Pertanyaan
Selamat malam bang Eka, jadi
begini bang...
Ayah saya baru saja meninggal
dunia bulan lalu. Selain meninggalkan duka, ternyata almarhum juga meninggalkan
cicilan kredit mobil yang belum lunas di salah satu bank. Kami sekeluarga,
sebagai ahli waris, sekarang jadi bingung dan khawatir, bang. Kami sama sekali
awam soal hukum beginian. Makanya saya memberanikan diri menghubungi abang
untuk minta pencerahan. Ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran kami, bang:
1.
Pertama dan yang paling utama, apakah dengan
meninggalnya ayah saya sebagai debitur, sisa utang kredit mobilnya itu otomatis
dianggap lunas, bang? Atau mungkin ada kebijakan seperti “pemutihan” dari bank
dalam kondisi seperti ini?.
2.
Kalau ternyata utangnya tidak lunas, apakah itu
berarti kami sebagai anak-anaknya yang secara hukum wajib menanggung dan
melanjutkan sisa cicilan tersebut? Bagaimana sebenarnya kedudukan kami sebagai
ahli waris terhadap utang pewaris menurut hukum perdata? Kami takut ini jadi
membebani keuangan kami pribadi.
3.
Kami sudah coba periksa dokumen-dokumen
perjanjian kredit ayah saya, dan sepertinya tidak ada polis asuransi jiwa yang
dikaitkan dengan kredit tersebut. Nah, dalam situasi tanpa asuransi seperti
ini, apa saja langkah-langkah konkret yang harus kami lakukan? Apa kami harus
langsung datang ke bank? Dokumen apa saja yang perlu kami siapkan?
4.
Jujur saja, kami mungkin akan kesulitan jika
harus melanjutkan cicilan bulanan ayah saya. Kalau seandainya kami tidak mampu
bayar dan terjadi wanprestasi, apa konsekuensi hukumnya bagi kami? Di dalam
perjanjiannya tertulis bahwa mobil tersebut dijaminkan dengan jaminan fidusia.
Apakah pihak bank bisa langsung datang dan menarik paksa mobil tersebut dari
rumah kami?
5.
Terakhir, secara ringkas, apa saja sebenarnya
hak dan kewajiban kami sebagai ahli waris dalam menghadapi situasi utang
pewaris ini? Apa kami bisa menolak warisan agar tidak menanggung utang?
Mohon maaf ya bang jadi banyak
sekali pertanyaannya. Kami benar-benar butuh pencerahan hukum yang jelas agar
tidak salah langkah. Terima kasih banyak atas waktu dan bantuannya, bang Eka.
Jawaban
Pengantar
Baik, terima kasih atas
pertanyaan-pertanyaan Anda. Jadi begini, mari kita urai satu per satu
kekhawatiran yang Anda dan keluarga hadapi.
Menjawab pertanyaan pertama Anda, pada
prinsipnya secara hukum utang tidak otomatis lunas atau diputihkan hanya karena
debitur meninggal dunia. Prinsipnya, kematian tidak menghapus perikatan
utang piutang yang telah dibuat semasa hidup.
Ini membawa kita ke pertanyaan
kedua, dan ya, kewajiban untuk melunasi utang tersebut secara hukum beralih
kepada Anda dan keluarga sebagai ahli waris. Namun, jangan khawatir,
tanggung jawab ini tidaklah tak terbatas. Pada dasarnya, Anda hanya
bertanggung jawab sebatas nilai harta warisan yang ditinggalkan oleh almarhum,
bukan dengan harta pribadi Anda, kecuali Anda secara sadar memilih untuk
menerima warisan secara penuh tanpa syarat.
Karena kredit almarhum tidak
dilindungi asuransi jiwa, langkah yang harus Anda tempuh adalah proaktif.
Segera laporkan kematian ayah Anda kepada pihak bank dan mulailah berdiskusi
untuk mencari solusi terbaik. Opsi seperti restrukturisasi kredit
(memperpanjang tenor agar cicilan lebih ringan) bisa diajukan.
Lalu, bagaimana apabila Anda tidak
mampu bayar? Ini memang akan masuk ke dalam kategori wanprestasi (cidera
janji). Namun, terkait jaminan fidusia (mobil), pihak bank tidak bisa
serta-merta datang dan menarik paksa kendaraan tersebut. Sejak adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi, eksekusi paksa harus melalui kesepakatan antara Anda
dengan pihak bank, atau jika tidak ada kesepakatan, harus melalui proses
permohonan di pengadilan.
Mengenai kasus serupa, sudah
banyak putusan pengadilan, termasuk di tingkat Mahkamah Agung, yang menguatkan
prinsip bahwa ahli waris memang menanggung utang pewaris. Dan terakhir,
menjawab pertanyaan Anda mengenai hak, hukum memberikan Anda pilihan.
Anda memiliki hak untuk menolak warisan jika ternyata beban utangnya lebih
besar dari aset yang ditinggalkan. Dengan menolak warisan, Anda akan
terbebas sepenuhnya dari kewajiban melunasi utang tersebut.
Untuk memahami semua ini secara
mendalam, mari kita bedah Bersama.
Definisi Kredit, Kreditur, dan Debitur
Untuk memahami persoalan hukum
yang timbul, esensial untuk terlebih dahulu merumuskan definisi yuridis dari
terminologi-terminologi kunci. Landasan utama definisi kredit dalam konteks
perbankan diatur dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disebut dengan “UU
Perbankan”. Pasal tersebut menyatakan:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”.
Definisi ini menggarisbawahi empat
elemen esensial, antara lain:
(1) adanya
penyediaan uang atau tagihan;
(2) didasarkan
pada perjanjian pinjam-meminjam;
(3) adanya
kewajiban pelunasan dalam jangka waktu tertentu; dan
(4) disertai
imbalan berupa bunga.
Selanjutnya, para pihak dalam
perjanjian ini, yaitu kreditur dan debitur, didefinisikan secara tegas dalam
konteks penegakan hukum oleh Pasal 1 Angka 2 dan Angka 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disebut “UU
Kepailitan dan PKPU”.
Kreditur adalah “orang
yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih
di muka pengadilan”, sedangkan Debitur adalah “orang yang
mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat
ditagih di muka pengadilan”.
Pemilihan definisi dari
undang-undang ini bukan tanpa alasan. Frasa “dapat ditagih di muka
pengadilan” secara inheren membingkai hubungan kreditur-debitur bukan
sekadar sebagai relasi kontraktual privat, melainkan sebagai status hukum yang
memberikan hak fundamental kepada kreditur untuk menempuh jalur litigasi demi
menuntut pemenuhan prestasi. Kerangka ini menjadi titik pijak utama dalam
memahami hak bank untuk melakukan penagihan, bahkan ketika debitur telah
meninggal dunia.
Tujuan dan Jenis-Jenis Kredit Perbankan
Secara fungsional, kredit
bertujuan menyalurkan dana dari pihak yang memiliki kelebihan likuiditas kepada
masyarakat yang membutuhkannya untuk berbagai tujuan, baik produktif maupun
konsumtif.
Bagi dunia usaha, kredit berfungsi
sebagai modal untuk investasi dan operasional, sementara bagi individu, kredit
memfasilitasi pemenuhan kebutuhan seperti kepemilikan rumah, kendaraan, atau
biaya pendidikan.
Dalam praktiknya, perbankan di
Indonesia menawarkan beragam jenis produk kredit yang dapat diklasifikasikan
berdasarkan tujuannya, antara lain:
1.
Kredit Investasi
Kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan
kepada pelaku usaha untuk membiayai pengadaan barang modal dalam rangka
rehabilitasi, modernisasi, ekspansi, atau pendirian proyek baru;
2.
Kredit Modal Kerja
Kredit yang digunakan untuk membiayai kebutuhan
operasional sehari-hari suatu perusahaan, seperti pembelian bahan baku,
pembayaran gaji, dan biaya produksi lainnya;
3.
Kredit Konsumtif
Kredit yang ditujukan untuk membiayai kebutuhan
pribadi atau rumah tangga yang tidak bersifat produktif. Contoh paling umum
adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), dan
Kredit Tanpa Agunan (KTA);
4.
Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Program kredit bersubsidi dari pemerintah yang
disalurkan melalui lembaga perbankan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) untuk memperkuat permodalan usaha.
Keragaman jenis kredit ini
menunjukkan betapa luasnya spektrum masyarakat yang terikat dalam perjanjian
kredit, sehingga implikasi hukum dari meninggalnya debitur menjadi isu yang
relevan bagi berbagai kalangan.
Prinsip Peralihan Hak dan Kewajiban Akibat Kematian dalam Hukum Perdata
Dalam sistem hukum perdata
Indonesia, peristiwa kematian adalah titik awal dari berlakunya hukum waris.
Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang selanjutnya disebut “KUH Perdata”, yang menyatakan bahwa,
“Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
KUH Perdata tidak
memberikan definisi klinis mengenai kematian, namun akibat hukumnya sangat
jelas yaitu status seseorang sebagai penyandang hak dan kewajiban (subjek
hukum) berakhir. Dengan berakhirnya status tersebut, seluruh harta
kekayaan yang dimilikinya, baik yang berwujud hak (aktiva) maupun
kewajiban (pasiva), beralih kepada para penerusnya yang sah.
Prinsip Saisine dan Konsekuensi Hukumnya
Mekanisme peralihan harta kekayaan
tersebut diatur oleh sebuah adagium fundamental dalam hukum waris, yaitu Le
Mort Saisit Le Vif, yang berarti “orang yang mati merenggut orang yang
hidup untuk melanjutkan kedudukannya”. Prinsip yang dikenal sebagai asas saisine
ini diadopsi secara penuh dalam Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata,
yang berbunyi:
“Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang
meninggal”.
Konsekuensi dari asas ini bersifat
absolut dan seketika. Pada saat seorang debitur menghembuskan
napas terakhir, pada detik itu pula seluruh hak dan kewajibannya, termasuk
utang kepada bank, secara otomatis dan demi hukum (van rechtswege)
beralih kepada para ahli warisnya.
Peralihan ini terjadi tanpa
memerlukan adanya tindakan hukum terlebih dahulu, seperti penetapan pengadilan
atau akta penyerahan. Para ahli waris secara langsung menempati posisi hukum
dan keuangan yang ditinggalkan oleh pewaris. Rangkaian kausalitas hukum ini
tidak dapat dihindari bahwa kematian menjadi pemicu, asas saisine
menjadi mekanismenya, dan peralihan seluruh boedel (harta peninggalan,
termasuk utang) menjadi konsekuensinya.
Prinsip ini menjamin tidak adanya
kekosongan hukum (rechtsvacuum) atas kepemilikan aset dan
pertanggungjawaban liabilitas, suatu hal yang krusial bagi stabilitas ekonomi
dan kepastian dalam lalu lintas hukum, khususnya dalam industri kredit.
Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Utang Pewaris
Setelah utang beralih kepada ahli
waris melalui mekanisme saisine, pertanyaan selanjutnya adalah mengenai
batasan tanggung jawab mereka. Pasal 1100 KUH Perdata
memberikan jawaban atas hal ini dengan menyatakan:
“Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan,
harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain,
seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu”.
Pasal ini menegaskan bahwa
tanggung jawab para ahli waris bersifat seimbang (pro rata) dengan
bagian warisan yang mereka terima. Lebih penting lagi, tanggung jawab ini
pada dasarnya tidak tak terbatas. Ahli waris tidak diwajibkan untuk melunasi
utang pewaris dengan menggunakan harta kekayaan pribadinya apabila jumlah utang
tersebut melebihi nilai aset warisan yang diterima. Prinsip ini memberikan
jaring pengaman hukum yang signifikan bagi para ahli waris.
Hak dan Sikap Ahli Waris Terhadap Warisan
Meskipun peralihan utang terjadi
secara otomatis, hukum memberikan keleluasaan kepada ahli waris untuk
menentukan sikapnya terhadap warisan yang jatuh kepadanya, yang mana pilihan
sikap ini akan menentukan lingkup akhir dari tanggung jawab mereka. Terdapat
tiga opsi yang dapat ditempuh, antara lain:
1.
Menerima Penuh (zuivere aanvaarding)
Ahli waris menerima warisan secara tanpa syarat.
Konsekuensinya, terjadi percampuran antara harta peninggalan dengan harta
pribadi ahli waris. Jika utang pewaris melebihi aset warisan, ahli waris wajib
melunasinya dengan harta pribadinya;
2.
Menerima dengan Hak Istimewa Pencatatan Harta
Peninggalan (beneficiaire aanvaarding)
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1023 KUH Perdata,
ahli waris dapat menerima warisan dengan syarat dilakukannya pencatatan
(inventarisasi) seluruh harta peninggalan. Dengan opsi ini, ahli waris hanya
bertanggung jawab atas pelunasan utang pewaris sebatas nilai aset warisan yang
tercatat. Harta pribadi ahli waris sepenuhnya terlindungi;
3.
Menolak Warisan (verwerping)
Berdasarkan Pasal 1045 KUH Perdata,
seorang ahli waris berhak untuk menolak warisan yang jatuh kepadanya. Penolakan
ini harus dilakukan melalui pernyataan di kepaniteraan pengadilan negeri.
Dengan menolak warisan, ahli waris tersebut dianggap tidak pernah menjadi ahli
waris dan terbebas sepenuhnya dari segala kewajiban untuk melunasi utang
pewaris.
Pilihan yang diambil oleh ahli
waris merupakan sebuah tindakan hukum pivotal yang secara langsung
mendefinisikan posisi dan tanggung jawab mereka terhadap kreditur.
Pembedaan antara Berakhirnya Perjanjian dan Berlanjutnya Perikatan
Sebuah nuansa hukum yang penting
untuk dipahami adalah perbedaan antara perjanjian (overeenkomst)
dan perikatan (verbintenis). Perjanjian kredit,
sebagai suatu kontrak yang dibuat antara bank dengan debitur secara pribadi,
dapat dianggap berakhir dengan meninggalnya debitur karena salah satu pihak
dalam perjanjian tersebut telah tiada.
Namun, berakhirnya perjanjian
tidak serta-merta menghapuskan perikatan yang lahir darinya. Perikatan
untuk melunasi utang, yang merupakan suatu kewajiban hukum berdasarkan Buku
III KUH Perdata, adalah bagian dari harta kekayaan (passiva)
pewaris yang dapat diwariskan. Oleh karena itu, meskipun subjek hukum debitur
telah tiada, kewajiban hukumnya (perikatan) tetap hidup dan beralih kepada ahli
waris melalui asas saisine.
Penyelesaian Utang dengan Mekanisme Asuransi Jiwa Kredit
Dalam praktik perbankan modern,
mekanisme utama untuk mengalokasikan dan memitigasi risiko meninggalnya debitur
adalah melalui asuransi jiwa kredit. Instrumen ini secara spesifik diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2023
tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah
dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah, selanjutnya disebut
dengan “POJK 20/2023”.
Berdasarkan Pasal 10 POJK
20/2023, perusahaan asuransi jiwa dapat memasarkan produk Asuransi
Jiwa Kredit. Fungsi utama dari produk ini adalah untuk memberikan
pertanggungan atas risiko meninggalnya debitur, di mana perusahaan asuransi
(penanggung) akan mengambil alih kewajiban pelunasan sisa utang debitur kepada
bank (kreditur).
Kehadiran asuransi ini secara
efektif memindahkan risiko finansial dari yang semula berada di pundak ahli
waris dan bank, ke pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi. Dalam perjanjian
asuransi jiwa kredit, umumnya dicantumkan klausul banker’s clause, yang
menunjuk bank sebagai penerima manfaat (beneficiary). Klausul ini
memastikan bahwa uang pertanggungan dibayarkan langsung kepada bank untuk
melunasi sisa utang, bukan kepada ahli waris, sehingga memberikan kepastian
pelunasan bagi kreditur.
Penyelesaian Utang Tanpa Asuransi Jiwa Kredit
Apabila perjanjian kredit tidak
dilindungi oleh asuransi jiwa, maka penyelesaian utang kembali pada
prinsip-prinsip hukum waris dalam KUH Perdata. Penting untuk
ditegaskan bahwa dalam hukum positif Indonesia, tidak dikenal adanya istilah “pemutihan”
atau penghapusan utang secara otomatis hanya karena debitur meninggal dunia.
Kewajiban pelunasan sisa utang secara hukum beralih kepada para ahli waris yang
menerima warisan.
Dalam situasi ini, langkah-langkah
yang harus ditempuh oleh ahli waris adalah:
1.
Melaporkan Kematian kepada Bank
Ahli waris harus segera memberitahukan pihak bank
mengenai meninggalnya debitur dengan menyertakan dokumen pendukung seperti
surat keterangan kematian dan surat keterangan ahli waris;
2.
Verifikasi Sisa Utang
Mengonfirmasi jumlah sisa pokok utang, tunggakan
bunga, dan denda (jika ada) kepada pihak bank;
3.
Negosiasi Penyelesaian
Apabila ahli waris berniat baik untuk melunasi utang
namun menghadapi kesulitan finansial, mereka dapat mengajukan permohonan
restrukturisasi kredit kepada bank. Opsi restrukturisasi dapat berupa
perpanjangan jangka waktu (tenor), penundaan pembayaran sebagian pokok, atau
bentuk keringanan lain sesuai kebijakan bank.
Pada intinya, ketiadaan asuransi
tidak menghapuskan utang, melainkan mengembalikan alokasi risiko kepada para
pihak sesuai ketentuan hukum perdata, yaitu bank menanggung risiko kredit
macet dan ahli waris menanggung risiko kehilangan harta warisan untuk
melunasi utang.
Wanprestasi Ahli Waris dalam Konteks Perjanjian Kredit
Ketika ahli waris telah menerima
warisan dan dengan demikian mewarisi pula kewajiban pembayaran angsuran kredit,
kegagalan mereka untuk memenuhi kewajiban tersebut sesuai jadwal yang
diperjanjikan merupakan suatu bentuk wanprestasi (cidera janji).
Sebagaimana diatur secara umum
dalam Pasal 1243 KUH Perdata, wanprestasi memberikan hak kepada
kreditur untuk menuntut pemenuhan perikatan, ganti rugi, atau pembatalan
perjanjian. Dalam konteks kredit perbankan, wanprestasi oleh ahli waris
memberikan hak kepada bank untuk menagih pelunasan seluruh sisa utang secara
seketika dan sekaligus, serta melakukan eksekusi terhadap agunan yang
dijaminkan.
Fokus Khusus: Jaminan Fidusia dan Penyelesaiannya
Banyak perjanjian kredit
konsumtif, seperti kredit kendaraan bermotor, dijamin dengan Jaminan Fidusia.
Lembaga jaminan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, selanjutnya disebut dengan “UU
Jaminan Fidusia”. Karakteristik utama dari jaminan fidusia adalah bahwa
sertifikat jaminannya memiliki kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Hal ini memberikan kreditur hak untuk melakukan eksekusi langsung (parate
executie) terhadap objek jaminan apabila debitur (atau ahli warisnya)
melakukan wanprestasi.
Prosedur Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Praktik eksekusi jaminan fidusia
mengalami perubahan paradigma yang signifikan pasca lahirnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/2019. Putusan
ini memberikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 15 UU
Jaminan Fidusia. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa kekuatan
eksekutorial pada sertifikat jaminan fidusia tidak dapat lagi diartikan sebagai
kewenangan kreditur untuk melakukan eksekusi secara sepihak dan paksa tanpa
melalui mekanisme hukum.
Putusan tersebut menandai
pergeseran penting dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, dari model
yang cenderung berpihak pada kreditur menuju keseimbangan yang lebih adil
dengan melindungi hak-hak debitur atas proses hukum yang semestinya (due
process of law). Akibatnya, prosedur eksekusi jaminan fidusia kini terbagi
menjadi dua jalur yang sah:
1.
Eksekusi Sukarela, eksekusi dapat dilakukan
secara langsung oleh kreditur apabila ahli waris sebagai debitur pengganti
mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan;
2.
Eksekusi Melalui Pengadilan, apabila tidak ada
kesepakatan mengenai wanprestasi atau ahli waris menolak untuk menyerahkan
objek jaminan secara sukarela, maka kreditur tidak boleh melakukan penarikan
paksa. Satu-satunya jalan hukum yang sah adalah mengajukan permohonan eksekusi
kepada ketua pengadilan negeri. Proses ini akan berjalan sesuai dengan tata
cara eksekusi putusan perdata biasa, yang dapat berujung pada penyitaan dan
pelelangan objek jaminan di bawah pengawasan pengadilan.
Perubahan ini memaksa lembaga
pembiayaan untuk merevisi prosedur operasional standar mereka, dengan lebih
mengedepankan negosiasi atau menempuh jalur litigasi yang formal ketimbang
tindakan eksekusi sepihak.
Yurisprudensi Mahkamah Agung
Yurisprudensi, atau putusan hakim
terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim lain dalam perkara serupa, memegang
peranan penting dalam memberikan penafsiran dan kepastian atas norma hukum yang
abstrak. Dalam konteks tanggung jawab ahli waris atas utang pewaris, beberapa
putusan Mahkamah Agung telah memberikan penegasan yang kuat.
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3297 K/Pdt/2022
Salah satu putusan relevan yang
mengafirmasi prinsip-prinsip yang telah dibahas adalah Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 3297 K/Pdt/2022, tertanggal 26 Oktober
2022., yang mana dalam amar putusannya menyatakan:
ME
N G A D I L I:
1.
Menolak
permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. SOH LIE, 2. HENDRY
WELSON, 3. DESY CHRISTINA, 4. TOMY FERNANDO SOH LIE tersebut;
2. Menghukum
Para Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Para Pihak dan Duduk Perkara
Perkara ini melibatkan PT Batam
Cahaya Asia sebagai Penggugat (kreditur) melawan empat orang individu (Soh Lie,
Hendry Welson, Desy Christina, dan Tomy Fernando) sebagai Para Tergugat (ahli
waris). Almarhum pewaris dari Para Tergugat memiliki utang kepada Penggugat
berdasarkan perjanjian utang piutang. Setelah pewaris meninggal dunia,
Penggugat menagih pelunasan kepada Para Tergugat selaku ahli waris, namun tidak
dipenuhi, sehingga Penggugat mengajukan gugatan wanprestasi.
Pertimbangan Hukum Majelis Kasasi
(Ratio Decidendi)
Dalam pertimbangannya, Majelis
Hakim Kasasi menyatakan bahwa pengadilan di tingkat sebelumnya (Judex Facti)
tidak salah dalam menerapkan hukum. Mahkamah Agung menegaskan bahwa
pertimbangan Pengadilan Tinggi yang menyatakan ahli waris bertanggung jawab
atas utang-utang pewaris adalah pertimbangan yang berdasarkan hukum. Hal
ini didasarkan pada sistem hukum perdata, di mana para ahli waris yang bersedia
menerima warisan tidak saja menerima piutang, tetapi juga wajib memikul
utang-utang atau beban-beban lain dari almarhum pewaris, sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 1100 KUH Perdata.
Putusan ini menjadi preseden
yudisial yang sangat penting. Ia berfungsi sebagai penegasan dari lembaga
peradilan tertinggi di Indonesia atas penerapan asas saisine dan Pasal
1100 KUH Perdata dalam konteks utang piutang modern. Putusan ini
memberikan kepastian hukum yang kokoh bagi para kreditur bahwa meninggalnya
debitur tidak menghilangkan hak tagih mereka, sekaligus menjadi pengingat yang
jelas bagi masyarakat mengenai tanggung jawab hukum yang melekat pada status
sebagai ahli waris.
Putusan ini menjembatani teori
hukum perdata yang telah berusia ratusan tahun dengan praktik keuangan
kontemporer, memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar hukum tetap relevan dan
dapat ditegakkan.
Simpulan
Berdasarkan analisis yuridis yang
telah kami uraikan di atas, dapat ditarik beberapa simpulan fundamental
mengenai status hukum kredit bank apabila debitur meninggal dunia:
1.
Kematian debitur tidak menghapuskan utang.
Berdasarkan asas saisine dalam Pasal 833 KUHPerdata, perikatan untuk
melunasi sisa utang secara otomatis dan demi hukum beralih kepada para ahli
warisnya;
2.
Asuransi jiwa kredit merupakan mekanisme
mitigasi risiko yang paling efektif. Keberadaannya memastikan pelunasan utang
oleh perusahaan asuransi, sehingga melindungi kepentingan kreditur dan
membebaskan ahli waris dari beban finansial;
3.
Tanpa adanya asuransi, ahli waris yang menerima
warisan secara hukum wajib bertanggung jawab atas pelunasan utang pewaris.
Namun, tanggung jawab ini pada umumnya terbatas hingga sebesar nilai aset
warisan yang diterima, terutama jika ahli waris memilih untuk menerima warisan
dengan hak istimewa. Tidak ada dasar hukum untuk penghapusan utang secara
otomatis;
4.
Wanprestasi yang dilakukan oleh ahli waris dalam
melanjutkan pembayaran angsuran memberikan hak kepada bank untuk menagih
pelunasan dan mengeksekusi barang jaminan, dengan tetap tunduk pada prosedur
hukum yang berlaku, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan
adanya kesepakatan atau putusan pengadilan untuk eksekusi jaminan fidusia.
Rekomendasi
Untuk menciptakan kepastian hukum
dan keadilan bagi semua pihak, beberapa langkah dapat direkomendasikan:
-
Bagi Kreditur (Bank)
Dianjurkan untuk
menjadikan asuransi jiwa kredit sebagai bagian dari paket standar, terutama
untuk kredit dengan nilai signifikan atau jangka waktu panjang. Selain itu,
bank perlu mengembangkan prosedur internal yang jelas, empatik, dan sesuai
hukum dalam berkomunikasi serta menangani klaim atau penagihan kepada keluarga
debitur yang meninggal dunia;
-
Bagi Debitur
Calon debitur
hendaknya memiliki kesadaran untuk melindungi ahli warisnya dari potensi beban
utang di masa depan dengan cara mengikutsertakan fasilitas kreditnya dalam
program asuransi jiwa kredit. Transparansi mengenai kewajiban finansial kepada
keluarga juga merupakan langkah bijaksana;
-
Bagi Ahli Waris
Setelah pewaris
meninggal dunia, ahli waris harus bersikap proaktif. Langkah pertama adalah
segera mengidentifikasi seluruh aset dan kewajiban pewaris, memahami opsi hukum
yang tersedia (menerima, menerima bersyarat, atau menolak warisan), dan
secepatnya membuka komunikasi dengan pihak bank untuk mencari solusi
penyelesaian yang terbaik.
Bahwa pada akhirnya, hubungan
kredit adalah hubungan kepercayaan yang dibangun di atas prinsip Pacta Sunt
Servanda, bahwa setiap perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi para
pembuatnya. Hukum waris memastikan bahwa ruh dari prinsip ini tetap terjaga
melampaui batas kehidupan para pihak, di mana ahli waris mewarisi tidak hanya
hak, tetapi juga kehormatan untuk menunaikan kewajiban yang ditinggalkan,
sesuai dengan adagium Nemo plus iuris ad alium transferre potest quam ipse
habet yaitu tidak seorang pun dapat mengalihkan hak (dan kewajiban)
lebih dari yang ia miliki.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


