Pengantar
Kasus tindak pidana korupsi dalam tata niaga
komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode
2015-2022, yang menyeret nama Harvey Moeis, merupakan salah satu skandal
korupsi terbesar yang pernah terjadi di sektor sumber daya alam Indonesia.
Skala kejahatan ini tidak hanya diukur dari
kerugian finansial negara yang diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah,
tetapi juga mencakup dimensi kerugian ekologis yang monumental, dampak
kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya menjadi preseden penting dalam
diskursus penegakan hukum lingkungan dan korporasi di Indonesia.
Mengingat kompleksitas dan dampak
sistemiknya, kasus ini menjadi barometer krusial untuk menguji respons dan
kapasitas sistem peradilan pidana nasional.
Oleh karena itu, analisis mendalam terhadap
penalaran hukum (legal reasoning) yang digunakan oleh majelis hakim pada
setiap tingkatan peradilan menjadi sebuah urgensi.
Sebagaimana diuraikan oleh Shidarta,
penalaran hukum merupakan metode untuk memahami bagaimana hakim
mengidentifikasi fakta-fakta relevan, menyeleksi dan menafsirkan aturan-aturan
hukum, hingga akhirnya memformulasikan sebuah putusan yang dapat dipertanggungjawabkan.[1]
Sehingga menjadi krusial untuk membedah
apakah peradilan dalam kasus ini bergerak menuju pencapaian keadilan substantif
atau justru masih terbelenggu dalam kungkungan formalisme legalistik yang kerap
dikritik karena kering dari pertimbangan filosofis dan sosiologis.
Artikel ini berargumentasi bahwa evolusi
putusan dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), hingga Mahkamah
Agung (MA) dalam perkara Harvey Moeis merefleksikan sebuah pertarungan
paradigmatik dalam penalaran hukum. Di satu sisi, terdapat pendekatan
formalistik-positivistik yang tampak dominan pada putusan tingkat pertama, yang
menekankan pada pemenuhan unsur delik secara prosedural. Di sisi lain, terdapat
pendekatan substantif-progresif yang diadopsi secara tegas di tingkat banding
dan kemudian dikukuhkan di tingkat kasasi, sebagai respons yudisial
terhadap skala kejahatan yang luar biasa dan rasa keadilan publik yang terluka.
Analisis dalam artikel ini akan menggunakan
pendekatan yuridis-normatif dengan melakukan telaah mendalam terhadap dokumen
putusan, yang meliputi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 70/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst. tertanggal
23 Desember 2024, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
1/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI, tertanggal 13 Februari 2025 hingga Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5009 K/Pid.Sus/2025, tertanggal
25 Juni 2025. Analisis ini didukung oleh kerangka teori penalaran hukum
untuk membedah logika, koherensi, dan implikasi dari setiap pertimbangan hakim,
dengan ruang lingkup yang terbatas pada dakwaan tindak pidana korupsi dan
tindak pidana pencucian uang.
Konstruksi Yuridis Perkara dalam Surat
Dakwaan
Identifikasi Inti Masalah Hukum
Konstruksi yuridis yang dibangun oleh
Penuntut Umum dalam surat dakwaan menjadi fondasi bagi keseluruhan proses
peradilan. Inti masalah hukum yang dirumuskan adalah adanya suatu
persekongkolan jahat (mens rea) antara Terdakwa Harvey Moeis, yang
bertindak sebagai representasi atau perpanjangan tangan dari pihak swasta (PT
Refined Bangka Tin/RBT), dengan pejabat di lingkungan PT Timah Tbk. Tujuan
dari persekongkolan ini adalah untuk mengakomodasi dan melegalkan kegiatan
pertambangan timah ilegal di dalam wilayah IUP milik PT Timah Tbk.
Dengan menempatkan Terdakwa dalam posisi
sebagai fasilitator pertemuan dan perancang skema kerja sama ilegal,
Penuntut Umum mengonstruksikan perbuatan Terdakwa sebagai bentuk penyertaan (deelneming)
dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1)
ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), meskipun
Terdakwa bukan merupakan penyelenggara negara.
Analisis Unsur Pasal Korupsi dan TPPU
Surat dakwaan disusun secara kumulatif dan
alternatif, menjerat Terdakwa dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak
pidana asal dan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana lanjutannya.
Dakwaan Korupsi (Primair)
Dakwaan primair difokuskan pada pelanggaran Pasal
2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut dengan “UU Tipikor”,
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsur esensial
dalam dakwaan ini dijabarkan sebagai berikut:
-
Unsur “Secara Melawan Hukum”
Penuntut Umum menguraikan perbuatan melawan hukum Terdakwa
tidak hanya sebatas pelanggaran formal terhadap peraturan pertambangan, tetapi
juga mencakup serangkaian perbuatan curang. Terdakwa dituduh memfasilitasi
pertemuan dan kesepakatan yang memungkinkan operasional tambang ilegal, yang
kemudian disamarkan melalui skema sewa-menyewa alat peleburan dan dalih
penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk
menutupi aliran dana ilegal.
-
Unsur “Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau Suatu
Korporasi”
Dakwaan merinci bagaimana perbuatan tersebut secara langsung
memperkaya Terdakwa secara pribadi, serta memberikan keuntungan finansial yang
tidak sah kepada sejumlah korporasi yang terafiliasi dengannya dan para pelaku
lainnya.
-
Unsur “Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian
Negara”
Unsur ini menjadi sentral dan paling inovatif dalam
konstruksi dakwaan. Penuntut Umum tidak hanya mendalilkan adanya kerugian
keuangan negara yang timbul dari pembayaran atas bijih timah yang berasal dari
penambangan ilegal. Lebih dari itu, dakwaan secara progresif membangun argumen
adanya kerugian perekonomian negara yang dihitung berdasarkan kerusakan
lingkungan yang masif dan biaya pemulihan ekologis yang ditimbulkannya.
Dakwaan Pencucian Uang (Primair)
Untuk melengkapi dakwaan korupsi, Penuntut
Umum juga menjerat Terdakwa dengan Pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, yang selanjutnya disebut dengan “UU TPPU”,
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan ini berfokus
pada upaya Terdakwa untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penuntut Umum menelusuri
aliran dana hasil kejahatan yang ditransfer, dibelanjakan untuk aset-aset mewah,
atau ditempatkan pada berbagai instrumen keuangan untuk mengaburkan jejaknya.
Penggabungan dakwaan korupsi dengan kerugian
perekonomian negara yang berbasis pada kerusakan lingkungan merupakan sebuah
langkah strategis dan kualitatif dalam penuntutan kasus korupsi sumber daya
alam. Secara tradisional, kasus serupa seringkali hanya berfokus pada kerugian
keuangan negara yang dapat dihitung secara akuntanstik dari nilai komoditas
yang diambil secara ilegal.
Pendekatan ini kerap mengabaikan
eksternalitas negatif jangka panjang yang jauh lebih besar, yaitu kehancuran
ekosistem. UU Tipikor sendiri secara eksplisit menyediakan frasa “perekonomian
negara”, yang secara doktrinal memiliki cakupan lebih luas daripada sekadar “keuangan
negara”.
Penuntut Umum secara cerdas menghubungkan
fakta empiris berupa kerusakan lingkungan (yang dapat dihitung nilainya oleh
para ahli) dengan konsep yuridis “kerugian perekonomian negara”. Langkah ini
secara fundamental mengubah paradigma pembuktian, dari sekadar menghitung “apa
yang diambil” menjadi menghitung “apa yang dirusak beserta biaya
pemulihannya”.
Dengan demikian, strategi penuntutan ini
memaksa institusi peradilan untuk tidak lagi berpikir layaknya seorang akuntan
negara, melainkan sebagai penjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
ekonomi bangsa, sejalan dengan amanat luhur yang terkandung dalam Pasal
33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai
penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Penalaran Hakim Tingkat Pertama (Putusan PN
Tipikor No. 70/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst.)
Rekonstruksi Fakta Hukum dan Ratio
Decidendi
Pada tingkat pertama, Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melalui
Putusan Nomor 70/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst., menyatakan Terdakwa Harvey
Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi dan pencucian uang sebagaimana dakwaan primair Penuntut Umum. Berdasarkan
amar putusan dan pemberitaan yang meliput jalannya persidangan, dapat
direkonstruksi bahwa hakim meyakini fakta-fakta hukum mengenai peran Terdakwa
sebagai fasilitator pertemuan-pertemuan kunci, adanya aliran dana yang
diterimanya dari skema ilegal tersebut, serta keterlibatannya secara aktif
dalam operasional pertambangan meskipun ia tidak memiliki jabatan formal di PT
RBT.
Logika hukum (ratio decidendi) yang
digunakan majelis hakim tampaknya berfokus pada pembuktian formal unsur-unsur
delik. Hakim meyakini bahwa perbuatan Terdakwa memenuhi kualifikasi “turut
serta melakukan” perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
Namun, titik krusial yang menimbulkan
kontroversi publik adalah disparitas yang sangat tajam antara tuntutan
pidana Penuntut Umum, yaitu 12 tahun penjara, dengan vonis yang dijatuhkan,
yakni hanya 6 tahun dan 6 bulan penjara. Vonis yang jauh lebih ringan
ini mengindikasikan adanya pertimbangan-pertimbangan lain yang secara
signifikan mengurangi bobot kesalahan Terdakwa di mata majelis hakim.
Evaluasi Pertimbangan Memberatkan dan
Meringankan
Disparitas vonis tersebut dapat ditelusuri
pada pertimbangan memberatkan dan meringankan yang digunakan oleh majelis
hakim. Faktor utama yang menjadi pertimbangan meringankan, dan kemudian menjadi
sorotan tajam para pakar hukum dan publik, adalah bahwa Terdakwa dinilai “bersikap
sopan di persidangan” dan “mempunyai tanggungan keluarga”. Pertimbangan-pertimbangan
ini, jika dihadapkan pada skala kejahatan yang didakwakan, menunjukkan adanya
persoalan koherensi dan proporsionalitas yang serius.
Pertimbangan tersebut bersifat sangat
formalistik dan berorientasi pada aspek prosedural di ruang sidang, seraya
mengabaikan dampak substantif dari kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary
crime). Hal ini merupakan contoh klasik dari apa yang dikritik bahwa suatu
putusan pengadilan yang harus dilihat sebagai produk hukum yang ia menjadi “tandus
dari kandungan dan karakter hukum” serta “kering pertimbangan filosofis dan
sosiologis”.
Terdapat sebuah “celah nalar” (reasoning
gap) yang menganga antara pengakuan hakim bahwa Terdakwa terbukti melakukan
kejahatan dengan kerugian negara yang masif, dengan penjatuhan pidana yang
relatif ringan yang didasarkan pada faktor kesopanan. Majelis hakim gagal
memberikan argumentasi logis yang memadai untuk menjelaskan bagaimana faktor “sopan”
dapat secara proporsional mereduksi hukuman atas kejahatan yang merugikan
perekonomian negara hingga ratusan triliun rupiah.
Hal ini mengindikasikan adanya bias
interpretasi yang cenderung legalistik-positivistik, di mana pemenuhan unsur
delik dipandang sebagai satu tahap, sementara penjatuhan pidana (strafmaat)
dipandang sebagai tahap lain yang sangat dipengaruhi oleh perilaku subjektif
Terdakwa di ruang sidang, tanpa mengintegrasikannya dengan tujuan pemidanaan
yang lebih luas seperti efek jera (deterrence) dan pemulihan kerugian.
Vonis ringan di tingkat pertama ini dapat
dipahami bukan sekadar sebagai kekeliruan diskresi hakim, melainkan sebagai
manifestasi dari “budaya hukum” peradilan tingkat pertama yang cenderung
menghindari risiko (risk-averse). Ketika dihadapkan pada sebuah konsep
hukum yang relatif baru dan berskala masif seperti “kerugian perekonomian
negara” akibat kerusakan ekologis, hakim cenderung kembali ke “jalur aman”.
Jalur aman ini adalah dengan berpegang pada
pembuktian unsur-unsur yang lebih formal dan terukur (seperti adanya pertemuan
dan aliran dana) serta menggunakan pertimbangan meringankan yang bersifat
standar, subjektif, dan sulit untuk diperdebatkan secara prosedural, seperti
sopan santun dan status keluarga.
Dengan memfokuskan bobot kesalahan pada
kerugian keuangan yang lebih “pasti” (sejumlah uang yang dinikmati Terdakwa)
dan secara implisit mengurangi bobot kerugian ekologis yang dianggap lebih “abstrak”,
hakim dapat membangun justifikasi untuk vonis yang lebih rendah. Sikap ini
menunjukkan adanya keengganan institusional di tingkat pertama untuk melakukan
terobosan hukum (judicial activism).
Dalam posisi ini, hakim lebih berfungsi
sebagai “corong undang-undang” (bouche de la loi) dalam pengertiannya
yang paling sempit, dan secara efektif menyerahkan beban untuk membuat
interpretasi yang lebih progresif dan berkeadilan kepada lembaga peradilan yang
lebih tinggi.
Koreksi Yudisial di Tingkat Banding (Putusan
PT DKI No. 1/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI)
Analisis Ratio Decidendi dan
Pergeseran Paradigma
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
1/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI menjadi titik balik yang fundamental dalam perjalanan
kasus ini. Majelis hakim tingkat banding secara drastis mengubah putusan
Pengadilan Negeri, memperberat hukuman pidana penjara bagi Harvey Moeis menjadi
20 tahun dan menaikkan pidana tambahan uang pengganti menjadi Rp 420
miliar. Perubahan radikal ini didasarkan pada ratio decidendi yang
sama sekali berbeda dari pengadilan tingkat pertama.
Alasan utama di balik pemberatan hukuman ini
adalah penilaian ulang yang mendalam terhadap dampak dan keseriusan
kejahatan. Secara eksplisit, majelis hakim banding menyatakan bahwa “perbuatan
terdakwa sangatlah menyakiti hati rakyat, di saat ekonomi susah terdakwa
melakukan tindak pidana korupsi”. Pernyataan ini menandai pergeseran
paradigma penalaran yang signifikan, dari yang semula formalistik-prosedural
menjadi penalaran yang berorientasi pada keadilan substantif dan dampak sosial
kejahatan, sebuah pendekatan yang sangat kental dengan nuansa aliran sociological
jurisprudence.
Hakim banding memberikan bobot yang jauh
lebih besar pada skala kerugian perekonomian negara akibat kerusakan
lingkungan, sebuah aspek yang sebelumnya tampak kurang mendapat penekanan di
tingkat pertama. Selain itu, peran Terdakwa dinilai kembali bukan sebagai
partisipan biasa, melainkan sebagai aktor intelektual atau fasilitator kunci
yang perannya sangat krusial dalam keseluruhan skema korupsi.
Secara tegas, majelis hakim banding
menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan meringankan yang digunakan oleh
Pengadilan Negeri. Dalam pertimbangannya, hakim banding menyatakan bahwa “hal
meringankan tidak ada”. Langkah ini merupakan penolakan implisit yang kuat
terhadap relevansi faktor “sopan” dan “berkeluarga” dalam konteks kejahatan
luar biasa yang menimbulkan kerugian sistemik.
Dengan demikian, hakim banding telah
menyeimbangkan asas legalitas (yang menuntut pembuktian unsur-unsur pasal
secara cermat) dengan tujuan pemidanaan yang lebih luas, yakni untuk memenuhi
rasa keadilan masyarakat (sense of justice) dan memulihkan kepercayaan
publik terhadap institusi peradilan.
Putusan banding ini dapat dibaca sebagai
sebuah pernyataan yudisial (judicial statement) yang menegaskan bahwa
dalam menangani kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pengadilan
tidak dapat dan tidak boleh beroperasi dalam ruang hampa sosial. Rasa keadilan
publik, yang dimediasi melalui diskursus publik yang intens di media massa dan
di antara para ahli hukum, menjadi sebuah faktor yuridis-sosiologis yang sah
untuk dipertimbangkan oleh hakim dalam menafsirkan “beratnya” suatu kejahatan
dan menentukan proporsionalitas hukuman.
Putusan Pengadilan Negeri yang dinilai
terlalu ringan telah memicu reaksi keras dan kekecewaan publik yang luas, yang
disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari pakar hukum hingga
pejabat tinggi negara. Tekanan sosial-politik yang timbul dari diskursus
ini menciptakan sebuah konteks yang tidak dapat diabaikan oleh Pengadilan
Tinggi sebagai lembaga yudisial yang memiliki fungsi kontrol dan koreksi.
Frasa “menyakiti hati rakyat” bukanlah
sekadar retorika, melainkan verbalisasi dari proses internalisasi diskursus
publik tersebut ke dalam pertimbangan hukum hakim. Dengan demikian,
apa yang semula dianggap sebagai faktor “non-hukum” (sentimen publik) telah
bertransformasi menjadi bagian dari ratio decidendi untuk
menjustifikasi pemberatan hukuman. Hal ini mengaburkan batas kaku antara
pertimbangan hukum murni dan pertimbangan sosial-politik, sebuah fenomena yang
sejalan dengan pandangan aliran Realisme Hukum (Legal Realism) bahwa
hakim tidak pernah memutuskan dalam sebuah vakum.
Ujian Judex Juris di
Mahkamah Agung (Putusan MA No. 5009 K/Pid.Sus/2025)
Analisis Ratio Decidendi dan
Afirmasi Yurisprudensi
Puncak dari perjalanan yudisial kasus ini
berada di Mahkamah Agung, yang dalam kapasitasnya sebagai judex juris (pengadilan
tingkat kasasi yang mengadili penerapan hukum, bukan fakta) memeriksa
permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak Terdakwa maupun Penuntut Umum.
Melalui Putusan Nomor 5009 K/Pid.Sus/2025, Mahkamah Agung menjatuhkan amar “Tolak”.
Putusan ini secara efektif menolak seluruh
dalil kasasi dari kedua belah pihak dan mengukuhkan putusan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta, sehingga vonis 20 tahun penjara bagi Harvey Moeis menjadi
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dengan menolak permohonan kasasi, Mahkamah
Agung secara implisit namun tegas menyatakan bahwa penalaran hukum yang
digunakan oleh judex facti di tingkat banding telah benar
dalam menerapkan hukum. Ini berarti, pendekatan substantif yang diadopsi oleh
Pengadilan Tinggi (termasuk pemberatan hukuman dengan mempertimbangkan dampak
sosial yang luas dan rasa keadilan public) dianggap tidak melampaui kewenangan
hakim dan tidak bertentangan dengan hukum acara maupun hukum materiil yang
berlaku.
Beberapa isu hukum krusial yang diuji dan
pada akhirnya diafirmasi oleh Mahkamah Agung melalui putusan ini antara lain:
-
Legitimasi Kerugian Perekonomian Negara
Penolakan kasasi ini menjadi afirmasi yurisprudensial
tertinggi atas legitimasi penggunaan perhitungan kerugian ekologis sebagai
komponen dari “kerugian perekonomian negara” dalam tindak pidana korupsi.
Langkah ini memberikan landasan hukum yang lebih kokoh bagi penegak hukum untuk
menjerat pelaku korupsi di sektor sumber daya alam dengan tuntutan yang
mencerminkan kerusakan total yang ditimbulkan.
-
Diskresi Hakim dalam Pemidanaan (Strafmaat)
Mahkamah Agung mengukuhkan bahwa disparitas yang signifikan
antara vonis Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi merupakan bagian dari
kebebasan dan independensi hakim dalam menilai berat ringannya suatu perbuatan
pidana, sepanjang penjatuhan pidana tersebut masih berada dalam koridor ancaman
hukuman maksimal yang diatur oleh undang-undang.
-
Status Kerugian BUMN
Kasus ini melibatkan PT Timah Tbk, sebuah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Putusan ini memperkuat yurisprudensi bahwa kerugian yang terjadi
pada BUMN akibat perbuatan melawan hukum yang melibatkan kolusi antara
pejabatnya dengan pihak swasta dapat dikualifikasikan sebagai kerugian keuangan
atau perekonomian negara, sekaligus menepis argumen yang mencoba memisahkan
kekayaan BUMN dari keuangan negara.
Penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung
bukanlah sekadar tindakan yudisial yang pasif, melainkan sebuah pengesahan (endorsement)
yang aktif terhadap paradigma penalaran substantif yang telah diterapkan oleh
Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung secara efektif telah turut serta menciptakan
yurisprudensi yang mengizinkan “rasa keadilan publik” dan “dampak sosial yang
masif” sebagai pertimbangan yang valid dalam penentuan beratnya hukuman (strafmaat)
untuk kasus-kasus korupsi yang bersifat luar biasa.
Dengan memilih untuk tidak mengintervensi
putusan banding, Mahkamah Agung secara sadar melegitimasi penalaran Pengadilan
Tinggi. Ini tidak berarti bahwa “rasa keadilan publik” diangkat menjadi sumber
hukum primer, tetapi Mahkamah Agung mengakui bahwa hal tersebut merupakan
faktor kontekstual yang relevan bagi hakim dalam menjalankan diskresi
yudisialnya demi mencapai tujuan hukum yang lebih tinggi, yakni keadilan
substantif, yang dalam kasus ini dipandang melampaui sekadar kepastian hukum
formal.
Putusan ini mengirimkan sinyal kuat kepada
para hakim di seluruh Indonesia bahwa dalam menangani kejahatan luar biasa,
mereka tidak hanya diharapkan bertindak sebagai teknisi hukum, tetapi juga
sebagai penjaga keadilan sosial dan ekonomi.
Implikasi Putusan Terhadap Pengembangan
Hukum Pidana
Putusan akhir dalam kasus Harvey Moeis yang
telah berkekuatan hukum tetap ini membawa implikasi signifikan bagi
pengembangan hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam konteks pemberantasan
korupsi dan kejahatan korporasi.
Pertama, putusan ini secara definitif
mengukuhkan doktrin bahwa kerugian ekologis merupakan bagian integral dari
kerugian perekonomian negara. Ini membuka jalan bagi penuntutan yang lebih
efektif dan hukuman yang lebih berat dalam kasus-kasus perusakan lingkungan
yang berhulu dari praktik korupsi. Ke depan, Penuntut Umum memiliki landasan
yurisprudensi yang kuat untuk tidak hanya menuntut pengembalian keuntungan
ilegal, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban atas biaya pemulihan lingkungan
yang hancur.
Kedua, putusan ini menegaskan prinsip
pertanggungjawaban pidana bagi aktor non-pemerintah dalam skema korupsi. Kasus
ini membuktikan bahwa pihak swasta yang bertindak sebagai fasilitator,
inisiator, atau “perpanjangan tangan” dari kejahatan yang melibatkan pejabat
publik dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dengan bobot kesalahan yang
setara, bahkan mungkin lebih berat, daripada pelaku dari sektor publik itu
sendiri. Hal ini mengikis pandangan sempit yang hanya memfokuskan penindakan
korupsi pada penyelenggara negara.
Ketiga, dengan terbuktinya dakwaan pencucian
uang secara kumulatif, putusan ini memperkuat integrasi antara rezim
anti-korupsi dan rezim anti-pencucian uang. Penegak hukum didorong untuk selalu
menggunakan pendekatan follow the money dan menerapkan UU TPPU
sebagai instrumen yang tidak terpisahkan dari penanganan delik korupsi. Hal ini
tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku, tetapi yang lebih penting adalah
untuk merampas aset hasil kejahatan secara lebih efektif dan memutus rantai
finansial para koruptor.
Simpulan dan Opini
Rangkaian putusan dalam perkara Harvey
Moeis, dari tingkat pertama hingga kasasi, dapat dibaca sebagai sebuah drama
yudisial yang mempertontonkan transisi penalaran hukum di Indonesia. Proses ini
bergerak dari formalisme prosedural yang cenderung dangkal dan terisolasi dari
konteks sosial di Pengadilan Negeri, menuju sebuah penalaran yang berorientasi
pada keadilan substantif dan peka terhadap dampak sosial di Pengadilan Tinggi,
yang pada akhirnya dikukuhkan sebagai sebuah yurisprudensi baru oleh Mahkamah Agung.
Putusan akhir ini secara umum diapresiasi karena dianggap lebih memenuhi rasa
keadilan publik yang terluka oleh skala kejahatan yang luar biasa.
Namun, di balik hasil akhir yang progresif
tersebut, terdapat beberapa catatan kritis yang perlu direfleksikan. Disparitas
yang ekstrem antara putusan Pengadilan Negeri (6 tahun 6 bulan) dan Pengadilan
Tinggi (20 tahun) menunjukkan adanya inkonsistensi yang mengkhawatirkan dalam
sistem peradilan pidana.
Hal ini menyoroti ketiadaan pedoman
pemidanaan (sentencing guidelines) yang objektif untuk tindak pidana
korupsi, yang mengakibatkan penjatuhan pidana menjadi sangat bergantung pada
interpretasi dan paradigma penalaran majelis hakim yang memeriksa perkara.
Selain itu, kasus ini juga memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh diskursus
publik dalam mengawal dan bahkan “mengkoreksi” jalannya proses hukum.
Meskipun dalam kasus ini hasilnya positif,
fenomena ini memunculkan pertanyaan reflektif yang fundamental: di manakah
batas antara akuntabilitas sosial peradilan dan risiko terjadinya “peradilan
oleh massa” (trial by mob)?
Catatan Rekomendatif: Menuju Justice
as Fairness
Putusan akhir dalam kasus ini dapat
dikatakan mendekati konsep keadilan sebagai kewajaran (justice as fairness),
karena ia berusaha menyeimbangkan antara hak-hak individu Terdakwa dengan
kerugian kolektif yang diderita oleh masyarakat dan negara. Namun, proses untuk
mencapai titik tersebut tidaklah mulus dan menyingkap beberapa kelemahan
sistemik. Untuk perbaikan ke depan, beberapa langkah rekomendatif perlu
dipertimbangkan:
1.
Bagi Mahkamah Agung
Mendesak untuk segera menyusun dan memberlakukan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) tentang Pedoman Pemidanaan untuk Tindak Pidana Korupsi.
Pedoman ini harus secara eksplisit memasukkan faktor-faktor objektif seperti
skala kerugian (termasuk kerugian ekologis), dampak sistemik kejahatan, dan
posisi atau peran Terdakwa dalam skema kejahatan sebagai acuan bagi hakim di
seluruh Indonesia dalam menjatuhkan pidana yang proporsional dan konsisten.
2. Bagi Pendidikan
Hukum
Kurikulum di fakultas-fakultas hukum harus diperkaya dengan
studi yang lebih mendalam mengenai teori penalaran hukum (legal reasoning)
dan filsafat hukum. Hal ini bertujuan agar para calon penegak hukum di
masa depan tidak hanya berpikir secara dogmatis-positivistik, tetapi juga
dibekali kemampuan untuk melakukan penalaran yang kontekstual, kritis, dan
berorientasi pada pencapaian keadilan substantif.
3. Bagi Legislatif
Perlu dipertimbangkan untuk melakukan revisi terhadap UU
Tipikor guna memperjelas definisi dan metode penghitungan “kerugian
perekonomian negara”, khususnya yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan.
Klarifikasi legislatif ini akan mengurangi area abu-abu yang sering menjadi
titik perdebatan dalam persidangan dan memberikan kepastian hukum yang lebih
besar bagi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi di sektor sumber
daya alam.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1] Henket, Teori Argumentasi dan
Hukum, terj. B. Arief Sidharta (Bandung: Penerbitan Tidak Berkala No. 6
Laboratorium Hukum FH Unpar, 2003), 12.


