Pertanyaan
Selamat pagi bang Eka, izin nanya bang..
Jadi begini bang, setelah saya amati, kok rasanya proses penetapan status
Bencana Nasional itu kesannya 'ribet' dan birokratis sekali ya?
Logika orang awam seperti saya kan sederhana:
kalau kehancurannya luas dan korbannya banyak, ya harusnya langsung otomatis
ditetapkan jadi Bencana Nasional supaya bantuan pusat turun semua. Tapi kok
sepertinya Pemerintah Pusat tidak bisa langsung ambil alih begitu saja?
Yang mau saya tanyakan secara kritis yaitu Apakah
benar bahwa indikator fisik (seperti jumlah korban atau kerugian harta) itu
jadi tidak berguna kalau Pemerintah Daerah (Gubernur) belum secara resmi
menyatakan 'angkat tangan' atau tidak sanggup? Dan kalaupun Gubernur sudah
minta tolong, apakah itu otomatis disetujui Presiden, atau masih ada proses
'kaji cepat' dari BNPB yang justru bisa membatalkan permohonan status tersebut?
Itu saja bang, terima kasih.
Jawaban
Pengantar: Kedaruratan dan Kepastian Hukum
Baik, terima kasih atas pertanyaannya. Saya
akan memulai tulisan ini dengan melihat lebih dalam diskursus Hukum Tata Negara
(HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia, dengan postulat
terkenalnya yaitu Salus Populi Suprema Lex Esto yaitu keselamatan
rakyat adalah hukum tertinggi sering kali didengungkan sebagai landasan
filosofis utama dalam penanganan keadaan darurat. Adagium ini memberikan
legitimasi moral dan yuridis bagi negara untuk mengambil langkah-langkah luar
biasa (extraordinary measures) ketika menghadapi ancaman eksistensial,
termasuk bencana alam.
Namun, dalam negara hukum (rechtsstaat)
yang menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum dan akuntabilitas, dalil
keselamatan rakyat tidak serta merta memberikan cek kosong kepada penguasa
untuk bertindak tanpa prosedur. Di sinilah letak ketegangan abadi antara
kebutuhan akan kecepatan bertindak (speed and necessity) dengan
kebutuhan akan ketertiban administrasi dan kepastian hukum (legal certainty
and accountability).
Indonesia, yang secara geografis terletak
di Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, merupakan
laboratorium bencana alam terbesar di dunia. Pertemuan lempeng tektonik
Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik menempatkan negara ini dalam posisi
kerentanan yang permanen. Dalam konteks ini, pertanyaan yang diajukan dalam
judul artikel ini, “Apakah Seribet itu Dapat Menentukan Status Bencana
Nasional?”, bukan sekadar keluhan awam terhadap birokrasi, melainkan
sebuah gugatan kritis terhadap efektivitas sistem hukum penanggulangan bencana
kita.
Publik sering kali mempersepsikan prosedur
penetapan status bencana sebagai belantara birokrasi yang memperlambat bantuan.
Padahal, jika ditelaah dengan kacamata hukum yang jernih, prosedur tersebut
didesain sebagai mekanisme pengaman (safeguard) untuk memastikan bahwa
intervensi negara dilakukan secara terukur, tepat sasaran, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara keuangan maupun politik.
Tulisan hukum kami kali ini akan berupaya
mengurai benang kusut persepsi tersebut secara komprehensif. Kami akan membedah
anatomi hukum penetapan status bencana, mulai dari definisi, indikator, hingga
prosedur berjenjang yang melibatkan hubungan pusat dan daerah. Tulisan ini
semata-mata guna membuktikan bahwa “keribetan” tersebut sejatinya adalah manifestasi
dari prinsip kehati-hatian (prudence) dalam pengelolaan negara, meskipun
tetap memerlukan kritik konstruktif untuk penyempurnaannya.
Landasan Konstitusional dan Pergeseran Paradigma
Secara konstitusional, tanggung jawab negara
dalam penanggulangan bencana merupakan derivasi langsung dari alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
memandatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Kewajiban konstitusional ini kemudian
diterjemahkan ke dalam kerangka hukum operasional melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang
selanjutnya disebut dengan “UU tentang Penanggulangan Bencana”.
Lahirnya UU tentang Penanggulangan
Bencana menandai pergeseran paradigma (shifting paradigm) yang
fundamental dalam hukum kebencanaan Indonesia. Sebelumnya, penanganan bencana
bersifat responsif, insidentil, dan karitatif, bencana dianggap sebagai
takdir semata yang direspons saat terjadi. Kini, hukum memandang bencana
sebagai manajemen risiko yang komprehensif, meliputi tahap prabencana, tanggap
darurat, dan pascabencana.
Dalam paradigma baru ini, penetapan status
bencana bukan sekadar pelabelan administratif, melainkan sebuah keputusan hukum
(beschikking) yang memicu konsekuensi hukum massif yaitu peralihan
komando, pencairan dana siap pakai (DSP), kemudahan akses impor, hingga
imunitas administratif terbatas bagi pelaksana di lapangan. Oleh karena
itu, prosedur penetapan status tidak boleh dilakukan secara serampangan (arbitrary),
melainkan harus melalui uji verifikasi yang ketat sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Definisi Bencana: Sebuah Batasan Limitatif
Langkah pertama untuk menilai apakah
prosedur penetapan status tersebut memang rumit adalah memahami terlebih dahulu
objek hukum yang diatur, yaitu bencana. Dalam praktiknya, hukum tidak berdiri
sendiri; ia membutuhkan definisi operasional yang jelas agar dapat membedakan
peristiwa alam yang bersifat rutin dari suatu keadaan yang secara hukum
dikategorikan sebagai bencana.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 Angka
1 UU tentang Penanggulangan Bencana, definisi bencana dirumuskan
secara komprehensif sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Definisi ini mengandung unsur-unsur
kumulatif yang krusial. Tidak semua gempa bumi adalah bencana dalam pengertian
hukum. Sebuah gempa berkekuatan besar di tengah samudra yang tidak menimbulkan
tsunami dan tidak berdampak pada permukiman manusia adalah fenomena alam, bukan
bencana dalam istilah hukum.
Unsur konstitutif yang harus terpenuhi
adalah frasa “mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat”. Inilah filter pertama dalam birokrasi penetapan status
yaitu verifikasi apakah unsur gangguan terhadap subjek hukum (masyarakat)
telah terpenuhi.
Taksonomi Jenis Bencana
Kompleksitas penanganan dan penetapan status
juga dipengaruhi oleh jenis bencananya. UU tentang Penanggulangan
Bencana membagi bencana ke dalam tiga klaster yuridis yang
memiliki karakteristik pembuktian berbeda:
1.
Bencana Alam
Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 2 UU
tentang Penanggulangan Bencana, bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor.
Penetapan status untuk kategori ini biasanya berbasis pada
data saintifik dari lembaga berwenang (seperti BMKG atau PVMBG). Tantangannya
relatif lebih rendah dalam hal pembuktian kausalitas, namun sangat tinggi dalam
hal estimasi dampak yang cepat dan masif.
2. Bencana Nonalam
Pasal 1 Angka 3 UU tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan
bencana nonalam sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
Kategori ini lebih rumit (“ribet”) dalam penetapannya karena
sering kali melibatkan unsur kelalaian korporasi atau kegagalan sistem buatan
manusia. Penetapan status bencana nasional untuk kategori ini (seperti epidemi)
memerlukan pertimbangan politik dan ekonomi yang sangat berat karena dampaknya
terhadap stabilitas pasar dan hubungan internasional.
3. Bencana Sosial
Pasal 1 Angka 4 UU tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan
bencana sosial sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Ini adalah kategori yang paling sensitif secara politis.
Penetapan status bencana sosial sering kali beririsan dengan status keamanan
atau darurat sipil/militer. Kerumitan di sini bukan pada penghitungan korban,
melainkan pada implikasi penegakan hukum dan rekonsiliasi sosial.
Variabel Penentu Status Bencana
Salah satu mitos yang berkembang di
masyarakat adalah bahwa status bencana nasional semata-mata ditentukan oleh
jumlah korban mati. Apabila korban mencapai angka tertentu, otomatis menjadi
bencana nasional. Pandangan ini keliru dan tidak berdasar pada hukum positif.
Hukum Indonesia tidak mengenal ambang batas angka mati (death toll threshold)
yang kaku untuk penetapan status. Sebaliknya, hukum menggunakan pendekatan
multivariabel yang menuntut penilaian kualitatif dari pengambil kebijakan.
Pasal 7 ayat (2) UU tentang
Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penetapan status dan tingkat
bencana nasional dan daerah memuat indikator yang meliputi:
1.
Jumlah
korban;
2. Kerugian harta benda;
3. Kerusakan prasarana dan sarana;
4. Cakupan luas wilayah yang terkena
bencana; dan
5. Dampak sosial ekonomi yang
ditimbulkan.
Kelima indikator ini harus dibaca sebagai
satu kesatuan sistemis, bukan parsial.
-
Jumlah Korban, tidak hanya yang meninggal dunia, tetapi
juga korban luka, hilang, dan pengungsi. Dalam perspektif Pedoman
Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana (2016) yang diterbitkan oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gangguan kehidupan dimaknai
sebagai kondisi yang mengakibatkan adanya korban jiwa dan
pengungsian. Pengungsian massal sering kali menjadi indikator yang lebih
kuat untuk menetapkan kedaruratan dibandingkan jumlah kematian itu sendiri,
karena pengungsi membutuhkan layanan dasar harian (pangan, sandang, papan) yang
membebani kapasitas pemerintah daerah;
-
Kerugian Harta Benda dan Kerusakan Prasarana, indikator ini
mengukur gangguan penghidupan. Kerusakan jembatan vital yang memutus logistik
satu provinsi bisa menjadi dasar penetapan status yang lebih tinggi
dibandingkan kerusakan seribu rumah tinggal;
-
Cakupan Wilayah, apakah bencana melintasi batas
administrasi kabupaten/kota atau provinsi? Bencana yang bersifat lintas batas
administrasi (trans-boundary) secara inheren membutuhkan koordinasi yang
lebih tinggi, yang mendorong statusnya naik ke level provinsi atau nasional;
-
Dampak Sosial Ekonomi, ini adalah indikator
yang paling abstrak namun krusial. Apakah bencana tersebut melumpuhkan pasar?
Apakah menghentikan proses belajar mengajar secara total? Apakah memicu inflasi
daerah?
Indikator “Invisible”: Kapasitas Pemerintahan Daerah
Di luar kelima indikator fisik dan sosial di
atas, terdapat satu indikator hukum yang menjadi “kunci Inggris” dalam
mekanisme penetapan status, yaitu Kapasitas Pemerintahan Daerah.
Indikator ini sering kali tidak terlihat oleh publik tetapi menjadi ratio
decidendi (alasan pemutus) utama bagi Presiden dalam menetapkan status
bencana nasional.
Sesuai dengan Pedoman Penetapan
Status Keadaan Darurat Bencana (2016) dari BNPB, status keadaan
darurat bencana nasional ditetapkan atas pertimbangan pemerintah provinsi
terdampak tidak memiliki kemampuan satu atau lebih hal-hal
sebagai berikut:
1.
Memobilisasi sumber daya manusia untuk upaya penanganan
darurat bencana;
2. Mengaktivasi sistem
komando penanganan darurat bencana; dan/atau
3. Melaksanakan
penanganan awal keadaan darurat bencana mencakup penyelamatan dan evakuasi
korban/penduduk terancam serta pemenuhan kebutuhan dasar.
Ini adalah manifestasi dari prinsip otonomi
daerah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Penanggulangan bencana adalah urusan
konkuren pelayanan dasar. Artinya, selama Pemerintah Daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota) masih sanggup menjalankan roda pemerintahan dan
mengendalikan situasi, intervensi status nasional dianggap sebagai tindakan
yang melanggar kemandirian daerah (sentralistik) dan inefisiensi anggaran nasional.
Oleh karena itu, “keribetan” birokrasi penetapan status sering kali bermuara
pada proses verifikasi kapasitas ini yaitu apakah Pemda benar-benar lumpuh (collapse)
atau hanya sekadar butuh bantuan (assistance)?
Hierarki Penetapan Status
Prosedur penetapan status bencana didesain
secara berjenjang (tiered response) untuk menjamin tertib administrasi.
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana”.
Kewenangan penetapan status dibagi
berdasarkan skala dampak dan kapasitas:
1. Skala Kabupaten/Kota ditetapkan oleh
Bupati/Walikota.
2. Skala Provinsi ditetapkan oleh
Gubernur.
3. Skala Nasional ditetapkan oleh
Presiden.
Setiap perpindahan status dari level bawah
ke atas memerlukan prosedur administratif yang ketat, yang sering kali
dipersepsikan sebagai hambatan birokrasi. Namun, prosedur ini esensial untuk
membenarkan pengambilalihan kewenangan (authority takeover) dan beban
anggaran.
Mekanisme Penetapan Status Bencana Nasional
Mari kita bedah secara mendalam prosedur
penetapan status bencana nasional sebagaimana diuraikan dalam Pedoman
Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana. Prosedur ini melibatkan
serangkaian langkah yang harus ditempuh secara sekuensial, antara lain:
Tahap 1: Pernyataan Ketidakmampuan (Declaration
of Incapacity)
Proses ini dimulai dari bawah (bottom-up).
Apabila kebutuhan penanganan darurat bencana melampaui kapasitas dari provinsi
yang wilayah kabupaten/kotanya terdampak, maka Gubernur wilayah provinsi
terdampak harus bersikap kesatria. Gubernur dapat mengeluarkan surat pernyataan
yang ditujukan kepada Presiden.
Surat ini bukan surat biasa, melainkan
dokumen hukum yang berisikan tentang pernyataan ketidakmampuan dalam
penyelenggaraan penanganan darurat bencana secara penuh dan sekaligus bermohon
kiranya status keadaan darurat bencana yang terjadi perlu ditingkatkan menjadi
status keadaan darurat bencana nasional.
Tahap ini sering menjadi bottleneck.
Mengapa? Karena bagi seorang kepala daerah, menyatakan “tidak mampu” secara
tertulis memiliki implikasi politis. Hal ini dapat dipersepsikan sebagai
kegagalan kepemimpinan di mata konstituen. Akibatnya, sering terjadi penundaan
pengiriman surat ini meskipun kondisi lapangan sudah kritis. Di sisi lain,
hukum mewajibkan adanya pernyataan ini sebagai dasar legitimasi bagi Pemerintah
Pusat untuk masuk tanpa dituduh mengintervensi otonomi daerah.
Tahap 2: Pengkajian Cepat (Rapid
Assessment) oleh Pusat
Pemerintah Pusat tidak serta merta menerima
permohonan Gubernur tersebut. Prinsip trust but verify berlaku.
Paling lambat 1 kali 24 jam setelah keluarnya surat pernyataan dimaksud, maka
BNPB dan kementerian/lembaga terkait agar melakukan pengkajian cepat
situasi. Pengkajian cepat ini dilakukan oleh tim gabungan untuk
memverifikasi kondisi lapangan. Apakah benar Pemprov sudah lumpuh? Apakah benar
sumber daya lokal sudah habis? Hasil pengkajian ini menjadi dokumen pembuktian
utama.
Tahap 3: Rapat Koordinasi Tingkat Nasional
Hasil pengkajian cepat tersebut tidak
diputuskan oleh satu orang. Selanjutnya, hasil pengkajian cepat dimaksud
dibahas dalam rapat koordinasi tingkat nasional untuk menghasilkan rekomendasi
tindak lanjut. Forum ini melibatkan berbagai kementerian/lembaga
(Kemenkeu, Kemensos, Kemenkes, TNI, Polri) untuk menghitung implikasi anggaran
dan mobilisasi nasional. Ini adalah bentuk checks and balances dalam
eksekutif.
Tahap 4: Penetapan Keputusan Presiden
Berdasarkan rekomendasi rapat koordinasi,
terdapat dua kemungkinan output hukum:
-
Skenario A (Ditetapkan)
Apabila rekomendasi
yang dikeluarkan perlu menaikkan status keadaan darurat bencana menjadi status
keadaan darurat bencana nasional, maka Presiden dapat segera menetapkan status
keadaan darurat bencana nasional. Konsekuensinya, Kepala BNPB mengambil alih
komando (mengkoordinasikan kementerian/lembaga terkait di tingkat nasional)
untuk langkah-langkah penyelenggaraan penanganan darurat lebih lanjut.
-
Skenario B (Ditolak)
Apabila rekomendasi
yang dihasilkan sebaliknya, maka pemerintah melalui Kepala BNPB segera
menginformasikan ke gubernur wilayah terdampak bahwa status keadaan darurat
bencana tidak perlu ditingkatkan menjadi status keadaan darurat bencana
nasional. Namun, penolakan ini harus disertai solusi, yaitu pernyataan bahwa
pemerintah akan melakukan pendampingan penyelenggaraan penanganan darurat
bencana yang terjadi.
Prosedur inilah yang sering disebut “ribet”.
Namun, jika kita hilangkan salah satu tahap, misalnya meniadakan Kaji Cepat,
maka risiko manipulasi data untuk mendapatkan kucuran dana APBN akan sangat
tinggi. Jika meniadakan Rapat Koordinasi, maka potensi gesekan antar-instansi
pusat akan besar. Jadi, kerumitan ini adalah necessary evil atau
keburukan yang diperlukan demi akuntabilitas.
Durasi Masa Berlaku
Kepastian hukum juga menyentuh aspek waktu.
Status keadaan darurat bencana nasional dapat diberlakukan antara 1 bulan
sampai dengan 3 bulan atau dapat diperpanjang sesuai dengan hasil kajian
perkembangan situasi di lapangan. Ketentuan ini menegaskan bahwa status
darurat adalah kondisi abnormal yang temporer. Pemerintah dipaksa oleh hukum
untuk terus mengevaluasi situasi, sehingga status darurat tidak menjadi status
abadi yang melegitimasi penyimpangan prosedur normal selamanya.
Preseden Historis: Gempa dan Tsunami Aceh 2004
Contoh paling valid dari penerapan status
bencana nasional adalah peristiwa Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh dan Sumatera
Utara pada tahun 2004. Pemerintah saat itu menetapkannya melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2004 tentang Penetapan Bencana Alam
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara Sebagai
Bencana Nasional.
Mengapa kasus ini lolos verifikasi “ribet”
tersebut?
1.
Indikator Fisik Ekstrem
Ratusan ribu korban jiwa dan kehancuran total infrastruktur
pesisir.
2. Kelumpuhan
Pemerintahan Total
Ini faktor kuncinya. Kantor Gubernur, kantor-kantor dinas,
markas kepolisian daerah, dan fasilitas militer hancur. Banyak pejabat daerah
menjadi korban. Rantai komando pemerintahan daerah putus total (total
collapse). Tidak ada lagi entitas “Pemerintah Daerah” yang sanggup membuat
keputusan, memobilisasi alat, atau bahkan sekadar mendata korban. Dalam kondisi
vakum pemerintahan lokal seperti inilah, hukum mewajibkan status Bencana
Nasional agar Pemerintah Pusat dapat mengambil alih kendali penuh secara sah.
Mengapa Gempa Aceh, Sumut, dan Sumbar Terkini Tidak Menjadi Bencana Nasional?
Menggunakan data terbaru dan logika hukum
yang telah dibangun, mari kita analisis status bencana di Wilayah Provinsi
Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat terkait
kejadian-kejadian gempa atau banjir bandang pasca-2004. Sering muncul pertanyaan,
“Gempa di Pidie Jaya atau Pasaman Barat kerusakannya parah, kenapa tidak
Bencana Nasional?”
Berikut adalah analisis yuridis-kritisnya:
Meskipun terjadi bencana (gempa bumi,
banjir, longsor) di ketiga provinsi tersebut yang menimbulkan korban jiwa dan
kerusakan materiil, fakta hukum menunjukkan:
1.
Keberlangsungan Pemerintahan
Gubernur Aceh, Gubernur Sumatera Utara, dan Gubernur Sumatera
Barat beserta jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Perangkat Daerah dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi masih berfungsi.
Kantor pemerintahan tidak hancur lebur. Aparatur sipil negara masih ada dan
siap bekerja.
2. Sistem Komando
Sistem komunikasi pemerintahan dari provinsi ke
kabupaten/kota masih terhubung. Gubernur masih mampu menerbitkan Surat
Keputusan Tanggap Darurat Provinsi.
3. Mobilisasi Sumber
Daya
Ketiga provinsi ini memiliki APBD yang cukup besar dan sumber
daya peralatan yang memadai untuk penanganan awal. Mereka mampu memobilisasi
alat berat dari dinas PU provinsi ke kabupaten terdampak.
Berdasarkan indikator dalam Pedoman
Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana (2016), kondisi di Aceh, Sumut,
dan Sumbar pada kejadian-kejadian terkini tidak memenuhi syarat
materiil untuk ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Unsur “ketidakmampuan
pemerintah provinsi” tidak terbukti. Jika Presiden memaksakan menetapkan
status Bencana Nasional padahal Gubernur masih sanggup bekerja, maka
Presiden berpotensi melanggar UU tentang Penanggulangan Bencana dan
menciderai semangat otonomi daerah. Bantuan pusat tetap mengalir deras
(melalui BNPB dan Kementerian Sosial), namun status hukumnya tetap Bencana
Daerah atau Provinsi dengan pendampingan pusat. Ini membuktikan bahwa sistem
hukum kita bekerja secara proporsional yaitu bantuan tidak harus menunggu
status nasional.
Dinamika Hukum “Keadaan Tertentu”
Menyadari bahwa prosedur penetapan status
darurat sering kali memakan waktu atau terdapat kekosongan hukum di masa
transisi (antara darurat dan pemulihan, atau saat potensi bencana sudah nyata
namun belum meletus), Pemerintah melakukan terobosan hukum.
Terobosan ini diwujudkan melalui Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu, yang selanjutnya disebut
dengan “Perpres tentang Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu”.
Regulasi ini memperkenalkan konsep yuridis
baru yaitu “Keadaan Tertentu”. Pasal 1 Angka 1 Perpres ini
mendefinisikan Keadaan Tertentu sebagai suatu keadaan dimana status Keadaan
Darurat Bencana belum ditetapkan atau status Keadaan Darurat Bencana telah
berakhir dan/atau tidak diperpanjang, namun diperlukan atau masih diperlukan
tindakan guna mengurangi Risiko Bencana dan dampak yang lebih luas.
Dalam rezim hukum ini, BNPB diberikan
wewenang khusus untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana (termasuk akses
kemudahan logistik dan anggaran) tanpa harus menunggu penetapan status darurat
yang “ribet” dari Kepala Daerah. Namun, prinsip kehati-hatian tetap dijaga yang
mana Kepala BNPB harus mendapatkan keputusan dalam rapat koordinasi
antarkementerian/lembaga terlebih dahulu. Ini adalah bukti bahwa hukum
mencoba menyeimbangkan antara fleksibilitas operasional dengan akuntabilitas
administratif.
Implikasi Hukum Dan Potensi Sengketa
Kerumitan prosedur penetapan status juga
berkorelasi erat dengan risiko pidana. Pejabat yang terburu-buru menetapkan
status darurat tanpa dasar yang kuat demi mencairkan Dana Siap Pakai (DSP)
dapat terjerat tindak pidana korupsi jika ditemukan unsur mens rea (niat
jahat) untuk memperkaya diri. Sebaliknya, pejabat yang sengaja menghambat
penetapan status sehingga menghambat akses bantuan juga diancam pidana.
Pasal 77 UU tentang Penanggulangan
Bencana menegaskan sanksi pidana yang berat: Setiap orang yang
dengan sengaja menghambat kemudahan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal ini menjadi pedang
bermata dua yang memaksa para pengambil keputusan untuk bertindak cermat yaitu tidak
boleh terlalu lambat, namun tidak boleh juga sembarangan.
Argumentasi hukum yang dibangun biasanya
merujuk pada Pasal 26 UU tentang Penanggulangan Bencana mengenai
hak masyarakat, dikaitkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Meskipun putusan ini lebih menyoroti aspek kelalaian penanganan, secara
implisit hal ini menegaskan bahwa diskresi pemerintah dalam menetapkan (atau
tidak menetapkan) status bencana dapat diuji (justiciable) di
pengadilan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian komprehensif, deskriptif,
dan analitis di atas, dapat ditarik kesimpulan yuridis sebagai berikut:
1.
Kompleksitas sebagai Keniscayaan Hukum
Prosedur penetapan status bencana nasional yang terkesan “ribet”
dan berbelit sejatinya adalah mekanisme checks and balances yang
didesain secara intensional oleh pembentuk undang-undang. Tujuannya adalah
untuk memastikan validitas data, menjaga marwah otonomi daerah, dan mencegah
penyalahgunaan wewenang serta anggaran negara.
2. Indikator Utama
adalah Kapasitas
Penetapan status bencana nasional tidak hanya bergantung pada
indikator kuantitatif (jumlah korban/kerugian), melainkan sangat bergantung
pada indikator kualitatif yuridis, yaitu kelumpuhan (incapacity)
pemerintahan daerah provinsi. Selama pemerintah daerah masih berfungsi, status
nasional tidak dapat ditetapkan.
3. Prosedur Berjenjang
Mekanisme mulai dari surat pernyataan Gubernur, kaji cepat
BNPB, hingga rapat koordinasi tingkat nasional merupakan syarat formil yang
mutlak dipenuhi agar Keputusan Presiden tentang penetapan status bencana
memiliki legitimasi hukum yang kuat.
4. Relevansi Kasus
Sumatera
Tidak ditetapkannya status Bencana Nasional untuk gempa-gempa
terkini di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tindakan yang tepat secara hukum
karena pemerintah daerah di wilayah-wilayah tersebut telah menunjukkan
resiliensi dan kemampuan manajerial yang memadai, sehingga cukup ditangani
dengan status daerah dan pendampingan pusat.
Dengan demikian, “keribetan” tersebut adalah benteng pengaman agar negara tetap berjalan di atas rel hukum, bahkan di tengah kekacauan bencana sekalipun. Yang perlu disempurnakan bukanlah menghapus prosedurnya, melainkan meningkatkan kecepatan respon aparatur dalam menjalankan prosedur tersebut (administrative responsiveness).
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


