layananhukum

Jenis-Jenis Pemeriksaan dalam Peradilan Tata Usaha Negara

 

Jenis-Jenis Pemeriksaan dalam Peradilan Tata Usaha Negara

Sebelum memasuki pemeriksaan pokok sengketa, setiap gugatan yang didaftarkan di PTUN harus melalui dua tahapan krusial yang berfungsi sebagai gerbang awal peradilan, yaitu Prosedur Dismissal dan Pemeriksaan Persiapan. Tahapan ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya perkara yang memenuhi syarat dan telah matang secara substansial yang akan dilanjutkan ke persidangan pembuktian.

Prosedur Dismissal: Rapat Permusyawaratan sebagai Pintu Gerbang Peradilan

Prosedur dismissal merupakan mekanisme penyaringan awal yang bersifat fundamental dalam hukum acara PTUN. Kewenangan ini diberikan secara atributif kepada Ketua Pengadilan untuk melakukan seleksi administratif dan substansial secara cepat terhadap gugatan yang baru didaftarkan.

Landasan hukum utama prosedur dismissal diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU PTUN, yang menyatakan:   

(1)      Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal:

a.     pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;

b.     syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;

c.     gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;

d.     apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;

e.     gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Kelima alasan tersebut menjadi dasar bagi Ketua Pengadilan untuk menolak suatu gugatan tanpa melalui proses persidangan yang panjang. Alasan-alasan ini mencakup aspek kewenangan absolut pengadilan (huruf a), kelengkapan syarat formil gugatan (huruf b), kelayakan alasan substansial (huruf c), terpenuhinya tuntutan (huruf d), serta gugatan yang bersifat prematur atau telah melewati tenggang waktu daluwarsa (huruf e).   

Interpretasi dan Pedoman Pelaksanaan

Mengingat luasnya kewenangan diskresioner yang diberikan oleh Pasal 62 UU PTUN, Mahkamah Agung memberikan pedoman interpretasi melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “SEMA No. 2/1991”.

SEMA ini mengarahkan agar Ketua Pengadilan bersikap hati-hati dan tidak terlalu mudah menerapkan Pasal 62 UU PTUN, kecuali untuk alasan yang paling objektif dan jelas, yaitu mengenai kewenangan absolut pengadilan (huruf a) dan daluwarsa (huruf e). Pedoman ini menunjukkan adanya kesadaran dari lembaga peradilan itu sendiri untuk menyeimbangkan antara tujuan efisiensi dengan perlindungan hak akses terhadap keadilan (access to justice). Proses dismissal ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan, yang dapat menunjuk seorang hakim sebagai pelapor (rapporteur), dalam sebuah rapat permusyawaratan yang menghasilkan produk hukum berupa “Penetapan”.   

Prosedur dismissal pada hakikatnya mengemban fungsi ganda. Di satu sisi, ia berperan sebagai filter yudisial untuk menyaring gugatan yang secara nyata tidak memenuhi syarat formil maupun substansial. Di sisi lain, mekanisme ini merupakan instrumen efisiensi peradilan yang krusial.

Dengan menyeleksi perkara di tahap paling awal, prosedur ini melindungi badan peradilan dari beban perkara yang tidak perlu, sekaligus menghindarkan Tergugat (pemerintah) dari litigasi yang mengada-ada (vexatious litigation). Hal ini memungkinkan sumber daya peradilan yang terbatas dapat difokuskan pada penyelesaian sengketa yang sesungguhnya memiliki dasar hukum yang patut untuk diperiksa. 

Adanya SEMA No. 2/1991 merupakan bentuk mekanisme koreksi diri (self-correction) dari lembaga yudikatif untuk memastikan kewenangan diskresioner Ketua Pengadilan tidak menutup akses keadilan secara sewenang-wenang, dengan membatasinya pada alasan-alasan yang paling fundamental dan objektif.   

Upaya Perlawanan (Verzet) terhadap Penetapan Dismissal

Untuk menjamin hak Penggugat dan memastikan bahwa kewenangan Ketua Pengadilan dalam prosedur dismissal tidak bersifat absolut, UU PTUN menyediakan suatu mekanisme perlawanan yang dikenal dengan istilah verzet.

Hak untuk mengajukan perlawanan diatur secara tegas dalam Pasal 62 ayat (3) UU PTUN, yang memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk menentang Penetapan Dismissal dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan tersebut diucapkan. Prosedur selanjutnya diatur dalam ayat-ayat berikutnya:   

a)      Perlawanan tersebut diperiksa dan diputus oleh pengadilan dengan Acara Singkat (vide Pasal 62 ayat (4) UU PTUN);

b)      Apabila perlawanan dibenarkan oleh pengadilan, maka Penetapan Dismissal tersebut gugur demi hukum, dan pokok gugatan akan dilanjutkan pemeriksaannya menurut Acara Biasa (vide Pasal 62 ayat (5) UU PTUN);   

c)      Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum lain, yang berarti putusan tersebut bersifat final dan mengikat di tingkat pertama (vide Pasal 62 ayat (6) UU PTUN).   

Sebagai contoh penerapan ketentuan ini, dapat dirujuk Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 27/PLW/2024/PTUN.SMD, tertanggal 22 Agustus 2024. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim menolak perlawanan yang diajukan oleh Pelawan. Pertimbangan utamanya adalah bahwa gugatan asal Pelawan memang telah melewati tenggang waktu daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU PTUN.

Dengan demikian, Majelis Hakim menilai bahwa Penetapan Dismissal yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan dengan alasan gugatan telah daluwarsa (sesuai Pasal 62 ayat (1) huruf e UU PTUN) sudah tepat dan berdasar hukum. Putusan ini menjadi ilustrasi konkret bagaimana mekanisme perlawanan berfungsi untuk menguji kembali keabsahan pertimbangan dalam sebuah Penetapan Dismissal.   

Upaya perlawanan atau verzet ini merupakan perwujudan mekanisme check and balance internal dalam sistem peradilan. Kewenangan dismissal yang berada di tangan satu orang (Ketua Pengadilan) mengandung potensi subjektivitas atau kekeliruan. Hukum menyeimbangkannya dengan menyediakan forum pengujian kembali oleh Majelis Hakim yang terdiri dari tiga orang. Ini adalah implementasi dari prinsip audi et alteram partem (dengarkan juga pihak lain) pada tahap paling awal proses peradilan, yang memberikan kesempatan kedua bagi Penggugat untuk berargumentasi mengapa gugatannya layak untuk diperiksa lebih lanjut.

Sifat putusan atas perlawanan yang final di tingkat pertama juga mencerminkan tujuan efisiensi; sengketa mengenai kelayakan suatu perkara untuk disidangkan harus diselesaikan dengan cepat dan tidak berlarut-larut melalui berbagai tingkatan upaya hukum.

Pemeriksaan Persiapan: Pematangan Substansi Sengketa

Apabila suatu gugatan dinyatakan lolos dari prosedur dismissal, atau setelah upaya perlawanan dikabulkan, perkara akan memasuki tahap Pemeriksaan Persiapan. Tahap ini merupakan ciri khas hukum acara PTUN yang menunjukkan peran aktif hakim.

Kewajiban dan kewenangan hakim dalam tahap ini diatur dalam Pasal 63 UU PTUN. Pasal 63 ayat (1) menyatakan:

“Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.”

Selanjutnya, Pasal 63 ayat (2) merinci kewenangan hakim:   

Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:

a.     wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;

b.     dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.”

Ketentuan ini secara eksplisit memberikan peran proaktif kepada hakim untuk membantu Penggugat menyempurnakan dalil-dalil gugatannya dan meminta klarifikasi langsung dari Tergugat, bahkan sebelum persidangan pembuktian dimulai.   

Interpretasi dan Pedoman Pelaksanaan

Dalam praktiknya, SEMA No. 2/1991 dan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II) yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung menggariskan bahwa pemeriksaan persiapan bukanlah sidang formal. Pemeriksaan ini dilakukan secara tertutup, tidak di ruang sidang utama, dan hakim tidak mengenakan toga. Jangka waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan pun ditafsirkan secara fleksibel dan tidak kaku. Seiring modernisasi peradilan, meskipun administrasi perkara telah beralih ke sistem elektronik (e-Court) melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik beserta perubahannya, petunjuk teknis pelaksanaannya masih mengarahkan agar pemeriksaan persiapan di PTUN tetap dilaksanakan secara manual atau konvensional. Hal ini menyoroti adanya tantangan dalam mendigitalisasi proses yang bersifat dialogis dan memerlukan interaksi langsung untuk mematangkan substansi perkara.   

Fungsi nyata dari pemeriksaan persiapan dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 41/G/2012/PTUN.Smg., tertanggal 4 Desember 2012. Dalam kronologi putusan tersebut, tercatat adanya “Penetapan Pemeriksaan Persiapan” pada tanggal 20 Juli 2012, yang kemudian diikuti dengan adanya “perbaikan surat gugatan pada tanggal 23 Agustus 2012”. 

Rangkaian peristiwa ini secara jelas menunjukkan bahwa pemeriksaan persiapan berfungsi sebagai forum bagi Penggugat untuk menyempurnakan gugatannya berdasarkan nasihat hakim. Perkara ini diputus oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Hj. Evita Mawulan Akyati, S.H., M.H., dengan Hakim Anggota Anna Leonora Tewernussa, S.H., M.H., dan Heni Hendrarta Widya Sukmana Kurniawan, S.H., M.H.

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim mendasarkan pengujiannya (toetsingsgronden) pada aspek prosedural dan substansial dari penerbitan objek sengketa, dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Amar putusan akhir mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya, menyatakan batal peralihan hak pada kedua sertipikat objek sengketa, dan mewajibkan Tergugat untuk mencoret nama pemegang hak yang baru dan mengembalikannya ke nama pemegang hak semula.   

Pemeriksaan persiapan adalah manifestasi paling jelas dari asas hakim aktif (dominus litis) dalam hukum acara PTUN. Tujuan utamanya adalah untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak yang tidak setara, di mana Penggugat (warga negara) seringkali memiliki keterbatasan akses informasi dibandingkan Tergugat (pemerintah).

Dengan secara proaktif memberi nasihat kepada Penggugat dan meminta klarifikasi dari Tergugat, hakim membantu “mematangkan” sengketa agar fokus pada substansi hukum yang relevan. Mekanisme ini memastikan bahwa sengketa yang diperiksa dalam acara biasa adalah sengketa yang substansinya telah jelas dan siap untuk diuji, bukan gugatan yang masih mentah karena kendala teknis atau kekurangan data. Inilah esensi dari keadilan administratif yang prosedural. 

Model Pemeriksaan Pokok Perkara: Menuju Putusan Akhir

Setelah melewati tahap pemeriksaan awal, pokok sengketa akan diperiksa melalui salah satu dari tiga model acara pemeriksaan antara lain: Acara Biasa, Acara Cepat, atau Acara Singkat. Masing-masing memiliki karakteristik, tujuan, dan prosedur yang berbeda.

Pemeriksaan dengan Acara Biasa

Pemeriksaan dengan Acara Biasa adalah prosedur standar dan paling komprehensif untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama. Sebagaimana ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU PTUN menetapkan bahwa:

“Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim”. 

Ini menegaskan bahwa Acara Biasa dijalankan oleh Majelis Hakim, bukan hakim tunggal. Alur persidangannya mengikuti hukum acara yang berlaku secara sistematis, meliputi:   

1.        Pembacaan Gugatan oleh Penggugat atau Majelis Hakim.

2.       Jawaban dari Tergugat, yang berisi eksepsi dan/atau pokok perkara.

3.      Replik dari Penggugat untuk menanggapi jawaban Tergugat.

4.       Duplik dari Tergugat untuk menanggapi replik Penggugat.

5.       Pembuktian, di mana para pihak mengajukan alat-alat bukti seperti surat, keterangan saksi, dan keterangan ahli untuk mendukung dalil-dalilnya.

6.      Kesimpulan, di mana para pihak menyampaikan rangkuman akhir dari seluruh proses persidangan secara tertulis.

Sesuai dengan asas publisitas, persidangan dalam Acara Biasa bersifat terbuka untuk umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU PTUN, kecuali jika Majelis Hakim memandang sengketa tersebut menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara.   

Acara Biasa merupakan puncak dari proses pencarian kebenaran materiil dalam sengketa TUN. Berbeda dengan Acara Singkat yang hanya menguji aspek prosedural perlawanan, Acara Biasa adalah forum utama di mana hakim secara mendalam menguji apakah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau AUPB.

Seluruh tahapan, mulai dari jawab-menjawab hingga pembuktian yang mendetail, dirancang untuk menggali substansi sengketa secara tuntas. Ini adalah cerminan dari prinsip audi et alteram partem dalam bentuknya yang paling penuh, di mana setiap pihak diberikan kesempatan yang setara untuk merespons argumen lawan dan menyajikan bukti, guna membantu Majelis Hakim membentuk keyakinan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sesuai amanat Pasal 107 UU PTUN.

Pemeriksaan dengan Acara Cepat

Untuk sengketa yang memerlukan penanganan segera, UU PTUN menyediakan jalur pemeriksaan yang dipercepat, yang dikenal sebagai Acara Cepat. Landasan hukum Acara Cepat terdapat dalam Pasal 98 dan Pasal 99 UU PTUN. Pasal 98 ayat (1) UU PTUN menyatakan:   

“Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.”

Prosedur khusus ini memiliki beberapa karakteristik utama:   

-       Syarat Utama, adanya “kepentingan penggugat yang cukup mendesak”.

-       Prosedur Permohonan, diajukan oleh Penggugat bersamaan dengan surat gugatan.

-       Pemeriksa, diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal.

-       Proses Dipercepat, tidak melalui tahap Pemeriksaan Persiapan, dan tenggang waktu untuk jawaban serta pembuktian bagi para pihak masing-masing tidak melebihi 14 hari.

Kajian Kriteria “Kepentingan Mendesak”

Kriteria “kepentingan yang cukup mendesak” bersifat kasuistis dan bergantung pada penilaian diskresioner Ketua Pengadilan. Dalam doktrin dan praktik peradilan, kriteria ini sering diartikan sebagai suatu kondisi di mana jika penyelesaian sengketa mengikuti prosedur biasa, maka akan timbul kerugian yang tidak dapat dipulihkan (irreparable damage) bagi Penggugat.

Contoh klasik yang sering dirujuk adalah adanya surat perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati Penggugat. Meskipun Penggugat dapat memohon acara cepat, tidak semua permohonan dikabulkan. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 153/G/TF/2022/PTUN-JKT, tertanggal 28 Februari 2023. Dalam perkara ini, setelah gugatan dinyatakan lolos dari tahap dismissal, Ketua Pengadilan mengeluarkan Penetapan Nomor: 153/PEN-DIS/TF/2022/PTUN-JKT tertanggal 6 Juni 2022 yang secara eksplisit memerintahkan agar perkara tersebut diperiksa dengan Acara Biasa

Penetapan ini secara langsung mengindikasikan bahwa permohonan acara cepat (jika ada) tidak dikabulkan, dan pertimbangan hukumnya adalah keputusan prosedural Ketua Pengadilan untuk menggunakan jalur pemeriksaan standar. Perkara ini diputus oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Dr. Agus Darwanto, S.H., M.H., dengan Hakim Anggota Dr. Dwi Oktaviarini, S.H., M.H., dan Febrina Permanasari, S.H., M.H.. Amar putusan akhir dalam pokok perkara tersebut antara lain mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian, menyatakan batal tindakan Tergugat dalam mencabut Izin Amatir Radio (IAR) Para Penggugat, dan mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi kedudukan Para Penggugat dengan mengaktifkan kembali IAR mereka.   

Acara Cepat berfungsi sebagai instrumen perlindungan hukum darurat (interim relief). Rasionalitas di baliknya adalah bahwa dalam beberapa sengketa, menunggu proses peradilan biasa yang memakan waktu dapat membuat objek gugatan menjadi sia-sia (fait accompli) dan kerugian menjadi permanen.

Penilaian “kepentingan mendesak” oleh hakim pada dasarnya adalah penerapan prinsip proporsionalitas dengan menimbang besarnya kerugian yang akan diderita Penggugat jika proses berjalan normal, versus potensi kerugian bagi kepentingan umum atau hak Tergugat jika proses dipercepat. Penolakan permohonan, seperti yang tersirat dalam kasus di atas, menunjukkan bahwa pengadilan tidak sembarangan mengabulkannya dan benar-benar melakukan penimbangan ini sebagai wujud kehati-hatian yudisial.

Pemeriksaan dengan Acara Singkat

Berbeda dengan Acara Biasa dan Acara Cepat yang memeriksa pokok perkara, Acara Singkat memiliki fungsi yang sangat spesifik dan terbatas. Sebagaimana ketentuan Pasal 62 ayat (4) UU PTUN secara eksplisit menyatakan bahwa:

“Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat”. 

Ketentuan ini menegaskan bahwa Acara Singkat hanya digunakan untuk memeriksa dan memutus perkara perlawanan (verzet) terhadap Penetapan Dismissal yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan. Pemeriksaan dalam acara ini tidak menyentuh substansi pokok gugatan, melainkan hanya berfokus pada evaluasi apakah alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan untuk mendismissal gugatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU PTUN atau tidak.   

Karakteristik Pembeda

Penting untuk membedakan secara tegas antara Acara Singkat dan Acara Cepat. Perbedaan fundamentalnya terletak pada objek pemeriksaan dan komposisi hakim. Acara Singkat memeriksa keabsahan Penetapan Dismissal dan diadili oleh Majelis Hakim, sedangkan Acara Cepat memeriksa pokok perkara gugatan dan diadili oleh Hakim Tunggal. Kesamaan terminologi (“singkat” dan “cepat”) seringkali menimbulkan kebingungan, namun fungsi keduanya dalam sistem hukum acara PTUN sangatlah berbeda.   

Acara Singkat dapat dipandang sebagai sebuah meta-litigasi, sebuah proses peradilan yang mengadili tentang apakah proses peradilan utama boleh berjalan. Fokusnya adalah pada putusan sela (Penetapan Dismissal). Sebaliknya, Acara Cepat adalah proses peradilan utama itu sendiri, namun dijalankan pada jalur ekspres karena adanya urgensi. Kegagalan memahami perbedaan konseptual ini dapat berakibat fatal dalam strategi beracara di PTUN.

Penutup

Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara menyediakan berbagai jenis pemeriksaan yang dirancang secara spesifik untuk tujuan yang berbeda-beda. Keragaman ini mencerminkan upaya sistem hukum untuk menyeimbangkan dua nilai fundamental yaitu efisiensi penyelenggaraan peradilan di satu sisi, dan perlindungan maksimal terhadap hak-hak pencari keadilan di sisi lain.

Secara ringkas, perbedaan-perbedaan kunci dari setiap prosedur dapat disintesiskan sebagai berikut: 

Prosedur Dismissal adalah tahap penyaringan awal oleh Ketua Pengadilan. Upaya hukum terhadapnya adalah Perlawanan (Verzet) yang diperiksa melalui Acara Singkat oleh Majelis Hakim untuk menguji keabsahan penetapan dismissal. Jika gugatan lolos, tahap selanjutnya adalah Pemeriksaan Persiapan yang bersifat dialogis untuk mematangkan perkara. Setelah itu, pokok perkara diperiksa melalui Acara Biasa oleh Majelis Hakim sebagai prosedur standar, atau melalui Acara Cepat oleh Hakim Tunggal jika terdapat kepentingan yang sangat mendesak.

Setiap prosedur, mulai dari filter pertama di meja Ketua Pengadilan hingga pemeriksaan substansi di hadapan Majelis Hakim, memiliki rasionalitas dan tujuannya sendiri. Secara kolektif, mekanisme-mekanisme ini membentuk sebuah sistem hukum acara yang dinamis dan adaptif, yang mampu merespons berbagai karakteristik sengketa administrasi negara.

Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap setiap jenis pemeriksaan ini merupakan prasyarat esensial bagi para praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat pencari keadilan untuk dapat menavigasi sistem Peradilan Tata Usaha Negara secara efektif dan memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.