layananhukum

Apakah Seribet itu Dapat Menentukan Status Bencana Nasional?

 

Pertanyaan

Selamat pagi bang Eka, izin nanya bang.. Jadi begini bang, setelah saya amati, kok rasanya proses penetapan status Bencana Nasional itu kesannya 'ribet' dan birokratis sekali ya?

Logika orang awam seperti saya kan sederhana: kalau kehancurannya luas dan korbannya banyak, ya harusnya langsung otomatis ditetapkan jadi Bencana Nasional supaya bantuan pusat turun semua. Tapi kok sepertinya Pemerintah Pusat tidak bisa langsung ambil alih begitu saja?

Yang mau saya tanyakan secara kritis yaitu Apakah benar bahwa indikator fisik (seperti jumlah korban atau kerugian harta) itu jadi tidak berguna kalau Pemerintah Daerah (Gubernur) belum secara resmi menyatakan 'angkat tangan' atau tidak sanggup? Dan kalaupun Gubernur sudah minta tolong, apakah itu otomatis disetujui Presiden, atau masih ada proses 'kaji cepat' dari BNPB yang justru bisa membatalkan permohonan status tersebut? Itu saja bang, terima kasih.

Jawaban

Pengantar: Kedaruratan dan Kepastian Hukum

Baik, terima kasih atas pertanyaannya. Saya akan memulai tulisan ini dengan melihat lebih dalam diskursus Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia, dengan postulat terkenalnya yaitu Salus Populi Suprema Lex Esto yaitu keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi sering kali didengungkan sebagai landasan filosofis utama dalam penanganan keadaan darurat. Adagium ini memberikan legitimasi moral dan yuridis bagi negara untuk mengambil langkah-langkah luar biasa (extraordinary measures) ketika menghadapi ancaman eksistensial, termasuk bencana alam.

Namun, dalam negara hukum (rechtsstaat) yang menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum dan akuntabilitas, dalil keselamatan rakyat tidak serta merta memberikan cek kosong kepada penguasa untuk bertindak tanpa prosedur. Di sinilah letak ketegangan abadi antara kebutuhan akan kecepatan bertindak (speed and necessity) dengan kebutuhan akan ketertiban administrasi dan kepastian hukum (legal certainty and accountability).

Indonesia, yang secara geografis terletak di Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, merupakan laboratorium bencana alam terbesar di dunia. Pertemuan lempeng tektonik Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik menempatkan negara ini dalam posisi kerentanan yang permanen. Dalam konteks ini, pertanyaan yang diajukan dalam judul artikel ini, “Apakah Seribet itu Dapat Menentukan Status Bencana Nasional?”, bukan sekadar keluhan awam terhadap birokrasi, melainkan sebuah gugatan kritis terhadap efektivitas sistem hukum penanggulangan bencana kita.

Publik sering kali mempersepsikan prosedur penetapan status bencana sebagai belantara birokrasi yang memperlambat bantuan. Padahal, jika ditelaah dengan kacamata hukum yang jernih, prosedur tersebut didesain sebagai mekanisme pengaman (safeguard) untuk memastikan bahwa intervensi negara dilakukan secara terukur, tepat sasaran, dan dapat dipertanggungjawabkan secara keuangan maupun politik.

Tulisan hukum kami kali ini akan berupaya mengurai benang kusut persepsi tersebut secara komprehensif. Kami akan membedah anatomi hukum penetapan status bencana, mulai dari definisi, indikator, hingga prosedur berjenjang yang melibatkan hubungan pusat dan daerah. Tulisan ini semata-mata guna membuktikan bahwa “keribetan” tersebut sejatinya adalah manifestasi dari prinsip kehati-hatian (prudence) dalam pengelolaan negara, meskipun tetap memerlukan kritik konstruktif untuk penyempurnaannya.

Landasan Konstitusional dan Pergeseran Paradigma

Secara konstitusional, tanggung jawab negara dalam penanggulangan bencana merupakan derivasi langsung dari alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memandatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Kewajiban konstitusional ini kemudian diterjemahkan ke dalam kerangka hukum operasional melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut denganUU tentang Penanggulangan Bencana.   

Lahirnya UU tentang Penanggulangan Bencana menandai pergeseran paradigma (shifting paradigm) yang fundamental dalam hukum kebencanaan Indonesia. Sebelumnya, penanganan bencana bersifat responsif, insidentil, dan karitatif, bencana dianggap sebagai takdir semata yang direspons saat terjadi. Kini, hukum memandang bencana sebagai manajemen risiko yang komprehensif, meliputi tahap prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.

Dalam paradigma baru ini, penetapan status bencana bukan sekadar pelabelan administratif, melainkan sebuah keputusan hukum (beschikking) yang memicu konsekuensi hukum massif yaitu peralihan komando, pencairan dana siap pakai (DSP), kemudahan akses impor, hingga imunitas administratif terbatas bagi pelaksana di lapangan. Oleh karena itu, prosedur penetapan status tidak boleh dilakukan secara serampangan (arbitrary), melainkan harus melalui uji verifikasi yang ketat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Definisi Bencana: Sebuah Batasan Limitatif

Langkah pertama untuk menilai apakah prosedur penetapan status tersebut memang rumit adalah memahami terlebih dahulu objek hukum yang diatur, yaitu bencana. Dalam praktiknya, hukum tidak berdiri sendiri; ia membutuhkan definisi operasional yang jelas agar dapat membedakan peristiwa alam yang bersifat rutin dari suatu keadaan yang secara hukum dikategorikan sebagai bencana.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU tentang Penanggulangan Bencana, definisi bencana dirumuskan secara komprehensif sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.   

Definisi ini mengandung unsur-unsur kumulatif yang krusial. Tidak semua gempa bumi adalah bencana dalam pengertian hukum. Sebuah gempa berkekuatan besar di tengah samudra yang tidak menimbulkan tsunami dan tidak berdampak pada permukiman manusia adalah fenomena alam, bukan bencana dalam istilah hukum.

Unsur konstitutif yang harus terpenuhi adalah frasa “mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat”. Inilah filter pertama dalam birokrasi penetapan status yaitu verifikasi apakah unsur gangguan terhadap subjek hukum (masyarakat) telah terpenuhi.

Taksonomi Jenis Bencana

Kompleksitas penanganan dan penetapan status juga dipengaruhi oleh jenis bencananya. UU tentang Penanggulangan Bencana membagi bencana ke dalam tiga klaster yuridis yang memiliki karakteristik pembuktian berbeda:

1.        Bencana Alam 

Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 2 UU tentang Penanggulangan Bencana, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 

Penetapan status untuk kategori ini biasanya berbasis pada data saintifik dari lembaga berwenang (seperti BMKG atau PVMBG). Tantangannya relatif lebih rendah dalam hal pembuktian kausalitas, namun sangat tinggi dalam hal estimasi dampak yang cepat dan masif.   

2.       Bencana Nonalam 

Pasal 1 Angka 3 UU tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana nonalam sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

Kategori ini lebih rumit (“ribet”) dalam penetapannya karena sering kali melibatkan unsur kelalaian korporasi atau kegagalan sistem buatan manusia. Penetapan status bencana nasional untuk kategori ini (seperti epidemi) memerlukan pertimbangan politik dan ekonomi yang sangat berat karena dampaknya terhadap stabilitas pasar dan hubungan internasional.   

3.      Bencana Sosial

Pasal 1 Angka 4 UU tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan bencana sosial sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. 

Ini adalah kategori yang paling sensitif secara politis. Penetapan status bencana sosial sering kali beririsan dengan status keamanan atau darurat sipil/militer. Kerumitan di sini bukan pada penghitungan korban, melainkan pada implikasi penegakan hukum dan rekonsiliasi sosial.   

Variabel Penentu Status Bencana

Salah satu mitos yang berkembang di masyarakat adalah bahwa status bencana nasional semata-mata ditentukan oleh jumlah korban mati. Apabila korban mencapai angka tertentu, otomatis menjadi bencana nasional. Pandangan ini keliru dan tidak berdasar pada hukum positif. Hukum Indonesia tidak mengenal ambang batas angka mati (death toll threshold) yang kaku untuk penetapan status. Sebaliknya, hukum menggunakan pendekatan multivariabel yang menuntut penilaian kualitatif dari pengambil kebijakan.

Pasal 7 ayat (2) UU tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator yang meliputi:

1.        Jumlah korban;

2.       Kerugian harta benda;

3.      Kerusakan prasarana dan sarana;

4.       Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan

5.       Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.   

Kelima indikator ini harus dibaca sebagai satu kesatuan sistemis, bukan parsial.

-        Jumlah Korban, tidak hanya yang meninggal dunia, tetapi juga korban luka, hilang, dan pengungsi. Dalam perspektif Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana (2016) yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gangguan kehidupan dimaknai sebagai kondisi yang mengakibatkan adanya korban jiwa dan pengungsian. Pengungsian massal sering kali menjadi indikator yang lebih kuat untuk menetapkan kedaruratan dibandingkan jumlah kematian itu sendiri, karena pengungsi membutuhkan layanan dasar harian (pangan, sandang, papan) yang membebani kapasitas pemerintah daerah;

-        Kerugian Harta Benda dan Kerusakan Prasarana, indikator ini mengukur gangguan penghidupan. Kerusakan jembatan vital yang memutus logistik satu provinsi bisa menjadi dasar penetapan status yang lebih tinggi dibandingkan kerusakan seribu rumah tinggal;

-        Cakupan Wilayah, apakah bencana melintasi batas administrasi kabupaten/kota atau provinsi? Bencana yang bersifat lintas batas administrasi (trans-boundary) secara inheren membutuhkan koordinasi yang lebih tinggi, yang mendorong statusnya naik ke level provinsi atau nasional;

-        Dampak Sosial Ekonomi, ini adalah indikator yang paling abstrak namun krusial. Apakah bencana tersebut melumpuhkan pasar? Apakah menghentikan proses belajar mengajar secara total? Apakah memicu inflasi daerah?

Indikator “Invisible”: Kapasitas Pemerintahan Daerah

Di luar kelima indikator fisik dan sosial di atas, terdapat satu indikator hukum yang menjadi “kunci Inggris” dalam mekanisme penetapan status, yaitu Kapasitas Pemerintahan Daerah. Indikator ini sering kali tidak terlihat oleh publik tetapi menjadi ratio decidendi (alasan pemutus) utama bagi Presiden dalam menetapkan status bencana nasional.

Sesuai dengan Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana (2016) dari BNPB, status keadaan darurat bencana nasional ditetapkan atas pertimbangan pemerintah provinsi terdampak tidak memiliki kemampuan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut:   

1.        Memobilisasi sumber daya manusia untuk upaya penanganan darurat bencana;

2.       Mengaktivasi sistem komando penanganan darurat bencana; dan/atau

3.      Melaksanakan penanganan awal keadaan darurat bencana mencakup penyelamatan dan evakuasi korban/penduduk terancam serta pemenuhan kebutuhan dasar.

Ini adalah manifestasi dari prinsip otonomi daerah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penanggulangan bencana adalah urusan konkuren pelayanan dasar. Artinya, selama Pemerintah Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) masih sanggup menjalankan roda pemerintahan dan mengendalikan situasi, intervensi status nasional dianggap sebagai tindakan yang melanggar kemandirian daerah (sentralistik) dan inefisiensi anggaran nasional. Oleh karena itu, “keribetan” birokrasi penetapan status sering kali bermuara pada proses verifikasi kapasitas ini yaitu apakah Pemda benar-benar lumpuh (collapse) atau hanya sekadar butuh bantuan (assistance)?

Hierarki Penetapan Status

Prosedur penetapan status bencana didesain secara berjenjang (tiered response) untuk menjamin tertib administrasi. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut denganPP tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Kewenangan penetapan status dibagi berdasarkan skala dampak dan kapasitas:

1.       Skala Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

2.       Skala Provinsi ditetapkan oleh Gubernur.

3.       Skala Nasional ditetapkan oleh Presiden.

Setiap perpindahan status dari level bawah ke atas memerlukan prosedur administratif yang ketat, yang sering kali dipersepsikan sebagai hambatan birokrasi. Namun, prosedur ini esensial untuk membenarkan pengambilalihan kewenangan (authority takeover) dan beban anggaran.

Mekanisme Penetapan Status Bencana Nasional

Mari kita bedah secara mendalam prosedur penetapan status bencana nasional sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana. Prosedur ini melibatkan serangkaian langkah yang harus ditempuh secara sekuensial, antara lain:

Tahap 1: Pernyataan Ketidakmampuan (Declaration of Incapacity) 

Proses ini dimulai dari bawah (bottom-up). Apabila kebutuhan penanganan darurat bencana melampaui kapasitas dari provinsi yang wilayah kabupaten/kotanya terdampak, maka Gubernur wilayah provinsi terdampak harus bersikap kesatria. Gubernur dapat mengeluarkan surat pernyataan yang ditujukan kepada Presiden.

Surat ini bukan surat biasa, melainkan dokumen hukum yang berisikan tentang pernyataan ketidakmampuan dalam penyelenggaraan penanganan darurat bencana secara penuh dan sekaligus bermohon kiranya status keadaan darurat bencana yang terjadi perlu ditingkatkan menjadi status keadaan darurat bencana nasional.   

Tahap ini sering menjadi bottleneck. Mengapa? Karena bagi seorang kepala daerah, menyatakan “tidak mampu” secara tertulis memiliki implikasi politis. Hal ini dapat dipersepsikan sebagai kegagalan kepemimpinan di mata konstituen. Akibatnya, sering terjadi penundaan pengiriman surat ini meskipun kondisi lapangan sudah kritis. Di sisi lain, hukum mewajibkan adanya pernyataan ini sebagai dasar legitimasi bagi Pemerintah Pusat untuk masuk tanpa dituduh mengintervensi otonomi daerah.

Tahap 2: Pengkajian Cepat (Rapid Assessment) oleh Pusat 

Pemerintah Pusat tidak serta merta menerima permohonan Gubernur tersebut. Prinsip trust but verify berlaku. Paling lambat 1 kali 24 jam setelah keluarnya surat pernyataan dimaksud, maka BNPB dan kementerian/lembaga terkait agar melakukan pengkajian cepat situasi. Pengkajian cepat ini dilakukan oleh tim gabungan untuk memverifikasi kondisi lapangan. Apakah benar Pemprov sudah lumpuh? Apakah benar sumber daya lokal sudah habis? Hasil pengkajian ini menjadi dokumen pembuktian utama.   

Tahap 3: Rapat Koordinasi Tingkat Nasional 

Hasil pengkajian cepat tersebut tidak diputuskan oleh satu orang. Selanjutnya, hasil pengkajian cepat dimaksud dibahas dalam rapat koordinasi tingkat nasional untuk menghasilkan rekomendasi tindak lanjut. Forum ini melibatkan berbagai kementerian/lembaga (Kemenkeu, Kemensos, Kemenkes, TNI, Polri) untuk menghitung implikasi anggaran dan mobilisasi nasional. Ini adalah bentuk checks and balances dalam eksekutif.   

Tahap 4: Penetapan Keputusan Presiden 

Berdasarkan rekomendasi rapat koordinasi, terdapat dua kemungkinan output hukum:

-        Skenario A (Ditetapkan)

Apabila rekomendasi yang dikeluarkan perlu menaikkan status keadaan darurat bencana menjadi status keadaan darurat bencana nasional, maka Presiden dapat segera menetapkan status keadaan darurat bencana nasional. Konsekuensinya, Kepala BNPB mengambil alih komando (mengkoordinasikan kementerian/lembaga terkait di tingkat nasional) untuk langkah-langkah penyelenggaraan penanganan darurat lebih lanjut.   

-        Skenario B (Ditolak)

Apabila rekomendasi yang dihasilkan sebaliknya, maka pemerintah melalui Kepala BNPB segera menginformasikan ke gubernur wilayah terdampak bahwa status keadaan darurat bencana tidak perlu ditingkatkan menjadi status keadaan darurat bencana nasional. Namun, penolakan ini harus disertai solusi, yaitu pernyataan bahwa pemerintah akan melakukan pendampingan penyelenggaraan penanganan darurat bencana yang terjadi.   

Prosedur inilah yang sering disebut “ribet”. Namun, jika kita hilangkan salah satu tahap, misalnya meniadakan Kaji Cepat, maka risiko manipulasi data untuk mendapatkan kucuran dana APBN akan sangat tinggi. Jika meniadakan Rapat Koordinasi, maka potensi gesekan antar-instansi pusat akan besar. Jadi, kerumitan ini adalah necessary evil atau keburukan yang diperlukan demi akuntabilitas.

Durasi Masa Berlaku

Kepastian hukum juga menyentuh aspek waktu. Status keadaan darurat bencana nasional dapat diberlakukan antara 1 bulan sampai dengan 3 bulan atau dapat diperpanjang sesuai dengan hasil kajian perkembangan situasi di lapangan. Ketentuan ini menegaskan bahwa status darurat adalah kondisi abnormal yang temporer. Pemerintah dipaksa oleh hukum untuk terus mengevaluasi situasi, sehingga status darurat tidak menjadi status abadi yang melegitimasi penyimpangan prosedur normal selamanya.   

Preseden Historis: Gempa dan Tsunami Aceh 2004

Contoh paling valid dari penerapan status bencana nasional adalah peristiwa Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 2004. Pemerintah saat itu menetapkannya melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2004 tentang Penetapan Bencana Alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara Sebagai Bencana Nasional.

Mengapa kasus ini lolos verifikasi “ribet” tersebut?

1.        Indikator Fisik Ekstrem

Ratusan ribu korban jiwa dan kehancuran total infrastruktur pesisir.

2.       Kelumpuhan Pemerintahan Total

Ini faktor kuncinya. Kantor Gubernur, kantor-kantor dinas, markas kepolisian daerah, dan fasilitas militer hancur. Banyak pejabat daerah menjadi korban. Rantai komando pemerintahan daerah putus total (total collapse). Tidak ada lagi entitas “Pemerintah Daerah” yang sanggup membuat keputusan, memobilisasi alat, atau bahkan sekadar mendata korban. Dalam kondisi vakum pemerintahan lokal seperti inilah, hukum mewajibkan status Bencana Nasional agar Pemerintah Pusat dapat mengambil alih kendali penuh secara sah.

Mengapa Gempa Aceh, Sumut, dan Sumbar Terkini Tidak Menjadi Bencana Nasional?

Menggunakan data terbaru dan logika hukum yang telah dibangun, mari kita analisis status bencana di Wilayah Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat terkait kejadian-kejadian gempa atau banjir bandang pasca-2004. Sering muncul pertanyaan, “Gempa di Pidie Jaya atau Pasaman Barat kerusakannya parah, kenapa tidak Bencana Nasional?”

Berikut adalah analisis yuridis-kritisnya:

Meskipun terjadi bencana (gempa bumi, banjir, longsor) di ketiga provinsi tersebut yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan materiil, fakta hukum menunjukkan:

1.        Keberlangsungan Pemerintahan

Gubernur Aceh, Gubernur Sumatera Utara, dan Gubernur Sumatera Barat beserta jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Perangkat Daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi masih berfungsi. Kantor pemerintahan tidak hancur lebur. Aparatur sipil negara masih ada dan siap bekerja.

2.       Sistem Komando

Sistem komunikasi pemerintahan dari provinsi ke kabupaten/kota masih terhubung. Gubernur masih mampu menerbitkan Surat Keputusan Tanggap Darurat Provinsi.

3.      Mobilisasi Sumber Daya

Ketiga provinsi ini memiliki APBD yang cukup besar dan sumber daya peralatan yang memadai untuk penanganan awal. Mereka mampu memobilisasi alat berat dari dinas PU provinsi ke kabupaten terdampak.

Berdasarkan indikator dalam Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana (2016), kondisi di Aceh, Sumut, dan Sumbar pada kejadian-kejadian terkini tidak memenuhi syarat materiil untuk ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Unsur “ketidakmampuan pemerintah provinsi” tidak terbukti. Jika Presiden memaksakan menetapkan status Bencana Nasional padahal Gubernur masih sanggup bekerja, maka Presiden berpotensi melanggar UU tentang Penanggulangan Bencana dan menciderai semangat otonomi daerah. Bantuan pusat tetap mengalir deras (melalui BNPB dan Kementerian Sosial), namun status hukumnya tetap Bencana Daerah atau Provinsi dengan pendampingan pusat. Ini membuktikan bahwa sistem hukum kita bekerja secara proporsional yaitu bantuan tidak harus menunggu status nasional.

Dinamika Hukum “Keadaan Tertentu”

Menyadari bahwa prosedur penetapan status darurat sering kali memakan waktu atau terdapat kekosongan hukum di masa transisi (antara darurat dan pemulihan, atau saat potensi bencana sudah nyata namun belum meletus), Pemerintah melakukan terobosan hukum.

Terobosan ini diwujudkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu, yang selanjutnya disebut denganPerpres tentang Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu.   

Regulasi ini memperkenalkan konsep yuridis baru yaitu “Keadaan Tertentu”. Pasal 1 Angka 1 Perpres ini mendefinisikan Keadaan Tertentu sebagai suatu keadaan dimana status Keadaan Darurat Bencana belum ditetapkan atau status Keadaan Darurat Bencana telah berakhir dan/atau tidak diperpanjang, namun diperlukan atau masih diperlukan tindakan guna mengurangi Risiko Bencana dan dampak yang lebih luas.   

Dalam rezim hukum ini, BNPB diberikan wewenang khusus untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana (termasuk akses kemudahan logistik dan anggaran) tanpa harus menunggu penetapan status darurat yang “ribet” dari Kepala Daerah. Namun, prinsip kehati-hatian tetap dijaga yang mana Kepala BNPB harus mendapatkan keputusan dalam rapat koordinasi antarkementerian/lembaga terlebih dahulu. Ini adalah bukti bahwa hukum mencoba menyeimbangkan antara fleksibilitas operasional dengan akuntabilitas administratif.   

Implikasi Hukum Dan Potensi Sengketa

Kerumitan prosedur penetapan status juga berkorelasi erat dengan risiko pidana. Pejabat yang terburu-buru menetapkan status darurat tanpa dasar yang kuat demi mencairkan Dana Siap Pakai (DSP) dapat terjerat tindak pidana korupsi jika ditemukan unsur mens rea (niat jahat) untuk memperkaya diri. Sebaliknya, pejabat yang sengaja menghambat penetapan status sehingga menghambat akses bantuan juga diancam pidana.

Pasal 77 UU tentang Penanggulangan Bencana menegaskan sanksi pidana yang berat: Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal ini menjadi pedang bermata dua yang memaksa para pengambil keputusan untuk bertindak cermat yaitu tidak boleh terlalu lambat, namun tidak boleh juga sembarangan.   

Argumentasi hukum yang dibangun biasanya merujuk pada Pasal 26 UU tentang Penanggulangan Bencana mengenai hak masyarakat, dikaitkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Meskipun putusan ini lebih menyoroti aspek kelalaian penanganan, secara implisit hal ini menegaskan bahwa diskresi pemerintah dalam menetapkan (atau tidak menetapkan) status bencana dapat diuji (justiciable) di pengadilan.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian komprehensif, deskriptif, dan analitis di atas, dapat ditarik kesimpulan yuridis sebagai berikut:

1.        Kompleksitas sebagai Keniscayaan Hukum

Prosedur penetapan status bencana nasional yang terkesan “ribet” dan berbelit sejatinya adalah mekanisme checks and balances yang didesain secara intensional oleh pembentuk undang-undang. Tujuannya adalah untuk memastikan validitas data, menjaga marwah otonomi daerah, dan mencegah penyalahgunaan wewenang serta anggaran negara.

2.       Indikator Utama adalah Kapasitas

Penetapan status bencana nasional tidak hanya bergantung pada indikator kuantitatif (jumlah korban/kerugian), melainkan sangat bergantung pada indikator kualitatif yuridis, yaitu kelumpuhan (incapacity) pemerintahan daerah provinsi. Selama pemerintah daerah masih berfungsi, status nasional tidak dapat ditetapkan.

3.      Prosedur Berjenjang

Mekanisme mulai dari surat pernyataan Gubernur, kaji cepat BNPB, hingga rapat koordinasi tingkat nasional merupakan syarat formil yang mutlak dipenuhi agar Keputusan Presiden tentang penetapan status bencana memiliki legitimasi hukum yang kuat.

4.       Relevansi Kasus Sumatera

Tidak ditetapkannya status Bencana Nasional untuk gempa-gempa terkini di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tindakan yang tepat secara hukum karena pemerintah daerah di wilayah-wilayah tersebut telah menunjukkan resiliensi dan kemampuan manajerial yang memadai, sehingga cukup ditangani dengan status daerah dan pendampingan pusat.

Dengan demikian, “keribetan” tersebut adalah benteng pengaman agar negara tetap berjalan di atas rel hukum, bahkan di tengah kekacauan bencana sekalipun. Yang perlu disempurnakan bukanlah menghapus prosedurnya, melainkan meningkatkan kecepatan respon aparatur dalam menjalankan prosedur tersebut (administrative responsiveness).

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.