layananhukum

Tata Cara Pemeriksaan Perkara di Peradilan Tata Usaha Negara

 

Pengantar

Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan hubungan antara pemerintah dan warga negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keberadaan PTUN diamanatkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU PTUN”.   

Fungsi utama PTUN adalah sebagai mekanisme kontrol yudisial (judicial control) terhadap tindakan administrasi pemerintahan. Lembaga peradilan ini menyediakan sarana perlindungan hukum bagi setiap orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.

Hukum acara yang berlaku di PTUN memiliki karakteristik sui generis atau bersifat unik, yang membedakannya dari hukum acara di lingkungan peradilan lain. Hukum Acara PTUN memadukan elemen-elemen hukum acara perdata dengan prinsip-prinsip fundamental hukum administrasi, yang salah satu ciri utamanya adalah peran aktif hakim (dominus litis) dalam proses persidangan untuk mencari kebenaran materiil.

Eksistensi hukum acara dalam sebuah sistem peradilan menegaskan adagium fundamental Ubi societas, ibi ius, yang bermakna di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Hukum acara menjadi pedoman yang memastikan bahwa penyelesaian sengketa, khususnya antara entitas yang tidak setara seperti warga negara dan pemerintah, berjalan secara tertib, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dan sistematis mengenai tata cara pemeriksaan perkara di PTUN pada tingkat pertama, mulai dari tahap pemeriksaan awal yang berfungsi sebagai filter, permohonan-permohonan insidentil yang dapat diajukan, hingga tahapan pemeriksaan pokok perkara yang berujung pada putusan hakim.   

Tahap Pemeriksaan Awal: Seleksi dan Penyempurnaan Gugatan

Sebelum memasuki pemeriksaan pokok sengketa, setiap gugatan yang didaftarkan di PTUN harus melalui dua tahapan krusial yang berfungsi sebagai gerbang awal peradilan, yaitu Rapat Permusyawaratan (dismissal process) dan Pemeriksaan Persiapan. Kedua tahap ini merupakan kekhususan dalam Hukum Acara PTUN yang dirancang untuk menjamin efisiensi peradilan sekaligus keadilan substantif.

Rapat Permusyawaratan (Prosedur Dismissal): Filter Pertama Kelaikan Gugatan

Rapat Permusyawaratan, atau yang lebih dikenal dengan istilah prosedur dismissal, merupakan kewenangan Ketua Pengadilan untuk melakukan pemeriksaan administratif dan substansial secara singkat terhadap gugatan yang baru didaftarkan. Tahapan ini berfungsi sebagai mekanisme seleksi atau filter pertama untuk menyaring gugatan yang secara nyata tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke persidangan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan dengan mencegah penumpukan perkara yang cacat formil atau secara substansi tidak layak untuk diperiksa lebih lanjut.   

Dasar hukum utama dari prosedur ini adalah Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan:

(1)      Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal:

a.     pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;

b.     syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;

c.     gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;

d.     apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;

e.     gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Proses ini dilakukan oleh Ketua PTUN, yang dapat menunjuk seorang hakim sebagai pelapor (rapporteur), dalam sebuah rapat tertutupApabila Ketua Pengadilan berpendapat bahwa gugatan memenuhi salah satu dari lima kriteria di atas, ia akan mengeluarkan sebuah penetapan (beschikking) yang menyatakan gugatan tidak diterima atau tidak berdasar. Penetapan ini diucapkan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil para pihak untuk mendengarkannya.   

Untuk menjaga hak penggugat, hukum acara menyediakan upaya hukum terhadap penetapan dismissal ini, yaitu perlawanan (verzet). Sesuai Pasal 62 ayat (3) UU PTUN, penggugat dapat mengajukan perlawanan dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan diucapkan. Perlawanan ini diperiksa dan diputus dengan acara singkat oleh Majelis Hakim.

Apabila perlawanan dikabulkan, maka penetapan dismissal tersebut gugur demi hukum, dan pokok gugatan akan dilanjutkan pemeriksaannya menurut acara biasa. Sebaliknya, terhadap putusan atas perlawanan tersebut, tidak tersedia upaya hukum lain, baik banding maupun kasasi. Hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi, seperti dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bengkulu Nomor 5/PLW/2021/PTUN.BKL, tertanggal 8 April 2021. Dalam perkara perlawanan terhadap penetapan dismissal ini, Majelis Hakim yang diketuai oleh Daily Yusmini, S.H., M.H., dengan hakim anggota Delta Arga Prayudha, S.H., M.H., dan Dr. Mevi Primaliza, S.H., M.H., memeriksa keberatan Para Pelawan terhadap penetapan Ketua PTUN Bengkulu yang menyatakan gugatan awal tidak diterima karena bukan merupakan kewenangan PTUN. 

Pertimbangan hukum utama Majelis Hakim adalah bahwa sengketa terkait Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kepahiang mengenai penetapan pasangan calon terpilih, berdasarkan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, merupakan kewenangan absolut Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, bukan Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama. Oleh karena itu, Majelis Hakim sependapat dengan pertimbangan Ketua Pengadilan dalam penetapan dismissal. Amar putusan dalam perkara perlawanan ini adalah menolak gugatan perlawanan dari Para Pelawan dan menghukum Para Pelawan untuk membayar biaya perkara. Putusan ini mengkonfirmasi bahwa pengadilan secara cermat menguji dalil perlawanan untuk menilai ketepatan penerapan hukum acara dalam prosedur dismissal, khususnya terkait isu kompetensi absolut.   

Prosedur dismissal ini mencerminkan sebuah dialektika antara prinsip efisiensi peradilan dan hak atas akses terhadap keadilan (access to justice). Di satu sisi, ia esensial untuk menjaga agar sumber daya pengadilan tidak terbuang untuk perkara yang tidak layak. Di sisi lain, jika tidak diterapkan secara hati-hati, ia berpotensi menutup pintu keadilan bagi masyarakat di tahap yang sangat dini. Menyadari potensi ini, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1991 telah memberikan pedoman agar Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menerapkan Pasal 62, khususnya untuk alasan di luar kompetensi absolut (huruf a) dan daluwarsa (huruf e). Adanya mekanisme perlawanan juga berfungsi sebagai instrumen pengawasan internal (internal checks and balances) untuk memastikan kewenangan dismissal tidak digunakan secara arbitrer.

Pemeriksaan Persiapan: Menuju Gugatan yang Sempurna

Apabila sebuah gugatan berhasil melewati filter prosedur dismissal, ia akan memasuki tahap Pemeriksaan Persiapan. Tahap ini merupakan salah satu karakteristik paling menonjol dari Hukum Acara PTUN yang membedakannya dari hukum acara perdata. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa gugatan yang akan diperiksa dalam sidang pokok perkara telah memenuhi syarat formil dan materiel secara sempurna, sehingga pemeriksaan dapat berjalan lancar dan terfokus pada substansi sengketa.   

Landasan yuridis tahap ini diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:

(1)      Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.

(2)     Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:

a.     wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;

b.     dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.”    

Pasal ini secara eksplisit mengamanatkan peran aktif hakim (dominus litis). Berbeda dengan hakim perdata yang cenderung pasif, hakim PTUN dalam tahap ini wajib memberikan nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan, baik dari segi redaksional, kelengkapan data, maupun kejelasan petitum. Lebih jauh, hakim diberi kewenangan untuk meminta penjelasan langsung kepada pihak tergugat (badan atau pejabat TUN) guna mengklarifikasi hal-hal yang diperlukan untuk penyempurnaan gugatan. 

Kewenangan ini merupakan instrumen penting untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak (equality of arms), mengingat penggugat (warga negara) seringkali berada pada posisi yang lebih lemah dan memiliki keterbatasan akses informasi dibandingkan dengan tergugat (pemerintah).   

Seiring dengan modernisasi peradilan, pelaksanaan pemeriksaan persiapan kini juga terintegrasi dengan sistem peradilan elektronik. Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik, yang selanjutnya disebut dengan “SK KMA 363/2022”, proses ini dapat dilakukan secara daring. Hakim dapat memberikan notifikasi mengenai kekurangan gugatan dan nasihat perbaikan melalui aplikasi e-Court, dan penggugat pun dapat menyampaikan perbaikan gugatannya secara elektronik.   

Pemeriksaan Persiapan sejatinya merupakan wujud dari upaya pengadilan untuk mencapai keadilan substantif, bukan sekadar keadilan formal. Dengan secara aktif membantu penggugat menyempurnakan surat gugatannya, pengadilan memastikan bahwa sebuah perkara yang berbobot tidak akan kandas hanya karena kesalahan teknis atau ketidakmampuan penggugat dalam merumuskan dalil-dalil hukumnya.

Ini adalah bentuk “bantuan hukum struktural” yang melekat pada institusi peradilan itu sendiri, yang bertujuan agar sengketa administrasi dapat diputus berdasarkan kebenaran materiilnya.

Permohonan Insidentil dan Penangguhan Eksekusi

Dalam alur pemeriksaan perkara di PTUN, selain gugatan pokok, terdapat pula berbagai permohonan yang bersifat insidentil atau sela. Permohonan ini tidak diperiksa sebagai sebuah perkara terpisah, melainkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemeriksaan gugatan. Salah satu permohonan insidentil yang paling fundamental dan sering diajukan adalah permohonan penangguhan pelaksanaan KTUN.

Membedah Konsep “Pemeriksaan Permohonan”

Penting untuk dipahami bahwa “Pemeriksaan Permohonan” bukanlah suatu tahapan persidangan yang berdiri sendiri dan setara dengan “Pemeriksaan Gugatan” atau pemeriksaan pokok perkara. Dalam terminologi Hukum Acara PTUN, istilah “permohonan” merujuk pada permintaan-permintaan spesifik yang diajukan oleh para pihak di tengah berjalannya proses pemeriksaan gugatan.

Pemeriksaan atas permohonan-permohonan ini bersifat insidentil dan keputusannya dapat berupa penetapan atau putusan sela yang dijatuhkan sebelum atau bersamaan dengan putusan akhir. Contoh-contoh permohonan tersebut antara lain:

1.        Permohonan Penangguhan Pelaksanaan KTUN, yang diatur dalam Pasal 67 UU PTUN;

2.       Permohonan Berperkara secara Cuma-cuma (Prodeo), yang diatur dalam Pasal 60 UU PTUN;

3.      Permohonan Pemeriksaan dengan Acara Cepat, yang diatur dalam Pasal 98 UU PTUN.

Dengan demikian, pemeriksaan permohonan adalah proses yudisial untuk menilai dan memutus permintaan-permintaan sela tersebut dalam kerangka pemeriksaan gugatan pokok.

Penangguhan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

Salah satu prinsip fundamental dalam hukum administrasi negara adalah adagium Presumptio Iustae Causa (praduga keabsahan). Adagium ini mengandung makna bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan harus dianggap sah menurut hukum (rechtmatig) sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan sebaliknya. 

Prinsip ini menjadi landasan bagi ketentuan dalam Pasal 67 ayat (1) UU PTUN, yang menegaskan:

“Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.”. 

Norma ini bertujuan untuk menjamin kepastian dan kelancaran jalannya roda pemerintahan, agar tidak terhambat oleh setiap gugatan yang diajukan.   

Namun, untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi penggugat, UU PTUN menyediakan mekanisme pengecualian. Pasal 67 ayat (2) UU PTUN memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan permohonan penundaan, yang menyatakan:

“Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.”.   

Permohonan ini tidak serta-merta dikabulkan. Hakim akan melakukan penimbangan kepentingan (balancing of interests) yang sangat cermat berdasarkan syarat-syarat kumulatif yang diatur secara limitatif dalam Pasal 67 ayat (4) UU PTUN, yaitu:

a.     dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;

b.     tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.”    

Syarat “keadaan yang sangat mendesak” ditafsirkan sebagai suatu kondisi di mana kerugian yang akan diderita penggugat bersifat sangat signifikan dan tidak dapat dipulihkan kembali (irreparable harm) jika KTUN tetap dilaksanakan. Di sisi lain, kepentingan individu ini harus ditimbang dengan “kepentingan umum dalam rangka pembangunan” yang lebih luas. Dalam praktiknya, pengadilan sangat berhati-hati dalam mengabulkan permohonan ini. Analisis terhadap yurisprudensi dari Direktori Putusan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa permohonan penundaan seringkali ditolak karena penggugat dianggap gagal membuktikan adanya keadaan yang sangat mendesak, atau karena hakim menilai pelaksanaan KTUN tersebut menyangkut kepentingan umum yang lebih besar.   

Mekanisme penangguhan ini merefleksikan pertarungan antara dua nilai fundamental: di satu sisi adalah kebutuhan akan stabilitas dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, dan di sisi lain adalah perlindungan hak-hak individu dari potensi kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Jika setiap gugatan dapat menunda KTUN, pemerintahan bisa lumpuh. Namun, tanpa mekanisme penundaan sama sekali, kemenangan penggugat di akhir persidangan bisa menjadi sia-sia (a hollow victory) karena objek sengketa telah tiada.

Oleh karena itu, Pasal 67 UU PTUN menyediakan jalan tengah dengan ambang batas pembuktian yang sangat tinggi, yang menuntut hakim untuk melakukan penimbangan yang mendalam sebelum mengintervensi pelaksanaan suatu keputusan administrasi.

Tahapan Pemeriksaan Pokok Perkara di Tingkat Pertama

Setelah melewati tahap pemeriksaan pendahuluan dan tidak ada penetapan dismissal, perkara akan memasuki tahap pemeriksaan pokok sengketa di persidangan. Tahap ini merupakan inti dari proses peradilan, di mana para pihak saling beradu argumentasi dan bukti di hadapan Majelis Hakim. Proses ini berjalan secara sistematis melalui beberapa tahapan yang diatur dalam UU PTUN dan kini telah diadaptasi dengan sistem peradilan elektronik.

Pembacaan Gugatan dan Jawaban

Sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PTUN, persidangan pokok perkara dimulai dengan pembacaan isi gugatan oleh Hakim Ketua Sidang. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawabannya, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam praktik peradilan elektronik, surat jawaban diunggah oleh pihak tergugat melalui aplikasi e-Court sebelum hari sidang yang ditentukan.   

Replik dan Duplik

Proses saling jawab-menjawab dilanjutkan dengan replik dan duplik. Replik adalah tanggapan penggugat atas jawaban tergugat, sedangkan duplik adalah tanggapan tergugat atas replik penggugat. Pasal 75 UU PTUN memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan kedua instrumen ini. Dalam tahap ini, para pihak dapat mengubah atau menambah alasan yang mendasari gugatan atau jawabannya, namun tidak boleh menambah tuntutan pokok. Dalam sistem e-litigation, replik dan duplik juga disampaikan secara elektronik melalui unggahan dokumen pada aplikasi e-Court sesuai jadwal yang ditetapkan oleh Majelis Hakim.   

Pembuktian

Tahap pembuktian adalah fase krusial di mana para pihak mengajukan alat-alat bukti untuk menguatkan dalil-dalilnya. Pasal 100 UU PTUN menetapkan lima jenis alat bukti yang diakui, yaitu:

(a)     surat atau tulisan;

(b)    keterangan ahli;

(c)     keterangan saksi;

(d)    pengakuan para pihak; dan

(e)     pengetahuan hakim.

Berbeda dengan hukum acara perdata yang menganut sistem pembuktian terbatas dan formal, hakim PTUN memiliki kebebasan yang lebih luas dalam menilai kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti yang diajukan. Hal ini sejalan dengan peran aktif hakim untuk menemukan kebenaran materiil dalam sengketa administrasi.

Dalam konteks persidangan elektronik, SK KMA 363/2022 mengatur bahwa bukti surat diunggah secara digital, namun aslinya tetap harus diperlihatkan di persidangan untuk verifikasi. Sementara itu, pemeriksaan saksi dan ahli dapat dilakukan secara jarak jauh melalui media komunikasi audio visual (teleconference).   

Kesimpulan dan Musyawarah Hakim

Setelah tahap pembuktian dianggap cukup, Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan pendapat akhir mereka dalam bentuk kesimpulan tertulis. Sebagaimana diatur dalam Pasal 97 UU PTUN, setelah para pihak mengajukan kesimpulan, Majelis Hakim akan menunda sidang untuk melakukan musyawarah dalam ruang tertutup. Putusan diambil berdasarkan permufakatan bulat. Jika mufakat tidak tercapai, putusan diambil dengan suara terbanyak.   

Digitalisasi proses persidangan melalui e-court, yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, yang selanjutnya disebut “PERMA 7/2022”, dan petunjuk teknisnya, telah membawa perubahan signifikan. Transformasi dari interaksi fisik ke digital ini tidak hanya mengubah medium, tetapi juga menantang beberapa prinsip hukum acara konvensional.

Misalnya, PERMA 7/2022 menegaskan bahwa untuk perkara TUN, persidangan elektronik dapat digelar tanpa memerlukan persetujuan dari pihak tergugat. Meskipun hal ini bertujuan untuk efisiensi dan mencegah taktik mengulur waktu, ia juga memunculkan diskursus mengenai jaminan hak-hak tergugat dalam proses peradilan. Selain itu, verifikasi keaslian bukti elektronik dan jaminan independensi saksi dalam pemeriksaan daring menjadi tantangan baru yang harus dijawab oleh praktik peradilan untuk menjaga integritas dan prinsip persidangan yang adil (fair trial).   

Penutup

Tata cara pemeriksaan perkara di Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sebuah mekanisme hukum acara yang dirancang secara spesifik untuk menjalankan fungsi kontrol yudisial terhadap administrasi pemerintahan. Alur pemeriksaannya, mulai dari prosedur dismissal yang selektif, pemeriksaan persiapan yang mengedepankan peran aktif hakim, hingga pemeriksaan pokok perkara yang kini terintegrasi dengan teknologi, membentuk suatu proses yang terstruktur dan logis.

Setiap tahapan memiliki tujuan dan fungsi yang saling terkait untuk mencapai tujuan akhir, yaitu memberikan perlindungan hukum yang adil dan efektif bagi warga negara, tanpa melumpuhkan jalannya roda pemerintahan.

Modernisasi peradilan melalui implementasi e-court telah membawa angin segar dalam hal efisiensi, transparansi, dan aksesibilitas. Namun, transformasi digital ini juga menghadirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut adaptasi, baik dari segi regulasi maupun praktik. Isu-isu seperti validitas bukti elektronik, jaminan hak para pihak dalam persidangan virtual, dan kesenjangan digital menjadi diskursus penting yang harus terus dikaji.

Oleh karena itu, pengembangan hukum acara PTUN di masa depan harus bersifat adaptif, mampu menyeimbangkan antara tuntutan efisiensi prosesual dengan jaminan perlindungan hak-hak para pihak di era digital yang dinamis. Pada akhirnya, evolusi hukum acara ini harus senantiasa diarahkan untuk memperkuat posisi PTUN sebagai benteng keadilan administrasi dan pilar utama negara hukum Indonesia.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.