksi dan Analisis Kritis Penalaran Hakim
Logika Pembuktian di Pengadilan Negeri Ketapang (Putusan Nomor 224/Pid.B/2025/PN Ktp)
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN)
Ketapang dalam pertimbangannya membangun sebuah alur penalaran yang sistematis
dan berbasis pada pembuktian ilmiah untuk meyakinkan bahwa seluruh unsur dalam
dakwaan primair telah terpenuhi. Ratio decidendi atau landasan
hukum utama putusan ini dapat direkonstruksi sebagai berikut:
Pembuktian Actus Reus dan Hubungan Kausalitas
Penalaran hakim pada tahap ini bersifat
positivistik-empiris, dengan menempatkan bukti ilmiah sebagai fondasi yang
tidak terbantahkan. Keyakinan hakim untuk menolak skenario bunuh diri dan
menetapkan adanya perbuatan merampas nyawa didasarkan pada beberapa temuan
dalam alat bukti, pertama alat bukti surat, yaitu Surat Visum Et
Repertum Nomor : Visum et Repertum (Autopsi) Nomor: VER/10/XI/Dokkes tanggal 30
November 2024 yang dikeluarkan oleh Bidang Kedokteran dan Kesehatan Urusan
Kedokteran Forensik Subbid Dokpol Polda Kalimantan Barat dan ditandatangani
oleh dr. Vernando Parlindungan, telah dilakukan pemeriksaan terhadap Jenazah
Andri Yansyah pada tanggal 30 November 2024, pukul 17.20 wib, kesimpulan visum
tersebut secara tegas menyatakan:
“...Bahwa disimpulkan penyebab kematian Andri Yansyah adalah
kekerasan tumpul pada leher berupa luka lecet berbentuk garis putus-putus dari
belakang telinga kiri ke belakang telinga kanan melalui sisi depan leher yang
menyebabkan hambatan saluran nafas sehingga mati lemas.”
Selanjutnya, berdasarkan Keterangan Ahli Sheila
Agustika Herliv, Ahli sebelumnya bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit
Fatima Ketapang dan saat ini ahli sedang menjalankan Pendidikan dokter
spesialis di RSCM Jakarta, di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan:
-
Bahwa jejas jerat di leher korban Andriyansyah diketahui
berada di tengah leher dan berbentuk melingkar ke belakang berbentuk huruf U
yang mana hal tersebut berbeda dengan bentuk jejas di leher yang terjadi
apabila seseorang melakukan gantung diri;
-
Bahwa berdasarkan ilmu yang dipelajari jika seseorang yang
gantung diri berbentuk melingkar meninggi ke belakang seperti bentuk huruf V
karena gravitasi serta posisi jejas berada dibawah dagu, sedangkan pada korban
bentuk jejas adalah mendatar;
-
Bahwa ukuran jejas di leher korban Andriyansyah yang
melingkar pada leher panjang kurang lebih dua puluh empat centimeter, berbentuk
garis melingkar, dengan pola tidak utuh, warna kecoklatan, lebar rata-rata nol
koma tiga centimeter;
-
Bahwa selain bentuk jejas di leher korban Andriyansyah
yang berbeda dengan ciri-ciri atau bentuk jejas di leher seseorang yang gantung
diri, juga tidak ditemukan tanda lain yang biasa ditemukan pada seseorang yang
gantung diri seperti adanya lidah tidak tergigit atau terjulur keluar, urine,
cairan spema ataupun feses ditubuh;
Selanjutnya, Keterangan Ahli Agung Utomo, Ahli
bekerja sebagai Polisi di Satreskrim Polresta Pontianak Polda Kalbar dan ahli
memiliki kompetensi di bidang identifikasi dan olah TKP, dengan riwayat
pendidikan pengembangan & pelatihan ahli sebagai Coaching Clinic Olah TKP,
Coaching Clinic peralatan alat Digitalisasi IPS dan AK23, Coaching Clinic
Pemeriksa Sidik Jari, Coaching Clinic Sket Wajah & FR, JICA tingkat Polda,
JICA tingkat Mabes tahun 2024, dan Odontologi oleh Bid Dokes Polda Kalbar., di
bawah sumpah pada pokoknya menerangkan:
-
Bahwa Ahli dihadirkan di Persidangan sehubungan ahli telah
melakukan identifikasi dan olah TKP di kamar tempat korban Andriyansyah
meninggal dunia diduga gantung diri;
-
Bahwa Ahli jelas pada kasus gantung diri korban cenderung
memiliki latar belakang permasalahan, korban cenderung mencari tempat
tersebunyi untuk melaksanakan niatnya, contoh di sebuah bangunan / ruangan yang
terkunci dari dalam. Atau korban mencari tempat sepi seperti hutan, bangunan
kosong yang tidak dilalui oleh orang, korban terkadang meninggalkan surat
kematian berupa pesan permintaan maaf kepada keluarga atau orang yang dikenal,
situasi atau tempat di mana korban gantung diri cenderung rapi (tidak ada
tanda-tanda perlawanan), biasanya ditemukan jejas penjeratan mendekati daun
telinga (meninggi dan meninggalkan gesekan pertama dan kedua oleh tali
penjerat, lidah pada korban bisanya menjulur (keluar) tergantung posisi jeratan
tali yang menekan otot leher, biasanya ditemukan cairan sperma atau urin, dan
pada bagian belakang, ditemukan kotoran tinja; dan posisi jari mengepal akibat
menahan rasa sakit, ditemukan lebam mayat pada ujung jari atau telapang kaki,
di lokasi biasanya ditemukan alat pijakan seperti kursi sebagai media korban
pada saat memasang tali simpul pada benda tertentu yang posisinya di atas
kepala korban, dan tali simpul pada leher biasanya menggunakan simpul hidup
yang berbentuk “V”;
-
Bahwa dapat Ahli jelaskan pada mati akibat penjeratan
terdapat ciri pada leher korban, ditemukan jejas mendatar, pakaian korban
dilihat tidak rapi akibat adanya perlawanan, dan situasi TKP berantakan;
-
Bahwa dari informasi hasil Visum Et Repertum terhadap
jenazah korban Andriyansyah tersebut, korban Andriyansyah tidak memiliki
ciri-ciri korban gantung diri karena bentuk luka tekan/jejas yang berada di
tengah leher korban Andriyansyah berbentuk seperti huruf U kebelakang leher
dimana bentuk luka tekan/jejas yang ditemukan terhadap korban gantung diri
seharusnya berbentuk huuf V meninggi karena adanya gaya gravitasi yang
menarik tubuh korban dimana tidak jarang akibat gantung diri bentuk leher
dari korban gantung diri memanjang karena terlalu lama tergantung;
Kemudian, Keterangan Ahli dr. Vernando
Parlindungan, Sp.F.M., Ahli bekerja sebagai dokter di RSUD Kabupaten Landak
dengan riwayat pendidikan dan pekerjaan ahli sebagai berikut Pendidikan dokter
umum di Universitas Kristen Indonesia, kemudian ahli mendapatkan gelar dokter
spesialis forensic dan medicolegal di Jakarta dan ahli mendapatkan gelar
megister hukum di Surabaya, di bawah sumpah pada pokoknya menerangkan:
-
Bahwa kekerasan tumpul pada leher berupa luka lecet berbentuk
garis putus-putus dari belakang telinga kiri ke belakang telinga kanan melalui
sisi depan leher korban Andriyansah tidak sama dengan ciri-ciri korban
gantung diri;
-
Bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan khusus terhadap
kondisi organ pada jenazah yang dijerat ataupun gantung diri, namun perbedaan
tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri fisik luar dari jenazah tersebut. Selain
itu pada korban jerat biasanya terdapat luka-luka tanda perlawanan yang
dilakukan korban ketika dijerat seseorang;
-
Bahwa korban gantung diri memiliki ciri-ciri berupa
kekerasan tumpul pada leher berupa luka lecet berbentuk garis berbentuk huruf V
yang meninggi dan adanya patah tulang pada leher korban dan/atau leher yang
memanjang akibat tergantung;
Temuan-temuan ini secara fundamental
meruntuhkan alibi awal yang dibangun oleh Terdakwa terkait Gantung Diri.
Keterangan ahli di persidangan semakin memperkuat kesimpulan ini dengan
menegaskan bahwa ciri-ciri luka pada leher korban sama sekali tidak kompatibel
dengan mekanisme gantung diri. Dengan mendasarkan pada bukti forensik yang
objektif, hakim berhasil mengkonstruksi fakta perbuatan (actus reus) dan
hubungan kausalitas antara tindakan kekerasan tersebut dengan kematian korban,
sekaligus menyingkirkan narasi alternatif secara meyakinkan.
Pembuktian Mens Rea: Kesengajaan dan Perencanaan
Ini merupakan bagian paling krusial dan
kompleks dari penalaran hakim PN Ketapang. Hakim secara cermat merangkai
serangkaian fakta untuk membuktikan adanya niat yang terencana, bukan sekadar
kesengajaan spontan.
1.
Identifikasi Momen Perencanaan (Jeda Waktu)
Hakim mengidentifikasi adanya jeda waktu yang cukup antara
pertengkaran hebat pada malam hari tanggal 28 November 2024 dengan eksekusi
pembunuhan pada pagi hari tanggal 29 November 2024. Jeda waktu semalam suntuk
ini dinilai lebih dari cukup bagi Terdakwa untuk mendinginkan emosinya,
berpikir dengan tenang, dan menyusun rencana perbuatannya. Jeda ini membedakan
perbuatan tersebut dari pembunuhan biasa yang umumnya lahir dari emosi sesaat (heat
of passion).
2. Analisis Suasana
Batin yang Tenang
Meskipun terdapat riwayat konflik, hakim menyimpulkan bahwa
pelaksanaan pembunuhan dilakukan dalam kondisi batin yang tenang dan
terkalkulasi. Deduksi ini ditarik dari beberapa fakta kunci. Pertama, korban
dihabisi nyawanya saat sedang tertidur lelap, sebuah metode yang menunjukkan
ketiadaan perlawanan dan pelaksanaan yang terencana untuk meminimalisasi
risiko. Kedua, dan yang paling memberatkan, adalah tindakan Terdakwa
pasca-perbuatan. Terdakwa tidak menunjukkan kepanikan, melainkan secara sistematis
dan tenang melakukan serangkaian tindakan untuk menyamarkan perbuatannya yaitu merekayasa
TKP agar terlihat seperti lokasi bunuh diri, dan kemudian menghubungi
saksi-saksi untuk “menemukan” korban seolah-olah ia tidak tahu menahu. Rangkaian
perbuatan post-factum ini dianggap sebagai cerminan dari
kondisi batin yang terkendali saat melakukan perbuatan (pre-factum).
3. Penguatan dari Bukti
Psikologis
Penalaran hakim tersebut mendapatkan dukungan kuat dari
hasil Surat Hasil Pemeriksaan Psikologi Forensik. Laporan ahli
psikologi menyimpulkan bahwa Terdakwa ”memiliki kemampuan untuk
memanipulasi informasi relevan dalam rencana kompleks, dan menunjukan adanya
keterampilan dalam memecah-mecah masalah kompleks”. Temuan ini secara
langsung mengafirmasi bahwa Terdakwa memiliki kapasitas intelektual dan
psikologis untuk merancang dan melaksanakan sebuah pembunuhan
berencana.
Berdasarkan rangkaian pembuktian yang saling
bersesuaian tersebut, Majelis Hakim PN Ketapang menyatakan Terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “pembunuhan
berencana” sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, dan menjatuhkan pidana
penjara selama 17 (tujuh belas) tahun.
Pergeseran Fokus di Pengadilan Tinggi Pontianak (Putusan Nomor 498/PID/2025/PT PTK)
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT)
Pontianak mengambil pendekatan yang berbeda secara fundamental dalam aspek
pemidanaan, meskipun sependapat dengan putusan bersalah yang dijatuhkan oleh
pengadilan tingkat pertama.
Afirmasi Putusan Bersalah
Setelah memeriksa berkas perkara, termasuk
memori banding yang diajukan oleh Terdakwa/Penasihat Hukumnya dan Jaksa
Penuntut Umum, Majelis Hakim PT Pontianak menyatakan sependapat dengan
pertimbangan hukum (judex facti) PN Ketapang. PT Pontianak menegaskan
bahwa fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan tingkat pertama telah
cukup membuktikan terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan primair. Dengan
demikian, putusan mengenai status bersalah Terdakwa atas tindak pidana
pembunuhan berencana dikuatkan.
Modifikasi Pidana atas Dasar Keadilan dan Kemanusiaan
Setelah memeriksa berkas perkara, termasuk
memori banding yang diajukan oleh Terdakwa/Penasihat Hukumnya dan Jaksa
Penuntut Umum, Majelis Hakim PT Pontianak menyatakan sependapat dengan
pertimbangan hukum (judex facti) PN Ketapang. PT Pontianak menegaskan
bahwa fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan tingkat pertama telah
cukup membuktikan terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan primair. Dengan
demikian, putusan mengenai status bersalah Terdakwa atas tindak pidana
pembunuhan berencana dikuatkan.
Titik sentral dan paling signifikan dari
putusan banding adalah perubahan mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan. Penalaran hakim
tinggi secara eksplisit bergeser dari ranah yuridis-formal yang kaku ke ranah
filosofis dan sosiologis yang lebih fleksibel. Ratio decidendi dari
pengurangan hukuman ini tertuang dalam kutipan kunci berikut:
“bahwa berkaitan dengan hukuman yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri Ketapang kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 17
(tujuh belas) tahun tersebut adalah kurang mencerminkan rasa keadilan, sehingga
demi keadilan dan rasa kemanusiaan adalah beralasan hukum untuk dikurangi
sebagimana ditetapkan dalam amar putusan ini, dengan mengingat bahwa Terdakwa
seorang wanita ibu rumah tangga yang mempunyai anak kecil hasil hubungannya
dengan korban yang sangat membutuhkan kasih sayang dari Terdakwa sebagai
seorang ibu dan juga mengingat paradigma sekarang ini tentang pemidanaan
di negara kita telah bergeser dari pemidanaan retributif atau retensionis
menjadi abolisionis yaitu pemidanaan yang mengutamakan asas keadilan
korektif... rehabilitatif... dan keadilan restoratif... sebagaimana telah
dianut dalam peradilan pidana Indonesia sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan
berlaku 1 Januari 2026”
Penalaran ini, meskipun tampak humanis,
mengandung sejumlah kelemahan fundamental yang patut dibedah secara kritis.
Pertama, argumen yang berpusat pada ”kepentingan
terbaik anak” (best interests of the child) mengandung paradoks
logis yang tajam. Hakim memberikan keringanan hukuman dengan alasan
Terdakwa harus merawat anak yang menjadi yatim, padahal kondisi yatim piatu
sang anak adalah akibat langsung dari perbuatan pidana Terdakwa yang telah
merampas nyawa ayah dari anak tersebut. Lebih jauh lagi, argumen ini
mengabaikan kondisi kesehatan mental Terdakwa. Hasil pemeriksaan psikologi
forensik secara eksplisit menyebutkan bahwa Terdakwa memiliki ”karakter
manipulatif”, ”regulasi emosi yang buruk”, ”riwayat
perilaku impulsivitas yang menetap dan selalu meningkat”, serta ”potensi
melakukan tindakan agresif”. Menempatkan seorang anak dalam
pengasuhan seorang ibu dengan profil psikologis demikian (yang terbukti mampu
melakukan pembunuhan berencana terhadap pasangannya) justru berpotensi
bertentangan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri.
Alih-alih mendapatkan kasih sayang, anak
tersebut berisiko tumbuh dalam lingkungan yang tidak stabil dan berpotensi
membahayakan perkembangan psikologisnya. Dengan demikian, dalil “kebutuhan kasih
sayang ibu” menjadi rapuh ketika dihadapkan pada fakta kondisi kejiwaan
Terdakwa yang tidak dapat dikatakan “normal”.
Kedua, justifikasi yang didasarkan pada pergeseran
paradigma pemidanaan (keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif)
merupakan sebuah mis-aplikasi konsep. Keadilan restoratif, misalnya, secara
fundamental bertujuan untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan korban.
Dalam kasus pembunuhan, di mana korban tidak mungkin lagi berpartisipasi,
penerapan konsep ini menjadi tidak relevan. Demikian pula, keadilan korektif
dan rehabilitatif bertujuan untuk memperbaiki pelaku. Namun, apakah
pengurangan hukuman yang signifikan untuk kejahatan paling berat (pembunuhan
berencana) merupakan cara yang proporsional untuk mencapai tujuan tersebut,
terutama ketika perbuatan Terdakwa menunjukkan perencanaan dan manipulasi yang
matang? Argumen ini terkesan digunakan secara formalistik tanpa analisis
mendalam mengenai kesesuaiannya dengan fakta perkara.
Ketiga, rujukan pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru) sebagai landasan filosofis adalah sebuah
lompatan yuridis yang problematis. Pada saat putusan dijatuhkan, KUHP baru
tersebut masih berstatus ius constituendum (hukum yang
dicita-citakan) dan belum berlaku efektif. Meskipun hakim dapat melakukan
penafsiran antisipatif atau futuristik, penggunaannya untuk secara drastis
mengubah pemidanaan pada kasus kejahatan serius berisiko menggerus asas
kepastian hukum (legal certainty) yang dijamin oleh hukum yang berlaku
saat itu (ius constitutum). Penalaran ini lebih menyerupai obiter
dicta (pertimbangan sampingan) yang dipaksakan menjadi ratio
decidendi, sehingga melemahkan kekuatan argumentasi putusan secara
keseluruhan.
Evaluasi Putusan: Mendefinisikan Ulang Keadilan dalam Kasus Pembunuhan Kades Karyamukti
Analisis terhadap kedua putusan ini
menyingkap sebuah perdebatan fundamental yang melampaui sekadar dikotomi
sederhana antara keadilan formalistik dan substantif. Justru, kasus ini memaksa
kita untuk bertanya: keadilan substantif bagi siapa, dan dengan cara apa?
Putusan PN Ketapang: Formalitas sebagai Keadilan Substantif Sejati
Sepintas, putusan PN Ketapang yang
menjatuhkan hukuman 17 tahun penjara tampak sebagai manifestasi keadilan
formalistik. Hakim secara teliti dan sistematis menerapkan Pasal 340 KUHP
terhadap serangkaian fakta yang terbukti, menghasilkan sebuah putusan yang
logis dan menjunjung tinggi kepastian hukum. Namun, pandangan ini terlalu
dangkal. Jika ditelaah lebih dalam, putusan PN Ketapang justru merupakan
perwujudan keadilan substantif yang sejati dan komprehensif.
Keadilan substantif dalam kasus ini tidak
dapat direduksi hanya pada nasib Terdakwa. Ia harus mencakup:
1.
Keadilan bagi Korban dan Keluarga
Putusan yang setimpal adalah satu-satunya bentuk pengakuan
hukum atas hilangnya nyawa seorang manusia secara brutal dan terencana. Ia
memberikan validasi atas penderitaan keluarga yang ditinggalkan.
2. Keadilan bagi
Masyarakat
Korban adalah seorang Kepala Desa, seorang figur publik yang
kematiannya mengguncang tatanan sosial di komunitasnya. Hukuman yang tegas
berfungsi sebagai penegasan kembali bahwa negara tidak menoleransi kejahatan
keji, terutama yang menimpa aparaturnya, sekaligus memberikan efek jera (deterrent
effect) yang krusial bagi stabilitas sosial.
3. Keadilan bagi Anak
Ironisnya, hukuman yang proporsional bagi Terdakwa adalah
bentuk keadilan paling fundamental bagi sang anak. Ia menegaskan bahwa
perbuatan yang telah merenggut nyawa ayahnya dan menjadikannya yatim piatu
adalah sebuah kesalahan absolut yang harus dipertanggungjawabkan, bukan sebuah
tragedi yang dapat diringankan dengan dalih kasih sayang.
Dengan demikian, putusan PN Ketapang,
melalui formalitasnya, berhasil mencapai substansi keadilan yang
multidimensional. Ia tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan (sejauh
mungkin) rasa keadilan bagi korban, keluarga, dan masyarakat luas.
Putusan PT Pontianak: Simplifikasi Berbahaya dan Keadilan Substantif yang Terdistorsi
Sebaliknya, putusan PT Pontianak, yang
mengklaim bertindak atas nama “rasa keadilan dan kemanusiaan,” justru
jatuh ke dalam perangkap simplifikasi yang berbahaya. Dengan memfokuskan
pertimbangannya secara sempit pada hubungan Terdakwa dengan anaknya, hakim
tinggi telah mengabaikan dimensi keadilan yang lebih luas dan esensial.
Penalaran PT Pontianak secara problematis
telah:
1.
Memprioritaskan status pelaku di atas perbuatannya
Peran Terdakwa sebagai “ibu” seolah-olah diberi bobot lebih
tinggi daripada perannya sebagai pelaku pembunuhan berencana yang terbukti. Ini
adalah sebuah kekeliruan logis dan moral yang mereduksi kejahatan menjadi
sekadar variabel dalam kalkulasi belas kasihan.
2.
Menggunakan anak sebagai justifikasi, bukan subjek
Dalih “kebutuhan kasih sayang” secara instrumental
menggunakan keberadaan anak untuk meringankan hukuman pelaku, tanpa secara
serius mempertimbangkan dampak psikologis jangka panjang bagi seorang anak yang
diasuh oleh individu yang telah membunuh ayahnya dan terbukti memiliki karakter
manipulatif. Ini adalah antitesis dari prinsip “kepentingan terbaik bagi
anak”.
3.
Menciptakan ketidakadilan substantif
Dengan mengurangi hukuman secara signifikan, putusan ini
secara efektif mencederai rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Ia
mengirimkan sinyal yang meresahkan bahwa pertimbangan personal pelaku dapat
mengalahkan bobot kejahatan yang telah dilakukannya.
Pada akhirnya, apa yang ditampilkan oleh PT
Pontianak bukanlah keadilan substantif, melainkan sebuah sentimentalitas
yuridis yang gagal menangkap kompleksitas dan gravitasi dari tindak pidana yang
diadili.
Sintesis Kritis
Analisis terhadap putusan kasus pembunuhan
Kades Karyamukti ini menunjukkan sebuah benturan paradigmatik dalam penalaran
yudisial. Penalaran judex facti di Pengadilan Negeri Ketapang,
dengan konstruksi pembuktian yang kokoh berbasis fakta dan ilmu forensik, tidak
hanya berhasil memenuhi tuntutan kepastian hukum, tetapi juga secara
fundamental mewujudkan keadilan substantif yang sejati bagi korban, keluarga,
dan masyarakat.
Putusan ini adalah contoh bagaimana
formalitas hukum, ketika diterapkan secara cermat dan proporsional, dapat
menjadi medium bagi tercapainya keadilan yang paling hakiki.
Di sisi lain, penalaran judex juris di
Pengadilan Tinggi Pontianak, meskipun mengafirmasi status bersalah Terdakwa,
merepresentasikan sebuah kegagalan dalam memaknai keadilan. Dengan berlindung
di balik retorika “kemanusiaan” dan “paradigma pemidanaan modern,” hakim
banding telah mengadopsi penalaran yang problematis, logis inkonsisten, dan
secara sosial rabun.
Pengurangan hukuman yang didasarkan pada
status Terdakwa sebagai seorang ibu bukan hanya merupakan sebuah logical
fallacy, tetapi juga sebuah bentuk pengabaian terhadap penderitaan korban
dan rasa keadilan publik.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang
ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan
melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.


