layananhukum

Upaya Hukum dalam Perkara Tata Usaha Negara

 

Pertanyaan

Selamat malam bang... Mau nanya, kalau misalnya kita kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), apa saja langkah-langkah hukum yang bisa kita tempuh selanjutnya? Bisa tolong jelaskan secara lengkap?

Jawaban

Dalam konsepsi negara hukum (rechtsstaat), ketersediaan mekanisme untuk menguji dan mengoreksi putusan pengadilan merupakan jaminan prosedural fundamental bagi setiap warga negara dalam usahanya mencari keadilan. Upaya hukum, sebagai instrumen yang disediakan oleh sistem peradilan, menjadi manifestasi konkret dari adagium hukum universal Ubi jus ibi remedium, yang bermakna di mana ada hak, di situ ada upaya pemulihannya

Eksistensi hak-hak substantif menjadi hampa makna tanpa adanya sarana untuk menegakkan, mempertahankan, atau memulihkannya dari kekeliruan penerapan hukum oleh lembaga peradilan.   

Signifikansi upaya hukum ini memperoleh dimensi yang lebih krusial dalam ranah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebagai lembaga yudisial yang bertugas mengadili sengketa antara warga negara dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, PTUN memegang peranan vital sebagai mekanisme pengawasan eksternal (external check and balance) terhadap penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Upaya hukum dalam konteks ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana koreksi atas putusan hakim, tetapi juga sebagai benteng terakhir bagi warga negara untuk memastikan bahwa setiap tindakan administrasi pemerintahan senantiasa berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dan sistematis mengenai seluk-beluk upaya hukum dalam perkara Tata Usaha Negara. Pembahasan akan diawali dengan pembedahan hakikat dan penggolongan upaya hukum, dilanjutkan dengan analisis mendalam terhadap mekanisme upaya hukum biasa, yang mencakup banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali.

Lebih lanjut, artikel ini juga akan menelaah perkembangan administrasi peradilan modern dan, yang tidak kalah penting, mekanisme pelaksanaan putusan sebagai muara dari seluruh proses peradilan.

Hakikat dan Penggolongan Upaya Hukum

Definisi dan Fungsi Upaya Hukum

Secara terminologis, upaya hukum (rechtsmiddel) dapat didefinisikan sebagai suatu upaya atau sarana hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan pengadilan untuk mengajukan perlawanan atau permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi. 

Penting untuk membedakan secara konseptual antara upaya hukum dengan upaya administratif. Upaya administratif, seperti keberatan atau banding administratif, merupakan prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan di dalam lingkungan internal pemerintahan itu sendiri sebelum sengketa dibawa ke pengadilan. Sebaliknya, upaya hukum adalah mekanisme yudisial murni yang berlangsung setelah adanya putusan pengadilan tingkat pertama.   

Fungsi utama dari upaya hukum adalah untuk memfasilitasi peninjauan kembali (judicial review) atas suatu putusan oleh instansi peradilan yang lebih tinggi. Proses ini bertujuan untuk mencapai beberapa tujuan fundamental, antara lain yaitu mengoreksi potensi kekeliruan, baik dalam penerapan hukum (error in judicando) maupun dalam penerapan hukum acara (error in procedendo); menjaga konsistensi dan kesatuan penerapan hukum di seluruh yurisdiksi; serta pada akhirnya, memastikan terwujudnya keadilan substantif bagi para pihak yang berperkara.

Klasifikasi Upaya Hukum: Pembedahan Konseptual antara Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar Biasa

Sistem hukum acara di Indonesia, termasuk dalam Peradilan Tata Usaha Negara, mengklasifikasikan upaya hukum ke dalam dua kategori utama, yakni upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Pembedaan ini didasarkan pada status kekuatan hukum putusan yang dilawan.   

1.        Upaya Hukum Biasa (gewone rechtsmiddelen)

Upaya hukum biasa adalah sarana hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ciri esensial dari upaya hukum ini adalah sifatnya yang menangguhkan atau menunda pelaksanaan (eksekusi) putusan yang dilawan. Dalam konteks Peradilan Tata Usaha Negara, yang termasuk dalam kategori ini adalah Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Kasasi ke Mahkamah Agung.   

2.       Upaya Hukum Luar Biasa (buitengewone rechtsmiddelen)

Upaya hukum luar biasa adalah sarana hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan namanya, upaya ini bersifat eksepsional dan hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan yang sangat terbatas dan diatur secara limitatif oleh undang-undang. Prinsip utamanya adalah bahwa pengajuan upaya hukum luar biasa pada dasarnya tidak menangguhkan eksekusi putusan, sebagai cerminan dari penghormatan terhadap asas kepastian hukum (res judicata). Dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara, satu-satunya upaya hukum luar biasa yang tersedia bagi para pihak adalah Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.   

Banding: Pemeriksaan Ulang di Tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)

Landasan Yuridis, Sifat, dan Objek Banding

Landasan yuridis untuk mengajukan banding dalam sengketa Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU PTUN”. Pasal tersebut secara tegas menyatakan:

“Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara”.   

Pemeriksaan di tingkat banding pada hakikatnya merupakan pemeriksaan ulang secara menyeluruh terhadap sengketa yang telah diputus oleh PTUN di tingkat pertama. PTTUN dalam hal ini berfungsi sebagai judex facti, yang berarti memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menilai kembali tidak hanya aspek penerapan hukumnya, tetapi juga fakta-fakta persidangan, termasuk alat-alat bukti yang telah diajukan. Dengan kata lain, PTTUN seolah-olah memposisikan dirinya sebagai pengadilan tingkat pertama dan mengadili kembali perkara tersebut secara utuh.   

Prosedur dan Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Banding

Prosedur pengajuan banding diawali dengan pernyataan permohonan banding yang diajukan secara tertulis atau lisan oleh pemohon atau kuasanya kepada panitera pengadilan pada PTUN yang telah menjatuhkan putusan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 123 ayat (1) UU PTUN, yang juga menetapkan tenggang waktu yang bersifat imperatif dan absolut, yang menyatakan: 

“Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah”. 

Apabila tenggang waktu 14 hari ini terlampaui, maka hak pihak yang bersangkutan untuk mengajukan banding menjadi gugur, dan putusan PTUN tingkat pertama secara otomatis memperoleh kekuatan hukum tetap.   

Peran Krusial Memori Banding dan Kontra Memori Banding

Setelah permohonan banding dicatat, pemohon banding memiliki kesempatan untuk mengajukan memori banding. Memori banding merupakan dokumen yuridis yang krusial, karena di dalamnya pemohon menguraikan secara sistematis alasan-alasan dan argumentasi hukum mengapa putusan PTUN tingkat pertama dianggap keliru dan harus dibatalkan atau diperbaiki oleh PTTUN. Pihak terbanding kemudian diberikan hak untuk menanggapi dalil-dalil dalam memori banding melalui suatu kontra memori banding. Sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (3) UU PTUN, para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding kepada panitera PTUN untuk selanjutnya diteruskan bersama berkas perkara ke PTTUN.   

Kewenangan Pemeriksaan dan Putusan PTTUN

PTTUN memiliki kewenangan yang luas dalam memutus perkara banding. Berdasarkan hasil pemeriksaannya, PTTUN dapat menjatuhkan putusan dengan amar menguatkan, memperbaiki, atau membatalkan putusan PTUN tingkat pertama. Lebih lanjut, Pasal 127 ayat (2) UU PTUN memberikan kewenangan kepada PTTUN untuk melakukan pemeriksaan tambahan apabila dianggap pemeriksaan di tingkat pertama kurang lengkap, baik dengan melakukannya sendiri maupun dengan memerintahkan PTUN yang bersangkutan untuk melaksanakannya. Kewenangan ini menegaskan kembali fungsi PTTUN sebagai judex facti yang bertanggung jawab penuh atas kebenaran materiel dalam suatu sengketa.

Putusan PTTUN dalam Sengketa Kepegawaian

Sebagai ilustrasi, dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 109/B/2020/PT.TUN.JKT, tertanggal 15 Juni 2020, majelis hakim tingkat banding melakukan pemeriksaan ulang terhadap sengketa kepegawaian mengenai pemberhentian seorang Pegawai Negeri Sipil. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Banding tidak sependapat dengan putusan PTUN Serang yang membatalkan seluruh objek sengketa. PTTUN menilai bahwa landasan hukum pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Penggugat/Terbanding telah tepat dan sesuai peraturan perundang-undangan, karena yang bersangkutan terbukti memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindak pidana. 

Namun, Majelis Hakim Banding menemukan kekeliruan yuridis pada pemberlakuan keputusan yang bersifat retroaktif atau berlaku surut. Surat Keputusan yang ditetapkan pada 1 Agustus 2018 tersebut dinyatakan berlaku surut terhitung mulai 1 Oktober 2015, yang mana hal ini dinilai menimbulkan ketidakadilan dan bertentangan dengan asas bahwa suatu keputusan berlaku sejak tanggal ditetapkan. Majelis Hakim juga menyoroti adanya pertentangan antara diktum kedua (pemberlakuan surut) dan diktum ketiga (berlaku pada tanggal ditetapkan) dalam surat keputusan tersebut. Oleh karena itu, PTTUN membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan mengadili sendiri dengan amar putusan yang pada pokoknya mengabulkan gugatan untuk sebagian, yakni hanya menyatakan batal bagian dari Surat Keputusan Walikota Tangerang Selatan yang memberlakukan pemberhentian secara surut. Putusan ini menunjukkan bagaimana PTTUN secara aktif menjalankan fungsinya sebagai judex facti dengan menelaah kembali seluruh aspek, baik fakta maupun hukum, untuk sampai pada suatu putusan yang dianggapnya adil.

Ujian Aspek Yuridis oleh Mahkamah Agung

Landasan Yuridis dan Karakteristik Pemeriksaan Kasasi sebagai Judex Juris

Apabila salah satu pihak masih tidak puas dengan putusan PTTUN di tingkat banding, tersedia upaya hukum selanjutnya, yaitu kasasi ke Mahkamah Agung. Landasan hukumnya terdapat dalam Pasal 131 UU PTUN, yang menyatakan bahwa terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, yang acaranya merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang selanjutnya disebut dengan “UU Mahkamah Agung”.   

Berbeda fundamental dengan pemeriksaan banding, pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung bersifat sebagai judex juris (peradilan mengenai hukum), bukan judex facti. Artinya, Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa atau menilai fakta-fakta persidangan atau alat-alat bukti. Fokus pemeriksaan kasasi adalah murni pada aspek yuridis, yakni untuk menguji apakah putusan pengadilan di bawahnya (judex facti) telah menerapkan hukum secara benar atau tidak

Struktur hukum acara ini sengaja dirancang demikian; UU PTUN memberikan hak untuk mengajukan kasasi, namun substansi mengenai alasan dan prosedur pengajuannya diserahkan sepenuhnya kepada UU Mahkamah Agung. Desain ini bertujuan untuk menciptakan keseragaman dan konsistensi dalam pemeriksaan tingkat akhir untuk seluruh lingkungan peradilan (umum, agama, militer, dan tata usaha negara) yang bermuara di Mahkamah Agung.

Ketergantungan ini menggarisbawahi peran sentral Mahkamah Agung sebagai penjaga tertinggi penerapan hukum, yang mengharuskan setiap praktisi hukum yang berperkara di PTUN untuk membangun argumentasi kasasinya bukan berdasarkan logika spesifik PTUN, melainkan berdasarkan alasan-alasan universal yang berlaku untuk semua perkara di hadapan Mahkamah Agung.   

Alasan-Alasan Limitatif Pengajuan Kasasi

Karena sifatnya sebagai judex juris, permohonan kasasi hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan yang diatur secara limitatif dalam Pasal 30 UU Mahkamah Agung, yaitu apabila putusan judex facti:

a.       “tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;” 

Ini mencakup baik kewenangan absolut (misalnya, sengketa seharusnya diadili oleh peradilan lain) maupun kewenangan relatif (misalnya, PTUN yang mengadili tidak sesuai dengan wilayah hukumnya).

b.      “salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;” 

Ini merupakan alasan yang paling sering digunakan, mencakup kesalahan dalam menafsirkan atau menerapkan suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan terhadap fakta-fakta yang telah ditetapkan.

“lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.” 

Ini berkaitan dengan pelanggaran hukum acara yang fundamental, misalnya putusan tidak memuat pertimbangan hukum yang cukup atau tidak ditandatangani oleh majelis hakim.   

Prosedur Pengajuan Permohonan dan Memori Kasasi

Prosedur pengajuan kasasi pada dasarnya serupa dengan banding, yaitu diajukan melalui kepaniteraan PTUN yang memutus perkara di tingkat pertama dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan PTTUN diberitahukan. Hal yang paling esensial dalam permohonan kasasi adalah kewajiban pemohon untuk menyerahkan memori kasasi. Dokumen ini harus secara spesifik dan terperinci menguraikan alasan-alasan kasasi dengan merujuk pada salah satu atau lebih dari tiga alasan limitatif yang diatur dalam Pasal 30 UU Mahkamah Agung.

Putusan Kasasi Mahkamah Agung

Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 329 K/TUN/2019, yang diputus pada tanggal 31 Juli 2019, memberikan contoh nyata penerapan prinsip judex juris. Perkara ini diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Dr. H. Yulius, S.H., M.H., dengan hakim-hakim anggota Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., dan Dr. Yosran, S.H., M.Hum. 

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan judex facti (PTUN dan PTTUN Jakarta) sudah benar dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum. Mahkamah Agung menyoroti beberapa poin krusial yaitu pertama, objek sengketa berupa Hasil Uji Kompetensi Kenaikan Jabatan Fungsional tidak hanya berisi tindakan hukum, tetapi juga menyangkut aspek non-hukum seperti moralitas, profesionalitas, dan integritas; kedua, pejabat penerbitnya, yakni Tim Uji Kompetensi, bersifat temporer dan masa jabatannya telah berakhir sehingga tidak lagi memiliki dasar kewenangan untuk didudukkan sebagai Tergugat. 

Poin terpenting dalam pertimbangannya adalah bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon pada hakikatnya hanya mempersoalkan kembali ”penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan”. Mahkamah Agung menegaskan bahwa hal tersebut merupakan ranah judex facti dan tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang terbatas pada pemeriksaan penerapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Mahkamah Agung.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, amar putusan Mahkamah Agung adalah 

MENGADILI

1.        Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Drs. TOGAP MARPAUNG, PGD;

2.       Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah);”. 

Putusan ini secara tegas memperlihatkan demarkasi kewenangan antara judex facti dan judex juris serta memperkuat posisi Mahkamah Agung sebagai pengadilan hukum murni.      

Peninjauan Kembali (PK): Upaya Eksepsional untuk Keadilan Materiel

Landasan Yuridis dan Sifat Luar Biasa Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali (PK) merupakan satu-satunya upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh para pihak terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Landasan hukumnya diatur dalam Pasal 132 UU PTUN, yang, serupa dengan kasasi, merujuk pada ketentuan dalam UU Mahkamah Agung, khususnya Pasal 67 hingga Pasal 77.   

Sifat luar biasa dari PK terletak pada posisinya yang secara fundamental menabrak asas kepastian hukum res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar). Upaya ini hanya dibuka dalam kondisi-kondisi yang sangat eksepsional dengan tujuan utama untuk menghindari terjadinya ketidakadilan yang serius (miscarriage of justice) akibat adanya kekeliruan fundamental dalam putusan yang telah final. 

Persyaratan yang ketat untuk mengajukan PK mencerminkan adanya pertarungan filosofis dalam sistem hukum antara kebutuhan akan finalitas suatu perkara (kepastian hukum) dan pengejaran kebenaran hakiki (keadilan materiel). Pembatasan yang ketat dalam Pasal 67 UU Mahkamah Agung bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sebuah desain yang disengaja untuk memastikan bahwa kepastian hukum menjadi aturan utama, dan penyimpangan darinya hanya diizinkan dalam keadaan paling darurat di mana ketidakadilan dari putusan final tersebut terlalu besar untuk diabaikan.   

Alasan-Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

Pasal 67 UU Mahkamah Agung mengatur secara limitatif alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan PK, yaitu:

a.       Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

b.      Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan (novum).

c.       Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut (ultra petita).

d.      Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.

e.       Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain. f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.   

Telaah Khusus Mengenai Bukti Baru (Novum)

Alasan yang paling umum digunakan untuk mengajukan PK adalah penemuan bukti baru atau novum (Pasal 67 huruf b). Namun, tidak semua bukti yang baru ditemukan dapat dikualifikasikan sebagai novum.

Terdapat dua syarat kumulatif yang harus dipenuhi: pertama, bukti tersebut harus bersifat menentukan, artinya jika bukti tersebut diajukan pada saat persidangan sebelumnya, kemungkinan besar putusannya akan berbeda; dan kedua, bukti tersebut memang benar-benar tidak dapat ditemukan atau diajukan pada persidangan sebelumnya, bukan karena kelalaian pemohon. Untuk membuktikan kebenaran waktu penemuan novumPasal 69 huruf b UU Mahkamah Agung mensyaratkan agar hari dan tanggal ditemukannya surat bukti tersebut harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.   

Prosedur dan Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan PK

Pengajuan permohonan PK dibatasi oleh tenggang waktu yang sangat ketat, yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 69 UU Mahkamah Agung. Titik awal penghitungan tenggang waktu ini bervariasi tergantung pada alasan yang digunakan. Untuk alasan novum, misalnya, tenggang waktu dihitung sejak tanggal ditemukannya surat bukti baru tersebut. Keterlambatan dalam mengajukan permohonan PK akan mengakibatkan permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.   

Putusan PK Berdasarkan Adanya Kekhilafan Hakim

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 154 PK/TUN/2010, tertanggal 19 Agustus 2010, merupakan yurisprudensi penting yang menggambarkan penerapan alasan PK berupa kekhilafan hakim yang nyata (Pasal 67 huruf f). Dalam kasus ini, Mahkamah Agung dihadapkan pada situasi di mana terdapat dua putusan PK yang saling bertentangan mengenai objek sengketa yang sama, satu dari lingkungan peradilan TUN dan satu lagi dari lingkungan peradilan umum (perdata).

Mahkamah Agung, dalam putusan PK yang kedua ini, membatalkan putusan PK sebelumnya (Putusan No. 49 PK/TUN/2007) dan menguatkan putusan PK yang lebih awal (Putusan No. 20 PK/TUN/2003). Pertimbangan utamanya adalah adanya kekhilafan nyata dari majelis hakim dalam putusan PK yang dibatalkan karena tidak mempertimbangkan adanya putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap terkait kepemilikan hak atas tanah.

Putusan ini menunjukkan bagaimana mekanisme PK berfungsi sebagai katup pengaman untuk meluruskan anomali hukum dan menegakkan keadilan materiel, bahkan jika itu berarti harus membatalkan putusan yang juga telah berkekuatan hukum tetap.   

Administrasi Modern dan Pelaksanaan Putusan

Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Terkait Administrasi Upaya Hukum Secara Elektronik

Seiring dengan perkembangan teknologi, Mahkamah Agung terus melakukan modernisasi administrasi peradilan. Salah satu terobosan signifikan adalah pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum Dan Persidangan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Di Mahkamah Agung Secara Elektronik. Peraturan ini mentransformasi proses pengajuan upaya hukum dari yang semula berbasis kertas menjadi sepenuhnya elektronik melalui sistem e-Court. Pengajuan memori banding, kasasi, dan PK, serta kontra memorinya, kini dilakukan secara digital. Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk efisiensi dan percepatan proses administrasi, tetapi juga untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara di tingkat upaya hukum.   

Telaah Pasal 116 UU PTUN: Mekanisme Pelaksanaan Putusan dan Penerapan Upaya Paksa

Salah satu aspek paling fundamental dalam penegakan hukum adalah eksekusi putusan. Tanpa eksekusi yang efektif, putusan pengadilan hanyalah menjadi “macan kertas”. Menyadari kelemahan historis dalam eksekusi putusan PTUN, legislatif secara progresif memperkuat mekanisme pelaksanaan putusan melalui amendemen terhadap Pasal 116 UU PTUN.

Evolusi legislatif ini menunjukkan adanya proses pembelajaran dalam sistem hukum Indonesia. UU PTUN yang asli (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) relatif lemah dalam hal penegakan, di mana sanksi bagi pejabat yang abai tidak cukup memaksa. Perubahan pertama melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memperkenalkan konsep “upaya paksa”, termasuk pembayaran uang paksa (dwangsom). Puncaknya, perubahan kedua melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyempurnakan dan mempertegas mekanisme upaya paksa tersebut.   

Pasal 116 UU PTUN dalam versi termutakhirnya menyediakan serangkaian mekanisme upaya paksa yang berlapis, antara lain:

1.        Apabila dalam 60 hari kerja setelah putusan BHT diterima tergugat tidak melaksanakan kewajiban pencabutan KTUN, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi (vide Pasal 116 ayat (2)).   

2.       Apabila dalam 90 hari kerja tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk mencabut dan/atau menerbitkan KTUN baru, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan (vide Pasal 116 ayat (3)).   

3.      Jika tergugat tetap tidak bersedia melaksanakan, pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif (vide Pasal 116 ayat (4)).   

4.       Pejabat yang tidak melaksanakan putusan tersebut diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera (vide Pasal 116 ayat (5)).   

5.       Sebagai langkah pamungkas, Ketua PTUN mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan (vide Pasal 116 ayat (6)).   

Untuk memberikan pedoman teknis yang lebih konkret, Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung telah menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berkekuatan Hukum Tetap Nomor : 01/KM.TUN/HK2.7/JUKLAK./VII/2024. Juklak ini merinci tahapan-tahapan prosedural yang harus ditempuh oleh Ketua PTUN dalam mengawasi dan memastikan pelaksanaan putusan, yang menegaskan komitmen institusional untuk memperkuat daya eksekutorial putusan PTUN.   

Penutup

Sistem upaya hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sebuah konstruksi yuridis yang kompleks dan berlapis. Struktur ini dirancang secara cermat untuk menyeimbangkan berbagai prinsip fundamental: kebutuhan akan koreksi terhadap kekeliruan yudisial, penghormatan terhadap kepastian hukum yang direpresentasikan oleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan pengejaran keadilan materiel sebagai tujuan akhir dari setiap proses peradilan. Dari pemeriksaan ulang fakta di tingkat banding, pengujian penerapan hukum di tingkat kasasi, hingga mekanisme eksepsional peninjauan kembali, setiap jenjang memiliki fungsi, karakteristik, dan batasan kewenangan yang jelas.

Meskipun kerangka hukumnya telah kokoh, tantangan utama terletak pada implementasinya. Efektivitas pelaksanaan putusan, khususnya penerapan mekanisme upaya paksa dalam Pasal 116 UU PTUN, tetap menjadi barometer utama kewibawaan Peradilan Tata Usaha Negara. 

Di sisi lain, dinamika hukum administrasi yang terus berkembang, termasuk pasca-lahirnya berbagai peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, menuntut adaptasi berkelanjutan dalam hukum acara untuk menjawab jenis-jenis sengketa administrasi yang baru.   

Pada akhirnya, keberadaan dan bekerjanya sistem upaya hukum yang efektif dan kredibel merupakan pilar tak tergantikan dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Ia tidak hanya berfungsi sebagai sarana bagi pencari keadilan, tetapi juga sebagai penegasan bahwa tidak ada satu pun institusi, termasuk pemerintah, yang berada di atas hukum (supremacy of law).

Dengan demikian, upaya hukum menjadi penjaga marwah peradilan sekaligus pengawal hak-hak warga negara, selaras dengan semangat adagium Fiat justitia ruat caelum: hendaklah keadilan ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh. 

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.