Pertanyaan
Selamat malam bang... Mau nanya, kalau
misalnya kita kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), apa saja
langkah-langkah hukum yang bisa kita tempuh selanjutnya? Bisa tolong jelaskan
secara lengkap?
Jawaban
Dalam konsepsi negara hukum (rechtsstaat),
ketersediaan mekanisme untuk menguji dan mengoreksi putusan pengadilan
merupakan jaminan prosedural fundamental bagi setiap warga negara dalam
usahanya mencari keadilan. Upaya hukum, sebagai instrumen yang disediakan
oleh sistem peradilan, menjadi manifestasi konkret dari adagium hukum
universal Ubi jus ibi remedium, yang bermakna di mana ada hak,
di situ ada upaya pemulihannya.
Eksistensi hak-hak substantif menjadi hampa
makna tanpa adanya sarana untuk menegakkan, mempertahankan, atau memulihkannya
dari kekeliruan penerapan hukum oleh lembaga peradilan.
Signifikansi upaya hukum ini memperoleh
dimensi yang lebih krusial dalam ranah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebagai lembaga yudisial yang bertugas mengadili sengketa antara warga negara
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, PTUN memegang peranan vital
sebagai mekanisme pengawasan eksternal (external check and balance)
terhadap penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Upaya hukum dalam konteks ini tidak hanya
berfungsi sebagai sarana koreksi atas putusan hakim, tetapi juga sebagai
benteng terakhir bagi warga negara untuk memastikan bahwa setiap tindakan
administrasi pemerintahan senantiasa berlandaskan pada peraturan perundang-undangan
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Artikel ini akan mengupas secara
komprehensif dan sistematis mengenai seluk-beluk upaya hukum dalam perkara Tata
Usaha Negara. Pembahasan akan diawali dengan pembedahan hakikat dan
penggolongan upaya hukum, dilanjutkan dengan analisis mendalam terhadap mekanisme
upaya hukum biasa, yang mencakup banding dan kasasi, serta upaya hukum luar
biasa, yakni peninjauan kembali.
Lebih lanjut, artikel ini juga akan menelaah
perkembangan administrasi peradilan modern dan, yang tidak kalah penting,
mekanisme pelaksanaan putusan sebagai muara dari seluruh proses peradilan.
Hakikat dan Penggolongan Upaya Hukum
Definisi dan Fungsi Upaya Hukum
Secara terminologis, upaya hukum (rechtsmiddel)
dapat didefinisikan sebagai suatu upaya atau sarana hukum yang diberikan oleh
undang-undang kepada pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan pengadilan
untuk mengajukan perlawanan atau permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan
yang lebih tinggi.
Penting untuk membedakan secara konseptual
antara upaya hukum dengan upaya administratif. Upaya administratif, seperti
keberatan atau banding administratif, merupakan prosedur penyelesaian sengketa
yang dilakukan di dalam lingkungan internal pemerintahan itu sendiri sebelum
sengketa dibawa ke pengadilan. Sebaliknya, upaya hukum adalah mekanisme
yudisial murni yang berlangsung setelah adanya putusan pengadilan tingkat
pertama.
Fungsi utama dari upaya hukum adalah untuk
memfasilitasi peninjauan kembali (judicial review) atas suatu putusan
oleh instansi peradilan yang lebih tinggi. Proses ini bertujuan untuk mencapai
beberapa tujuan fundamental, antara lain yaitu mengoreksi potensi kekeliruan,
baik dalam penerapan hukum (error in judicando) maupun dalam penerapan
hukum acara (error in procedendo); menjaga konsistensi dan kesatuan
penerapan hukum di seluruh yurisdiksi; serta pada akhirnya, memastikan
terwujudnya keadilan substantif bagi para pihak yang berperkara.
Klasifikasi Upaya Hukum: Pembedahan Konseptual antara Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar Biasa
Sistem hukum acara di Indonesia, termasuk
dalam Peradilan Tata Usaha Negara, mengklasifikasikan upaya hukum ke dalam dua
kategori utama, yakni upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa. Pembedaan ini didasarkan pada status kekuatan hukum putusan yang
dilawan.
1.
Upaya Hukum Biasa (gewone rechtsmiddelen)
Upaya hukum biasa adalah sarana hukum yang dapat ditempuh
terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde). Ciri esensial dari upaya hukum ini adalah sifatnya yang
menangguhkan atau menunda pelaksanaan (eksekusi) putusan yang dilawan. Dalam
konteks Peradilan Tata Usaha Negara, yang termasuk dalam kategori ini adalah
Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Kasasi ke Mahkamah
Agung.
2. Upaya Hukum Luar
Biasa (buitengewone rechtsmiddelen)
Upaya hukum luar biasa adalah sarana hukum yang dapat
ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Sesuai dengan namanya, upaya ini bersifat eksepsional dan hanya dapat
diajukan berdasarkan alasan-alasan yang sangat terbatas dan diatur secara
limitatif oleh undang-undang. Prinsip utamanya adalah bahwa pengajuan upaya
hukum luar biasa pada dasarnya tidak menangguhkan eksekusi putusan, sebagai
cerminan dari penghormatan terhadap asas kepastian hukum (res judicata). Dalam
sistem Peradilan Tata Usaha Negara, satu-satunya upaya hukum luar biasa yang
tersedia bagi para pihak adalah Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah
Agung.
Banding: Pemeriksaan Ulang di Tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)
Landasan Yuridis, Sifat, dan Objek Banding
Landasan yuridis untuk mengajukan banding
dalam sengketa Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 122
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang selanjutnya disebut dengan “UU PTUN”. Pasal tersebut secara
tegas menyatakan:
“Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat
dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara”.
Pemeriksaan di tingkat banding pada
hakikatnya merupakan pemeriksaan ulang secara menyeluruh terhadap sengketa yang
telah diputus oleh PTUN di tingkat pertama. PTTUN dalam hal ini berfungsi
sebagai judex facti, yang berarti memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan menilai kembali tidak hanya aspek penerapan hukumnya, tetapi juga
fakta-fakta persidangan, termasuk alat-alat bukti yang telah diajukan. Dengan
kata lain, PTTUN seolah-olah memposisikan dirinya sebagai pengadilan tingkat
pertama dan mengadili kembali perkara tersebut secara utuh.
Prosedur dan Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Banding
Prosedur pengajuan banding diawali dengan
pernyataan permohonan banding yang diajukan secara tertulis atau lisan oleh
pemohon atau kuasanya kepada panitera pengadilan pada PTUN yang telah
menjatuhkan putusan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 123 ayat (1)
UU PTUN, yang juga menetapkan tenggang waktu yang bersifat imperatif
dan absolut, yang menyatakan:
“Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah”.
Apabila tenggang waktu 14 hari ini
terlampaui, maka hak pihak yang bersangkutan untuk mengajukan banding menjadi
gugur, dan putusan PTUN tingkat pertama secara otomatis memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Peran Krusial Memori Banding dan Kontra Memori Banding
Setelah permohonan banding dicatat, pemohon
banding memiliki kesempatan untuk mengajukan memori banding. Memori banding
merupakan dokumen yuridis yang krusial, karena di dalamnya pemohon menguraikan
secara sistematis alasan-alasan dan argumentasi hukum mengapa putusan PTUN
tingkat pertama dianggap keliru dan harus dibatalkan atau diperbaiki oleh
PTTUN. Pihak terbanding kemudian diberikan hak untuk menanggapi dalil-dalil
dalam memori banding melalui suatu kontra memori banding. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 126 ayat (3) UU PTUN, para pihak dapat
menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding kepada panitera PTUN
untuk selanjutnya diteruskan bersama berkas perkara ke PTTUN.
Kewenangan Pemeriksaan dan Putusan PTTUN
PTTUN memiliki kewenangan yang luas dalam
memutus perkara banding. Berdasarkan hasil pemeriksaannya, PTTUN dapat
menjatuhkan putusan dengan amar menguatkan, memperbaiki, atau membatalkan
putusan PTUN tingkat pertama. Lebih lanjut, Pasal 127 ayat (2) UU
PTUN memberikan kewenangan kepada PTTUN untuk melakukan
pemeriksaan tambahan apabila dianggap pemeriksaan di tingkat pertama kurang
lengkap, baik dengan melakukannya sendiri maupun dengan memerintahkan PTUN yang
bersangkutan untuk melaksanakannya. Kewenangan ini menegaskan kembali
fungsi PTTUN sebagai judex facti yang bertanggung jawab penuh
atas kebenaran materiel dalam suatu sengketa.
Putusan PTTUN dalam Sengketa Kepegawaian
Sebagai ilustrasi, dalam Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 109/B/2020/PT.TUN.JKT,
tertanggal 15 Juni 2020, majelis hakim tingkat banding melakukan pemeriksaan
ulang terhadap sengketa kepegawaian mengenai pemberhentian seorang Pegawai
Negeri Sipil. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Banding tidak
sependapat dengan putusan PTUN Serang yang membatalkan seluruh objek
sengketa. PTTUN menilai bahwa landasan hukum pemberhentian tidak dengan
hormat terhadap Penggugat/Terbanding telah tepat dan sesuai peraturan
perundang-undangan, karena yang bersangkutan terbukti memanfaatkan jabatannya
untuk melakukan tindak pidana.
Namun, Majelis Hakim Banding menemukan
kekeliruan yuridis pada pemberlakuan keputusan yang bersifat retroaktif atau
berlaku surut. Surat Keputusan yang ditetapkan pada 1 Agustus 2018 tersebut
dinyatakan berlaku surut terhitung mulai 1 Oktober 2015, yang mana hal ini
dinilai menimbulkan ketidakadilan dan bertentangan dengan asas bahwa suatu
keputusan berlaku sejak tanggal ditetapkan. Majelis Hakim juga menyoroti
adanya pertentangan antara diktum kedua (pemberlakuan surut) dan diktum ketiga
(berlaku pada tanggal ditetapkan) dalam surat keputusan tersebut. Oleh
karena itu, PTTUN membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan mengadili
sendiri dengan amar putusan yang pada pokoknya mengabulkan gugatan untuk
sebagian, yakni hanya menyatakan batal bagian dari Surat Keputusan Walikota
Tangerang Selatan yang memberlakukan pemberhentian secara surut. Putusan
ini menunjukkan bagaimana PTTUN secara aktif menjalankan fungsinya
sebagai judex facti dengan menelaah kembali seluruh aspek,
baik fakta maupun hukum, untuk sampai pada suatu putusan yang dianggapnya adil.
Ujian Aspek Yuridis oleh Mahkamah Agung
Landasan Yuridis dan Karakteristik Pemeriksaan Kasasi sebagai Judex Juris
Apabila salah satu pihak masih tidak puas
dengan putusan PTTUN di tingkat banding, tersedia upaya hukum selanjutnya,
yaitu kasasi ke Mahkamah Agung. Landasan hukumnya terdapat dalam Pasal
131 UU PTUN, yang menyatakan bahwa terhadap putusan tingkat terakhir
pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, yang
acaranya merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, yang selanjutnya disebut dengan “UU Mahkamah
Agung”.
Berbeda fundamental dengan pemeriksaan
banding, pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung bersifat sebagai judex
juris (peradilan mengenai hukum), bukan judex facti.
Artinya, Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa atau menilai fakta-fakta
persidangan atau alat-alat bukti. Fokus pemeriksaan kasasi adalah murni pada
aspek yuridis, yakni untuk menguji apakah putusan pengadilan di bawahnya (judex
facti) telah menerapkan hukum secara benar atau tidak.
Struktur hukum acara ini sengaja dirancang
demikian; UU PTUN memberikan hak untuk mengajukan kasasi, namun substansi
mengenai alasan dan prosedur pengajuannya diserahkan sepenuhnya kepada UU
Mahkamah Agung. Desain ini bertujuan untuk menciptakan keseragaman dan
konsistensi dalam pemeriksaan tingkat akhir untuk seluruh lingkungan peradilan
(umum, agama, militer, dan tata usaha negara) yang bermuara di Mahkamah Agung.
Ketergantungan ini menggarisbawahi peran
sentral Mahkamah Agung sebagai penjaga tertinggi penerapan hukum, yang
mengharuskan setiap praktisi hukum yang berperkara di PTUN untuk membangun
argumentasi kasasinya bukan berdasarkan logika spesifik PTUN, melainkan
berdasarkan alasan-alasan universal yang berlaku untuk semua perkara di hadapan
Mahkamah Agung.
Alasan-Alasan Limitatif Pengajuan Kasasi
Karena sifatnya sebagai judex juris,
permohonan kasasi hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan yang diatur
secara limitatif dalam Pasal 30 UU Mahkamah Agung,
yaitu apabila putusan judex facti:
a. “tidak berwenang
atau melampaui batas wewenang;”
Ini mencakup baik kewenangan absolut
(misalnya, sengketa seharusnya diadili oleh peradilan lain) maupun kewenangan
relatif (misalnya, PTUN yang mengadili tidak sesuai dengan wilayah hukumnya).
b. “salah menerapkan
atau melanggar hukum yang berlaku;”
Ini merupakan alasan yang paling sering
digunakan, mencakup kesalahan dalam menafsirkan atau menerapkan suatu pasal
dalam peraturan perundang-undangan terhadap fakta-fakta yang telah ditetapkan.
“lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan.”
Ini berkaitan dengan pelanggaran hukum acara
yang fundamental, misalnya putusan tidak memuat pertimbangan hukum yang cukup
atau tidak ditandatangani oleh majelis hakim.
Prosedur Pengajuan Permohonan dan Memori Kasasi
Prosedur pengajuan kasasi pada dasarnya
serupa dengan banding, yaitu diajukan melalui kepaniteraan PTUN yang memutus
perkara di tingkat pertama dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan PTTUN
diberitahukan. Hal yang paling esensial dalam permohonan kasasi adalah
kewajiban pemohon untuk menyerahkan memori kasasi. Dokumen ini harus secara
spesifik dan terperinci menguraikan alasan-alasan kasasi dengan merujuk pada
salah satu atau lebih dari tiga alasan limitatif yang diatur dalam Pasal
30 UU Mahkamah Agung.
Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 329 K/TUN/2019, yang diputus pada tanggal 31
Juli 2019, memberikan contoh nyata penerapan prinsip judex juris. Perkara
ini diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Dr. H. Yulius,
S.H., M.H., dengan hakim-hakim anggota Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., dan
Dr. Yosran, S.H., M.Hum.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung
menyatakan bahwa putusan judex facti (PTUN dan PTTUN Jakarta)
sudah benar dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum. Mahkamah
Agung menyoroti beberapa poin krusial yaitu pertama, objek sengketa
berupa Hasil Uji Kompetensi Kenaikan Jabatan Fungsional tidak hanya berisi
tindakan hukum, tetapi juga menyangkut aspek non-hukum seperti moralitas,
profesionalitas, dan integritas; kedua, pejabat penerbitnya, yakni Tim
Uji Kompetensi, bersifat temporer dan masa jabatannya telah berakhir sehingga
tidak lagi memiliki dasar kewenangan untuk didudukkan sebagai Tergugat.
Poin terpenting dalam pertimbangannya adalah
bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon pada hakikatnya hanya
mempersoalkan kembali ”penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan”. Mahkamah Agung menegaskan bahwa
hal tersebut merupakan ranah judex facti dan tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang terbatas pada pemeriksaan
penerapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Mahkamah Agung.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, amar
putusan Mahkamah Agung adalah
MENGADILI
1.
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Drs. TOGAP
MARPAUNG, PGD;
2.
Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara pada tingkat
kasasi sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah);”.
Putusan ini secara tegas memperlihatkan
demarkasi kewenangan antara judex facti dan judex
juris serta memperkuat posisi Mahkamah Agung sebagai pengadilan hukum
murni.
Peninjauan Kembali (PK): Upaya Eksepsional untuk Keadilan Materiel
Landasan Yuridis dan Sifat Luar Biasa
Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali (PK) merupakan
satu-satunya upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh para pihak
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Landasan hukumnya diatur dalam Pasal 132 UU PTUN, yang,
serupa dengan kasasi, merujuk pada ketentuan dalam UU Mahkamah Agung,
khususnya Pasal 67 hingga Pasal 77.
Sifat luar biasa dari PK terletak pada
posisinya yang secara fundamental menabrak asas kepastian hukum res
judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar).
Upaya ini hanya dibuka dalam kondisi-kondisi yang sangat eksepsional dengan
tujuan utama untuk menghindari terjadinya ketidakadilan yang serius (miscarriage
of justice) akibat adanya kekeliruan fundamental dalam putusan yang telah
final.
Persyaratan yang ketat untuk mengajukan PK
mencerminkan adanya pertarungan filosofis dalam sistem hukum antara kebutuhan
akan finalitas suatu perkara (kepastian hukum) dan pengejaran kebenaran
hakiki (keadilan materiel). Pembatasan yang ketat dalam Pasal 67
UU Mahkamah Agung bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sebuah desain
yang disengaja untuk memastikan bahwa kepastian hukum menjadi aturan utama, dan
penyimpangan darinya hanya diizinkan dalam keadaan paling darurat di mana
ketidakadilan dari putusan final tersebut terlalu besar untuk
diabaikan.
Alasan-Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Pasal 67 UU Mahkamah Agung mengatur
secara limitatif alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan PK, yaitu:
a.
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b.
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan (novum).
c.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari pada yang dituntut (ultra petita).
d.
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e.
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain. f. Apabila dalam
suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.
Telaah Khusus Mengenai Bukti Baru (Novum)
Alasan yang paling umum digunakan untuk
mengajukan PK adalah penemuan bukti baru atau novum (Pasal 67
huruf b). Namun, tidak semua bukti yang baru ditemukan dapat dikualifikasikan
sebagai novum.
Terdapat dua syarat kumulatif yang harus
dipenuhi: pertama, bukti tersebut harus bersifat menentukan, artinya jika bukti
tersebut diajukan pada saat persidangan sebelumnya, kemungkinan besar
putusannya akan berbeda; dan kedua, bukti tersebut memang benar-benar tidak
dapat ditemukan atau diajukan pada persidangan sebelumnya, bukan karena
kelalaian pemohon. Untuk membuktikan kebenaran waktu penemuan novum, Pasal
69 huruf b UU Mahkamah Agung mensyaratkan agar hari dan tanggal
ditemukannya surat bukti tersebut harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan
oleh pejabat yang berwenang.
Prosedur dan Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan PK
Pengajuan permohonan PK dibatasi oleh
tenggang waktu yang sangat ketat, yaitu 180 (seratus delapan puluh)
hari sebagaimana diatur dalam Pasal 69 UU Mahkamah Agung. Titik
awal penghitungan tenggang waktu ini bervariasi tergantung pada alasan yang
digunakan. Untuk alasan novum, misalnya, tenggang waktu dihitung
sejak tanggal ditemukannya surat bukti baru tersebut. Keterlambatan dalam
mengajukan permohonan PK akan mengakibatkan permohonan dinyatakan tidak dapat
diterima.
Putusan PK Berdasarkan Adanya Kekhilafan Hakim
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 154 PK/TUN/2010, tertanggal 19 Agustus 2010, merupakan yurisprudensi
penting yang menggambarkan penerapan alasan PK berupa kekhilafan hakim yang
nyata (Pasal 67 huruf f). Dalam kasus ini, Mahkamah Agung dihadapkan pada
situasi di mana terdapat dua putusan PK yang saling bertentangan mengenai objek
sengketa yang sama, satu dari lingkungan peradilan TUN dan satu lagi dari
lingkungan peradilan umum (perdata).
Mahkamah Agung, dalam putusan PK yang kedua
ini, membatalkan putusan PK sebelumnya (Putusan No. 49 PK/TUN/2007) dan
menguatkan putusan PK yang lebih awal (Putusan No. 20 PK/TUN/2003).
Pertimbangan utamanya adalah adanya kekhilafan nyata dari majelis hakim dalam
putusan PK yang dibatalkan karena tidak mempertimbangkan adanya putusan perdata
yang telah berkekuatan hukum tetap terkait kepemilikan hak atas tanah.
Putusan ini menunjukkan bagaimana mekanisme
PK berfungsi sebagai katup pengaman untuk meluruskan anomali hukum dan
menegakkan keadilan materiel, bahkan jika itu berarti harus membatalkan putusan
yang juga telah berkekuatan hukum tetap.
Administrasi Modern dan Pelaksanaan Putusan
Implementasi Peraturan Mahkamah Agung
Terkait Administrasi Upaya Hukum Secara Elektronik
Seiring dengan perkembangan teknologi,
Mahkamah Agung terus melakukan modernisasi administrasi peradilan. Salah satu
terobosan signifikan adalah pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengajuan Upaya
Hukum Dan Persidangan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Di Mahkamah Agung Secara
Elektronik. Peraturan ini mentransformasi proses pengajuan upaya
hukum dari yang semula berbasis kertas menjadi sepenuhnya elektronik melalui
sistem e-Court. Pengajuan memori banding, kasasi, dan PK, serta
kontra memorinya, kini dilakukan secara digital. Langkah ini tidak hanya
bertujuan untuk efisiensi dan percepatan proses administrasi, tetapi juga untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara di tingkat
upaya hukum.
Telaah Pasal 116 UU PTUN: Mekanisme Pelaksanaan Putusan dan Penerapan Upaya Paksa
Salah satu aspek paling fundamental dalam
penegakan hukum adalah eksekusi putusan. Tanpa eksekusi yang efektif, putusan
pengadilan hanyalah menjadi “macan kertas”. Menyadari kelemahan historis dalam
eksekusi putusan PTUN, legislatif secara progresif memperkuat mekanisme
pelaksanaan putusan melalui amendemen terhadap Pasal 116 UU PTUN.
Evolusi legislatif ini menunjukkan adanya
proses pembelajaran dalam sistem hukum Indonesia. UU PTUN yang asli
(Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) relatif lemah dalam hal penegakan, di mana
sanksi bagi pejabat yang abai tidak cukup memaksa. Perubahan pertama
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara memperkenalkan konsep “upaya paksa”, termasuk pembayaran
uang paksa (dwangsom). Puncaknya, perubahan kedua melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyempurnakan
dan mempertegas mekanisme upaya paksa tersebut.
Pasal 116 UU PTUN dalam versi
termutakhirnya menyediakan serangkaian mekanisme upaya paksa yang berlapis,
antara lain:
1.
Apabila dalam 60 hari kerja setelah putusan BHT diterima
tergugat tidak melaksanakan kewajiban pencabutan KTUN, maka KTUN yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi (vide Pasal
116 ayat (2)).
2. Apabila dalam 90
hari kerja tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk mencabut dan/atau
menerbitkan KTUN baru, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN
agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan (vide Pasal 116
ayat (3)).
3. Jika tergugat tetap
tidak bersedia melaksanakan, pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya
paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi
administratif (vide Pasal 116 ayat (4)).
4. Pejabat yang tidak
melaksanakan putusan tersebut diumumkan pada media massa cetak setempat
oleh panitera (vide Pasal 116 ayat (5)).
5. Sebagai langkah
pamungkas, Ketua PTUN mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan (vide Pasal 116 ayat (6)).
Untuk memberikan pedoman teknis yang lebih
konkret, Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung telah menerbitkan Petunjuk
Pelaksanaan Pengawasan Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Yang
Berkekuatan Hukum Tetap Nomor : 01/KM.TUN/HK2.7/JUKLAK./VII/2024. Juklak
ini merinci tahapan-tahapan prosedural yang harus ditempuh oleh Ketua PTUN
dalam mengawasi dan memastikan pelaksanaan putusan, yang menegaskan komitmen
institusional untuk memperkuat daya eksekutorial putusan
PTUN.
Penutup
Sistem upaya hukum dalam Peradilan Tata
Usaha Negara merupakan sebuah konstruksi yuridis yang kompleks dan berlapis.
Struktur ini dirancang secara cermat untuk menyeimbangkan berbagai prinsip
fundamental: kebutuhan akan koreksi terhadap kekeliruan yudisial, penghormatan
terhadap kepastian hukum yang direpresentasikan oleh putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, dan pengejaran keadilan materiel sebagai tujuan akhir
dari setiap proses peradilan. Dari pemeriksaan ulang fakta di tingkat banding,
pengujian penerapan hukum di tingkat kasasi, hingga mekanisme eksepsional
peninjauan kembali, setiap jenjang memiliki fungsi, karakteristik, dan batasan
kewenangan yang jelas.
Meskipun kerangka hukumnya telah kokoh,
tantangan utama terletak pada implementasinya. Efektivitas pelaksanaan putusan,
khususnya penerapan mekanisme upaya paksa dalam Pasal 116 UU PTUN, tetap
menjadi barometer utama kewibawaan Peradilan Tata Usaha Negara.
Di sisi lain, dinamika hukum administrasi
yang terus berkembang, termasuk pasca-lahirnya berbagai peraturan turunan
Undang-Undang Cipta Kerja, menuntut adaptasi berkelanjutan dalam hukum acara
untuk menjawab jenis-jenis sengketa administrasi yang baru.
Pada akhirnya, keberadaan dan bekerjanya
sistem upaya hukum yang efektif dan kredibel merupakan pilar tak tergantikan
dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Ia tidak hanya berfungsi sebagai
sarana bagi pencari keadilan, tetapi juga sebagai penegasan bahwa tidak ada
satu pun institusi, termasuk pemerintah, yang berada di atas hukum (supremacy
of law).
Dengan demikian, upaya hukum menjadi penjaga
marwah peradilan sekaligus pengawal hak-hak warga negara, selaras dengan
semangat adagium Fiat justitia ruat caelum: hendaklah keadilan
ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


