layananhukum

Eksekusi Hak Asuh Anak (Hadhanah) di Pengadilan Agama: Prosedur, Problematika, dan Alasan Peralihan dari Ibu ke Ayah

 

Pertanyaan

Selamat pagi bang, izin bang mau nanya. Saya sedang mendalami soal tata cara eksekusi hak asuh anak (hadhanah) di Pengadilan Agama, dan ternyata banyak sisi praktis maupun problematis yang menarik untuk digali. Misalnya dari sisi prosedural, saya penasaran:

1.        Bagaimana mekanisme eksekusi hak asuh anak di Pengadilan Agama ketika pihak yang kalah menolak menyerahkan anak secara sukarela?;

2.       Apakah eksekusi hak asuh dapat dilakukan dengan bantuan aparat kepolisian, dan sejauh mana batasan kewenangan mereka dalam praktiknya?;

3.      Bagaimana posisi anak yang sudah cukup dewasa (misalnya di atas 12 tahun) dalam proses eksekusi, apakah pendapat anak bisa menghalangi pelaksanaan putusan?

Lalu dari sisi kasuistis yang lebih tajam, saya juga ingin tahu:

4.       Jika seorang ibu yang memenangkan hak asuh ternyata membawa anak ke luar negeri tanpa izin, apakah eksekusi putusan Pengadilan Agama masih dapat dijalankan?

5.       Bagaimana jika anak sendiri menolak ikut pihak yang memenangkan hak asuh, apakah hakim tetap dapat memaksa eksekusi?

6.      Apakah eksekusi hak asuh bisa ditunda bila ada indikasi trauma psikologis pada anak akibat pemisahan paksa?

Selain itu, saya juga menemukan bahwa meskipun secara fiqh dan praktik peradilan hak asuh anak kecil biasanya jatuh ke ibu, ada kondisi tertentu yang bisa membuat penguasaan anak dialihkan ke ayah. Misalnya:

-        Ketika ibu lalai atau tidak mampu memberikan perawatan dasar (makanan, pendidikan, kesehatan), atau bahkan meninggalkan anak dalam jangka waktu lama tanpa alasan sah.

-        Jika ibu melakukan kekerasan fisik maupun psikis, atau terlibat dalam perilaku tercela seperti penyalahgunaan narkoba atau pergaulan bebas yang bisa merusak moral anak.

-        Dalam kondisi khusus, misalnya anak sudah berusia mumayyiz (sekitar 12 tahun ke atas) dan memilih tinggal bersama ayah, atau anak membutuhkan perhatian khusus yang lebih mampu dipenuhi oleh ayah.

-        Atau secara prinsip, ketika kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) lebih terjamin bersama ayah.

Nah, dari situ muncul juga beberapa pertanyaan kasuistis yang unik untuk diskusi:

7.        Jika seorang ibu yang memenangkan hak asuh ternyata menikah lagi dengan pria yang tidak disukai anak, apakah hal itu bisa menjadi dasar pengalihan hak asuh ke ayah?

8.      Bagaimana jika ayah terbukti lebih mapan secara ekonomi, tetapi ibu lebih dekat secara emosional dengan anak—apakah hakim akan tetap mempertahankan hak asuh pada ibu?

9.      Dalam kasus di mana ibu tinggal di lingkungan yang rawan kriminalitas, sementara ayah tinggal di lingkungan yang lebih aman, apakah faktor lingkungan bisa menjadi alasan pengalihan hak asuh?

10.    Apakah hak asuh bisa dialihkan ke ayah bila terbukti ibu menghalangi hubungan anak dengan ayah (parental alienation)?

Itu bang, kira-kira bagaimana pandangan abang terkait problematika ini? Karena menurut saya, isu eksekusi hadhanah bukan hanya soal prosedur hukum, tapi juga menyentuh aspek psikologis, sosial, bahkan moral anak.

Jawaban

Putusnya ikatan perkawinan melalui perceraian di Pengadilan Agama tidak serta-merta memutuskan hubungan hukum dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Justru, perceraian seringkali menjadi gerbang awal dari sengketa hukum yang lebih kompleks dan sensitif, salah satunya adalah sengketa mengenai hak asuh anak atau hadhanah.

Isu ini menjadi salah satu aspek paling pelik dalam hukum keluarga karena tidak hanya menyangkut hak dan kewajiban yuridis para pihak, tetapi juga secara langsung bersinggungan dengan masa depan, kondisi psikologis, dan tumbuh kembang anak sebagai subjek hukum yang rentan.

Seluruh kerangka hukum dan pertimbangan hakim dalam sengketa hadhanah berporos pada satu prinsip fundamental yang tidak dapat ditawar: kemaslahatan terbaik bagi anak (the best interest of the child).

Prinsip ini diamanatkan secara tegas, baik oleh hukum positif nasional melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perlindungan Anak”, maupun oleh falsafah hukum Islam yang terkandung dalam maqashid al-syari'ah, khususnya pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs) dan keturunan (hifz al-nasl).

Artikel ini akan menganalisis secara mendalam dualisme yang kerap terjadi dalam praktik peradilan yaitu di satu sisi, terdapat kepastian hukum normatif yang cenderung memberikan hak prioritas kepada ibu untuk anak yang belum mumayyiz, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut “KHI. Di sisi lain, terdapat tuntutan keadilan substantif yang mendorong hakim untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) atau bahkan terobosan hukum (contra legem) demi mewujudkan kemaslahatan anak dalam situasi-situasi partikular yang tidak terakomodasi oleh teks hukum secara kaku.

Fokus utama tulisan ini akan diberikan pada fase eksekusi putusan, sebuah tahap krusial di mana putusan hakim diuji secara nyata di lapangan dan seringkali menghadapi tantangan yuridis, praktis, dan psikologis yang sangat kompleks.

Kerangka Hukum Hak Asuh Anak (Hadhanah) di Indonesia

Pengertian dan Filosofi Hadhanah

Dalam terminologi hukum Islam, hak asuh anak dikenal dengan istilah hadhanah (الحضانة). Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata hadhana-yahdhunu-hadhnan (حضن - يحضن - حضنا) yang berarti merawat atau memeluk anak.[1] Kata ini juga, Menurut Kamal Muhtar memberi pengertian hadhanah dapat merujuk pada al-hidn (الحضن), yang berarti bagian tubuh di bawah ketiak hingga rusuk atau pangkuan, merefleksikan tindakan ibu yang melindungi anaknya dalam dekapannya.[2] 

Gambaran ini diperjelas dengan ungkapan:

وحضن الطائر بيضه إذا ضمه الى نفسه تحت جناحه وذالك المراة إذا ضمنت ولدها,

yang artinya:

Burung itu melindungi telurnya di bawah sayapnya, demikian pula perempuan (Ibu) yang melindungi anaknya”.[3]

Pandangan lain yang serupa dalam istilah fikih tentang hadhanah adalah tugas menjaga, mengasuh atau mendidik bayi/anak kecil sampai mampu menjaga atau dapat mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti tugas hadhanah akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus.[4] Selanjutnya ditegaskan pula oleh Peunoh Daly, yang mengemukakan bahwa definisi hadhanah ialah pekerjaan yang berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak-anak yang masih kecil, tidak tau apa-apa dan lemah fisik.[5]

Menurut ulama Hanafiyah, hadhanah adalah tanggung jawab sepenuhnya seseorang untuk memberikan perawatan, pendidikan, serta memastikan kesejahteraan anak dengan penuh kasih sayang dan cinta. Sementara menurut ulama Syafi'iyah, definisi hadhanah adalah bertanggung jawab atas semua kebutuhan individu yang tidak dapat merawat dirinya sendiri, termasuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan melindunginya dari potensi bahaya, bahkan setelah mencapai kedewasaan. Sementara ulama malikiyah memiliki pandangan yang sama dengan ulama Syafi’iyah.[6]

Filosofi hadhanah dalam hukum keluarga Islam menempatkan ibu sebagai figur sentral bagi anak yang belum mencapai usia mumayyiz (mampu membedakan baik dan buruk). Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa ibu secara naluriah memiliki kedekatan emosional, kasih sayang, dan kesabaran yang lebih dominan, yang sangat krusial dalam fase pembentukan karakter dan perkembangan psikologis awal seorang anak.

Dasar Hukum Primer dan Sekunder

Regulasi mengenai hadhanah di Indonesia merupakan bentuk sinkretisme hukum, di mana substansi hukumnya diambil dari fikih Islam, namun dibingkai dalam sistem hukum nasional. Berikut adalah landasan hukum yang relevan:

1.        Hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadis)

Landasan utama hak ibu dalam mengasuh anak dapat dirujuk pada firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 233, yang secara implisit menunjukkan kedekatan ibu dengan anaknya dalam masa penyusuan selama dua tahun penuh. Ayat tersebut berbunyi:

 


Selain itu, terdapat hadis riwayat Abu Daud yang sangat populer, di mana seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah SAW perihal anaknya, lalu beliau bersabda:

 

Hadis ini sering menjadi rujukan utama dalam sengketa hadhanah.   

2.       Hukum Nasional:

-        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perkawinan”. Pasal 41 huruf (a) UU Perkawinan menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian, “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya”. Pasal 45 UU Perkawinan menegaskan kembali kewajiban bersama ini;

-        UU Perlindungan Anak, Undang-undang ini menjadi payung hukum tertinggi dalam semua perkara yang menyangkut anak. Pasal 2 huruf (b) UU Perlindungan Anak secara eksplisit menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak harus berlandaskan pada asas “kepentingan yang terbaik bagi anak”. Asas ini memberikan hakim landasan yang kuat untuk melakukan penafsiran hukum yang melampaui teks-teks normatif lainnya demi melindungi anak; 

-        Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya disebut dengan “KHI”. KHI menjadi pedoman utama bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Pasal 105 KHI menyatakan:

a.       Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

c.       Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.    

Interaksi antara berbagai sumber hukum ini terkadang menciptakan hierarki norma yang multitafsir. Hakim Pengadilan Agama secara de jure terikat pada KHI. Namun, ketika ketentuan dalam KHI (misalnya, gugurnya hak ibu karena murtad) dinilai berpotensi bertentangan dengan prinsip umum “kepentingan terbaik anak” dalam UU Perlindungan Anak yang kedudukannya lebih tinggi, hakim dihadapkan pada pilihan sulit yaitu mengikuti KHI secara tekstual atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) berdasarkan undang-undang yang lebih tinggi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa putusan pengadilan dalam kasus serupa bisa bervariasi.

Syarat-Syarat dan Pihak yang Berhak atas Hadhanah

Menurut doktrin fikih, seorang pemegang hak asuh (hadhin atau hadhinah) harus memenuhi beberapa syarat kumulatif, antara lain: berakal sehat, dewasa (baligh), memiliki kemampuan untuk mendidik dan merawat, dapat dipercaya (amanah), berkelakuan baik, dan beragama Islam. Syarat beragama Islam menjadi krusial karena pengasuhan berkaitan erat dengan pendidikan akidah anak.    

Apabila ibu sebagai pemegang hak prioritas utama dianggap tidak memenuhi syarat atau berhalangan, maka hak hadhanah beralih kepada pihak lain secara berjenjang. Pasal 156 KHI mengatur urutan tersebut, yang secara jelas mengutamakan garis keturunan dari pihak ibu, yaitu:

1.        Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu (nenek dari pihak ibu, dan seterusnya).

2.       Ayah.

3.      Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah (nenek dari pihak ayah, dan seterusnya).

4.       Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

5.       Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu dan ayah.    

Peralihan Hak Asuh dari Ibu kepada Ayah: Alasan dan Pertimbangan Hakim

Prinsip Utama: Hak Prioritas Ibu (Pro Legem)

Titik tolak setiap sengketa hadhanah di Pengadilan Agama adalah norma utama (default rule) yang terkandung dalam Pasal 105 huruf (a) KHI: anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. Penerapan langsung pasal ini merupakan bentuk penegakan hukum secara pro legem, atau sesuai dengan bunyi teks undang-undang. Pada praktiknya, mayoritas putusan Pengadilan Agama menetapkan hak asuh anak di bawah umur kepada ibu, kecuali jika pihak ayah mampu membuktikan adanya kondisi-kondisi luar biasa yang dapat menggugurkan hak tersebut.

Kondisi-Kondisi Pengecualian: Faktor-Faktor Peralihan

Peralihan hak asuh dari ibu kepada ayah merupakan sebuah pengecualian yang memerlukan pembuktian yang kuat di persidangan. Hakim tidak dapat mengalihkan hak asuh hanya berdasarkan asumsi, melainkan harus didasarkan pada fakta-fakta hukum yang secara kolektif meyakinkan bahwa kemaslahatan anak tidak lagi terjamin jika tetap berada dalam asuhan ibunya. Berikut adalah faktor-faktor yang sering menjadi pertimbangan hakim:

1.        Kelalaian Berat dan Perilaku Tercela

Hakim dapat mengalihkan hak asuh jika terbukti ibu secara berat melalaikan kewajibannya atau menunjukkan perilaku tercela yang dapat membahayakan tumbuh kembang anak. Penafsiran “kelalaian” atau “perilaku buruk” ini tidak bersifat subjektif, melainkan harus didukung oleh bukti-bukti konkret, seperti kesaksian yang konsisten, bukti visual, atau laporan dari pihak berwenang. Contohnya antara lain:

-         Kekerasan Fisik maupun Psikis, adanya bukti bahwa ibu melakukan kekerasan terhadap anak.

-         Keterlibatan dalam Tindak Pidana, Ibu terlibat dalam kejahatan, terutama yang berkaitan dengan narkotika atau kejahatan asusila.

-         Meninggalkan Anak, Ibu meninggalkan anak dalam jangka waktu yang lama tanpa alasan yang sah dan tanpa memastikan pengasuhan yang layak.    

2.        Murtad (Pindah Agama) dan Pernikahan Kembali Ibu

Faktor agama dan pernikahan kembali ibu merupakan dua alasan yang paling sering diperdebatkan dan menjadi dasar pertimbangan hakim yang kompleks.

Kita dapat mencermati Studi Kasus Putusan PA Mempawah Nomor 354/Pdt.G/2024/PA.Mpw., tertanggal 6 Maret 2025 dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Pontianak Nomor 9/Pdt.G/2025/PTA.Ptk., tertanggal 27 Maret 2025., yang mana kemudian diperkuat dengan ditolaknya Kasasi oleh Majelis Kasasi sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 563 K/AG/2025., tertanggal 15 Oktober 2025. Dalam kasus ini, Pengadilan Agama Mempawah mengabulkan gugatan ayah untuk mendapatkan hak asuh atas kedua anaknya yang masih di bawah umur. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Pontianak dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

-       Duduk Perkara

Ayah (Penggugat) mendalilkan bahwa ibu (Tergugat) telah murtad (keluar dari agama Islam), menikah lagi dengan pria non-Muslim kurang dari sebulan setelah bercerai, dan bersifat tempramental. Penggugat khawatir akidah anak-anaknya yang lahir sebagai Muslim akan terganggu.

-       Fakta-Fakta yang Terungkap di Persidangan

Bahwa telah terbukti di persidangan bahwa ibu memang telah kembali ke agama semula (Kristen), menikah lagi di gereja dengan suami baru yang juga beragama Kristen, dan saat persidangan sedang hamil dari suami barunya tersebut.    

-        Pertimbangan Hukum Hakim

Majelis hakim di kedua tingkatan peradilan (judex factie) dan juga di tingkat terakhir di Mahkamah Agung (judex juris) secara eksplisit menjadikan kondisi murtad dan pernikahan kembali ibu dengan pria non-Muslim sebagai alasan utama gugurnya hak hadhanah. Hakim mengutip Hadis “Anti ahaqqu bihi ma lam tankihi” (“Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah lagi”) dan pandangan ulama fikih yang menyatakan bahwa kesibukan ibu dengan suami baru dikhawatirkan akan mengurangi perhatian kepada anak. Lebih jauh, hakim menekankan pentingnya pemeliharaan agama (hifz al-din) anak. Sesuai Pasal 42 ayat (2) UU Perlindungan Anak, sebelum anak dapat memilih agamanya sendiri, agama anak mengikuti agama orang tuanya. Karena saat menikah kedua orang tua beragama Islam, maka anak-anak secara hukum beragama Islam, dan pengasuhan oleh ibu yang telah berpindah agama dinilai dapat membahayakan akidah anak.    

-        Analisis Kritis

Kasus ini menunjukkan bagaimana hakim dapat menerapkan Hadis secara tekstual dan memprioritaskan aspek pemeliharaan agama dalam menafsirkan “kepentingan terbaik anak”. Namun, pandangan hukum yang lebih progresif berargumen bahwa pernikahan kembali atau perbedaan agama tidak secara otomatis menggugurkan hak asuh, selama ibu tetap dapat menjamin kesejahteraan fisik dan mental anak. Putusan hakim sangat bergantung pada keyakinan dan pendekatan interpretasi yang dianutnya.    

3.      Yurisprudensi Kunci: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 110 K/AG/2007, tertanggal 7 Desember 2007

Yurisprudensi ini telah menjadi landasan fundamental bagi hakim-hakim Pengadilan Agama untuk melakukan terobosan hukum dan memprioritaskan keadilan substantif di atas kepastian hukum normatif.    

-        Kaidah Hukum

Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menegaskan kaidah bahwa:

“Prinsip yang harus dikedepankan dalam masalah hak asuh anak/hadhanah bukanlah semata-mata siapa yang paling berhak, akan tetapi adalah semata-mata untuk kepentingan anak, yaitu fakta siapa yang lebih mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak.

-        Konteks Kasus

Dalam perkara tersebut, hak asuh anak yang belum berusia 7 tahun diserahkan kepada ayahnya. Alasannya, terbukti di persidangan bahwa si ibu sering bepergian ke luar negeri sehingga tidak jelas siapa yang akan mengasuh anak, sementara anak tersebut telah terbukti hidup tenang dan tenteram bersama ayahnya.

-        Implikasi

Yurisprudensi ini memberikan legitimasi bagi hakim untuk menyimpangi ketentuan Pasal 105 KHI jika terdapat bukti kuat bahwa kondisi faktual anak lebih terjamin bersama ayah. Ini adalah manifestasi dari penerapan asas the best interest of the child secara konkret.

Diskusi Kasuistis Tambahan

Berdasarkan kerangka hukum dan yurisprudensi di atas, beberapa pertanyaan kasuistis dapat dicermati sebagai berikut, yang sebelumnya Anda tanyakan antara lain:

(1)      Jika ibu menikah lagi dengan pria yang tidak disukai anak, apakah hak asuh bisa dialihkan?

Ketidaksukaan anak bukanlah alasan hukum yang kuat untuk peralihan hak asuh, terutama jika anak belum mumayyiz. Namun, hal ini bisa menjadi indikator awal yang perlu didalami. Hakim akan menelusuri penyebab ketidaksukaan tersebut. Jika disebabkan oleh perlakuan buruk atau kekerasan dari ayah tiri, maka hal itu menjadi bukti kuat adanya lingkungan yang tidak kondusif bagi anak. Pendapat dari psikolog anak akan sangat krusial untuk membedakan antara penolakan wajar akibat perubahan dinamika keluarga dengan penolakan yang berakar pada trauma atau perlakuan tidak layak.

(2)     Bagaimana jika ayah lebih mapan secara ekonomi, tetapi ibu lebih dekat secara emosional? 

Yurisprudensi dan doktrin hukum secara konsisten mengutamakan kedekatan emosional di atas superioritas ekonomi, khususnya bagi anak di bawah umur. Kestabilan finansial ayah tidak dapat menggantikan kebutuhan anak akan figur lekat (attachment figure) yang selama ini dipenuhi oleh ibu. Kewajiban nafkah, yang meliputi seluruh biaya pemeliharaan dan pendidikan, tetap berada di pundak ayah terlepas dari siapa pemegang hak asuh. Oleh karena itu, selama ibu mampu memberikan pengasuhan dasar yang layak dan tidak terbukti membahayakan anak, kondisi ekonominya yang lebih rendah tidak menjadi alasan untuk mencabut hak asuhnya.    

(3)     Apakah faktor lingkungan yang rawan kriminalitas bisa menjadi alasan pengalihan? 

Ya, ini adalah alasan yang sangat kuat dan relevan. Prinsip the best interest of the child mencakup jaminan lingkungan hidup yang aman dan kondusif bagi tumbuh kembang fisik dan mental anak. Jika terbukti melalui saksi atau bukti lain bahwa lingkungan tempat tinggal ibu (misalnya, daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi, lingkungan pergaulan bebas, atau akses yang sulit ke fasilitas pendidikan dan kesehatan) dapat membahayakan keselamatan atau merusak moral anak, hakim sangat mungkin mengalihkan hak asuh kepada ayah yang dapat menyediakan lingkungan yang lebih aman dan terjamin.    

(4)     Apakah hak asuh bisa dialihkan bila ibu melakukan parental alienation

Ya, dan ini memiliki dasar hukum yang sangat jelas. Parental alienation, atau tindakan menghalang-halangi hubungan anak dengan orang tua lainnya, dianggap sebagai bentuk kekerasan psikis terhadap anak. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada Bagian Kamar Agama angka 4, secara eksplisit menyatakan:

“Dalam amar penetapan hak asuh anak (hadhanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya. Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang hak hadhanah, maka dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah.”

SEMA ini menjadi instrumen hukum yang efektif bagi hakim untuk menangani kasus parental alienation dan dapat menjadi dasar utama untuk mengalihkan hak asuh.    

Prosedur Eksekusi Putusan Hak Asuh Anak di Pengadilan Agama

Eksekusi putusan adalah puncak dari proses peradilan, di mana putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilaksanakan secara paksa apabila pihak yang kalah tidak mematuhinya secara sukarela. Karena belum ada hukum acara khusus untuk Peradilan Agama, maka prosedur eksekusi mengacu pada hukum acara perdata umum, yaitu Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk wilayah Jawa dan Madura, serta Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan Madura.    

Tahapan Eksekusi Riil (Penyerahan Anak)

Eksekusi penyerahan anak termasuk dalam kategori eksekusi riil, yang prosedurnya adalah sebagai berikut:

1.        Permohonan Eksekusi

Pihak yang memenangkan hak asuh (Pemohon Eksekusi) mengajukan permohonan tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara. Permohonan ini diajukan setelah terbukti bahwa pihak yang kalah (Termohon Eksekusi) tidak mau menyerahkan anak secara sukarela.    

2.       Teguran (Aanmaning)

Berdasarkan permohonan tersebut, Ketua Pengadilan Agama akan mengeluarkan penetapan untuk memanggil Termohon Eksekusi guna menghadiri sidang insidentil. Dalam sidang ini, Ketua Pengadilan akan memberikan teguran (peringatan) agar Termohon Eksekusi melaksanakan isi putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan, lazimnya 8 (delapan) hari. Proses ini dituangkan dalam Berita Acara Sidang Aanmaning.    

3.      Penetapan Perintah Eksekusi

Apabila setelah lewatnya tenggang waktu aanmaning Termohon Eksekusi tetap tidak mematuhi putusan, Ketua Pengadilan Agama akan mengeluarkan penetapan perintah eksekusi (bevel executie). Penetapan ini memerintahkan Panitera atau Jurusita untuk melaksanakan eksekusi secara paksa.    

4.       Pelaksanaan Eksekusi

Jurusita, didampingi oleh minimal dua orang saksi, mendatangi kediaman Termohon Eksekusi untuk mengambil anak dan menyerahkannya kepada Pemohon Eksekusi. Seluruh rangkaian proses, mulai dari pembacaan penetapan hingga penyerahan anak, harus dituangkan secara rinci dalam Berita Acara Eksekusi.    

Prosedur yang diadopsi dari HIR/RBg ini secara inheren problematis. Aturan tersebut pada dasarnya dirancang untuk eksekusi benda mati atau pengosongan objek tidak bergerak. Ketika “objek” eksekusi adalah seorang anak (subjek hukum yang memiliki kehendak, perasaan, dan kondisi psikologis) pendekatan mekanistis dan paksaan ini seringkali gagal dan justru kontraproduktif. Inilah akar dari hampir semua problematika praktis dalam pelaksanaan eksekusi hadhanah.

Peran dan Batasan Kewenangan Aparat Kepolisian

Dalam situasi di mana eksekusi diperkirakan akan mendapat perlawanan atau berpotensi menimbulkan gangguan keamanan, Ketua Pengadilan Agama dapat meminta bantuan pengamanan dari Kepolisian.

1)       Dasar Permintaan

Permintaan bantuan diajukan secara resmi melalui surat dari Ketua Pengadilan Agama kepada Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) setempat. Prosedur ini diatur secara umum dalam peraturan internal Kepolisian mengenai bantuan pengamanan terhadap instansi lain.    

2)      Peran Kepolisian

Penting untuk digarisbawahi bahwa peran Kepolisian adalah sebatas pengamanan, bukan sebagai eksekutor. Tugas mereka adalah:

a.       Melindungi keselamatan Jurusita, para pihak, dan saksi dari ancaman kekerasan fisik.

b.       Mencegah eskalasi konflik dan menjaga ketertiban umum di lokasi eksekusi.

c.       Memastikan proses eksekusi dapat berjalan tanpa gangguan keamanan dari pihak ketiga atau massa yang dikerahkan oleh Termohon Eksekusi.    

3)      Batasan Kewenangan

Kepolisian tidak berwenang untuk melakukan tindakan yudisial. Mereka tidak boleh mengambil anak secara paksa, melakukan bujukan, atau terlibat dalam negosiasi mengenai penyerahan anak. Tindakan mereka murni bersifat preventif dan represif terbatas untuk menjaga keamanan. Kehadiran polisi, yang dalam eksekusi benda mati berfungsi sebagai penekan kekuatan, dalam eksekusi anak justru dapat menjadi sumber trauma yang signifikan dan memperburuk kondisi psikologis anak.

Problematika Kompleks dalam Pelaksanaan Eksekusi Hadhanah

Fase eksekusi adalah ujian sesungguhnya dari sebuah putusan hadhanah. Di tahap inilah, putusan yang tampak ideal di atas kertas berbenturan dengan realitas psikologis anak dan dinamika emosional keluarga.

Posisi dan Pendapat Anak dalam Eksekusi

1)        Anak Mumayyiz

Sebagaimana ketentuan Pasal 105 huruf (b) KHI, anak yang sudah mumayyiz (dianggap berusia 12 tahun ke atas) berhak memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya. Jika pada saat eksekusi hendak dilaksanakan, anak yang sudah mumayyiz secara tegas menolak untuk ikut dengan Pemohon Eksekusi, maka eksekusi secara praktis tidak dapat dipaksakan. Penolakan ini menjadi sebuah fakta hukum baru (novum) yang sangat kuat. Pihak Termohon Eksekusi dapat menggunakan penolakan ini sebagai dasar untuk mengajukan gugatan baru guna mengubah atau mencabut hak asuh yang telah ditetapkan sebelumnya. Memaksa seorang remaja secara fisik bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum serta trauma mendalam.    

2)       Anak Belum Mumayyiz

Secara yuridis formal, pendapat anak yang belum mumayyiz tidak menentukan. Namun, dalam praktik di lapangan, penolakan keras dari anak kecil (misalnya, menangis histeris, bersembunyi, atau menempel erat pada orang tua yang selama ini mengasuhnya) menciptakan dilema etis dan psikologis yang sangat besar. Jurusita dan Ketua Pengadilan seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: memaksakan eksekusi dengan risiko menimbulkan trauma jangka panjang pada anak, atau menunda eksekusi. Seringkali, opsi kedua yang dipilih demi kemaslahatan anak.    

Penundaan Eksekusi Akibat Trauma Psikologis

Meskipun HIR/RBg tidak secara eksplisit mengatur penundaan eksekusi karena kondisi psikologis “objek”, Ketua Pengadilan sebagai pimpinan eksekusi memiliki diskresi yang luas berdasarkan UU Perlindungan Anak dan prinsip kemaslahatan.

-        Dasar Penundaan, apabila terdapat indikasi kuat bahwa pemisahan paksa akan menimbulkan trauma psikologis pada anak, Ketua Pengadilan dapat menunda pelaksanaan eksekusi.

-        Pentingnya Peran Ahli, yang mana untuk menentukan Indikasi trauma ini idealnya tidak hanya berdasarkan pengamatan visual, tetapi harus divalidasi oleh asesmen dari ahli, seperti psikolog dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Rekomendasi tertulis dari psikolog dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi Ketua Pengadilan untuk mengeluarkan penetapan penundaan eksekusi dan memerintahkan para pihak untuk menjalani mediasi atau konseling terlebih dahulu. Keterlibatan pihak yang memahami kondisi psikologis anak sangat penting untuk memastikan eksekusi tidak melanggar hak anak.    

Eksekusi Lintas Batas Negara

Ini adalah salah satu problematika eksekusi yang paling sulit dan seringkali berakhir dengan kebuntuan hukum. Sebuah putusan dari Pengadilan Agama di Indonesia pada dasarnya tidak memiliki daya eksekutorial (kekuatan memaksa) secara langsung di wilayah yurisdiksi negara lain. Prinsip kedaulatan negara menghalangi pengadilan satu negara untuk memerintahkan aparat penegak hukum di negara lain.    

Mekanisme internasional utama untuk menangani kasus penculikan anak lintas negara oleh salah satu orang tua adalah Konvensi Den Haag 1980 tentang Aspek-Aspek Perdata Penculikan Anak Internasional. Konvensi ini menyediakan prosedur cepat untuk mengembalikan anak ke negara tempat tinggal biasanya (habitual residence). Namun, masalah fundamentalnya adalah Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi Den Haag 1980.    

Karena Indonesia bukan negara pihak, pemegang hak asuh di Indonesia tidak dapat menggunakan mekanisme Konvensi Den Haag. Satu-satunya jalan hukum yang tersedia adalah mengajukan gugatan hak asuh yang baru di pengadilan negara tempat anak tersebut berada. Dalam proses tersebut, putusan Pengadilan Agama Indonesia hanya akan dianggap sebagai salah satu alat bukti dan tidak mengikat hakim di pengadilan asing. Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) yang dimiliki Indonesia dengan beberapa negara pun umumnya hanya berlaku untuk perkara pidana, bukan perkara perdata keluarga seperti hak asuh anak. Akibatnya, eksekusi putusan hadhanah di luar negeri menjadi hampir mustahil untuk dilaksanakan.    

Pada akhirnya, fase eksekusi dapat berfungsi sebagai sebuah “pengadilan ulang” informal. Realitas di lapangan, terutama penolakan anak dan bukti adanya trauma baru, memaksa sistem peradilan untuk menilai kembali apa sesungguhnya “kepentingan terbaik anak” pada saat eksekusi akan dilaksanakan, bukan hanya pada saat putusan awal dijatuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa putusan hadhanah tidak bersifat statis seperti putusan utang-piutang; ia bersifat dinamis dan harus selalu tunduk pada kondisi aktual dan kemaslahatan anak, bahkan hingga di tahap paling akhir dari proses hukum.

Penutup

Sehingga setelah mencermati kerangka hukum dan praktik peradilan menunjukkan bahwa penentuan dan eksekusi hak asuh anak di Pengadilan Agama adalah sebuah proses yang dinamis, penuh dengan dialektika antara kepastian hukum normatif yang kaku (KHI, HIR/RBg) dan kebutuhan akan keadilan substantif yang menuntut diskresi luas dari hakim demi mewujudkan kemaslahatan terbaik bagi anak.

Peralihan hak asuh dari ibu kepada ayah, meskipun merupakan pengecualian dari aturan umum, dimungkinkan oleh hukum dan yurisprudensi, namun memerlukan pembuktian yang sangat kuat mengenai adanya faktor-faktor yang secara signifikan mengancam kesejahteraan fisik, mental, dan spiritual anak.

Problematika Inti

Tantangan terbesar dalam sengketa hadhanah tidak terletak pada perumusan putusan, melainkan pada fase eksekusinya. Kekosongan hukum acara yang spesifik dan humanis untuk eksekusi anak, ditambah dengan status Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi Den Haag 1980, menciptakan hambatan yuridis dan praktis yang signifikan dalam penegakan hukum. Hal ini seringkali membuat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi sia-sia (illusoir) dan tidak memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi anak.

Rekomendasi

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi dapat dirumuskan untuk perbaikan sistem hukum di masa depan:

1.        Bagi Legislatif dan Pemerintah

Mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera memulai proses aksesi atau ratifikasi Konvensi Den Haag 1980 tentang Aspek-Aspek Perdata Penculikan Anak Internasional. Langkah ini krusial untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi anak-anak korban penculikan lintas negara dan memberikan kepastian bagi orang tua pemegang hak asuh di Indonesia.

2.       Bagi Mahkamah Agung

Mendesak percepatan penyusunan dan penerbitan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang secara khusus mengatur tata cara eksekusi putusan hak asuh anak. PERMA ini harus melampaui kerangka HIR/RBg yang kaku, dengan memasukkan prosedur yang berpusat pada anak (child-centered), seperti:

-         Kewajiban asesmen psikologis terhadap anak sebelum eksekusi paksa.

-         Peran wajib bagi mediator, psikolog, atau pekerja sosial dari lembaga seperti P2TP2A atau KPAI dalam proses eksekusi.

-         Prosedur yang lebih humanis dan bertahap untuk meminimalisir trauma pada anak.

3.      Bagi Praktisi Hukum dan Hakim

Mendorong penggunaan keterangan ahli psikologi anak secara lebih intensif, tidak hanya dalam persidangan pokok perkara, tetapi juga dalam proses aanmaning dan sebelum pelaksanaan eksekusi. Keterangan ahli dapat memberikan landasan yang objektif dan ilmiah bagi hakim dalam menafsirkan dan menerapkan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” di setiap tahapan proses hukum.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.



[1] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 2000), 104.

[2] Sayyid Syabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid VIII, terj. Moh. Thalib (Bandung: Al-Ma’arif, 2017), 160.

[3] Ibid.

[4] Neng Djubaedah, dkk., Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), 237.

[5] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 399–400.

[6] Achmad Muhajir, “Hadhanah dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor Pendidikan Rumah),” SAP (Susunan Artikel Pendidikan) 2, no. 2 (2017).