Pertanyaan
Selamat Pagi Pak Eka Kurnia, izin bertanya
pak. Saya sering mendengar bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
itu terkadang sulit untuk dilaksanakan, terutama jika pejabat yang kalah dalam
perkara tersebut tidak mau mematuhinya. Hal ini membuat saya penasaran,
sebenarnya bagaimana prosedur dan tata cara eksekusi yang sah dalam perkara
tata usaha negara agar putusan pengadilan tersebut dapat benar-benar
ditegakkan? Terima kasih banyak atas penjelasannya, pak.
Jawaban
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, merupakan negara hukum (rechtsstaat). Salah satu pilar
fundamental dari konsepsi negara hukum adalah adanya mekanisme kontrol yudisial
(judicial control) yang efektif terhadap setiap tindakan pemerintahan.
Di sinilah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memegang peranan sentral sebagai
benteng bagi warga negara dalam menghadapi Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
yang merugikan kepentingannya.
Namun, proses peradilan tidak berhenti pada
jatuhnya putusan. Sebuah adagium hukum universal menyatakan, Executio
est finis et fructus legis, yang berarti eksekusi adalah akhir dan buah
dari hukum. Adagium ini menegaskan bahwa sebuah putusan pengadilan,
betapapun adil dan cermatnya pertimbangan hukumnya, akan menjadi sia-sia
(illusoir) dan kehilangan wibawanya apabila tidak dapat dilaksanakan.
Eksekusi merupakan mahkota dari suatu putusan dan menjadi tolok ukur utama
kewibawaan lembaga peradilan di mata publik.
Secara historis, eksekusi putusan PTUN telah
lama menjadi diskursus yang problematis. Karakteristik sengketa TUN yang
menempatkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak Tergugat
melahirkan tantangan unik dalam proses eksekusi. Tidak jarang, pihak pejabat
yang dikalahkan menunjukkan keengganan atau bahkan penolakan untuk mematuhi
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Fenomena ini melahirkan persepsi sinis di
tengah masyarakat bahwa PTUN tak ubahnya “macan ompong” (toothless tiger),
yang tajam dalam mengadili namun tumpul dalam mengeksekusi. Berangkat dari
permasalahan tersebut, artikel kali ini akan memberikan pandangan komprehensif,
kritis, dan sistematis mengenai tata cara eksekusi dalam perkara TUN.
Pembahasan akan menelaah evolusi kerangka hukum yang mengaturnya,
mengidentifikasi kendala-kendala fundamental yang menghambat efektivitasnya,
serta menganalisis berbagai strategi yuridis yang dapat ditempuh untuk
memastikan setiap putusan PTUN dapat membuahkan keadilan yang nyata bagi para
pencari keadilan.
Definisi dan Hakikat Eksekusi dalam Perkara Tata Usaha Negara
Secara yuridis, eksekusi putusan PTUN dapat
didefinisikan sebagai serangkaian tindakan hukum yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan untuk merealisasikan amar putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, yang pada pokoknya berisi penghukuman (condemnatoir)
terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan hukum. Putusan yang bersifat condemnatoir inilah
yang memerlukan adanya eksekusi, sebab ia membebankan suatu kewajiban atau
prestasi kepada pihak yang dikalahkan.
Hal yang membedakan eksekusi PTUN dengan
eksekusi dalam perkara perdata adalah hakikatnya. Eksekusi dalam hukum acara
perdata mengenal adanya eksekusi riil, di mana pengadilan melalui aparaturnya
(jurusita) dapat melakukan penyitaan dan pelelangan aset secara paksa.
Sebaliknya, eksekusi dalam perkara TUN pada
dasarnya bersifat administratif. Artinya, Tergugat (Badan atau Pejabat
TUN) sendirilah yang dibebani kewajiban untuk melaksanakan putusan tersebut. Peran
pengadilan bukanlah sebagai eksekutor fisik, melainkan sebagai pengawas yang
memastikan dan, jika perlu, memberikan tekanan yuridis agar putusan tersebut
dilaksanakan oleh pejabat yang bersangkutan.
Tujuan eksekusi dalam konteks ini melampaui
sekadar pemenuhan hak individual Penggugat. Pelaksanaan putusan PTUN berfungsi
untuk menegakkan supremasi hukum, menjaga kewibawaan lembaga peradilan, dan
memastikan bahwa setiap tindakan pemerintahan senantiasa berada dalam koridor
hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance).
Dengan demikian, eksekusi putusan PTUN
memiliki fungsi ganda. Pertama, sebagai fungsi korektif,
yaitu memperbaiki atau memulihkan kembali hak-hak warga negara yang telah
dilanggar oleh tindakan administrasi pemerintahan yang cacat hukum. Ketika
seorang pejabat dipaksa untuk mencabut KTUN yang melanggar hukum, maka hak
Penggugat yang dirugikan telah dipulihkan.
Kedua, sebagai fungsi preventif,
yaitu menciptakan efek jera (deterrent effect) bagi pejabat lainnya agar
tidak melakukan pelanggaran serupa di masa mendatang. Keberhasilan eksekusi,
terutama jika disertai dengan ancaman sanksi yang kredibel, akan mengirimkan
pesan yang kuat ke seluruh jajaran birokrasi bahwa putusan pengadilan bukanlah
sekadar rekomendasi, melainkan perintah hukum yang wajib dipatuhi.
Sebaliknya, kegagalan eksekusi yang terjadi
berulang kali tidak hanya merugikan Penggugat secara langsung, tetapi juga
secara sistemik merusak fungsi preventif ini, yang berpotensi meningkatkan
frekuensi pelanggaran administrasi di kemudian hari.
Landasan Yuridis Eksekusi Putusan Perkara Tata Usaha Negara
Kerangka hukum yang mengatur eksekusi
putusan PTUN telah mengalami evolusi signifikan, yang berpusat pada perubahan
Pasal 116 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kerangka Hukum Utama (Evolusi Pasal 116)
1)
Era Awal (UU Nomor 5 Tahun 1986)
Awalnya, Pasal 116 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara selanjutnya disebut “UU
PTUN”, menganut mekanisme yang bersifat persuasif dan hierarkis. Jika
Tergugat tidak mematuhi putusan, Ketua Pengadilan hanya dapat mengajukan hal
tersebut kepada instansi atasan Tergugat. Sebagai upaya pamungkas, Ketua
Pengadilan melaporkannya kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan
tertinggi. Mekanisme ini tidak memuat sanksi yang bersifat memaksa secara
langsung kepada pejabat yang bersangkutan, sehingga sangat bergantung pada
itikad baik dan pengawasan internal di lingkungan eksekutif.
2)
Era Transisi (UU Nomor 9 Tahun 2004)
Menyadari kelemahan tersebut, pembentuk undang-undang
melakukan perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Pasal 116 dalam perubahan ini mulai memperkenalkan terobosan
penting, yaitu konsep “upaya paksa” (dwangmiddel). Pasal 116 ayat (4)
menyatakan bahwa terhadap pejabat yang tidak bersedia melaksanakan putusan,
dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa (dwangsom)
dan/atau sanksi administratif. Meskipun demikian, undang-undang ini belum
merinci mekanisme operasional dari penerapan upaya paksa tersebut.
3)
Era Modern (UU Nomor 51 Tahun 2009)
Penyempurnaan paling signifikan hadir melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 116
dalam undang-undang ini mempertegas dan merinci mekanisme upaya paksa. Selain
mempertahankan uang paksa dan sanksi administratif, ditambahkan pula mekanisme
sanksi berupa pengumuman di media massa cetak setempat (ayat 5) dan pelaporan
tidak hanya kepada Presiden, tetapi juga kepada lembaga perwakilan rakyat
(DPR/DPRD) untuk menjalankan fungsi pengawasan (ayat 6). Namun, kelemahan
fundamental masih tersisa. Pasal 116 ayat (7) secara eksplisit mengamanatkan
bahwa, ”Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi
administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi
administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.”.
Peraturan Pelaksana dan Pendukung
Amanat Pasal 116 ayat (7) UU PTUN
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 untuk membentuk
peraturan perundang-undangan pelaksana (idealnya dalam bentuk Peraturan
Pemerintah) tidak kunjung terealisasi selama lebih dari satu dekade. Kekosongan
hukum (rechtsvacuum) ini menjadikan norma mengenai upaya paksa menjadi
lumpuh dan tidak operasional, yang seringkali menjadi dalih bagi pejabat untuk
tidak mematuhi putusan pengadilan.
Menghadapi kebuntuan legislasi ini, Mahkamah
Agung mengambil langkah proaktif. Ini merupakan sebuah pergeseran paradigma di
mana lembaga yudikatif tidak lagi pasif menunggu, melainkan secara aktif
menciptakan instrumen prosedural untuk menjamin efektivitas putusannya.
Terobosan ini diwujudkan melalui penerbitan Petunjuk Pelaksanaan
Ketua Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
01/KM.TUN/HK2.7/JUKLAK/VII/2024 tentang Pengawasan Pelaksanaan Putusan
Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berkekuatan Hukum Tetap (selanjutnya
disebut “Juklak MA No. 01/2024”).
Meskipun secara hierarki Juklak ini berada
di bawah undang-undang, ia berfungsi mengisi kekosongan hukum acara dengan
memberikan pedoman teknis yang terperinci bagi ketua pengadilan dalam
menjalankan pengawasan dan menerapkan tahapan-tahapan eksekusi. Langkah ini
dapat dipandang sebagai bentuk judicial law-making dalam ranah
hukum acara, yang lahir dari kegagalan lembaga legislatif dan eksekutif untuk
menindaklanjuti amanat undang-undang. Di samping itu, kerangka hukum eksekusi
juga didukung oleh:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan kewajiban Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
2. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif kepada Pejabat Pemerintahan, yang dapat menjadi rujukan dalam
penerapan sanksi administratif bagi pejabat yang tidak patuh.
Jenis-Jenis Perkara dan Amar Putusan yang Dapat Dilakukan Eksekusi
Prinsip dasar eksekusi adalah hanya putusan
yang bersifat condemnatoir (menghukum atau memerintahkan suatu
prestasi) yang dapat dieksekusi secara paksa. Putusan yang bersifat declaratoir (hanya
menyatakan suatu keadaan hukum) atau constitutif (menciptakan
atau menghapuskan suatu keadaan hukum) pada dasarnya tidak memerlukan eksekusi
karena akibat hukumnya timbul dengan sendirinya dari amar putusan
tersebut. Dalam konteks PTUN, jenis-jenis kewajiban yang dapat dimuat
dalam amar putusan yang bersifat condemnatoir diatur secara
rinci dalam Pasal 97 UU PTUN, yang meliputi:
1.
Pencabutan KTUN
Kewajiban bagi Tergugat untuk mencabut Keputusan Tata Usaha
Negara yang menjadi objek sengketa, sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf a UU PTUN.
2. Pencabutan KTUN dan
Penerbitan KTUN Baru
Kewajiban ganda bagi Tergugat, yaitu mencabut KTUN yang lama
yang dinyatakan batal atau tidak sah, dan sekaligus menerbitkan KTUN baru yang
sesuai dengan dasar hukum dan pertimbangan putusan pengadilan. Hal ini diatur
dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b UU PTUN.
3. Penerbitan KTUN
(atas dasar Fiktif Negatif)
Kewajiban bagi Tergugat untuk menerbitkan KTUN yang
dimohonkan oleh Penggugat, dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 UU PTUN,
yaitu ketika Badan atau Pejabat TUN bersikap diam (tidak menerbitkan keputusan
atau melakukan tindakan) padahal hal itu merupakan kewajibannya. Kewajiban ini
diatur dalam Pasal 97 ayat (9) huruf c UU PTUN.
4. Pembayaran Ganti
Rugi
Kewajiban bagi Tergugat untuk membayar sejumlah ganti rugi
kepada Penggugat apabila Penggugat mengalami kerugian materiil akibat
diterbitkannya KTUN yang merugikan. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 97 ayat
(10) UU PTUN.
5. Rehabilitasi
Kewajiban bagi Tergugat untuk memulihkan hak, kedudukan,
harkat, dan martabat Penggugat seperti keadaan semula. Kewajiban ini bersifat
khusus dan hanya berlaku dalam sengketa kepegawaian, sebagaimana diatur dalam
Pasal 97 ayat (11) UU PTUN.
Syarat-Syarat Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Tata Usaha Negara
Syarat fundamental dan absolut agar suatu
putusan dapat dieksekusi adalah putusan tersebut harus telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Prinsip ini secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 115 UU PTUN yang
menyatakan:
“Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang dapat dilaksanakan.”.
Suatu putusan pengadilan dianggap telah
berkekuatan hukum tetap apabila:
-
Pada Tingkat Pertama, para pihak tidak mengajukan upaya hukum
banding dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan diberitahukan secara sah
kepada mereka;
-
Pada Tingkat Banding, para pihak tidak mengajukan upaya hukum
kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
-
Pada Tingkat Kasasi atau Peninjauan Kembali, Putusan Mahkamah
Agung pada tingkat kasasi atau peninjauan kembali secara otomatis berkekuatan
hukum tetap sejak tanggal diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Proses selanjutnya yang menjadi titik awal
berjalannya tenggat waktu eksekusi adalah pemberitahuan resmi. Sesuai Pasal
116 ayat (1) UU PTUN, Panitera Pengadilan tingkat pertama wajib mengirimkan
salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada para pihak dengan
surat tercatat. Momen diterimanya salinan putusan inilah yang menjadi dasar
perhitungan dimulainya kewajiban Tergugat untuk melaksanakan amar putusan.
Prosedur serta Tata Cara Eksekusi Putusan Pengadilan
Prosedur eksekusi putusan PTUN merupakan
serangkaian tahapan yang bersifat gradual, dimulai dari upaya persuasif hingga
penerapan upaya paksa. Juklak MA No. 01/2024 telah memberikan panduan
yang lebih terstruktur untuk setiap tahapan ini.
Tahap Eksekusi Sukarela dan Pemberitahuan Putusan
Setelah putusan berkekuatan hukum tetap,
Panitera Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan putusan kepada para
pihak selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja. Pada tahap ini,
Tergugat diharapkan memiliki kesadaran hukum untuk melaksanakan amar putusan
secara sukarela. Juklak MA No. 01/2024 menambahkan bahwa
pengiriman salinan putusan tersebut disertai dengan keterangan agar Tergugat
melaksanakan putusan dalam waktu 21 hari kerja, sebagai bentuk peringatan awal.
Prosedur Eksekusi atas Kewajiban Pencabutan KTUN (Eksekusi Otomatis)
Mekanisme ini berlaku khusus untuk amar
putusan yang memerintahkan pencabutan KTUN (vide Pasal 97 ayat (9)
huruf a UU PTUN). Pasal 116 ayat (2) UU PTUN mengatur
bahwa:
“Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya... keputusan tata
usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.”.
Artinya, KTUN tersebut batal demi hukum. Juklak
MA No. 01/2024 memberikan prosedur konkret untuk memformalkan status
ini: Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, yang kemudian
akan mengeluarkan suatu Penetapan yang menyatakan bahwa KTUN objek sengketa
tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Penetapan ini selanjutnya dikirimkan oleh
Jurusita kepada para pihak untuk memberikan kepastian hukum.
Prosedur Permohonan Eksekusi atas Kewajiban Lainnya
Untuk amar putusan yang berisi kewajiban
menerbitkan KTUN baru, rehabilitasi, atau ganti rugi (vide Pasal 97 ayat
(9) huruf b dan c), prosesnya tidak berjalan otomatis. Berdasarkan Pasal
116 ayat (3) UU PTUN, jika setelah 90 hari kerja Tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya, maka Penggugat harus proaktif mengajukan permohonan
eksekusi kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama. Atas dasar permohonan
ini, Ketua Pengadilan memulai proses pengawasan eksekusi.
Berdasarkan Juklak MA No. 01/2024, Ketua
Pengadilan akan memanggil para pihak untuk menghadiri sidang “Pengawasan
Eksekusi” guna meminta klarifikasi. Apabila tidak ditemukan halangan yang sah
untuk eksekusi, Ketua Pengadilan akan mengeluarkan Surat Peringatan resmi
kepada Tergugat.
Implementasi Upaya Paksa (Dwangsom dan Sanksi Administratif)
Jika peringatan tidak diindahkan, pengadilan
akan menempuh jalur upaya paksa.
1.
Penetapan Eksekusi
Berdasarkan Juklak MA No. 01/2024, apabila dalam 21 hari
kerja setelah sidang Pengawasan Eksekusi Tergugat tetap tidak melaksanakan
putusan, Ketua Pengadilan akan menerbitkan “Penetapan Eksekusi”. Penetapan ini
berisi perintah tegas untuk melaksanakan putusan, disertai ancaman penerapan
upaya paksa jika perintah tersebut kembali diabaikan.
2. Uang Paksa (Dwangsom)
Konsep ini adalah pembebanan sejumlah uang yang harus dibayar
oleh Tergugat untuk setiap hari keterlambatan dalam melaksanakan
putusan. Penerapannya menghadapi dilema besar karena ketiadaan peraturan
pelaksana sebagaimana diamanatkan Pasal 116 ayat (7) UU PTUN.
Namun, dalam praktik, beberapa hakim menunjukkan judicial activism dengan
tetap mencantumkan amar dwangsom dalam putusannya. Langkah
ini, meskipun kekuatan eksekutorialnya diperdebatkan, berfungsi sebagai tekanan
psikologis dan moral yang kuat terhadap Tergugat. Sebagai contoh, dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 47/G/2008/PTUN.SMG, tertanggal
17 Februari 2009, Majelis Hakim yang diketuai oleh Husban, S.H.,
dengan hakim anggota Rialam Sihite, S.H. dan Tri Cahya
Indra Permana, S.H., mengabulkan tuntutan uang paksa. Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan bahwa meskipun tata cara
pembayaran uang paksa belum diatur, untuk menjamin agar putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dipatuhi oleh Tergugat, maka pengenaan dwangsom dapat
dibenarkan. Majelis Hakim menghitung besaran uang paksa sebesar Rp50.000 per
hari, yang didasarkan pada penghasilan kotor Penggugat per bulan dibagi dengan
jumlah hari kalender. Amar putusan lengkap terkait hal ini berbunyi: “Menghukum
Tergugat untuk membayar uang paksa Rp. 50.000.- (lima puluh ribu rupiah) setiap
hari Tergugat lalai melaksanakan putusan ini”.
3. Sanksi Administratif
Sanksi ini dapat berupa sanksi disiplin kepegawaian, seperti
penundaan kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian, yang
merujuk pada peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian dan
administrasi pemerintahan.
Mekanisme Pelaporan (Langkah Ultimum Remedium)
Jika seluruh upaya di atas gagal, UU PTUN
menyediakan dua mekanisme pelaporan sebagai langkah pamungkas:
1.
Pengumuman di Media Massa
Sebagaimana ketentuan Pasal 116 ayat (5) UU PTUN, Panitera,
atas perintah Ketua Pengadilan, mengumumkan nama pejabat dan jabatannya yang
tidak mematuhi putusan di media massa cetak setempat. Langkah ini bertujuan
untuk menciptakan sanksi sosial dan tekanan publik.
2. Pelaporan kepada
Presiden dan DPR
Sebagai upaya terakhir, Pasal 116 ayat (6) UU PTUN memerintahkan
Ketua Pengadilan untuk melaporkan ketidakpatuhan tersebut kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, dan kepada lembaga
perwakilan rakyat (DPR/DPRD) untuk menjalankan fungsi pengawasan politiknya.
Kendala-Kendala Fundamental Dalam Proses Eksekusi Putusan
Efektivitas eksekusi putusan PTUN masih
terhambat oleh serangkaian kendala yang bersifat fundamental dan saling
berkaitan, yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori.
Kendala Normatif
Kendala utama dan paling mendasar adalah
kekosongan hukum akibat tidak adanya peraturan pelaksana dari Pasal 116 ayat
(7) UU PTUN. Ketiadaan peraturan ini menyebabkan ketidakpastian hukum yang
serius mengenai besaran, jenis, dan tata cara teknis penerapan uang paksa serta
sanksi administratif. Akibatnya, ancaman upaya paksa dalam undang-undang
menjadi norma yang tumpul dan tidak dapat dioperasionalkan secara efektif oleh
pengadilan.
Kendala Struktural
1.
Terdapat sikap keengganan yang inheren dari pejabat Tergugat
untuk melaksanakan putusan, terutama jika putusan tersebut dianggap merugikan
citra instansi, mengganggu kebijakan yang telah berjalan, atau berdampak pada
status jabatan pribadi;
2. Mekanisme pelaporan
kepada atasan pejabat seringkali tidak efektif. Dalam banyak kasus, atasan
cenderung melindungi bawahannya, memiliki kepentingan yang selaras, atau enggan
mengambil tindakan yang dapat menimbulkan konflik internal dalam birokrasi;
3. Pejabat yang tidak
patuh seringkali berlindung di balik alasan teknis, seperti prosedur birokrasi
yang berbelit-belit atau ketiadaan alokasi anggaran untuk melaksanakan putusan
(misalnya untuk pembayaran ganti rugi), sebagai dalih untuk menunda atau tidak
melaksanakan putusan.
Kendala Kultural
1.
Rendahnya Budaya Kepatuhan Hukum (Legal Culture)
Di sebagian kalangan birokrasi, masih terdapat budaya hukum
yang rendah, di mana putusan pengadilan belum sepenuhnya dipandang sebagai
perintah hukum yang mengikat dan wajib dilaksanakan tanpa terkecuali. Terdapat
anggapan bahwa putusan pengadilan hanyalah salah satu pertimbangan dalam
pengambilan keputusan selanjutnya.
2. Arogansi Kekuasaan
Masih adanya paradigma bahwa lembaga eksekutif memiliki
kedudukan yang setara atau bahkan lebih superior dibandingkan yudikatif. Hal
ini menyebabkan putusan pengadilan seringkali diperlakukan sebagai “rekomendasi”
atau “saran”, bukan sebagai perintah hukum yang final dan mengikat.
Kendala-kendala ini saling terkait membentuk
sebuah siklus negatif. Kekosongan normatif terkait sanksi memberikan ruang bagi
resistensi struktural, di mana pejabat merasa tidak akan ada konsekuensi nyata
jika tidak patuh. Perilaku ini, ketika terjadi berulang kali tanpa penegakan
yang efektif, kemudian dinormalisasi dan membentuk budaya kepatuhan hukum yang
rendah. Siklus inilah yang secara terus-menerus menggerus kewibawaan dan
efektivitas Peradilan Tata Usaha Negara.
Tata Cara Strategis untuk Mengantisipasi dan Mengatasi Kendala Eksekusi
Mengatasi kompleksitas kendala eksekusi
memerlukan pendekatan strategis yang komprehensif, baik dari internal lembaga
peradilan maupun melalui kolaborasi dengan lembaga eksternal.
Strategi Yudisial (Internal)
1.
Optimalisasi Peran Ketua Pengadilan
Ketua Pengadilan harus secara proaktif menjalankan fungsi
pengawasan eksekusi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 119 UU PTUN.
Implementasi penuh Juklak MA No. 01/2024 menjadi kunci, di mana setiap tahapan,
mulai dari pemanggilan para pihak untuk “Pengawasan Eksekusi” hingga penerbitan
Surat Peringatan dan Penetapan Eksekusi, harus dijalankan secara konsisten dan
terukur untuk memberikan tekanan prosedural yang berkelanjutan.
2. Judicial Activism dalam Amar
Putusan
Para hakim didorong untuk secara berani mencantumkan amar
mengenai pengenaan uang paksa (dwangsom) dalam putusannya. Meskipun
peraturan pelaksananya belum ada, pencantuman amar ini dapat berfungsi sebagai
bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) untuk menciptakan efek psikologis
dan menjadi dasar bagi Ketua Pengadilan untuk melakukan tekanan lebih
lanjut. Putusan PTUN Semarang Nomor 47/G/2008/PTUN.SMG menjadi
preseden di mana hakim mengabulkan tuntutan dwangsom untuk
menjamin kepatuhan Tergugat.
3. Implementasi Penuh
Juklak MA No. 01/2024
Juklak ini harus dipandang sebagai strategi utama Mahkamah
Agung untuk mengisi kekosongan hukum acara. Dengan adanya prosedur yang jelas,
Juklak ini memberikan “gigi” prosedural yang selama ini hilang, memungkinkan
pengadilan untuk secara sistematis menekan Tergugat yang tidak patuh, meskipun
belum dapat menggantikan kekuatan memaksa dari sebuah Peraturan Pemerintah.
Strategi Eksternal dan Kolaboratif
1.
Pelibatan Ombudsman Republik Indonesia
Pihak Penggugat yang putusannya tidak dieksekusi dapat secara
aktif melaporkan pejabat yang bersangkutan kepada Ombudsman RI atas dugaan
maladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum. Rekomendasi dari Ombudsman
dapat menjadi alat tekanan eksternal yang signifikan terhadap pejabat dan
instansinya.
2. Penguatan Pengawasan
Legislatif
Mekanisme pelaporan kepada DPR/DPRD sesuai Pasal 116 ayat (6)
UU PTUN harus dioptimalkan. Lembaga legislatif perlu menindaklanjuti laporan
dari Ketua Pengadilan secara serius, misalnya dengan mengadakan rapat dengar
pendapat (hearing) dengan pejabat terkait atau menggunakan hak-hak
pengawasan lainnya untuk menekan eksekutif.
3. Advokasi Publik dan
Media
Penggunaan mekanisme pengumuman di media massa (Pasal 116
ayat (5) UU PTUN) harus dieksekusi secara efektif. Publikasi ketidakpatuhan
pejabat dapat menciptakan tekanan publik dan politik (public and political
pressure) yang seringkali lebih efektif daripada ancaman sanksi hukum yang
prosedurnya belum jelas.
Strategi Legislatif (Jangka Panjang)
1.
Mendesak Penerbitan Peraturan Pelaksana
Upaya advokasi yang terus-menerus harus dilakukan untuk
mendesak Presiden dan DPR agar segera menerbitkan peraturan pelaksana dari
Pasal 116 ayat (7) UU PTUN. Ini adalah solusi paling fundamental untuk
memberikan kepastian hukum dan kekuatan eksekutorial yang nyata bagi
pengadilan.
2. Revisi UU PTUN
Sebagai solusi jangka panjang, perlu dipertimbangkan revisi
UU PTUN untuk memberikan kewenangan eksekusi yang lebih kuat, misalnya dengan
memberikan kewenangan eksekusi riil dalam kasus-kasus tertentu (seperti
pembayaran ganti rugi) atau membentuk lembaga eksekutorial khusus yang berada
di bawah Mahkamah Agung namun memiliki kewenangan paksa.
Penutup
Evolusi mekanisme eksekusi putusan PTUN
menunjukkan pergeseran dari model yang murni persuasif-hierarkis menuju model
koersif yang diperkuat dengan ancaman upaya paksa. Meskipun demikian, eksekusi
hingga kini tetap menjadi “tumit Achilles” atau titik lemah utama bagi
penegakan wibawa Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Kombinasi kendala
normatif berupa kekosongan hukum pelaksana, kendala struktural dalam bentuk
resistensi birokrasi, dan kendala kultural berupa rendahnya kepatuhan hukum
pejabat pemerintah, telah menciptakan tantangan yang sistemik.
Namun, di tengah tantangan tersebut,
inisiatif proaktif dari Mahkamah Agung melalui penerbitan Juklak MA No. 01/2024
memberikan secercah harapan. Petunjuk pelaksanaan ini, meskipun bukan solusi
paripurna, merupakan langkah maju yang signifikan dalam memberikan panduan
prosedural yang jelas dan terukur bagi pengadilan untuk mengawal pelaksanaan
putusannya.
Keberhasilan eksekusi di masa depan akan
sangat bergantung pada tiga pilar utama: pertama, konsistensi dan
keberanian para Ketua Pengadilan dalam menerapkan setiap tahapan yang diatur
dalam Juklak; kedua, sinergi pengawasan dari lembaga eksternal seperti
Ombudsman dan lembaga legislatif; dan ketiga, tekanan publik yang
berkelanjutan terhadap pejabat yang tidak patuh. Pada akhirnya, penegakan
putusan PTUN bukan hanya soal pemenuhan hak bagi seorang Penggugat, melainkan
barometer utama dari berjalannya prinsip negara hukum dan supremasi hukum dalam
relasi antara pemerintah dan warga negaranya.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang
ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan
melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.


