Pertanyaan
Selamat pagi Pak Eka, izin bertanya pak.
Saya dan keluarga sedang menghadapi situasi
yang cukup membingungkan dan butuh pencerahan hukum dari Bapak. Ayah saya baru
saja meninggal dunia dua minggu yang lalu. Di tengah suasana duka, kami
menemukan bahwa beliau meninggalkan utang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
cicilannya masih berjalan untuk 10 tahun ke depan.
Kemarin, pihak bank sudah menghubungi kami
dan mengirimkan surat yang pada intinya meminta agar cicilan KPR tersebut tetap
dilanjutkan oleh kami sebagai ahli waris. Terus terang kami bingung dan
khawatir, karena ada beberapa informasi simpang siur dari kerabat. Ada yang
bilang utangnya otomatis lunas, ada juga yang bilang kami harus menanggungnya.
Sehubungan dengan itu, ada beberapa hal yang
ingin saya tanyakan secara mendalam, Pak:
1.
Bagaimana sebenarnya status hukum utang KPR ini setelah ayah
saya meninggal? Apakah menurut hukum utang tersebut otomatis dianggap lunas
atau hapus? Ataukah memang benar kewajiban melunasi sisa utang tersebut secara
hukum beralih sepenuhnya kepada kami sebagai anak-anaknya?
2. Jika memang utang
ini beralih ke kami, sejauh mana tanggung jawab kami sebagai ahli waris? Apakah
kami wajib melunasi seluruh sisa utang tersebut, bahkan jika nilainya lebih
besar dari harta warisan yang ditinggalkan ayah? Kami sangat khawatir jika aset
atau tabungan pribadi kami ikut terseret untuk menutupi utang ini. Apakah ada
pilihan atau mekanisme hukum yang bisa kami tempuh agar tanggung jawab kami
terbatas hanya pada nilai harta peninggalan ayah saja?
3. Dulu seingat saya,
ayah pernah menyebut bahwa KPR-nya sudah termasuk asuransi jiwa kredit. Apakah
keberadaan asuransi ini bisa menjadi solusi? Apakah asuransi tersebut secara
otomatis akan melunasi seluruh sisa utang KPR? Lalu, bagaimana jika ternyata klaim
asuransinya ditolak oleh pihak asuransi, misalnya karena ayah ternyata memiliki
riwayat penyakit yang tidak diungkapkan saat akad kredit dulu? Apa konsekuensi
hukumnya bagi kami jika skenario terburuk itu terjadi?
4. Rumah yang
di-KPR-kan itu kan posisinya menjadi jaminan di bank. Apa sebetulnya hak bank
terhadap rumah tersebut jika kami sebagai ahli waris ternyata tidak sanggup
melanjutkan cicilan? Apakah bank bisa langsung menyita dan melelangnya begitu
saja? Bagaimana posisi hukum kami sebagai ahli waris dalam melindungi rumah
tersebut?
5. Terakhir, bagaimana
biasanya praktik perbankan dalam menangani kasus seperti ini, dan adakah contoh
putusan pengadilan yang bisa menjadi rujukan untuk memahami posisi kami dengan
lebih baik?
Mohon pencerahannya secara komprehensif, Pak
Eka. Kami benar-benar butuh gambaran yang utuh dan jelas mengenai posisi hukum
kami, apa saja hak dan kewajiban kami, serta langkah-langkah apa yang sebaiknya
kami tempuh dalam menghadapi situasi ini.
Terima kasih banyak atas waktu dan
bantuannya, Pak.
Jawaban
Pengantar
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) telah menjadi
instrumen fundamental dalam ekosistem pembiayaan properti di Indonesia,
memungkinkan jutaan masyarakat untuk merealisasikan kepemilikan hunian di
tengah eskalasi harga properti yang signifikan.
Sebagai sebuah perjanjian hukum yang
bersifat jangka panjang, seringkali membentang hingga puluhan tahun, fasilitas
KPR secara inheren terekspos pada berbagai peristiwa hukum tak terduga (unforeseen
events). Salah satu peristiwa yang paling sering menimbulkan implikasi
yuridis kompleks adalah meninggalnya debitur sebelum seluruh kewajiban
kreditnya lunas.
Peristiwa ini kerap menjadi pangkal
kebingungan dan sengketa hukum antara lembaga perbankan sebagai kreditur dengan
para ahli waris dari debitur yang berduka. Terdapat diskoneksi fundamental
antara persepsi umum di masyarakat, yang seringkali beranggapan bahwa kematian
secara otomatis “memutihkan” atau menghapuskan utang, dengan
realitas kerangka hukum perdata yang berlaku. Kesenjangan pemahaman ini menjadi
titik krusial yang menuntut pemahaman mendalam untuk memberikan kepastian
hukum.
Untuk membangun analisis yang kokoh,
esensial untuk terlebih dahulu memahami definisi yuridis dari
terminologi-terminologi kunci. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya
disebut dengan “UU Perbankan”, definisi kredit adalah:
“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Definisi ini menegaskan adanya dua unsur
esensial:
(1)
adanya kesepakatan pinjam-meminjam; dan
(2)
adanya kewajiban pelunasan yang melekat pada pihak peminjam
(debitur).
Secara etimologis, istilah kredit berasal
dari bahasa latin “credere” yang berarti saya percaya. Maksudnya si
pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan
pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan, bagi si penerima kredit
berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar
kembali pinajman tersebut sesuai dengan jangka waktunya.[1]
Dengan demikian, perjanjian kredit merupakan
manifestasi dari hubungan kepercayaan di mana bank (kreditur) memberikan
sejumlah dana kepada nasabah (debitur) dengan keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi kewajiban pelunasannya di masa depan sesuai dengan kesepakatan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) merupakan produk turunan dari kredit perbankan yang
secara khusus ditujukan untuk membiayai pembelian, pembangunan, atau renovasi
properti hunian. Karakteristik utama yang membedakan KPR dari kredit konsumtif
lainnya adalah sifatnya sebagai kredit berjaminan (secured loan).
Dalam skema KPR, properti yang dibiayai tersebut sekaligus dijadikan agunan
atau jaminan atas pelunasan utang melalui suatu mekanisme pengikatan hak
jaminan kebendaan yang disebut Hak Tanggungan.
Sekarang timbul pertanyaan umum yang biasa
ditanyakan karena ada beberapa permasalahan konkrit yang dihadapi oleh
masyarakat yaitu apakah dengan meninggalnya seorang debitur, kewajiban
pembayaran sisa utang KPR secara hukum otomatis hapus, beralih kepada pihak
lain, atau lunas melalui mekanisme lain?
Jawaban atas pertanyaan ini akan diurai
melalui penelahaan sistematis terhadap berbagai instrumen hukum yang relevan,
mulai dari hukum waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum jaminan
kebendaan, hukum perbankan, hingga hukum asuransi, serta diperkaya dengan
analisis terhadap praktik perbankan dan yurisprudensi terkini. Simak baik-baik.
Prinsip Umum Pewarisan: Asas Saisine
Prinsip paling fundamental dalam hukum waris
perdata Indonesia termaktub dalam Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata,
yang menyatakan:
“Sekalian ahli waris, dengan sendirinya karena hukum,
memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari
yang meninggal.”.
Ketentuan ini melahirkan sebuah asas yang
dikenal dengan nama asas saisine. Makna dari asas ini adalah bahwa
peralihan seluruh hak dan kewajiban dari pewaris kepada ahli warisnya terjadi
secara otomatis demi hukum (van rechtswege) pada saat yang sama ketika
pewaris meninggal dunia.
Peralihan ini terjadi seketika, tanpa
memerlukan adanya suatu tindakan hukum tertentu dari para ahli waris, bahkan
sekalipun mereka belum menyadari terjadinya peristiwa pewarisan tersebut. Asas
ini dijustifikasi oleh adagium hukum klasik Le mort saisit le vif, yang
secara harfiah berarti “orang yang mati memberikan (hak) kepada orang yang
hidup”. Filosofi di baliknya adalah untuk memastikan tidak terjadi
kekosongan hukum (rechtsvacuum) atas harta peninggalan, sehingga setiap
aset dan kewajiban senantiasa memiliki subjek hukum yang bertanggung jawab.
Sifat “memaksa” dari asas saisine ini
tidak membeda-bedakan jenis hak atau kewajiban yang beralih. Ia berlaku
universal untuk seluruh portofolio hukum harta kekayaan pewaris. Sifat otomatis
ini dapat menciptakan risiko hukum yang signifikan bagi para ahli waris yang
tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai. Pada detik kematian seorang
debitur KPR, para ahli warisnya, seringkali tanpa mereka sadari, secara hukum
telah menggantikan kedudukan pewaris sebagai debitur baru di hadapan bank.
Ketidaktahuan mereka atas status hukum ini tidak menggugurkan kewajiban yang
telah beralih.
Peralihan Utang sebagai Bagian dari Harta Warisan (Boedel)
Konsekuensi logis dari asas saisine
adalah pemahaman bahwa terminologi “harta warisan” atau boedel dalam
kerangka KUHPerdata tidak hanya mencakup sisi aset atau aktiva (seperti tanah,
bangunan, kendaraan, atau simpanan uang), tetapi juga meliputi seluruh
kewajiban atau pasiva (utang-utang) yang ditinggalkan oleh pewaris. Dengan kata
lain, ahli waris tidak hanya mewarisi kekayaan, tetapi juga mewarisi beban.
Penegasan mengenai peralihan utang ini
diatur secara eksplisit dalam Pasal 1100 KUH Perdata, yang
berbunyi:
“Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus
ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang
dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.”.
Pasal ini secara definitif menyatakan bahwa
utang pewaris menjadi tanggung jawab para ahli waris yang menerima warisan.
Lebih lanjut, Pasal 1101 KUH Perdata mengatur mekanisme pembagian
tanggung jawab tersebut di antara para ahli waris, di mana setiap ahli waris
bertanggung jawab secara pribadi untuk seluruh utang, sebanding dengan bagian
warisan yang diterimanya.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, menjadi
jelas bahwa dari perspektif hukum perdata, utang KPR tidaklah hapus
dengan meninggalnya debitur. Perjanjian kredit yang telah disepakati
antara debitur dengan bank tetap sah dan mengikat. Kedudukan hukum
debitur yang telah meninggal dunia secara otomatis digantikan oleh para ahli
warisnya, yang kini memikul kewajiban untuk melanjutkan pelunasan sisa utang
tersebut.
Status Hukum Kredit KPR dan Jaminan Hak Tanggungan Pasca Meninggalnya Debitur
Setelah memahami bahwa utang secara umum
beralih kepada ahli waris, analisis selanjutnya harus difokuskan pada instrumen
hukum spesifik yang mengatur KPR, yaitu perjanjian kredit itu sendiri dan
jaminan Hak Tanggungan yang melekat padanya. Kematian debitur tidak mengakhiri
perjanjian kredit, melainkan memicu bekerjanya mekanisme hukum jaminan yang
telah disiapkan sejak awal.
Keberlangsungan Perjanjian Kredit dan Peran Hak Tanggungan
Sebagaimana telah diuraikan, meninggalnya
debitur tidak termasuk sebagai salah satu syarat hapusnya perikatan menurut
KUHPerdata. Oleh karena itu, perjanjian KPR tetap berjalan dan mengikat para
pihak, di mana posisi debitur kini diisi oleh para ahli warisnya. Untuk
mengamankan pelunasan kredit inilah, bank sejak awal mewajibkan adanya
jaminan kebendaan atas properti yang dibiayai. Landasan hukum utama yang
mengatur jaminan ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah, yang selanjutnya disebut dengan “UU Hak Tanggungan”.
Definisi Hak Tanggungan tercantum dalam Pasal
1 Angka 1 UU Hak Tanggungan, yang menyatakan:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”.
Posisi Bank sebagai Kreditur Preferen
Frasa kunci dalam definisi di atas adalah “memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu”. Ini adalah manifestasi
dari asas droit de préférence, yang menempatkan bank sebagai pemegang
Hak Tanggungan pada posisi sebagai kreditur preferen. Artinya, apabila
debitur (atau ahli warisnya) cidera janji atau wanprestasi, bank memiliki hak
untuk menuntut pelunasan piutangnya secara eksklusif dari hasil penjualan objek
jaminan (rumah KPR), dan hak ini mendahului hak-hak kreditur lain yang tidak dijamin
dengan hak kebendaan (kreditur konkuren), terkecuali piutang negara seperti
pajak.
Selain itu, Hak Tanggungan juga memiliki
sifat droit de suite (hak mengikuti), yang berarti hak jaminan ini akan
terus melekat pada objeknya (tanah dan bangunan) di tangan siapa pun objek
tersebut berada. Peralihan kepemilikan objek jaminan dari pewaris kepada ahli
waris tidak sedikit pun mengurangi atau menghapuskan Hak Tanggungan yang
membebaninya.
UU Hak Tanggungan secara efektif “mengisolasi”
aset KPR dari boedel warisan umum dalam konteks pelunasan utang KPR.
Ahli waris tidak dapat secara bebas memperlakukan rumah tersebut sebagai aset
yang siap dibagi waris sebelum utang kepada bank lunas. Hak preferen bank
ini menciptakan sebuah hierarki dalam pelunasan utang pewaris. Sebelum ahli
waris dapat melunasi utang-utang lain (misalnya utang kartu kredit atau utang
pribadi), utang KPR yang dijamin Hak Tanggungan harus didahulukan jika bank
menuntut pelunasan dari aset spesifik tersebut.
Mekanisme Eksekusi Jaminan
Kekuatan posisi bank sebagai kreditur
preferen diwujudkan melalui mekanisme eksekusi yang diatur dalam Pasal 6
UU Hak Tanggungan, yang memberikan hak kepada bank sebagai pemegang Hak
Tanggungan pertama untuk:
“menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut”.
Hak eksekusi ini dapat dijalankan apabila
debitur cidera janji. Dalam konteks meninggalnya debitur, cidera janji terjadi
ketika para ahli waris yang telah menggantikan kedudukan hukumnya gagal
melanjutkan pembayaran angsuran KPR sesuai jadwal yang diperjanjikan.
Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam analisis yurisprudensi, Mahkamah
Konstitusi telah menegaskan bahwa terminologi “debitur” dalam pasal ini secara
inheren mencakup pula para ahli warisnya. Dengan demikian, kerangka hukum
jaminan memberikan landasan yang sangat kuat bagi bank untuk mengamankan
pengembalian piutangnya, bahkan setelah debitur meninggal dunia.
Peran, Hak, dan Tanggung Jawab Ahli Waris
Ketika dihadapkan pada warisan yang
terbebani utang KPR, para ahli waris berada di sebuah persimpangan jalan hukum
yang krusial. KUH Perdata memberikan tiga opsi atau sikap hukum
yang dapat mereka ambil. Pilihan yang diambil akan menentukan tingkat tanggung
jawab dan risiko finansial yang akan mereka pikul.
Menerima Penuh (Zuivere Aanvaarding)
Penerimaan penuh atau murni adalah sikap di
mana seorang ahli waris menerima warisan tanpa syarat apa pun. Penerimaan ini
dapat dilakukan secara tegas, misalnya dengan membuat suatu akta otentik yang
menyatakan penerimaan warisan, atau dapat terjadi secara diam-diam (stilzwijgende
aanvaarding). Penerimaan secara diam-diam terjadi apabila ahli waris
melakukan suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan dalam kapasitasnya sebagai
ahli waris, seperti mengambil alih, menjual, atau menggadaikan harta
peninggalan.
Ini adalah pilihan dengan risiko tertinggi.
Dengan menerima warisan secara penuh, terjadi percampuran antara harta
peninggalan pewaris dengan harta kekayaan pribadi ahli waris. Akibatnya,
tanggung jawab ahli waris atas utang-utang pewaris (termasuk sisa KPR) tidak
lagi terbatas pada nilai aset warisan yang diterima.
Apabila harta warisan tidak mencukupi untuk
melunasi seluruh utang, maka kreditur (bank) berhak menagih pelunasan hingga ke
harta kekayaan pribadi milik ahli waris. Tindakan “diam-diam” merupakan risiko
terbesar bagi ahli waris yang tidak teredukasi secara hukum. Perbuatan yang
tampak sederhana, seperti mulai menempati rumah KPR yang diwariskan atau
membayar satu kali angsuran atas nama almarhum dengan niat baik, dapat
diinterpretasikan oleh bank dan pengadilan sebagai tindakan penerimaan penuh.
Hal ini secara tidak sadar membuka gerbang bagi penagihan yang dapat
mengancam stabilitas finansial pribadi ahli waris.
Menerima dengan Hak Pendaftaran (Beneficiaire Aanvaarding)
Opsi ini merupakan jalan tengah yang
bersifat protektif. Untuk memilih sikap ini, ahli waris harus menyampaikan
suatu pernyataan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat
warisan terbuka. Dengan penerimaan bersyarat ini, ahli waris pada dasarnya
menyatakan bersedia menerima warisan, namun dengan hak istimewa untuk melakukan
pencatatan atau inventarisasi seluruh aset dan utang dalam boedel
warisan.
Akibat hukum yang paling fundamental dari beneficiaire
aanvaarding adalah tidak terjadinya percampuran harta. Harta peninggalan
tetap menjadi satu kesatuan hukum yang terpisah dari harta pribadi ahli waris.
Konsekuensinya, kewajiban ahli waris untuk melunasi utang-utang pewaris,
termasuk KPR, terbatas hanya sebesar nilai total aset yang ada dalam
harta warisan tersebut. Harta kekayaan pribadi ahli waris sepenuhnya
terlindungi dari tuntutan para kreditur pewaris. Jika setelah seluruh utang
dilunasi masih terdapat sisa aset, barulah sisa tersebut menjadi hak ahli waris.
Menolak Warisan (Verwerping)
Opsi ketiga adalah menolak warisan secara
keseluruhan. Sama seperti penerimaan bersyarat, penolakan ini harus dilakukan
dengan suatu pernyataan tegas di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang.
Konsekuensi dari penolakan ini bersifat
absolut. Ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli
waris sejak semula (retroaktif). Ia sama sekali tidak berhak atas aset
apa pun dari harta peninggalan, namun sebagai imbal baliknya, ia juga terbebas
sepenuhnya dari kewajiban untuk membayar utang-utang pewaris. Pilihan
ini umumnya diambil ketika setelah dihitung secara cermat, jumlah utang yang
ditinggalkan pewaris ternyata jauh lebih besar daripada nilai total asetnya,
sehingga menerima warisan hanya akan mendatangkan kerugian finansial.
Mitigasi Risiko Melalui Asuransi Jiwa Kredit (Credit Life Insurance)
Meskipun kerangka hukum perdata secara jelas
mengalihkan beban utang KPR kepada ahli waris, praktik perbankan modern
telah mengembangkan sebuah instrumen mitigasi risiko yang fundamental, yaitu
Asuransi Jiwa Kredit. Instrumen ini dirancang untuk memberikan solusi dan
perlindungan bagi kedua belah pihak yaitu melindungi bank dari risiko kredit
macet akibat meninggalnya debitur, dan melindungi ahli waris dari beban utang
warisan yang memberatkan.
Fungsi dan Mekanisme Asuransi Jiwa Kredit
Asuransi Jiwa Kredit adalah produk asuransi
jiwa yang manfaat pertanggungannya secara spesifik dikaitkan dengan pelunasan
sisa utang seorang debitur. Apabila debitur (tertanggung) meninggal dunia dalam
masa pertanggungan, perusahaan asuransi akan membayarkan sejumlah uang
pertanggungan yang nilainya setara dengan sisa pokok utang KPR kepada bank
sebagai penerima manfaat (beneficiary). Dengan pembayaran ini, utang KPR
dinyatakan lunas, dan properti yang menjadi jaminan dapat diserahkan kepada
ahli waris dalam keadaan bebas dari beban Hak Tanggungan.
Regulasi mengenai produk ini diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023 tentang Produk
Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk
Suretyship atau Suretyship Syariah, yang selanjutnya disebut dengan “POJK
20/2023”. Secara spesifik, Bab III Pasal 10 ayat (1) POJK 20/2023
menyatakan:
“Perusahaan Asuransi Jiwa dapat memasarkan produk Asuransi
yang dikaitkan dengan Kredit dalam bentuk Asuransi Jiwa Kredit.”.
Pentingnya Klausul Polis dan Potensi Penolakan Klaim
Pelunasan utang oleh asuransi bukanlah suatu
proses yang otomatis dan tanpa syarat. Pembayaran klaim sangat bergantung pada
pemenuhan syarat dan ketentuan (terms and conditions) yang tercantum
dalam polis asuransi. Ahli waris harus memahami bahwa jika klaim ditolak
oleh perusahaan asuransi, maka seluruh kerangka hukum waris perdata yang telah
diuraikan sebelumnya akan berlaku sepenuhnya, dan beban utang KPR akan kembali
jatuh ke pundak mereka.
Beberapa penyebab umum penolakan klaim
Asuransi Jiwa Kredit antara lain:
1.
Penyebab Kematian Termasuk dalam Pengecualian
Polis asuransi selalu memuat klausul pengecualian (exclusion
clause), di mana pertanggungan tidak berlaku jika kematian disebabkan oleh
hal-hal tertentu, seperti bunuh diri dalam dua tahun pertama kepesertaan,
hukuman mati oleh pengadilan, atau partisipasi dalam aktivitas ilegal atau
berbahaya;
2. Pelanggaran Prinsip Utmost
Good Faith
Debitur tidak memberikan informasi yang benar dan lengkap
saat mengisi Surat Permohonan Penutupan Asuransi (SPPA), khususnya menyembunyikan
riwayat penyakit yang sudah ada sebelumnya (pre-existing condition). Jika
debitur meninggal karena penyakit yang sudah diderita sebelum akad namun tidak
diungkapkan, perusahaan asuransi berhak menolak klaim;
3. Polis dalam Keadaan Lapse
Premi asuransi tidak dibayarkan secara teratur sehingga polis
menjadi tidak aktif atau lapse pada saat debitur meninggal dunia.
4. Keterlambatan
Pelaporan
Ahli waris atau pihak bank terlambat melaporkan peristiwa
kematian kepada perusahaan asuransi, melewati batas waktu yang ditetapkan dalam
polis.
Dalam praktiknya, seringkali terjadi
asimetri informasi. Bank, yang bertindak sebagai agen penjual asuransi
sekaligus penerima manfaat, memiliki insentif utama untuk memastikan kredit KPR
dapat segera dicairkan. Hal ini berpotensi menyebabkan proses underwriting
asuransi, terutama verifikasi data kesehatan debitur, tidak dilakukan dengan
ketelitian maksimal. Debitur, yang bersemangat agar permohonan KPR-nya
disetujui, mungkin juga tidak membaca detail polis atau terdorong untuk
memberikan jawaban “sehat” pada kuesioner kesehatan. Kondisi ini menciptakan
“bom waktu” yang baru akan meledak ketika klaim diajukan dan perusahaan
asuransi melakukan investigasi mendalam, yang pada akhirnya dapat berujung pada
penolakan klaim dan mengembalikan masalah utang kepada ahli waris.
Praktik Perbankan dan Yurisprudensi
Untuk melengkapi analisis normatif, penting
untuk melihat bagaimana hukum diterapkan dalam praktik perbankan sehari-hari
dan bagaimana pengadilan menafsirkan serta menyelesaikan sengketa yang timbul.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan memberikan panduan berharga mengenai
penerapan hukum dalam situasi konkret.
Prosedur Standar Perbankan
Ketika seorang debitur KPR meninggal dunia,
ahli waris diharapkan untuk segera mengambil langkah-langkah administratif secara
konkrit berikut ini, untuk berkoordinasi dengan pihak bank, antara lain:
1.
Ahli waris wajib melaporkan peristiwa kematian kepada bank
tempat KPR diajukan. Laporan ini harus disertai dengan dokumen-dokumen otentik,
antara lain: Akta Kematian asli atau salinan yang dilegalisir, Surat Keterangan
Ahli Waris (dapat berupa Akta Notaris, Surat Keterangan dari Kelurahan yang
dikuatkan oleh Kecamatan, atau Penetapan Pengadilan), salinan KTP almarhum dan
seluruh ahli waris, salinan Kartu Keluarga, serta salinan Perjanjian Kredit dan
polis asuransi (jika ada);
2. Apabila fasilitas
KPR dilengkapi dengan Asuransi Jiwa Kredit, bank akan bertindak sebagai
fasilitator untuk mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi. Bank akan
meneruskan dokumen-dokumen yang diserahkan oleh ahli waris beserta dokumen
internal lainnya kepada pihak asuransi.
3. Langkah Lanjutan:
-
Apabila Klaim Disetujui, maka perusahaan asuransi akan
mencairkan uang pertanggungan langsung ke rekening bank untuk melunasi sisa
pokok utang. Bank kemudian akan menerbitkan Surat Keterangan Lunas dan
melakukan proses roya (pencoretan) Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. Setelah
itu, sertifikat asli properti akan diserahkan kepada ahli waris yang sah;
-
Apabila Klaim Ditolak atau Tidak Ada Asuransi, maka bank akan
memberitahukan penolakan klaim kepada ahli waris. Pada tahap ini, bank akan
membuka negosiasi dengan ahli waris mengenai kelanjutan pembayaran cicilan.
Opsi yang mungkin ditawarkan antara lain restrukturisasi kredit atau pengalihan
debitur kepada salah satu ahli waris yang dinilai mampu secara finansial. Jika
tidak tercapai kesepakatan dan ahli waris gagal melanjutkan pembayaran, bank
akan menempuh jalur hukum untuk melakukan eksekusi jaminan Hak Tanggungan
melalui pelelangan umum.
Yurisprudensi Kunci
Yurisprudensi telah memainkan peran penting
dalam menegaskan posisi hukum mengenai peralihan utang KPR kepada ahli waris.
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 84/PUU-XVIII/2020, tertanggal 14 Januari
2021
Putusan ini menjadi tonggak yurisprudensi
fundamental yang mengafirmasi dan memperkuat kerangka hukum yang ada. Dalam
perkara ini, seorang ahli waris bernama Hj. Rosmanindar (Pemohon) mengajukan
uji materiil terhadap Pasal 6 UU Hak Tanggungan.
Duduk Perkara dan Argumentasi Pemohon
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6 UU
Hak Tanggungan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D
ayat (1) tentang kepastian hukum dan Pasal 28G ayat (1) tentang
perlindungan harta benda. Argumentasi utamanya adalah bahwa pasal
tersebut hanya menyebutkan frasa “apabila debitur cidera janji”, tanpa
secara eksplisit mengatur mengenai status dan hak “ahli waris debitur”.
Ketiadaan frasa “ahli waris” ini, menurut Pemohon, menciptakan
kekosongan dan ketidakpastian hukum (legal uncertainty), yang pada
akhirnya merugikan hak konstitusional ahli waris ketika bank melakukan eksekusi
lelang atas objek jaminan.
Pertimbangan Hukum dan Putusan Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan
hukumnya, menolak seluruh dalil Pemohon. Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat
kekosongan hukum (vacuum of law) seperti yang didalilkan. Argumentasi
kunci Mahkamah adalah sebagai berikut:
1.
Tidak Ada Kekosongan Hukum
Mahkamah menegaskan bahwa ketiadaan ketentuan eksplisit
mengenai ahli waris dalam UU Hak Tanggungan bukanlah sebuah kekosongan hukum,
karena sistem hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata telah menyediakan
pengaturannya secara tuntas. (vide halaman 23 Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 84/PUU-XVIII/2020, tertanggal 14 Januari
2021)
2. Harmonisasi dengan
Hukum Waris Perdata
Mahkamah menjelaskan bahwa UU Hak Tanggungan harus dipahami
sebagai bagian dari sistem hukum perdata yang lebih besar. Hukum waris dalam
KUHPerdata (khususnya asas saisine pada Pasal 833) telah secara jelas
mengatur bahwa dengan meninggalnya seseorang, seluruh hak dan kewajibannya,
termasuk utang, secara otomatis beralih kepada para ahli warisnya.
3. Penafsiran Inklusif
atas Istilah “Debitur”
Berdasarkan logika hukum tersebut, Mahkamah berpandangan
bahwa penyebutan kata “debitur” dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan secara inheren
dan otomatis harus ditafsirkan secara luas mencakup pula para ahli waris yang
menggantikan kedudukan hukum debitur yang telah meninggal. (vide halaman
24 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 84/PUU-XVIII/2020,
tertanggal 14 Januari 2021)
4. Tujuan Perlindungan
Kreditur
Mahkamah juga menekankan bahwa Pasal 6 UU Hak Tanggungan
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditur
agar piutangnya dapat terlunasi. Menghilangkan pasal tersebut justru akan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang lebih besar dalam sistem keuangan. (vide
halaman 24 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
84/PUU-XVIII/2020, tertanggal 14 Januari 2021)
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum
tersebut, amar putusan Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan menolak
permohonan Pemohon.
Implikasi Yuridis Putusan
Putusan ini memiliki implikasi yuridis yang
sangat signifikan:
-
Putusan ini secara yudisial mengafirmasi bahwa utang KPR
secara sah beralih kepada ahli waris;
-
Ahli waris menempati posisi hukum yang identik dengan debitur
pewaris dalam kaitannya dengan perjanjian kredit dan hak eksekusi jaminan;
-
Putusan ini menunjukkan kecenderungan kuat peradilan untuk
memprioritaskan kepastian hukum bagi industri perbankan dan stabilitas sistem
keuangan. Beban untuk memahami dan mengelola risiko hukum secara efektif
ditempatkan pada pihak debitur dan para ahli warisnya.
Putusan Pengadilan
Agama Surabaya Nomor 3580/Pdt.G/2018/PA.Sby, tertanggal 26 Desember 2018
Putusan ini memberikan ilustrasi konkret dan
mendetail mengenai sengketa yang timbul ketika mekanisme Asuransi Jiwa Kredit
gagal berfungsi. Amar Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Surabaya
memutuskan sebagai berikut:
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat (bank) untuk Sebagian.
2. Menyatakan sah akad
pembiayaan al Murabahah Nomor 89 tertanggal 18 Oktober 2013.
3. Menyatakan para
Tergugat (ahli waris) telah melakukan cidera janji (wanprestasi) terhadap
Penggugat.
4. Menghukum para
Tergugat untuk membayar utang kepada Penggugat sebesar Rp 112.927.805,-
(seratus dua belas juta sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus lima
rupiah).
5. Menyatakan tidak
menerima gugatan Penggugat selain dan selebihnya.
Para Pihak dan Duduk Perkara
-
Penggugat: PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah Bakti Makmur
Indah.
-
Para Tergugat: Romlah Chotimah (istri) dan enam orang anak
dari almarhum Matayib, selaku para ahli waris.
Duduk Perkara
Almarhum Matayib menandatangani akad
pembiayaan sebesar Rp 100.000.000,- pada 18 Oktober 2013. Sepuluh hari
kemudian, pada 28 Oktober 2013, beliau meninggal dunia. Pihak bank (Penggugat)
menagih sisa utang kepada para ahli waris (Tergugat). Para ahli waris menolak
dengan dalih bahwa pewaris telah membayar premi asuransi jiwa, sehingga utang
seharusnya lunas. Mereka berargumen bahwa kegagalan klaim adalah akibat
kelalaian bank yang tidak menyetorkan premi ke pihak asuransi.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Majelis
Hakim mendasarkan putusannya pada beberapa pertimbangan kunci:
-
Bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, Majelis Hakim
menemukan fakta bahwa klaim asuransi ditolak bukan karena kelalaian bank,
melainkan karena pihak asuransi (Bringin Life Syari'ah) membatalkan kepesertaan
almarhum Matayib. Pembatalan ini didasarkan pada hasil investigasi yang
menemukan bahwa almarhum berada dalam kondisi tidak sehat saat pengajuan,
sebuah fakta material yang tidak diungkapkan (pre-existing condition).
Bank juga terbukti telah mengembalikan premi asuransi tersebut ke rekening
almarhum. (vide halaman 21-22 Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor
3580/Pdt.G/2018/PA.Sby, tertanggal 26 Desember 2018)
-
Karena asuransi tidak dapat menanggung utang, maka kewajiban
pelunasan kembali kepada boedel warisan. Majelis Hakim merujuk pada Pasal
175 ayat (1) huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, yang secara tegas menyatakan
bahwa salah satu kewajiban ahli waris adalah menyelesaikan utang-utang pewaris.
(vide halaman 22 Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor
3580/Pdt.G/2018/PA.Sby, tertanggal 26 Desember 2018)
-
Dengan tidak dilanjutkannya pembayaran cicilan oleh para ahli
waris setelah pewaris meninggal dan setelah klaim asuransi gagal, maka para
ahli waris secara hukum telah melakukan cidera janji (wanprestasi). (vide halaman
22 Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 3580/Pdt.G/2018/PA.Sby, tertanggal
26 Desember 2018)
-
Majelis Hakim menolak tuntutan bank atas “biaya akibat
wanprestasi” sebesar Rp 99.658.200,-. Alasannya adalah karena pihak bank dalam
gugatannya tidak memerinci secara jelas dasar dan komponen dari tuntutan
tersebut, sehingga tuntutan itu dianggap tidak dapat diterima. (vide halaman
24-25 Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 3580/Pdt.G/2018/PA.Sby,
tertanggal 26 Desember 2018)
Putusan ini menjadi contoh nyata bagaimana
prinsip hukum waris diterapkan secara tegas ketika instrumen mitigasi risiko
(asuransi) tidak dapat dieksekusi, dan tanggung jawab akhir kembali kepada para
ahli waris.
Jawaban Definitif
Berdasarkan seluruh uraian di atas, jawaban
atas pertanyaan “Apakah utang KPR debitur hapus jika ia meninggal dunia?”
adalah TIDAK. Utang KPR tidak secara otomatis hapus atau lunas dengan
meninggalnya debitur. Status penyelesaian utang tersebut akan jatuh pada salah
satu dari tiga skenario utama berikut:
1.
Utang Dianggap Lunas oleh Pihak Ketiga (Asuransi)
Ini adalah skenario ideal di mana fasilitas KPR dilindungi
oleh Asuransi Jiwa Kredit yang valid dan aktif. Jika klaim disetujui,
perusahaan asuransi akan melunasi sisa utang kepada bank, membebaskan ahli
waris dari kewajiban, dan membebaskan properti dari Hak Tanggungan;
2. Utang Beralih kepada
Ahli Waris
Ini adalah skenario yang berlaku berdasarkan hukum perdata
jika tidak ada Asuransi Jiwa Kredit, atau jika klaim asuransi ditolak.
Berdasarkan asas saisine (vide Pasal 833 KUH Perdata)
dan kewajiban memikul utang (vide Pasal 1100 KUH Perdata),
sisa utang KPR menjadi tanggung jawab para ahli waris. Tingkat tanggung jawab
mereka (terbatas pada harta warisan atau hingga harta pribadi) bergantung pada
pilihan hukum yang mereka ambil (beneficiaire aanvaarding atau zuivere
aanvaarding);
3. Utang Dihapuskan
(secara Praktis) dengan Eksekusi Jaminan
Skenario ini terjadi jika ahli waris secara kolektif menolak
warisan (verwerping). Dalam hal ini, tidak ada lagi subjek hukum yang
bertanggung jawab atas utang tersebut. Namun, bank sebagai kreditur preferen
tetap berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya melalui penjualan lelang atas
objek jaminan (rumah KPR) sesuai dengan UU Hak Tanggungan. Jika hasil lelang
melebihi sisa utang, kelebihannya menjadi hak negara; jika kurang, bank
menanggung kerugian sisa piutang tersebut.
Keadilan bagi Ahli Waris vs. Kepastian Hukum bagi Bank
Kerangka hukum yang ada saat ini secara
efektif memberikan tingkat kepastian hukum yang tinggi bagi lembaga perbankan.
Mekanisme Hak Tanggungan yang kuat, ditambah dengan penegasan dari
yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, memastikan bahwa risiko kredit dapat
dikelola dengan baik. Namun, sistem ini juga mengekspos kerentanan pada sisi
konsumen, khususnya para ahli waris. Seringkali, mereka berada dalam posisi
yang tidak menguntungkan, secara emosional sedang berduka, dan secara
informasional tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai kompleksitas hukum
waris, jaminan, dan asuransi. KUH Perdata, sebagai produk hukum yang berusia
lebih dari satu setengah abad, mungkin belum sepenuhnya adaptif untuk
melindungi konsumen dalam menghadapi produk keuangan modern yang rumit dan
berlapis.
Potensi Reformasi Hukum dan Kebijakan
Untuk menciptakan keseimbangan yang lebih
baik antara perlindungan kreditur dan keadilan bagi konsumen, beberapa
reformasi kebijakan dapat dipertimbangkan:
1.
Mengingat KPR adalah komitmen finansial jangka panjang dengan
nilai yang signifikan, regulator dapat mempertimbangkan untuk menjadikan
Asuransi Jiwa Kredit sebagai komponen yang wajib (mandatory) untuk
setiap fasilitas KPR, bukan lagi opsional. Hal ini akan memberikan lapisan
perlindungan dasar bagi semua debitur dan ahli warisnya, serta mengurangi
potensi sengketa di kemudian hari;
2. Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dapat mendorong standardisasi klausul-klausul krusial dalam
polis Asuransi Jiwa Kredit, terutama terkait pengecualian dan masa tunggu.
Selain itu, perlu diwajibkan bagi bank untuk menyediakan Ringkasan Informasi
Produk dan Layanan (RIPLAY) yang sangat sederhana dan mudah dipahami, yang
secara eksplisit menjelaskan skenario jika debitur meninggal dan
kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan klaim ditolak;
3. Perbankan dan
regulator memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan literasi hukum konsumen.
Saat akad kredit, bank seharusnya tidak hanya menjelaskan tentang cicilan dan
bunga, tetapi juga secara khusus memberikan edukasi mengenai konsekuensi hukum
waris atas utang KPR dan pentingnya kejujuran dalam pengisian data asuransi.
Kesimpulan
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa
meninggalnya debitur KPR adalah sebuah peristiwa hukum yang kompleks, di mana
penyelesaiannya bergantung pada interaksi dinamis antara hukum perjanjian,
hukum jaminan, hukum waris, dan hukum asuransi. Kerangka hukum yang berlaku di
Indonesia secara tegas menyatakan bahwa utang tidak hapus karena kematian,
melainkan beralih kepada ahli waris.
Meskipun Asuransi Jiwa Kredit hadir sebagai
solusi utama, efektivitasnya sangat bergantung pada terpenuhinya syarat-syarat
dalam polis. Sementara kepastian hukum bagi kreditur telah terjamin dengan
kokoh, masih terdapat ruang yang signifikan untuk perbaikan dalam aspek
perlindungan konsumen guna memastikan bahwa duka yang dialami oleh sebuah
keluarga tidak diperparah oleh beban utang warisan yang tak terduga.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang
ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan
melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.


