Pertanyaan
Selamat malam Pak Eka, izin pak saya mau
konsultasi hukum, begini……
Kami ini warga asli yang sudah turun-temurun
mendulang emas di sungai dekat kampung kami. Bagi kami, sungai ini adalah
piring nasi keluarga. Masalahnya Pak, kemarin ada penyuluhan yang bilang kalau
lokasi sungai tempat kami bekerja itu masuk dalam peta Kawasan Hutan Produksi.
Jujur kami bingung dan takut, Pak. Kami
ingin kerja tenang, resmi, dan tidak kucing-kucingan lagi dengan aparat.
Pertanyaan saya mewakili kawan-kawan kelompok yaitu
Apakah bisa kami rakyat kecil ini mengurus
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) untuk menambang emas di sungai yang statusnya
Hutan Produksi tersebut? Kalau memang boleh, bagaimana langkah mengurusnya agar
sah di mata hukum kehutanan dan hukum pertambangan, supaya kami tidak dianggap
perusak lingkungan?
Jawaban
Pengantar
Indonesia, sebagai negara kepulauan (archipelagic
state) dengan kekayaan geologis yang melimpah, menempatkan sektor
pertambangan sebagai salah satu pilar fundamental pembangunan ekonomi nasional.
Landasan filosofis dan konstitusional pengelolaan sumber daya ini termaktub
secara tegas dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”,
yang menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat”
dalam norma konstitusi tersebut memberikan legitimasi moral dan hukum (ratio
legis) bagi negara untuk mengatur pengelolaan sumber daya mineral, termasuk
komoditas emas, agar manfaatnya dapat didistribusikan secara berkeadilan. Salah
satu instrumen derivatif dari amanat tersebut adalah pengakuan negara terhadap
Pertambangan Rakyat.
Namun, Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK)
atau yang secara global dikenal sebagai Artisanal and Small-scale Gold
Mining (ASGM), menghadirkan realitas sosio-ekonomi yang kompleks. Kegiatan
ini sering kali menjadi tumpuan hidup (conditio sine qua non) bagi
masyarakat pedesaan yang memiliki keterbatasan akses terhadap sektor ekonomi
formal. Interseksi Geologis dan Konflik Tata Ruang Secara geologis, deposit
emas aluvial atau placer umumnya terendapkan di sepanjang Daerah Aliran Sungai
(DAS) dan wilayah hulu.
Ironisnya, lokasi-lokasi strategis ini
secara administratif kehutanan kerap berstatus sebagai Kawasan Hutan Produksi.
Di sinilah letak titik singgung krusial yang melahirkan kompleksitas hukum
yaitu Bagaimana mengakomodasi hak ekonomi masyarakat untuk menambang
(berdasarkan Rezim Hukum Minerba) di wilayah yang secara ekologis dan
administratif dilindungi sebagai aset kehutanan (berdasarkan Rezim Hukum
Kehutanan) serta penyangga sistem hidrologis (berdasarkan Rezim Hukum Sumber
Daya Air)?
Kemudian dalam perspektif hukum pertambangan
di Indonesia telah mengalami pasang surut peraturan yang signifikan dalam dua
dekade terakhir. Transisi dimulai dari rezim desentralisasi di bawah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, bergerak menuju sentralisasi
mutlak melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020,
dan kini berada dalam fase pembaruan hukum melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya
disebut “UU Minerba Terbaru”).
Dinamika ini kemudian disesuaikan kembali
melalui mekanisme pendelegasian wewenang (delegation of authority), yang
menciptakan lapisan-lapisan birokrasi baru. Bagi pemohon Izin Pertambangan
Rakyat (IPR), ketidaktahuan terhadap prosedur yang berlapis (mulai dari
penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), kewajiban pemenuhan Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), hingga kepatuhan standar lingkungan di
sempadan Sungai) dapat berujung pada konsekuensi fatal.
Mengingat bahwa kasus penambangan emas di
DAS dalam kawasan Hutan Produksi bukan sekadar isu administratif, melainkan
sebuah diskursus hukum mengenai harmonisasi norma. Di satu sisi, negara
memfasilitasi rakyat melalui IPR sebagai bentuk demokratisasi akses sumber daya
alam. Di sisi lain, negara memegang kendali represif melalui sanksi pidana
kehutanan dan lingkungan hidup yang berat.
Dalam konteks ini, berlaku adagium ignorantia
juris non excusat (ketidaktahuan akan hukum tidak dapat menjadi alasan
pemaaf). Banyak pelaku usaha pertambangan rakyat, baik perorangan maupun
koperasi, terjerat dalam praktik pertambangan ilegal bukan semata-mata karena
adanya niat jahat (mens rea), melainkan karena ketidakmampuan menavigasi
prosedur perizinan yang rumit (administrative barriers).
Urgensi dan Tujuan Penulisan Artikel ini
selain disusun sebagai jawaban atas pertanyaan Anda, kami merespons bahwa
adanya urgensi penyediaan panduan hukum yang jernih di tengah belantara peraturan-peraturan
yang sering kali tumpang tindih (overlapping regulations).
Terlebih lagi, dengan terbitnya regulasi pelaksana terbaru, yakni Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2025 tentang Peraturan
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, oleh
karenanya ada beberapa hal yang dipahami dan akan kami jabarkan dalam tulisan
artikel ini, antara lain:
1.
Kerangka hukum terbaru yang mengatur IPR, mencakup implikasi
pendelegasian wewenang dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Provinsi;
2.
Bagaimana mekanisme penyelesaian konflik ruang antara
penetapan WPR di dalam Kawasan Hutan Produksi melalui instrumen PPKH;
3.
Standar perlindungan lingkungan hidup yang wajib dipatuhi di
area DAS, termasuk larangan penggunaan merkuri dan perlindungan sempadan
sungai; dan
4.
Memberikan panduan prosedural yang sistematis bagi pemohon
izin untuk memenuhi seluruh persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan
finansial guna mencapai kepastian hukum dalam berusaha.
Kerangka Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara: Transformasi dan Pendelegasian Wewenang
Evolusi hukum pertambangan di Indonesia
mencerminkan upaya negara dalam mencari titik keseimbangan (equilibrium)
antara efisiensi pengelolaan sumber daya alam dan efektivitas pelayanan publik.
Secara fundamental, kerangka hukum pertambangan mineral dan batubara (Minerba)
telah mengalami metamorfosis signifikan dari rezim desentralisasi menuju
sentralisasi, yang kemudian disesuaikan kembali melalui mekanisme pendelegasian
wewenang.
Landasan yuridis utama kegiatan ini berpijak
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut “UU
Minerba”.
Perubahan regulasi ini menegaskan kembali
penguasaan negara atas sumber daya alam. Hal ini termaktub secara eksplisit
dalam Pasal 4 ayat (1) UU Minerba yang menyatakan:
“Mineral dan Batubara sebagai sumber daya alam yang tak
terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kesejahteraan rakyat.”
Kendati semangat sentralisasi pengelolaan
membawa visi penyederhanaan birokrasi, realitas di lapangan menunjukkan adanya
tantangan implementatif (implementation gap), khususnya bagi pelaku
Pertambangan Rakyat yang tersebar di pelosok daerah. Merespons urgensi
tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, selanjutnya disebut “Perpres
55/2022”.
Peraturan ini menjadi instrumen hukum vital
yang menerapkan konsep delegation of authority. Penting untuk dipahami
secara dogmatik hukum bahwa ini bukanlah penyerahan kewenangan atributif
(otonomi penuh), melainkan pelimpahan tanggung jawab administratif dari Pusat
ke Daerah.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Perpres
55/2022, Pemerintah Pusat mendelegasikan kewenangan meliputi pemberian
sertifikat standar dan izin, pembinaan, serta pengawasan perizinan berusaha
kepada Pemerintah Daerah Provinsi. Delegasi ini secara spesifik menyasar Izin
Pertambangan Rakyat (IPR). Konsekuensi yuridisnya, Gubernur kini memiliki
kapasitas eksekutif untuk menerbitkan IPR, namun pelaksanaannya tetap terikat
pada Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dengan demikian, pemohon IPR kini dapat
memangkas rantai birokrasi dengan berurusan langsung melalui Dinas Penanaman
Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Dinas ESDM Provinsi
setempat.
Perspektif hukum ini semakin diperketat dan
disempurnakan pada tahun 2024 dan 2025. Pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, serta perubahannya yang terbaru,
yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025.
Rezim regulasi terbaru ini membawa angin
segar sekaligus “cambuk” bagi kepatuhan hukum. Di satu sisi, regulasi ini
memperkuat posisi Koperasi sebagai entitas ekonomi kerakyatan dalam pengusahaan
tambang. Di sisi lain, negara menerapkan prinsip ultimum remedium yang
lebih tegas dalam aspek administratif.
Salah satu poin krusial adalah penerapan
sanksi daftar hitam (blacklist) selama 5 (lima) tahun bagi pemohon atau
pemegang izin yang terbukti tidak serius atau melakukan pelanggaran berat
terhadap kaidah pertambangan yang baik (good mining practice). Hal ini
menunjukkan bahwa kemudahan perizinan melalui pendelegasian wewenang harus
dibayar lunas dengan komitmen kepatuhan yang tinggi.
Konsep Dasar dan Karakteristik Yuridis Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
Sebelum melangkah lebih jauh pada aspek
prosedural, pemahaman mendalam mengenai konstruksi hukum Izin Pertambangan
Rakyat (IPR) adalah sebuah keniscayaan. Secara definisi, IPR memiliki kedudukan
spesifik dalam tata kelola pertambangan nasional.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 Angka
10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut “UU Minerba”),
disebutkan bahwa:
“Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR,
adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan dalam wilayah pertambangan
rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.”
Dari definisi norma tersebut, tersirat
karakteristik utama IPR yang bersifat community-based mining. Izin ini
tidak didesain untuk korporasi bermodal besar, melainkan didedikasikan secara
eksklusif bagi masyarakat lokal dengan penggunaan teknologi yang ramah
lingkungan serta ketersediaan modal yang terbatas.
Penting untuk memberikan catatan khusus
pada komoditas emas. Berbeda dengan komoditas batuan (seperti pasir atau
kerikil), emas dikualifikasikan sebagai mineral logam bernilai strategis namun
memiliki risiko ekologis yang tinggi (high ecological risk), terutama
berkaitan dengan metode pengolahan yang kerap melibatkan bahan kimia berbahaya.
Oleh karena itu, rezim hukum mensyaratkan standar dokumen lingkungan yang jauh
lebih ketat (rigid) bagi pengurusan IPR komoditas emas dibandingkan
komoditas lainnya.
Peraturan terbaru semakin mempertegas bahwa
subjek hukum IPR bersifat limitatif. Berdasarkan Pasal 67 UU Minerba
jo. Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara selanjutnya disebut “PP 39/2025”,
IPR hanya dapat diberikan kepada:
1.
Orang Perseorangan
Wajib merupakan penduduk setempat yang dibuktikan secara
administratif dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan surat keterangan domisili
dari kelurahan/desa setempat. Negara memberikan hak pengelolaan wilayah paling
luas 5 (lima) hectare;
2. Koperasi
Wajib beranggotakan penduduk setempat. Entitas koperasi diberikan
keistimewaan luasan wilayah yang lebih besar, yakni paling luas 10 (sepuluh)
hektare.
Pembatasan subjek hukum yang menekankan pada
frasa “penduduk setempat” merupakan manifestasi konkret dari asas kemanfaatan
lokal (local benefit principle) dalam pengelolaan sumber daya alam.
Secara sosiologis, pembatasan ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya praktik “penumpang gelap” (free rider), di
mana pemodal besar atau pihak luar menggunakan identitas tambang rakyat untuk
mengeksploitasi kekayaan daerah tanpa memberikan dampak ekonomi nyata bagi
warga lokal. Selain itu, demi menjamin kepastian investasi rakyat,
undang-undang memberikan jangka waktu IPR paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu 5
(lima) tahun.
Doktrin WPR sebagai Conditio Sine Qua Non
Prinsip fundamental yang sering diabaikan
dan menjadi penyebab utama penolakan perizinan adalah status wilayah. IPR hanya
dapat diterbitkan di dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Ketentuan ini bersifat mutlak (imperatif). Pasal 62 ayat (2) PP
39/2025 menegaskan bahwa permohonan IPR hanya dapat diajukan pada
wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR dan telah memiliki dokumen
pengelolaan WPR yang ditetapkan Menteri.
WPR adalah bagian dari Wilayah Pertambangan
(WP) yang telah melalui proses penetapan panjang. Penetapan WPR dilakukan oleh
Menteri ESDM setelah melalui proses konsultasi dengan Pemerintah Daerah dan DPR
RI, sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 3/2020, serta telah
memenuhi kajian kriteria teknis sesuai ketentuan perundang-undangan. Kriteria
penetapan WPR untuk mineral logam emas antara lain adalah adanya cadangan
mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepian dan tepi
sungai, atau cadangan primer logam dengan kedalaman maksimal 100 meter. (vide
Pasal 22 huruf a dan huruf b UU 3/2020).
Apabila lokasi yang diincar oleh masyarakat
di kawasan hutan produksi belum berstatus WPR, maka langkah hukum pertama
bukanlah mengajukan izin (IPR), melainkan mengajukan usulan penetapan WPR. Proses ini
bersifat bottom-up. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau Provinsi
harus proaktif mengidentifikasi potensi tambang rakyat dan mengusulkannya ke
Kementerian ESDM untuk ditetapkan sebagai WPR.
Langkah ini merujuk pada ketentuan Pasal
67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang
menegaskan bahwa IPR hanya dapat diterbitkan di lokasi yang telah berstatus
WPR. Mengingat kewenangan penetapan WPR berada di tangan Menteri ESDM (vide Pasal
21 UU 3/2020), maka sesuai Pasal 9 ayat (2) UU 3/2020,
Pemerintah Daerah memegang peran kunci dalam mengusulkan lokasi tambang rakyat
eksisting agar ditetapkan menjadi WPR, sebagaimana semangat prioritas dalam Pasal
24 UU 3/2020. Pasal ini memberikan legitimasi hukum bagi Pemerintah
Daerah untuk mengusulkan lokasi yang sudah ditambang masyarakat
(namun belum berizin) agar diprioritaskan penetapannya menjadi WPR oleh
Menteri, sebagai solusi legalisasi.
Tanpa adanya penetapan WPR, setiap kegiatan
penambangan di lokasi tersebut, meskipun dilakukan oleh rakyat setempat,
dikategorikan sebagai Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang memiliki konsekuensi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Minerba., yang menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).”
Interseksi Hukum Kehutanan: Pertambangan di Kawasan Hutan Produksi
Secara yuridis normatif, status lahan
merupakan parameter fundamental dalam menentukan legal standing kegiatan
pertambangan. Apabila lokasi yang dimohonkan masuk dalam “Kawasan Hutan
Produksi”, maka berlaku adagium lex specialis sistematis, di mana
rezim hukum pertambangan harus berjalan beriringan dengan rezim hukum
kehutanan.
Meskipun fungsi pokoknya adalah memproduksi
hasil hutan, statusnya sebagai kawasan hutan membawa konsekuensi hukum bahwa
wilayah tersebut tunduk mutlak pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (selanjutnya
disebut “UU Kehutanan Pasca-Cipta Kerja”).
Dalam hierarki pemanfaatan ruang, kegiatan
pertambangan dikategorikan sebagai penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Landasan hukumnya tertuang secara
eksplisit dalam Pasal 38 ayat (1) UU Kehutanan Pasca-Cipta Kerja
yang menyatakan:
“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di
luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi
dan kawasan hutan lindung.”
Namun, terdapat distingsi (pembedaan) yang
tajam dan krusial mengenai metode penambangan yang diperbolehkan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) UU Kehutanan Pasca-Cipta
Kerja:
1.
Pada Kawasan Hutan Lindung
Penambangan dengan pola pertambangan terbuka (open pit
mining) dilarang keras. Penambangan hanya dimungkinkan melalui pola
pertambangan bawah tanah (underground mining) dengan persyaratan ketat;
2. Pada Kawasan Hutan
Produksi
Undang-undang memberikan ruang yang lebih luas, di mana
metode penambangan terbuka maupun bawah tanah dimungkinkan secara hukum,
sepanjang telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.
In casu (dalam kasus ini), pertambangan emas
rakyat di Daerah Aliran Sungai (DAS) umumnya memiliki karakteristik endapan
aluvial atau placer yang secara teknis operasional menuntut metode
tambang terbuka (penggalian permukaan). Oleh karena itu, secara zonasi, kegiatan
tersebut kompatibel dan dimungkinkan di dalam Hutan Produksi.
Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa
kesesuaian zonasi hanyalah pintu masuk awal. Sesuai dengan Pasal 1 Angka
19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan, setiap penggunaan kawasan hutan untuk
pertambangan wajib memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Tanpa instrumen administrasi ini, kegiatan fisik di lapangan (meskipun telah
mengantongi IPR) dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana perusakan hutan
berdasarkan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH)
Secara doktrinal, masyarakat perlu memahami
bahwa legalitas Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diterbitkan oleh Gubernur
melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak serta-merta
melahirkan hak mutlak untuk menguasai fisik tanah (ipso jure). Izin
tersebut semata-mata memberikan legitimasi atas hak pengusahaan pertambangan
(mining rights), namun belum mencakup hak akses pertanahan atau hak
memasuki kawasan hutan (land access rights).
Oleh karena itu, kepemilikan Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) merupakan syarat mutlak (conditio
sine qua non) bagi pemegang IPR agar dapat beroperasi secara sah di dalam
Kawasan Hutan Produksi tanpa dikualifikasikan sebagai penambang ilegal.
Transformasi Regulasi dan Dasar Hukum Pasca
reformasi regulasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja, terjadi perubahan
nomenklatur dari Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menjadi PPKH.
Ketentuan ini diatur secara imperatif dalam Pasal 1 Angka 19 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan, yang selanjutnya disebut “PP Penyelenggaraan Kehutanan”.
Peraturan ini menegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kehutanan, termasuk pertambangan, wajib memperoleh
persetujuan Menteri.
Secara teknis, tata cara permohonan diatur
lebih rinci dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.
Prosedur ini menuntut standar persyaratan teknis yang tinggi, yang sering kali
menjadi tantangan administratif substansial bagi pelaku usaha pertambangan
rakyat.
Persyaratan Teknis dan Administratif, dalam
proses pengajuan PPKH, pemohon (Anda) diwajibkan menyajikan dokumen teknis yang
valid dan terverifikasi. Persyaratan tersebut meliputi penyediaan peta citra
penginderaan jauh dengan resolusi tinggi serta peta poligon lokasi yang
menggunakan standar sistem koordinat UTM Datum WGS 84. Selain itu, aspek
legalitas kewilayahan harus dipenuhi melalui Rekomendasi Gubernur dan
Pertimbangan Teknis dari pengelola tapak hutan setempat, baik itu Perum
Perhutani (untuk wilayah Pulau Jawa) maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
untuk wilayah luar Jawa.
Selaras dengan asas hukum qui sentit
commodum, sentire debet et onus (siapa yang menikmati keuntungan, wajib
menanggung bebannya), pemegang izin juga diikat dengan komitmen finansial dan
lingkungan. Hal ini mencakup kesanggupan pembayaran Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan serta komitmen pelaksanaan
rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Penting untuk dicatat bahwa negara
menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) melalui
pembatasan kuota luasan. Untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara, luas
penggunaan kawasan hutan yang dapat dipertimbangkan dibatasi paling banyak 10%
(sepuluh persen) dari total luas Kawasan Hutan Produksi di wilayah tersebut.
Pembatasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa fungsi pokok hutan produksi
tidak terdegradasi secara masif akibat konversi menjadi area pertambangan, demi
menjaga keseimbangan ekologis yang berkelanjutan.
Koperasi sebagai Solusi Kolektif Pengurusan PPKH
Mengingat kompleksitas dan biaya tinggi
dalam pengurusan PPKH (termasuk biaya konsultan pemetaan, penyusunan dokumen
lingkungan, dan pembayaran PNBP), sangat sulit bagi penambang rakyat
perseorangan untuk memenuhinya. Oleh karena itu, strategi hukum yang paling
rasional dan sangat disarankan adalah membentuk Koperasi Tambang Rakyat.
Koperasi memiliki legal standing sebagai
badan hukum yang setara dengan perseroan terbatas dalam konteks pengajuan
perizinan. Dengan berkoperasi, para penambang rakyat dapat:
-
Mengajukan satu permohonan PPKH secara kolektif untuk
hamparan wilayah yang luas (hingga batas maksimal IPR Koperasi dan kuota PPKH).
-
Menanggung biaya perizinan dan kewajiban PNBP secara tanggung
renteng (gotong royong).
-
Memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam bernegosiasi
dengan pemerintah daerah dan instansi kehutanan.
-
Mengakses skema Kemitraan Kehutanan atau kerjasama dengan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat untuk memfasilitasi legalitas
lahan.
Peran KPH sangat vital pasca UU Cipta Kerja.
KPH berfungsi sebagai manajer tingkat tapak yang mengelola kawasan hutan.
Kerjasama dengan KPH dapat menjadi pintu masuk bagi koperasi tambang rakyat
untuk mendapatkan legalitas akses kelola kawasan hutan, asalkan tetap dalam
koridor PPKH untuk kegiatan non-kehutanan.
Sanksi Pidana Kehutanan: Ancaman Pasal Berlapis
Masyarakat dan pelaku usaha wajib memahami
bahwa dalam rezim hukum positif Indonesia, mengabaikan kewajiban administratif
kehutanan dapat bermutasi menjadi petaka pidana. Melakukan kegiatan penambangan
di dalam kawasan hutan tanpa mengantongi izin Menteri, dalam hal ini
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), bukan sekadar pelanggaran
administrasi, melainkan dikualifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan luar
biasa (extraordinary crime) di sektor kehutanan yang berkonsekuensi
fatal.
Secara spesifik, larangan ini diatur secara
tegas dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
yang selanjutnya disebut “UU P3H”, menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penambangan di
dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.”
Pelanggaran terhadap norma larangan tersebut
membawa konsekuensi sanksi yang sangat berat. Berdasarkan Pasal 89 ayat
(1) huruf a UU P3H, ditegaskan bahwa:
“Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Ketentuan pasal a quo mengandung dua
karakteristik pemidanaan yang menakutkan bagi pelanggar hukum:
1.
Sanksi Kumulatif
Penggunaan kata hubung “serta” menunjukkan bahwa hakim wajib
menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda secara bersamaan. Tidak ada
opsi subsider atau alternatif di antara keduanya.
2. Batas Minimum Khusus
Undang-undang menetapkan batas bawah pemidanaan selama 3
(tiga) tahun penjara. Artinya, hakim tidak memiliki diskresi untuk menjatuhkan
vonis di bawah angka tersebut (misalnya hukuman percobaan), yang menunjukkan
keseriusan negara dalam menjaga integritas kawasan hutan dari degradasi.
Dalam konteks ini, berlaku adagium hukum ignorantia
juris non excusat (ketidaktahuan akan hukum tidak dapat menjadi alasan
pemaaf). Anggapan bahwa kepemilikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dari Dinas
ESDM sudah cukup untuk melegalkan penambangan di kawasan hutan adalah sebuah
kesesatan hukum (misleading legal interpretation). IPR tanpa dilengkapi
PPKH adalah “jebakan pidana”. IPR memberikan hak menambang komoditasnya, namun
tanpa PPKH, kehadiran fisik penambang di lokasi hutan tersebut adalah ilegal
secara hukum kehutanan.
Rezim Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Air: Perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Secara yuridis, keberadaan lokasi
pertambangan bijih emas di Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak hanya tunduk pada
rezim hukum pertambangan, tetapi juga terikat secara mutlak (imperative)
pada rezim hukum sumber daya air. Konsekuensi hukum ini mewajibkan pelaku usaha
untuk mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang selanjutnya disebut “UU
SDA”, serta peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang
selanjutnya disebut “PP Sungai”.
Dalam perspektif hukum, definisi sungai
tidak terbatas pada aliran airnya saja. Pasal 1 Angka 1 PP Sungai
memberikan definisi secara bahwa:
“Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan
berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai
muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.”
Dari definisi tersebut, jelas bahwa Sempadan
Sungai merupakan bagian integral dari tubuh sungai itu sendiri. Sempadan sungai
berfungsi sebagai kawasan penyangga (buffer zone) yang esensial untuk
menjaga kelestarian fungsi sungai dari gangguan aktivitas manusia, termasuk
pertambangan.
Kriteria Penetapan Batas Sempadan: Koreksi atas Mitos Kedalaman
Penting untuk meluruskan pemahaman mengenai
penentuan lebar sempadan sungai. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/PRT/M/2015 tentang
Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, yang
selanjutnya disebut “Permen PUPR 28/2015”, parameter penentuan
lebar sempadan dibedakan berdasarkan lokasi (perkotaan/luar perkotaan) dan
keberadaan tanggul.
Untuk karakteristik lokasi tambang emas
rakyat yang umumnya berada di sungai tidak bertanggul di luar kawasan
perkotaan, kriteria penentuannya bukanlah kedalaman sungai,
melainkan luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini diatur secara
spesifik dalam Pasal 7 Permen PUPR 28/2015, yang menyatakan:
“Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c ditentukan:
a. paling sedikit 100 m
(seratus meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai,
dalam hal sungai besar dengan luas DAS lebih besar dari 500 km² (lima ratus
kilometer persegi); dan
b. paling sedikit 50 m
(lima puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur
sungai, dalam hal sungai kecil dengan luas DAS kurang dari atau sama dengan 500
km² (lima ratus kilometer persegi).”
Kemudian, kegiatan penambangan yang
menyentuh palung sungai (pengambilan material sedimen/aluvial) atau beroperasi
di area sempadan wajib mengantongi Rekomendasi Teknis dari pengelola
sumber daya air yang berwenang, baik itu Balai Wilayah Sungai (BWS) Kementerian
PUPR maupun Dinas Sumber Daya Air Provinsi, sesuai dengan kewenangannya.
Persyaratan ini selaras dengan asas sic
utere tuo ut alienum non laedas (gunakanlah milikmu sedemikian rupa
sehingga tidak merugikan orang lain). Dalam konteks hidrologi, penambangan yang
serampangan tanpa kajian teknis berpotensi menyebabkan degradasi dasar sungai (riverbed
degradation) yang ekstrem, keruntuhan tebing sungai, serta perubahan
morfologi sungai yang dapat memicu bencana banjir bandang di wilayah hilir.
Dalam penyusunan dokumen rencana penambangan
untuk Izin Pertambangan Rakyat (IPR), pemohon memikul beban pembuktian (burden
of proof) untuk menjelaskan metode penambangan yang menjamin integritas
tebing sungai. Oleh karena itu, praktik terbaik (best practice) yang
sering kali menjadi syarat penerbitan izin adalah pembatasan area tambang hanya
pada deposit sedimen di tengah sungai (“pulau-pulau” sedimen) atau point bar
(endapan gosong pasir), dengan larangan keras (strict liability) untuk
menggali atau mengganggu tebing sungai yang berfungsi sebagai tanggul alam
pelindung lingkungan sekitar.
Larangan Penggunaan Merkuri dan Konvensi Minamata
Isu paling kritis dan sensitif dalam
pertambangan emas rakyat adalah penggunaan merkuri (air raksa) dalam proses
amalgamasi. Secara yuridis, Indonesia telah mengikatkan diri pada rezim hukum
internasional melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017
tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata Mengenai
Merkuri).
Ratifikasi ini membawa konsekuensi hukum
bahwa negara wajib melakukan penghapusan penggunaan merkuri pada Pertambangan
Emas Skala Kecil (PESK). Pasal 7 Konvensi Minamata secara spesifik
mengamanatkan negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah guna
mengurangi, dan jika mungkin, menghilangkan penggunaan merkuri dan senyawa
merkuri di dalam kegiatan penambangan dan pengolahan emas di PESK.
Dalam hukum nasional, penggunaan merkuri yang tidak terkendali
dikualifikasikan sebagai tindak pidana serius. Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH), merkuri dikategorikan sebagai Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3).
Segala bentuk pelepasan merkuri ke media
lingkungan tanpa izin yang sah adalah perbuatan melawan hukum. Ancaman
pidananya sangat berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU PPLH, di
mana setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Implikasi dari
larangan ini masuk ke ranah administratif perizinan. Dalam pengurusan IPR,
dokumen lingkungan (UKL-UPL atau SPPL) yang diajukan wajib memuat pernyataan
eksplisit mengenai penggunaan teknologi pengolahan emas bebas merkuri (mercury-free
technology).
Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas ESDM tidak
akan mentolerir metode amalgamasi konvensional. Sebagai gantinya, pemohon
didorong untuk mengadopsi teknologi alternatif yang legal dan ramah lingkungan,
seperti:
1.
Metode Gravitasi
Menggunakan alat dulang, sluice box, atau shaking
table yang memanfaatkan berat jenis emas; atau
2. Metode Sianidasi
Tertutup
Dengan catatan ketat bahwa metode ini memerlukan manajemen tailing
yang memenuhi standar teknis pengelolaan limbah B3 yang diawasi ketat, berbeda
dengan merkuri yang dilarang total penggunaannya dalam PESK.
Penggunaan merkuri di lapangan tidak hanya
berisiko pada pencabutan izin (sanksi administratif), tetapi juga membuka pintu
gerbang bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan pasal pidana pencemaran
lingkungan.
Dokumen Lingkungan: UKL-UPL vs SPPL
Dalam hukum lingkungan Indonesia, setiap
rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan hidup wajib
memiliki Persetujuan Lingkungan sebagai prasyarat utama penerbitan
perizinan berusaha. Hal ini merupakan manifestasi dari asas kehati-hatian (precautionary
principle) untuk menjamin kelestarian ekologis.
Untuk Izin Pertambangan Rakyat (IPR),
penentuan jenis dokumen lingkungan tidak didasarkan pada asumsi subjektif,
melainkan pada kriteria objektif mengenai tingkat risiko dan dampak kegiatan.
Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut “PP
22/2021”, dokumen lingkungan dibagi menjadi tiga strata antara lain: AMDAL
(untuk dampak penting), UKL-UPL, dan SPPL.
Mengapa Tambang Emas Wajib UKL-UPL? Meskipun IPR
memiliki luasan terbatas (maksimal 5 atau 10 hektare), kegiatan penambangan
mineral logam emas memiliki karakteristik dampak yang spesifik. Merujuk pada Lampiran
I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau Surat Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, kegiatan pertambangan yang
tidak termasuk dalam kategori wajib AMDAL, wajib menyusun Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) umumnya tidak
merekomendasikan penggunaan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) untuk komoditas emas. Alasannya logis
dan yuridis yaitu potensi dampak yang ditimbulkan jauh melampaui kapasitas
pengelolaan sederhana. Risiko pembentukan air asam tambang (acid mine
drainage), peningkatan laju erosi dan sedimentasi di badan sungai, serta
potensi pencemaran dari bahan penolong pengolahan, menuntut adanya kajian
teknis yang lebih komprehensif daripada sekadar surat pernyataan kesanggupan.
Dokumen UKL-UPL bagi IPR Emas bukan sekadar
formalitas administratif. Dokumen ini wajib memuat matriks rencana pengelolaan
yang detail, meliputi:
1.
Manajemen Air Larian
Desain settling pond (kolam pengendap) untuk mencegah
kekeruhan sungai;
2. Pengelolaan Limbah
B3
Tata cara penyimpanan dan penanganan limbah bahan berbahaya
dan beracun, termasuk pelumas bekas alat berat; dan
3. Rencana Reklamasi
Tahapan pemulihan lahan pascatambang (mine closure).
Penting untuk dipahami bahwa UKL-UPL adalah
dokumen kajiannya, sedangkan produk hukum atau izin yang diterbitkan oleh
pemerintah disebut Persetujuan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yang selanjutnya disebut PKPLH.
Sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 37 PP
22/2021, PKPLH adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup yang diterbitkan oleh Instansi Lingkungan Hidup. Tanpa adanya PKPLH yang
valid, maka Izin Pertambangan Rakyat (IPR) cacat prosedur dan berisiko
dibatalkan demi hukum (null and void).
Tata Cara Prosedural: Panduan Langkah Demi Langkah Pengurusan IPR Emas di Kawasan Hutan Produksi
Bagian ini menyajikan panduan naratif
sistematis (step-by-step) bagi pemohon untuk menavigasi proses perizinan
IPR Mineral Logam Emas yang berlokasi di Hutan Produksi. Panduan ini didesain
dengan mengintegrasikan persyaratan lintas sektoral, pertambangan, lingkungan
hidup, dan kehutanan, menjadi satu alur kerja yang koheren.
Langkah 1: Pra-Permohonan dan Verifikasi
Spasial (Due Diligence)
Langkah pertama dan paling fundamental
adalah verifikasi legalitas tata ruang (spatial due diligence). Pemohon
wajib memastikan bahwa titik koordinat lokasi yang dimohonkan berada secara
presisi di dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang telah ditetapkan oleh
Menteri ESDM. Pengecekan ini dapat dilakukan melalui desk layanan informasi di
Dinas ESDM Provinsi atau secara mandiri melalui aplikasi peta pertambangan
nasional MOMi (Minerba One Map Indonesia).
Penting untuk dipahami bahwa status WPR
adalah syarat mutlak (imperatif). Jika lokasi tersebut berada di Hutan
Produksi namun belum berstatus WPR, maka permohonan IPR dipastikan akan ditolak
secara sistem. Dalam kondisi demikian, langkah taktis yang harus dilakukan
koperasi masyarakat bukanlah memaksakan izin, melainkan melakukan audiensi
kepada Pemerintah Daerah agar mengusulkan penetapan WPR terlebih dahulu kepada
Pemerintah Pusat sesuai mekanisme bottom-up.
Langkah 2: Institusionalisasi Badan Usaha
(Koperasi)
Meskipun undang-undang memperbolehkan
pemohon perseorangan, sangat disarankan untuk membentuk wadah Koperasi Tambang
Rakyat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025, Koperasi memiliki
keunggulan komparatif berupa hak luasan wilayah yang lebih besar (maksimal 10
hektare) dibandingkan perseorangan (maksimal 5 hektare).
Koperasi harus berbadan hukum sah yang
dibuktikan dengan Akta Pendirian dan SK Pengesahan dari Kementerian Hukum dan
HAM (Kemenkumham), serta memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sesuai asas
kemanfaatan lokal (local benefit), seluruh pengurus dan anggota koperasi
wajib merupakan penduduk setempat, yang dibuktikan secara administratif melalui
Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Langkah 3: Registrasi Perizinan Berusaha di
OSS-RBA
Dalam rezim perizinan terintegrasi, pintu
masuk legalitas adalah sistem Online Single Submission Risk-Based Approach
(OSS-RBA). Pengurus Koperasi wajib melakukan registrasi akun badan usaha.
Pemilihan Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) harus presisi,
yakni 07301 (Pertambangan Emas dan Perak).
Sistem OSS akan secara otomatis mendeteksi
tingkat risiko usaha. Mengingat kompleksitas dampak lingkungannya, pertambangan
emas dikategorikan sebagai usaha dengan Tingkat Risiko Tinggi. Implikasi
hukumnya, Nomor Induk Berusaha (NIB) saja tidak cukup untuk memulai operasi.
Pelaku usaha wajib memverifikasi persyaratan teknis untuk memperoleh Izin
(dalam hal ini IPR) yang berlaku efektif.
Langkah 4: Penyusunan Dokumen dan
Persetujuan Lingkungan
Sebelum mengajukan permohonan teknis IPR,
pemohon wajib menyelesaikan kewajiban lingkungan hidup. Koperasi harus menyusun
dokumen lingkungan yang sesuai dengan skala dampaknya. Mengingat kegiatan ini
melibatkan mineral logam emas yang berpotensi menghasilkan limbah B3, Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) umumnya mewajibkan penyusunan Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), bukan sekadar
SPPL.
Dokumen ini memuat kajian teknis pengelolaan
limbah, pengendalian erosi, dan rencana pascatambang. Setelah dokumen dinilai
substantif dan layak oleh Tim Teknis DLH, maka akan diterbitkan Persetujuan
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKPLH) sebagai prasyarat
utama IPR.
Langkah 5: Permohonan IPR kepada Gubernur
(via DPMPTSP)
Setelah mengantongi NIB dan Persetujuan
Lingkungan (PKPLH), Koperasi mengajukan permohonan penerbitan IPR kepada
Gubernur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) Provinsi, sesuai kewenangan delegatif berdasarkan Perpres Nomor 55
Tahun 2022.
Berkas persyaratan substantif yang wajib
diunggah meliputi:
-
Surat Permohonan kepada Gubernur;
-
Profil Badan Usaha (NIB dan Legalitas Koperasi);
-
Persetujuan Lingkungan (PKPLH) yang telah terbit;
-
Surat Keterangan Fiskal (sebagai bukti kepatuhan pajak);
-
Peta Wilayah IPR yang dimohon (Polygon) dengan sistem
koordinat yang baku;
-
Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang memverifikasi
status domisili penduduk setempat; dan
-
Dokumen Rencana Pengelolaan Pertambangan Rakyat, yang memuat
metode penambangan, peralatan, besaran investasi, dan rencana reklamasi.
Dinas ESDM Provinsi selanjutnya akan
melakukan evaluasi administratif, teknis, dan finansial. Jika seluruh
persyaratan terpenuhi (clear and clean), Gubernur akan menerbitkan Surat
Keputusan (SK) Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Langkah 6: Pengurusan Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan (PPKH)
Masyarakat perlu waspada bahwa memiliki SK
IPR bukan berarti boleh langsung melakukan penggalian (land clearing).
Mengingat lokasi berada di Kawasan Hutan Produksi, Koperasi wajib mengajukan
permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) ke Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Merujuk pada PP Nomor 23 Tahun 2021, Dokumen
IPR yang sudah terbit menjadi lampiran utama (persyaratan administratif),
ditambah dengan persyaratan teknis kehutanan seperti peta citra satelit
resolusi tinggi dan rekomendasi teknis. Langkah ini akan memunculkan kewajiban
pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan.
Setelah SK PPKH terbit, barulah akses masuk ke lahan hutan menjadi sah secara
hukum (legally valid).
Langkah 7: Pemenuhan Kewajiban Finansial
Pra-Operasi
Sebelum memulai kegiatan operasi produksi di
lapangan, pemegang IPR harus melunasi kewajiban finansial negara sebagai bentuk
komitmen usaha:
-
Membayar Iuran Pertambangan Rakyat (IPERA) kepada Pemerintah
Daerah;
-
Menempatkan Jaminan Reklamasi (Jamrek) dan Jaminan
Pascatambang sesuai penetapan nominal dari Dinas ESDM. Dana ini disimpan dalam
rekening bersama di bank pemerintah sebagai garansi bahwa penambang akan
memulihkan lahan setelah operasi selesai; dan
-
Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi
(DR) apabila terdapat penebangan tegakan pohon pada saat pembukaan lahan
tambang.
Tantangan Kepatuhan Pajak dan Retribusi
Salah satu aspek yang sering terabaikan
adalah kewajiban perpajakan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
61/PMK.03/2021, pemegang IPR memiliki hak dan kewajiban perpajakan yang sama
dengan pemegang IUP lainnya, termasuk kewajiban memungut PPh, menyetor PPN
(jika PKP), dan melaporkan SPT. Ketidakpatuhan pajak dapat menyebabkan
pencabutan IPR dan sanksi fiskal. Koperasi harus memiliki manajemen keuangan
yang transparan untuk mengelola aspek ini.
Pertambangan rakyat di kawasan hutan selalu
dihantui risiko konflik sosial dan kriminalisasi. Konflik sering terjadi antara
penambang legal (pemegang IPR) dengan penambang ilegal (PETI) yang menyerobot
wilayah kerja. Selain itu, tumpang tindih dengan hak ulayat masyarakat adat
juga kerap terjadi.
Dari sisi penegakan hukum, aparat kepolisian
dan penyidik kehutanan (Gakkum KLHK) memiliki kewenangan untuk menindak. Jika
pemegang IPR lalai memperpanjang izin atau menambang di luar koordinat yang
diizinkan (melenceng sedikit saja ke luar WPR atau ke Hutan Lindung), pasal
pidana pertambangan (Pasal 158 UU Minerba) dan pidana kehutanan (Pasal 89 UU
P3H) dapat diterapkan secara kumulatif.
Putusan pengadilan menunjukkan bahwa hakim
cenderung menjatuhkan hukuman berat bagi penambangan di kawasan hutan tanpa
izin, karena dianggap merusak aset negara dan lingkungan secara
permanen. Oleh karena itu, kepatuhan mutlak terhadap batas koordinat dan
perizinan kehutanan adalah benteng pertahanan hukum utama bagi penambang
rakyat.
Peran Pemerintah Daerah dalam Pembinaan
Sesuai Pasal 73 UU Minerba, Pemerintah
Daerah berkewajiban melakukan pembinaan. Pembinaan ini mencakup aspek
teknologi pertambangan, keselamatan kerja (K3), dan lingkungan hidup. Namun,
dalam praktiknya, kapasitas pengawasan Pemda sering kali terbatas. Hal ini
menuntut inisiatif mandiri dari Koperasi Tambang Rakyat untuk menerapkan Good
Mining Practice demi keberlanjutan usaha mereka
sendiri.
Kesimpulan
Mengurus Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
untuk komoditas mineral logam emas di Daerah Aliran Sungai dalam kawasan Hutan
Produksi merupakan proses hukum yang kompleks dan multidimensi. Proses ini
tidak hanya melibatkan rezim hukum pertambangan di bawah kewenangan Gubernur
(via delegasi Perpres 55/2022), tetapi juga mensyaratkan kepatuhan ketat
terhadap rezim hukum kehutanan (PPKH dari KLHK) dan rezim hukum lingkungan
hidup (Persetujuan Lingkungan dan perlindungan DAS).
Pendelegasian wewenang ke pemerintah
provinsi memang memendekkan rantai birokrasi IPR, namun tantangan terbesar
justru terletak pada pemenuhan persyaratan lintas sektoral, terutama perizinan
kehutanan yang masih tersentralisasi di KLHK dan persyaratan teknis lingkungan
yang rigid. Tanpa pemahaman komprehensif, pemohon IPR rentan terjebak dalam
praktik ilegal yang berkonsekuensi pidana berat.
Rekomendasi
1.
Bagi Masyarakat Penambang
Sangat disarankan untuk tidak mengajukan izin secara
perseorangan, melainkan membentuk Koperasi Tambang Rakyat. Koperasi
memberikan legitimasi hukum yang kuat, kemampuan finansial kolektif untuk
membayar PNBP dan Jaminan Reklamasi, serta posisi tawar yang lebih baik dalam
mengurus PPKH.
2. Bagi Pemerintah
Provinsi
Gubernur dan Dinas ESDM perlu proaktif melakukan “jemput bola”
dalam memfasilitasi penetapan WPR di lokasi-lokasi yang secara faktual sudah
ditambang rakyat, serta memberikan asistensi teknis penyusunan dokumen UKL-UPL
agar standar lingkungan terpenuhi.
3. Harmonisasi Regulasi
Diperlukan mekanisme pelayanan terpadu satu atap yang nyata
antara Dinas ESDM (Izin Tambang), Dinas Lingkungan Hidup (Izin Lingkungan), dan
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (Rekomendasi Kehutanan) untuk memangkas
birokrasi tanpa mengurangi standar kepatuhan hukum. Model “IPR Terpadu” dapat
menjadi solusi untuk memformalkan sektor pertambangan rakyat yang selama ini
bergerak di ranah informal.
Dengan menempuh jalur legalitas yang benar,
pertambangan rakyat di kawasan hutan produksi tidak lagi menjadi ancaman
ekologis, melainkan dapat bertransformasi menjadi sektor ekonomi kerakyatan
yang bertanggung jawab, taat pajak, dan berwawasan lingkungan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang
ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan
melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.


