layananhukum

Begini Ketentuan Hukum tentang Waralaba yang Wajib Kamu Ketahui


Pengantar

Sektor waralaba, atau yang secara global lebih dikenal sebagai franchise, telah menjelma menjadi salah satu pilar fundamental dalam dinamika perekonomian Indonesia. Model bisnis ini terbukti menjadi akselerator pertumbuhan kewirausahaan, memungkinkan ekspansi merek secara masif sekaligus membuka peluang bagi para pelaku usaha, termasuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), untuk berpartisipasi dalam ekosistem bisnis yang telah teruji.

Namun, di balik potensi keuntungan dan pertumbuhan yang signifikan, terdapat suatu struktur hukum yang kompleks dan fundamental. Keberhasilan dan keberlanjutan suatu sistem waralaba tidak hanya bergantung pada kekuatan merek atau keunggulan produk, melainkan sangat ditopang oleh kerangka regulasi yang solid, prediktabel, dan adil. Tanpa landasan yuridis yang kuat, hubungan antara pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee) rentan terhadap ambiguitas, sengketa, dan kegagalan.

Memahami urgensi tersebut, Pemerintah Republik Indonesia baru-baru ini melakukan sebuah langkah reformasi regulasi yang signifikan dengan mengundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba, yang selanjutnya disebut dengan “PP 35/2024”.

Peraturan ini secara resmi berlaku sejak tanggal 2 September 2024 dan mencabut keberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 yang sebelumnya menjadi rujukan utama. Penerbitan PP 35/2024 bukanlah sekadar pembaruan teknis, melainkan menandai sebuah pergeseran paradigma dalam cara negara memandang dan mengatur industri waralaba.

Regulasi baru ini merefleksikan sebuah kebijakan yang lebih terarah pada upaya formalisasi, peningkatan standar, dan yang terpenting, penguatan perlindungan hukum bagi para pihak, terutama bagi investor yang sering kali berada pada posisi yang lebih rentan, termasuk para Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).  

Apabila kerangka regulasi sebelumnya dianggap lebih terfragmentasi, terdiri dari Peraturan Pemerintah yang diikuti oleh berbagai Peraturan Menteri yang terkadang tumpang tindih, PP 35/2024 hadir untuk memberikan kodifikasi yang lebih komprehensif dan kepastian hukum yang lebih tinggi. 

Diperkenalkannya sejumlah persyaratan yang lebih ketat, seperti kewajiban memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) tertulis dan bukti profitabilitas usaha melalui laporan keuangan yang telah diaudit selama dua tahun berturut-turut, menunjukkan intensi pemerintah untuk menyaring dan memastikan bahwa hanya sistem bisnis yang benar-benar matang, teruji, dan berkelanjutan yang dapat ditawarkan sebagai waralaba.

Pendekatan proaktif dan protektif ini menjadi elemen sentral yang membedakan era baru regulasi waralaba di Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap setiap ketentuan dalam PP 35/2024, mulai dari definisi yuridis, kriteria wajib, muatan perjanjian, hingga prosedur pendaftaran, bukan lagi sekadar anjuran, melainkan sebuah prasyarat mutlak bagi siapa pun yang hendak terlibat dalam ekosistem bisnis waralaba di Indonesia. Artikel ini akan mengupas secara tuntas dan analitis setiap aspek hukum krusial tersebut untuk memberikan panduan yang komprehensif dan otoritatif.  

Definisi dan Hakikat Waralaba: Dari Etimologi hingga Formulasi Yuridis

Untuk dapat memahami kerangka hukum waralaba secara utuh, langkah pertama yang fundamental adalah membedah definisi dan hakikat dari waralaba itu sendiri.

Waralaba merupakan terjemahan dari kata franchise. Secara etimologi waralaba berasal dari kata wara berarti lebih dan laba berarti untung sehingga waralaba berarti lebih untung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, waralaba mengandung arti kerja sama dalam bidang usaha dengan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, hak kelola/hak pemasaran.[1]

Istilah ini merupakan padanan dari terminologi yang berasal dari Bahasa Prancis kuno “frane de servitude” yang berarti bebas dari perbudakan atau hambatan, yang kemudian berevolusi menjadi hak atau keistimewaan untuk melakukan kegiatan komersial tertentu.

Pemahaman waralaba tidak hanya berdasar etimologi semata, akan tetapi dapat dijelaskan secara komprehensif sebagaimana pendapat Kristie Lorette, Penasihat bisnis waralaba di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa waralaba adalah:

A business system in which private entrepreneurs purchase the rights to open and run a location of a larger company. The franchising company, or franchisor, signs a contractual agreement with the franchisee, explaining in detail the company's rules for operating the franchise.”[2]

Di luar asal-usul katanya, definisi waralaba dalam konteks hukum Indonesia memiliki formulasi yang presisi dan mengandung sejumlah unsur konstitutif yang harus terpenuhi. PP 35/2024 memberikan definisi yang menjadi satu-satunya rujukan yang sah secara hukum. Pasal 1 Angka 1 PP 35/2024, menyatakan bahwa:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorang atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba.”  

Definisi yuridis ini bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah konstruksi hukum yang mengandung elemen-elemen kunci yang wajib dianalisis satu per satu.

Pertama, unsur “hak khusus”. Ini menegaskan bahwa waralaba bukanlah sekadar hubungan jual-beli atau keagenan biasa. Hak yang diberikan bersifat eksklusif dan melekat pada suatu subjek hukum (orang perseorangan atau badan usaha) yang telah mengembangkan sesuatu yang unik.

Kedua, unsur “sistem bisnis”. Ini adalah jantung dari konsep waralaba. Yang dialihkan bukanlah sekadar produk atau merek, melainkan sebuah paket komprehensif yang mencakup metode manajemen, strategi pemasaran, sistem operasional, dan sering kali, rahasia dagang.

Ketiga, unsur “kriteria yang telah ditetapkan”. Frasa ini menegaskan bahwa tidak semua bisnis dapat secara sah menyebut dirinya waralaba. Pemerintah telah menetapkan serangkaian standar yang harus dipenuhi, yang akan dibahas lebih lanjut, untuk memastikan kualitas dan kelayakan sistem yang ditawarkan.

Keempat, unsur “telah terbukti berhasil”. Ini adalah syarat empiris. Sebuah bisnis hanya dapat diwaralabakan jika ia memiliki rekam jejak kesuksesan yang dapat dibuktikan, bukan sekadar konsep atau ide yang belum teruji di pasar.

Kelima, unsur “berdasarkan Perjanjian Waralaba”. Seluruh hubungan, hak, dan kewajiban antara para pihak harus dituangkan dan diikat dalam sebuah kontrak tertulis yang spesifik, yaitu Perjanjian Waralaba.

Dengan demikian, definisi ini secara tegas membedakan waralaba dari model kemitraan bisnis lainnya dan meletakkannya dalam sebuah kerangka hukum yang formal dan terstruktur.

Landasan Yuridis Penyelenggaraan Waralaba di Indonesia

Sebagaimana telah diuraikan dalam definisi yuridisnya, suatu kegiatan usaha hanya dapat secara sah diselenggarakan sebagai waralaba apabila memenuhi serangkaian kriteria yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. PP 35/2024 secara imperatif menetapkan kriteria-kriteria ini, yang berfungsi sebagai filter legal untuk memastikan bahwa hanya bisnis yang berkualitas, teruji, dan memiliki sistem yang solid yang dapat masuk ke dalam pasar waralaba. Pemenuhan kriteria ini bersifat kumulatif dan menjadi prasyarat mutlak sebelum seorang pemberi waralaba dapat menawarkan bisnisnya kepada calon penerima waralaba.

Adapun kriteria yang wajib dipenuhi oleh setiap penyelenggara waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PP 35/2024 adalah sebagai berikut:

a.       Memiliki sistem bisnis;

b.      bisnis sudah memberikan keuntungan;

c.       memiliki kekayaan intelektual yang tercatat atau terdaftar; dan

d.      dukungan yang berkesinambungan dari Pemberi Waralaba dan/atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba dan/atau Penerima Waralaba Lanjutan.

Pemenuhan seluruh kriteria ini bukan hanya sekadar formalitas administratif, melainkan esensi dari legalitas penyelenggaraan waralaba di Indonesia.

Perjanjian Waralaba: Dokumen Sentral Pengikat Para Pihak

Apabila suatu bisnis telah memenuhi seluruh kriteria yuridis untuk dapat diwaralabakan, maka langkah selanjutnya adalah formalisasi hubungan antara pemberi waralaba dan penerima waralaba ke dalam sebuah instrumen hukum yang sentral, yaitu Perjanjian Waralaba. Dokumen ini merupakan landasan dari seluruh interaksi, hak, dan kewajiban para pihak selama jangka waktu kerja sama.

Dalam hukum perdata, perjanjian ini tunduk pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), namun dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan khusus, dalam hal ini PP 35/2024. Kekuatan mengikat dari perjanjian ini ditegaskan oleh adagium hukum fundamental pacta sunt servanda, yang berarti bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.  

PP 35/2024 menyadari peran krusial dari perjanjian ini dan menetapkan serangkaian klausul minimum yang wajib dimuat untuk memastikan kejelasan, keseimbangan, dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Pasal 6 ayat (2) PP 35/2024 mengamanatkan bahwa Perjanjian Waralaba paling sedikit harus memuat materi atau klausul sebagai berikut:

a.       nama dan alamat Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan dan Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan;

b.      kekayaan intelektual masih dalam masa pelindungan;

c.       kegiatan usaha;

d.      sistem bisnis;

e.       hak dan kewajiban Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan dan Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan;

f.        bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan oleh Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan;

g.      wilayah usaha;

h.      jaminan dari Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan untuk mendapatkan kompensasi dan/atau pemberian hak atas Waralaba dalam hal Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan menghentikan kegiatan usahanya;

i.        jangka waktu Perjanjian Waralaba;

j.        tata cara pembayaran imbalan;

k.       kepemilikan dan peralihan kepemilikan Waralaba;

l.        penyelesaian sengketa;

m.     tata cara perpanjangan dan pengakhiran Perjanjian Waralaba;

n.      jaminan dari Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan untuk tetap menjalankan kewajibannya kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan; dan

o.      jumlah gerai/tempat usaha yang akan dikelola oleh Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan.

Selain materi atau klausul sebagaimana dimaksud Perjanjian Waralaba dapat memuat materi atau klausul pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba Lanjutan.[3]

Selain itu, perlu ditekankan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia.

Kegagalan untuk mematuhi ketentuan ini, seperti dalam kasus di mana perjanjian hanya dibuat dalam bahasa asing, dapat berimplikasi pada keabsahan perjanjian tersebut dan berpotensi menyebabkannya batal demi hukum karena melanggar syarat objektif sahnya perjanjian, yaitu suatu sebab yang halal.

Oleh karena itu, penyusunan Perjanjian Waralaba harus dilakukan dengan ketelitian hukum yang tinggi untuk memastikan setiap klausul tidak hanya merefleksikan kesepakatan bisnis, tetapi juga patuh terhadap seluruh kerangka hukum yang berlaku.  

Distingsi Fundamental: Perjanjian Waralaba vs. Perjanjian Lisensi

Dalam praktik bisnis, istilah “waralaba” dan “lisensi” sering kali digunakan secara tumpang tindih dan menimbulkan kebingungan. Padahal, dari perspektif hukum, keduanya merupakan dua bentuk kerja sama yang berbeda secara fundamental, dengan dasar hukum, struktur, serta hak dan kewajiban yang sangat berlainan.

Memahami distingsi ini sangat krusial, karena kesalahan dalam mengkarakterisasi suatu hubungan bisnis dapat membawa implikasi hukum yang serius, terutama terkait dengan kewajiban kepatuhan terhadap regulasi.

Perbedaan paling mendasar terletak pada objek perjanjian. Objek utama dari perjanjian lisensi adalah pemberian izin atau hak untuk menggunakan satu atau lebih jenis HKI tertentu, seperti merek dagang, paten, atau hak cipta. Pihak penerima lisensi (licensee) mendapatkan hak untuk, misalnya, mencantumkan sebuah merek pada produk yang diproduksinya sendiri, namun tidak menerima sebuah model bisnis yang siap pakai.

Sebaliknya, objek utama dari perjanjian waralaba jauh lebih luas dan komprehensif, yaitu pemberian hak untuk mengoperasikan sebuah “sistem bisnis” yang utuh dan telah teruji, di mana penggunaan HKI hanyalah salah satu komponen dari sistem tersebut. Sistem bisnis ini mencakup serangkaian prosedur operasional standar yang terdokumentasi, mulai dari pengelolaan sumber daya manusia, administrasi, hingga strategi pemasaran. (vide Pasal 1 Angka 1 juncto Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual).

Perbedaan objek ini melahirkan perbedaan turunan yang signifikan dalam hal tingkat kontrol dan dukungan. Dalam hubungan lisensi, keterlibatan pemberi lisensi (licensor) umumnya sangat minimal setelah perjanjian ditandatangani; ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan dukungan operasional, pelatihan, atau bimbingan manajemen secara berkelanjutan.

Sebaliknya, hubungan waralaba secara inheren menuntut adanya tingkat kontrol yang signifikan dari pemberi waralaba (franchisor) untuk menjaga konsistensi dan standar kualitas di seluruh jaringan. Tingkat kontrol ini diimbangi dengan adanya kewajiban hukum yang imperatif bagi franchisor untuk memberikan “dukungan yang berkesinambungan” kepada franchisee, yang mencakup pelatihan, bimbingan manajemen operasional, promosi, dan pengembangan pasar. (vide Pasal 4 ayat (2) huruf d juncto Pasal 7 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba).

Konsekuensi dari perbedaan-perbedaan substantif tersebut adalah keduanya diatur oleh dasar hukum yang berbeda. Waralaba secara spesifik dan ketat diatur oleh PP 35/2024, yang mewajibkan setiap penyelenggaranya untuk memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW). Sementara itu, perjanjian lisensi HKI diatur dalam undang-undang terkait HKI masing-masing dan secara administratif pencatatannya diatur dalam PP 36/2018. (vide Pasal 12 PP 35/2024 dan Pasal 7 ayat (1) PP 36/2018).

Kegagalan memahami perbedaan ini melahirkan risiko hukum yang signifikan, yaitu risiko miskarakterisasi. Seorang pemilik bisnis mungkin secara sengaja atau tidak sengaja menyusun sebuah perjanjian yang disebut “Perjanjian Lisensi” untuk menghindari kerumitan dan persyaratan ketat dari regulasi waralaba (seperti kewajiban memiliki STPW, menyajikan prospektus, atau membuktikan profitabilitas melalui laporan keuangan auditan).

Namun, jika substansi dari hubungan tersebut, di mana pemberi “lisensi” ternyata memberikan sistem operasional yang detail, melakukan kontrol kualitas yang ketat, dan memberikan pelatihan berkelanjutan, secara de facto memenuhi kriteria waralaba dalam PP 35/2024, maka pengadilan akan cenderung menerapkan prinsip substance over form (substansi mengalahkan bentuk).

Akibatnya, hubungan tersebut dapat direklasifikasi sebagai waralaba ilegal. Konsekuensinya bisa sangat serius, di mana pemberi “lisensi” dapat dianggap sebagai penyelenggara waralaba yang tidak patuh hukum dan dapat dikenai sanksi administratif. Ini merupakan sebuah pelajaran penting bahwa label pada sebuah perjanjian tidak dapat melindungi para pihak dari realitas hukum yang mendasarinya.

Pendaftaran Waralaba: Kewajiban dan Prosedur Perolehan STPW

Salah satu pilar utama dalam kerangka hukum waralaba di Indonesia adalah sistem pendaftaran yang bersifat wajib. Instrumen sentral dari sistem ini adalah Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW), yang menurut Pasal 1 Angka 8 PP 35/2024 didefinisikan sebagai Perizinan Berusaha untuk menunjang kegiatan usaha yang menjadi bukti bahwa suatu entitas telah terdaftar sebagai penyelenggara Waralaba yang sah.

Kewajiban untuk memiliki STPW ini ditegaskan secara imperatif dalam Pasal 12 PP 35/2024, yang berlaku bagi setiap pelaku dalam rantai waralaba, mulai dari Pemberi Waralaba (Franchisor); Pemberi Waralaba Lanjutan (Sub-Franchisor); Penerima Waralaba (Franchisee); Penerima Waralaba Lanjutan (Sub-Franchisee).

Prosedur untuk memperoleh STPW kini terintegrasi melalui sistem Online Single Submission (OSS), sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PP 35/2024, yang bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan. Meskipun demikian, terdapat tahapan dan persyaratan dokumen yang berbeda antara pemberi waralaba dan penerima waralaba.

Bagi Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan, Pasal 13 ayat (1) PP 35/2024 mensyaratkan bahwa STPW harus diperoleh sebelum mereka menandatangani Perjanjian Waralaba dengan calon penerima waralaba manapun. Langkah krusial dalam proses ini adalah penyiapan dan pendaftaran Prospektus Penawaran Waralaba. Prospektus ini, yang isinya diatur dalam Pasal 5 ayat (2) PP 35/2024, adalah dokumen komprehensif yang memuat seluruh informasi material mengenai bisnis yang ditawarkan, termasuk data legalitas, sejarah usaha, laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit, serta rincian hak dan kewajiban para pihak.

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) PP 35/2024 mewajibkan pemberi waralaba untuk menyampaikan prospektus ini kepada calon penerima waralaba paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sebelum penandatanganan perjanjian, sebuah ketentuan yang menegakkan prinsip transparansi pra-kontraktual. Prospektus inilah yang kemudian dilampirkan dalam permohonan STPW melalui sistem OSS, sesuai amanat Pasal 13 ayat (2) PP 35/2024.

Bagi Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, Pasal 14 ayat (1) PP 35/2024 menetapkan bahwa STPW harus diperoleh sebelum mereka memulai kegiatan operasional usahanya. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) PP 35/2024, permohonan STPW diajukan melalui sistem OSS dengan melampirkan Perjanjian Waralaba yang telah ditandatangani sebagai dokumen dasar.

Keberadaan STPW telah ditransformasikan dari sekadar kewajiban administratif menjadi instrumen sentral bagi negara untuk melakukan pengawasan. Dengan mewajibkan pendaftaran prospektus yang detail, pemerintah mendapatkan titik verifikasi awal untuk memastikan bahwa hanya bisnis yang memenuhi kriteria legal yang dapat ditawarkan ke publik.

Lebih jauh lagi, PP 35/2024 memperkenalkan sanksi yang tegas melalui Pasal 37, yang secara eksplisit melarang penggunaan istilah “Waralaba” oleh orang perseorangan atau badan usaha yang tidak memiliki STPW yang sah. Larangan ini berfungsi sebagai mekanisme penegakan hukum yang kuat, mencegah praktik penipuan atau penawaran bisnis yang menyesatkan.

Dengan demikian, STPW tidak lagi hanya menjadi selembar kertas, melainkan berfungsi sebagai segel legalitas dan gerbang utama yang harus dilalui oleh setiap pelaku usaha untuk dapat beroperasi secara sah dalam ekosistem waralaba di Indonesia.

Mekanisme Perlindungan Hukum dalam Ekosistem Waralaba

Struktur hubungan waralaba yang bersifat jangka panjang dan saling bergantung secara inheren mengandung potensi timbulnya perselisihan. Oleh karena itu, kerangka hukum menyediakan berbagai mekanisme perlindungan bagi kedua belah pihak, baik yang tertuang dalam perjanjian maupun yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perlindungan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan, keadilan, dan kepastian hukum dalam hubungan bisnis tersebut.

Bagi Pemberi Waralaba, mekanisme perlindungan hukum utamanya berpusat pada pengamanan aset inti dan aliran pendapatan mereka. Perlindungan ini mencakup:

-        Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI): Pemberi waralaba dilindungi dari penggunaan merek, rahasia dagang, atau sistem operasionalnya secara tidak sah oleh penerima waralaba, baik selama maupun setelah perjanjian berakhir;

-        Kepatuhan terhadap Standar: Pemberi waralaba memiliki hak kontraktual untuk menuntut kepatuhan penerima waralaba terhadap SOP dan standar kualitas yang telah ditetapkan. Pelanggaran yang berulang dapat menjadi dasar untuk pengakhiran perjanjian;

-        Kewajiban Pembayaran Royalti: Kegagalan penerima waralaba untuk membayar royalti dan biaya-biaya lain yang telah disepakati merupakan bentuk wanprestasi yang memberikan hak kepada pemberi waralaba untuk menempuh upaya hukum, termasuk menuntut ganti rugi dan/atau mengakhiri perjanjian.  

Di sisi lain, Penerima Waralaba juga dibekali dengan serangkaian perlindungan hukum yang kuat, terutama untuk memastikan bahwa mereka menerima apa yang telah dijanjikan oleh pemberi waralaba. Perlindungan ini meliputi:

-        Hak atas Keterbukaan Informasi Pra-Kontraktual: Kewajiban pemberi waralaba untuk menyediakan Prospektus Penawaran Waralaba secara lengkap dan jujur memberikan perlindungan dari misrepresentasi atau informasi yang menyesatkan;

-        Hak atas Dukungan Berkesinambungan: Sebagaimana diamanatkan oleh PP 35/2024, penerima waralaba berhak menuntut pemberi waralaba untuk memenuhi kewajibannya dalam memberikan pelatihan, bimbingan, dan dukungan operasional secara terus-menerus. Kegagalan pemberi waralaba dalam hal ini merupakan bentuk wanprestasi yang serius;

-        Perlindungan dari Pengakhiran Sepihak yang Tidak Adil: Perjanjian Waralaba harus memuat klausul yang jelas mengenai tata cara pengakhiran. Pemberi waralaba tidak dapat secara sewenang-wenang mengakhiri perjanjian tanpa alasan yang sah dan tanpa mengikuti prosedur yang telah disepakati.

Apabila terjadi sengketa, para pihak pada umumnya akan merujuk pada klausul penyelesaian sengketa yang termuat dalam Perjanjian Waralaba. Praktik yang lazim, sebagaimana terlihat dalam kasus PT MYSalon, adalah mengedepankan penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat terlebih dahulu.

Apabila musyawarah tidak mencapai hasil, para pihak dapat menempuh jalur litigasi melalui pengadilan negeri yang berwenang, atau jalur non-litigasi seperti mediasi dan arbitrase jika disepakati dalam perjanjian. Dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau pembatalan perjanjian sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata.  

Wanprestasi Ganda dalam Sengketa Waralaba

Untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip hukum waralaba diterapkan dalam praktik peradilan, analisis terhadap yurisprudensi menjadi sangat relevan. Salah satu putusan yang paling instruktif adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1064 K/Pdt/2020, tertanggal 28 Mei 2020, yang mengadili sengketa antara PT MYSalon International sebagai Pemberi Waralaba (Pemohon Kasasi) melawan Ratnasari Lukitaningrum sebagai Penerima Waralaba (Termohon Kasasi). Kasus ini memberikan pelajaran berharga mengenai wanprestasi timbal balik dan penerapan doktrin hukum krusial dalam perjanjian waralaba.  

Duduk Perkara (Fakta-Fakta Kasus)

Sengketa ini bermula ketika PT MYSalon International (selanjutnya disebut “Pemberi Waralaba”) mengajukan gugatan wanprestasi terhadap Ratnasari Lukitaningrum (selanjutnya disebut “Penerima Waralaba”) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dasar gugatan adalah kegagalan Penerima Waralaba untuk membayar royalty fee yang telah jatuh tempo sesuai dengan Perjanjian Waralaba.

Menanggapi gugatan tersebut, Penerima Waralaba tidak hanya membantah, tetapi juga mengajukan gugatan balik (rekonvensi). Dalam gugatan baliknya, Penerima Waralaba mendalilkan bahwa justru Pemberi Waralaba-lah yang telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Bentuk wanprestasi yang dilakukan Pemberi Waralaba adalah kegagalan dalam memberikan dukungan operasional yang esensial sebagaimana dijanjikan, termasuk kegagalan dalam menyediakan sumber daya manusia (karyawan) yang memadai. Menurut Penerima Waralaba, kegagalan dukungan inilah yang menyebabkan usahanya tidak dapat berjalan dengan baik, mengalami kerugian, dan pada akhirnya tidak mampu untuk membayarkan royalty fee.

Di tingkat pertama dan banding, pengadilan (judex facti) memenangkan Penerima Waralaba, dengan menyatakan bahwa Pemberi Waralaba telah terbukti melakukan wanprestasi terlebih dahulu.  

Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi) Mahkamah Agung

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung melakukan koreksi terhadap penerapan hukum oleh judex facti, namun tetap mempertahankan substansi temuan mengenai wanprestasi Pemberi Waralaba. Pertimbangan hukum utama (ratio decidendi) yang menjadi landasan putusan Mahkamah Agung adalah penerapan doktrin hukum exceptio non adimpleti contractus. Doktrin ini berlaku dalam perjanjian timbal balik, di mana prestasi satu pihak merupakan kausa atau sebab dari prestasi pihak lainnya.

Dalam konteks waralaba, kewajiban Penerima Waralaba untuk membayar royalti adalah imbalan atas kewajiban Pemberi Waralaba untuk menyediakan sistem bisnis yang berfungsi dan memberikan dukungan yang berkesinambungan. Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketika Pemberi Waralaba telah terbukti gagal memenuhi kewajiban utamanya (wanprestasi dalam memberikan dukungan), maka ia kehilangan hak untuk menuntut pemenuhan kewajiban dari Penerima Waralaba (pembayaran royalti).

Dengan kata lain, Penerima Waralaba berhak untuk menangkis tuntutan wanprestasi terhadap dirinya dengan alasan bahwa pihak lawan telah terlebih dahulu melakukan wanprestasi.  

Amar Putusan dan Implikasinya

Meskipun secara substansi Mahkamah Agung setuju bahwa Pemberi Waralaba telah wanprestasi terlebih dahulu, secara prosedural Mahkamah Agung menemukan adanya kekeliruan dalam putusan judex facti yang menerima gugatan rekonvensi namun menolak gugatan konvensi.

Menurut Mahkamah Agung, secara tertib acara perdata, seharusnya jika gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima, maka gugatan rekonvensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, amar putusan akhir Mahkamah Agung adalah menyatakan gugatan dalam konvensi maupun rekonvensi tidak dapat diterima.

Namun, implikasi substantif dari putusan ini sangatlah kuat. Putusan ini menegaskan bahwa klausul “dukungan berkesinambungan” dalam perjanjian waralaba bukanlah sekadar janji manis, melainkan sebuah kewajiban hukum fundamental yang menjadi prasyarat (condition precedent) bagi hak Pemberi Waralaba untuk menagih royalti.

Kasus ini menjadi yurisprudensi penting yang memberikan perlindungan signifikan bagi penerima waralaba dari pemberi waralaba yang lalai dalam menjalankan kewajibannya, sekaligus menjadi peringatan keras bagi para pemberi waralaba bahwa hak dan kewajiban dalam skema ini berjalan secara timbal balik.

Arah Baru Regulasi Waralaba dan Implikasinya bagi Pelaku Usaha

Pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba secara definitif menandai sebuah babak baru dalam sejarah regulasi bisnis di Indonesia. Lebih dari sekadar pembaruan, peraturan ini merepresentasikan sebuah langkah menuju pendewasaan industri waralaba nasional, yang didorong oleh visi untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil, transparan, dan berdaya saing.

Arah baru ini ditandai dengan penegakan standar yang lebih tinggi, penekanan pada kepastian hukum, dan penguatan mekanisme perlindungan bagi seluruh pemangku kepentingan.

Bagi calon Pemberi Waralaba, era baru ini menuntut tingkat kesiapan yang jauh lebih matang. Konsep bisnis yang menarik saja tidak lagi cukup. Mereka harus mampu membuktikan kelayakan model bisnisnya secara empiris melalui rekam jejak profitabilitas yang diaudit, memiliki sistem operasional yang terdokumentasi dengan baik dalam bentuk SOP tertulis, dan memastikan seluruh aset Hak Kekayaan Intelektual telah terdaftar dan terlindungi secara hukum. Kepatuhan terhadap persyaratan ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah gerbang legalitas yang harus dilalui untuk dapat secara sah menawarkan peluang waralaba.

Bagi calon Penerima Waralaba, regulasi baru ini memberikan lapisan perlindungan yang lebih tebal. Kewajiban penyampaian prospektus secara transparan memberikan mereka instrumen yang kuat untuk melakukan uji tuntas sebelum mengambil keputusan investasi. Penegasan mengenai kewajiban dukungan berkesinambungan, yang diperkuat oleh yurisprudensi seperti Putusan Mahkamah Agung Nomor 1064 K/Pdt/2020, memberikan mereka landasan hukum yang kokoh untuk menuntut hak-haknya. Namun, perlindungan ini harus diimbangi dengan proaktivitas dari pihak penerima waralaba itu sendiri untuk mempelajari setiap detail prospektus, memahami klausul-klausul dalam perjanjian, dan tidak ragu untuk mencari nasihat hukum profesional.

Pada akhirnya, keberhasilan dalam lanskap bisnis waralaba yang baru ini akan sangat bergantung pada pemahaman dan kepatuhan terhadap kerangka hukum yang berlaku. Regulasi yang lebih ketat ini tidak seharusnya dilihat sebagai hambatan, melainkan sebagai sebuah filter yang akan meningkatkan kualitas dan integritas industri secara keseluruhan. Dengan fondasi hukum yang lebih solid, diharapkan industri waralaba Indonesia dapat terus tumbuh secara berkelanjutan, menciptakan lebih banyak peluang usaha, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] Slamet Yuswanto, Merek Nafas Waralaba (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 8.

[2] Ibid.

[3] vide Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba.