Pertanyaan
Selamat Sore, Pak. Izin mau tanya orang awam
nih.
Biasanya kan kalau ada bencana kayak banjir,
pemerintah pasti alasannya 'wah ini karena hujan ekstrem' atau 'ini musibah
dari Tuhan'. Jadi seolah-olah mereka nggak salah apa-apa. Jujur saja Pak, kita
ini kan rakyat biasa, nggak ngerti data curah hujan atau teknis bencana ini
seperti apa. Apa memang murni bencana ini bencana alam atau karena murnia
kesalahan manusia. Sementara pemerintah punya semua data dan ahli pintar. Kalau
kita harus gugat ke pengadilan, rasanya mustahil kita bisa menang debat data
lawan mereka. Saya lihat di berita, banyak kasus warga menang gugatan lawan
pemerintah, tapi kenyataannya di lapangan nggak ada yang berubah. Banjir tetap
ada, ganti rugi nggak cair-cair, pejabatnya santai-santai aja. Pertanyaan saya:
1.
Gimana caranya kita sebagai warga membuktikan di depan
hakim kalau banjir itu sebenernya karena pemerintah yang kerjanya nggak bener
(misalnya jarang keruk sungai atau asal kasih izin ke perusahaan)? Soalnya
kalau alasannya selalu 'faktor alam', kapan pemerintah mau tanggung jawab, Pak?;
2.
Ada nggak sih aturan yang bikin pemerintah yang harus
membuktikan kalau mereka sudah kerja benar? Jadi jangan kita warga kecil
yang disuruh nyari-nyari kesalahan teknis yang kita nggak paham. Kalau bebannya
di kita semua, ya pasti kalah duluan sebelum perang dong, Pak?
3.
Kalau nanti kita sudah capek-capek bayar pengacara dan
menang di pengadilan, gimana caranya maksa pemerintah buat beneran patuh?
Soalnya kalau cuma menang di atas kertas tapi pemerintah bisa 'pura-pura lupa'
jalanin putusan, buat apa kita gugat, Pak? Sia-sia dong?
Demikian pertanyaan-pertanyaan saya pak,
mohon maaf untuk kurang dan lebihnya. Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Terima kasih atas pertanyaan kritis yang
Anda ajukan. Sebelum menjawab poin-poin tersebut, mari kita luruskan satu
paradigma dasar yaitu Zaman di mana negara dianggap “maha kuasa” dan kebal
hukum (sovereign immunity) telah berakhir.
Dalam prinsip negara hukum modern (rechtsstaat),
setiap kekuasaan pemerintah kini datang satu paket dengan pertanggungjawaban
hukum (legal liability). Hal ini selaras dengan adagium terkenal, “geen
bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid,” yang menegaskan bahwa tidak
ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.
Apa implikasinya dalam konteks bencana alam?
Pergeseran ini sangat fundamental. Bencana tidak bisa lagi serta-merta dianggap
sebagai sekadar “nasib buruk” atau takdir Tuhan (Act of God) yang
menjadi alasan pemerintah untuk lepas tangan. Sebaliknya, bencana adalah
peristiwa hukum yang menuntut kewajiban konstitusional negara (mulai
dari mitigasi, perlindungan, hingga penanggulangan dampak yang nyata bagi warga
negaranya).
Secara prinsip, melalui Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan bahwa
salah satu tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Amanat ini
kemudian diterjemahkan secara spesifik dalam rezim hukum kebencanaan melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
Namun, realitas empiris sering kali
menunjukkan adanya kesenjangan antara mandat normatif (das sollen) dengan
implementasi faktual di lapangan (das sein). Banjir yang berulang di
wilayah perkotaan, tanah longsor akibat degradasi lingkungan yang dibiarkan,
hingga kegagalan sistem peringatan dini, sering kali bukan murni “amukan alam”,
melainkan buah dari kelalaian administratif, kegagalan tata ruang,
hingga abainya pejabat dalam menjalankan fungsi bestuurszorg (kepedulian
pemerintahan).
Artikel ini hadir bukan sekadar sebagai
bacaan teoretis, melainkan panduan hukum taktis bagi warga negara. Kita akan
membedah secara tuntas mekanisme menggugat pemerintah, termasuk poin krusial
mengenai pergeseran kewenangan mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa
(Onrechtmatige Overheidsdaad) yang kini beralih ke Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
Mulai dari konstruksi pasal, pembuktian di
sidang, hingga strategi agar putusan pengadilan benar-benar dieksekusi (executable),
tulisan ini dirancang untuk menjadi referensi utama bagi praktisi hukum,
akademisi, dan masyarakat sipil yang menuntut keadilan substantif
Ruang Lingkup Gugatan Terhadap Pemerintah dan Dasar Kewenangan Hukum
Langkah awal yang paling fundamental dalam
menyusun strategi litigasi terhadap pemerintah adalah menentukan kompetensi
absolut pengadilan, yaitu pengadilan lingkungan mana yang berwenang
memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Dunia hukum acara di Indonesia telah
mengalami perubahan penting setelah terbitnya Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa
Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad),
yang selanjutnya disebut “Perma 2/2019”
Sebelumnya, gugatan terhadap pemerintah atas
dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH) lazimnya diajukan ke Pengadilan Negeri
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
selanjutnya disebut “KUHPerdata”. Pasal ini berfungsi sebagai payung hukum umum
(lex generalis) yang memungkinkan siapa saja menuntut ganti rugi atas
kerugian yang diderita akibat perbuatan melawan hukum pihak lain, termasuk
pemerintah.
Namun, Pasal 2 ayat (1) Perma 2/2019
menyatakan secara tegas bahwa:
“Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) merupakan kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara”.
Ketentuan ini merupakan derivasi dan
penegasan dari perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut “UU
30/2014”
Pergeseran ini didasarkan pada logika bahwa
tindakan pemerintah, baik yang bersifat aktif maupun pasif, merupakan
manifestasi dari fungsi eksekutif yang tunduk pada rezim hukum publik (hukum
administrasi), bukan hukum privat.
Oleh karena itu, forum yang paling tepat
untuk mengujinya adalah peradilan administrasi, bukan peradilan umum. Implikasi
dari ketentuan ini sangat signifikan dalam konteks gugatan bencana alam. Apabila
warga negara menggugat pemerintah karena pemerintah dianggap lalai menjalankan
kewajiban publiknya, seperti tidak mengeruk sungai, tidak membangun tanggul,
atau menerbitkan izin lingkungan yang serampangan, maka gugatan tersebut
dikualifikasikan sebagai sengketa tindakan pemerintahan yang menjadi ranah
PTUN.
Kesalahan dalam mendaftarkan gugatan ke
Pengadilan Negeri akan berakibat fatal, di mana gugatan akan dinyatakan
tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena
pengadilan tidak berwenang secara absolut. Hal ini tercermin dalam kasus gugatan
banjir Jakarta tahun 2020, di mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui
putusan sela menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan class
action banjir karena pokok perkara tersebut merupakan kewenangan PTUN. Majelis
Hakim dalam pertimbangannya menegaskan bahwa dalil gugatan yang menyoal
kegagalan pemerintah dalam mengendalikan banjir adalah ranah sengketa
administrasi pemerintahan, sehingga harus diselesaikan melalui mekanisme PTUN
sesuai Perma Nomor 2 Tahun 2019.
Objek Sengketa dalam Konteks Bencana: Melampaui Beschikking
Dalam rezim hukum administrasi yang baru,
objek sengketa di PTUN tidak lagi terbatas pada Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) yang bersifat tertulis (beschikking), tetapi juga mencakup “Tindakan
Administrasi Pemerintahan” atau tindakan faktual (feitelijke
handelingen).
Pasal 1 Angka 8 UU 30/2014 mendefinisikan Tindakan
Administrasi Pemerintahan sebagai perbuatan Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan
konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Perluasan definisi ini sangat krusial dalam
konteks bencana alam, karena sering kali kerugian timbul bukan dari surat
keputusan, melainkan dari tindakan fisik di lapangan atau ketiadaan tindakan
sama sekali.
Dalam konteks bencana alam, objek gugatan
dapat diklasifikasikan menjadi:
1.
Tindakan Aktif (Commission)
Ini mencakup perbuatan positif pemerintah yang secara
langsung atau tidak langsung memicu atau memperparah dampak bencana. Contohnya
adalah penerbitan izin pembukaan lahan perkebunan sawit di kawasan hutan
lindung atau daerah resapan air yang menyebabkan banjir bandang. Atau,
pembangunan infrastruktur seperti jembatan atau jalan tol yang desainnya
menghalangi aliran sungai alami, sehingga menyebabkan genangan di pemukiman
warga. Dalam hal ini, penggugat harus membuktikan bahwa tindakan tersebut
melanggar tata ruang atau standar teknis kebencanaan;
2. Tindakan Pasif (Omission)
Ini adalah bentuk kelalaian yang paling umum dalam sengketa
bencana, yaitu sikap diam atau tidak bertindaknya pejabat pemerintahan padahal
terdapat kewajiban hukum untuk bertindak. Contohnya sangat beragam, mulai dari
kegagalan pemerintah daerah dalam mengeruk sedimentasi sungai yang sudah parah
meskipun anggaran tersedia, tidak memperbaiki tanggul yang retak meskipun sudah
ada laporan warga, hingga tidak diaktifkannya sistem peringatan dini tsunami
saat gempa terjadi. Dalam doktrin hukum, omission ini
dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban jabatan (ambtsplicht).
Landasan Hukum Kewenangan Mengadili
Dasar hukum kewenangan PTUN dalam mengadili
sengketa ini tidak hanya bersandar pada undang-undang sektoral, tetapi
merupakan konstruksi sistemik dari berbagai peraturan perundang-undangan,
antara lain:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009. Meskipun
undang-undang ini awalnya membatasi objek sengketa pada keputusan tertulis,
penafsiran sistematis dengan undang-undang yang lebih baru telah memperluas
cakupannya;
2. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal
87 undang-undang ini secara eksplisit memperluas definisi Keputusan Tata Usaha
Negara mencakup pula tindakan faktual. Hal ini menjadi jembatan hukum yang
memungkinkan tindakan fisik pemerintah digugat;
3. Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019. Peraturan ini menjadi petunjuk
teknis yang operasional bagi hakim dan pencari keadilan dalam memproses gugatan
perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Dengan demikian, ruang lingkup gugatan
terhadap pemerintah dalam kasus bencana alam saat ini sangat luas, mencakup
aspek legalitas keputusan administratif hingga aspek faktual pelaksanaan tugas
di lapangan. Warga negara memiliki kanal hukum yang jelas untuk menuntut
akuntabilitas, asalkan mampu memformulasikan gugatannya sesuai dengan
kompetensi absolut yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Konsep Kelalaian Pemerintah dan Parameter Perbuatan Melawan Hukum
Kelalaian pemerintah dalam konteks bencana
alam tidak dapat didefinisikan secara sembarangan atau hanya berdasarkan
perasaan ketidakpuasan publik semata, melainkan harus memenuhi unsur-unsur
yuridis yang ketat.
Dalam hukum administrasi, kelalaian sering
dikaitkan dengan konsep maladministrasi yang lebih luas. Berdasarkan Pasal
1 Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut “UU
37/2008”, maladministrasi mencakup perilaku atau perbuatan melawan
hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.
Kelalaian (negligence) dalam konteks
ini adalah kegagalan untuk menerapkan tingkat kehati-hatian (duty of care)
yang wajar yang dituntut oleh hukum dalam perlindungan masyarakat. Dalam
sengketa bencana, kelalaian dikonstruksikan ketika pemerintah gagal memenuhi
standar pelayanan minimum atau gagal menjalankan mandat undang-undang untuk
melindungi warga negara dari risiko bencana.
Misalnya, jika sebuah Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) tidak menyebarkan informasi peringatan dini cuaca ekstrem
yang sudah dirilis oleh BMKG, dan akibatnya nelayan melaut lalu menjadi korban
badai, maka BPBD tersebut dapat dianggap lalai. Kelalaian ini bukan sekadar
kesalahan administratif biasa, melainkan pelanggaran terhadap kewajiban hukum
untuk melindungi nyawa warga negara.
Parameter yang digunakan untuk menilai
adanya Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige
Overheidsdaad) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 meliputi dua batu uji utama yang harus dibuktikan
oleh penggugat:
1.
Bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Ini adalah parameter legalitas formal. Penggugat harus
menunjukkan pasal spesifik dalam undang-undang atau peraturan daerah yang
dilanggar. Misalnya, pelanggaran terhadap Pasal 38 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 yang mewajibkan penyusunan rencana
penanggulangan bencana;
2. Bertentangan dengan
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
Ini adalah parameter substantif yang lebih fleksibel namun
tajam. AUPB meliputi asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan,
kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum,
dan pelayanan yang baik. Dalam kasus banjir, pemerintah sering digugat karena
melanggar asas kecermatan (principle of carefulness) karena tidak cermat
dalam memelihara infrastruktur pengendali banjir.
Pelanggaran Kewajiban Hukum Kebencanaan: Bedah Pasal 6 UU 24/2007
Untuk membuktikan kelalaian, penggugat harus
menunjuk secara spesifik kewajiban hukum mana yang dilanggar oleh pemerintah.
Undang-Undang Penanggulangan Bencana telah memberikan daftar kewajiban yang
sangat rinci bagi pemerintah, yang jika tidak dilaksanakan, dapat menjadi dalil
kuat adanya kelalaian. Merujuk pada Pasal 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang
selanjutnya disebut “UU 24/2007”, tanggung jawab pemerintah
meliputi:
a. pengurangan risiko
bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program Pembangunan;
b. pelindungan
masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan
hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan
standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi
dari dampak bencana;
e. pengalokasian
anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara
yang memadai;
f.
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk
dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan
arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana
Apabila terjadi banjir besar yang disebabkan
oleh pendangkalan sungai yang tidak pernah dikeruk selama bertahun-tahun, maka
pemerintah dapat dianggap melanggar kewajiban hukumnya dalam pengurangan risiko
bencana. Hakim akan menilai apakah tindakan (atau ketiadaan tindakan)
pemerintah tersebut menyimpang dari standar kehati-hatian (duty of care)
yang seharusnya dimiliki oleh penyelenggara negara yang rasional dan
bertanggung jawab.
Prinsip Salus Populi Suprema Lex
Esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) menjadi landasan
filosofis bagi hakim dalam menilai bobot kelalaian tersebut. Hakim
tidak hanya melihat apakah ada peraturan yang dilanggar, tetapi apakah
pemerintah sudah melakukan upaya terbaik (best effort) untuk
menyelamatkan rakyatnya.
Hak Konstitusional Warga Negara: Perlindungan, Kepastian, dan Pemulihan
Hak warga negara untuk menggugat pemerintah
atas kelalaian bencana alam bukan sekadar hak prosedural yang diberikan oleh
hukum acara, melainkan derivasi dari hak konstitusional yang fundamental.
Konstitusi menempatkan keselamatan warga negara sebagai prioritas tertinggi. Pasal
28H ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan secara tegas bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Hak atas “lingkungan hidup yang baik dan
sehat” serta hak untuk “bertempat tinggal” yang aman adalah basis
konstitusional bagi warga negara untuk menuntut pertanggungjawaban negara
ketika bencana alam (yang diperburuk oleh kelalaian negara) merenggut hak-hak
tersebut.
Dalam konteks undang-undang sektoral, Pasal
26 UU 24/2007 memberikan katalog hak masyarakat yang komprehensif dan
rinci, antara lain:
(1)
Setiap orang berhak:
a.
mendapatkan pelindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi
kelompok masyarakat rentan bencana;
b.
mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana;
c.
mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang
kebijakan penanggulangan bencana;
d.
berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan
psikososial;
e.
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya;
dan
f.
melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.
(2)
Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar.
(3)
Setiap orang berhak
untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh
kegagalan konstruksi.
Lebih jauh dan spesifik, Pasal 26 ayat (3) UU
24/2007 tersebut di atas secara eksplisit menyebutkan bahwa “Setiap orang
berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan
oleh kegagalan konstruksi”. Pasal ini sangat progresif.
Meskipun secara teks menyebut “kegagalan
konstruksi”, dalam praktik peradilan dan interpretasi hukum yang berkembang,
definisi kegagalan konstruksi tidak hanya terbatas pada bangunan gedung yang
roboh.
Kegagalan fungsi infrastruktur pengendali
banjir (seperti tanggul yang jebol karena tidak dirawat, pompa air yang macet
saat dibutuhkan, atau drainase yang tidak berfungsi sesuai kapasitas desainnya)
dapat dikategorikan sebagai bentuk kegagalan konstruksi atau kegagalan
teknologi dalam arti luas yang menimbulkan hak atas ganti rugi.
Ini membuka peluang bagi warga untuk
menuntut kompensasi materiil jika mereka bisa membuktikan bahwa kerusakan harta
benda mereka adalah akibat langsung dari kegagalan infrastruktur publik
tersebut.
Prasyarat Pengajuan Gugatan: Memastikan Legal Standing dan Kausalitas
Sebelum melangkah ke pendaftaran perkara di
pengadilan, calon penggugat dan kuasa hukumnya harus melakukan bedah kasus (case
analysis) yang mendalam untuk memastikan terpenuhinya syarat-syarat formil
dan materiil. Kegagalan dalam tahap ini dapat menyebabkan gugatan kandas di
tahap eksepsi sebelum pokok perkara diperiksa.
Kedudukan Hukum Penggugat (Legal Standing)
Dalam sengketa lingkungan dan bencana,
sistem peradilan Indonesia mengakui beberapa model legal standing yang
masing-masing memiliki karakteristik dan syarat yang berbeda, antara lain:
1.
Gugatan Orang Perseorangan (Individual Lawsuit)
Ini adalah bentuk yang paling dasar. Diajukan oleh korban
langsung (individu atau beberapa orang) yang menderita kerugian nyata akibat
bencana. Penggugat harus membuktikan adanya kerugian spesifik yang dialaminya
(misalnya rumah rusak, kehilangan anggota keluarga). Syarat utamanya adalah adanya
kepentingan langsung yang dirugikan (point d'interet, point d'action);
2. Gugatan Perwakilan
Kelompok (Class Action)
Diajukan oleh satu atau lebih orang (wakil kelas) yang
mewakili kelompok besar (anggota kelas) yang menderita kerugian yang sama.
Syarat utamanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2002, yang selanjutnya disebut “Perma 1/2002” yaitu:
(a)
jumlah anggota kelompok sangat banyak sehingga tidak efektif
jika digugat sendiri-sendiri;
(b)
adanya kesamaan fakta atau peristiwa;
(c)
adanya kesamaan dasar hukum; dan
(d)
adanya kesamaan jenis tuntutan.
Contoh penerapannya adalah gugatan korban banjir Jakarta 2002
dan 2020. Namun, perlu dicatat bahwa gugatan class action banjir
Jakarta 2020 di Pengadilan Negeri sempat terkendala masalah kompetensi absolut,
di mana hakim menyatakan seharusnya diajukan ke PTUN. Ini menjadi
pelajaran penting untuk memilih forum yang tepat;
3. Hak Gugat Organisasi
Lingkungan (Legal Standing NGO)
Berdasarkan Pasal 92 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang selanjutnya disebut “UU 32/2009”, organisasi lingkungan
hidup dapat mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup. Syaratnya, NGO tersebut harus berbadan hukum (yayasan/perkumpulan) dan
dalam anggaran dasarnya tegas menyebutkan tujuan pelestarian lingkungan. Tuntutan
dalam gugatan ini terbatas pada tindakan tertentu (pemulihan lingkungan), bukan
ganti rugi materiil bagi korban individu;
4. Gugatan Warga Negara
(Citizen Lawsuit)
Mekanisme ini memungkinkan warga negara (tanpa harus menjadi
korban langsung) menggugat penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi
kewajiban hukumnya demi kepentingan umum. Fokus citizen lawsuit adalah
pada perbaikan kebijakan publik dan penerbitan peraturan, bukan ganti rugi
uang. Namun, pasca berlakunya Perma 2/2019, terdapat pergeseran tren di
mana gugatan citizen lawsuit yang substansinya berkaitan
dengan tindakan administrasi pemerintahan (seperti kegagalan membuat regulasi
atau kebijakan) cenderung diarahkan ke PTUN sebagai sengketa tindakan
pemerintahan, meskipun praktik di Pengadilan Negeri masih terjadi untuk isu-isu
perbuatan melawan hukum yang lebih umum yang belum spesifik diatur dalam ranah
administratif.
Hubungan Kausalitas dan Kerugian yang Dapat Dikualifikasikan
Prasyarat materiil yang paling menantang
dalam gugatan bencana adalah pembuktian hubungan kausalitas (causal link)
antara kelalaian pemerintah dengan kerugian yang timbul. Penggugat tidak
cukup hanya mendalilkan “ada banjir maka pemerintah salah”. Penggugat harus
mampu membuktikan secara ilmiah dan faktual bahwa banjir tersebut terjadi atau
diperparah oleh tindakan/kelalaian spesifik pemerintah, bukan semata-mata
karena curah hujan ekstrem yang melampaui kapasitas infrastruktur (overcapacity).
Sebagai contoh, jika penggugat mendalilkan
kerugian akibat banjir, ia harus membuktikan bahwa:
1.
Pemerintah memiliki kewajiban merawat pompa air di lokasi X;
2. Pemerintah lalai
tidak merawat pompa tersebut sehingga rusak;
3. Karena pompa rusak,
air tidak bisa dipompa keluar saat hujan; dan
4. Genangan air itulah
yang merusak rumah penggugat.
Apabila pemerintah bisa membuktikan bahwa
curah hujan saat itu sangat ekstrem (misalnya siklus 100 tahunan) sehingga
pompa yang berfungsi baik pun tidak akan mampu menanganinya, maka rantai
kausalitas bisa putus. Dalam kasus Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta Nomor 205/G/TF/2021/PTUN.JKT., tertanggal 15 Februari 2022, terkait
banjir Jakarta, Majelis Hakim mengabulkan tuntutan pengerukan kali karena
terbukti pemerintah tidak menuntaskan pengerukan sesuai rencana kerja yang
telah ditetapkan sendiri (RPJMD), namun menolak ganti rugi karena rincian
kausalitas kerugian individu tidak terbukti secara memadai dan spesifik untuk
setiap penggugat. Ini menunjukkan bahwa standar pembuktian untuk ganti
rugi jauh lebih tinggi daripada sekadar menuntut tindakan pemerintahan.
Prosedur Administratif: Langkah Wajib Pra-Litigasi yang Tidak Boleh Diabaikan
Berdasarkan rezim hukum administrasi modern
di Indonesia, pengadilan diposisikan sebagai upaya terakhir (ultimum
remedium). Sebelum mengajukan gugatan ke PTUN, warga negara diwajibkan
secara hukum untuk menempuh prosedur administratif (administrative recourse).
Ketentuan ini diatur secara ketat dalam Pasal
75 hingga Pasal 78 UU 30/2014 serta Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya
Administratif, yang selanjutnya disebut “Perma 6/2018”.
Mengabaikan tahapan ini akan berakibat fatal: gugatan akan dinyatakan tidak
diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena dianggap
prematur.
Tahap Pertama - Mekanisme Keberatan (Bezwaar)
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh
warga yang merasa dirugikan adalah mengajukan Keberatan. Keberatan
ini diajukan secara tertulis langsung kepada Pejabat Pemerintahan yang
menetapkan keputusan atau melakukan tindakan (misalnya Gubernur, Bupati, atau
Menteri terkait).
Keberatan harus diajukan dalam waktu paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya keputusan atau sejak
warga mengetahui adanya tindakan/kelalaian tersebut. Perhitungan waktu ini
sangat krusial dan harus diperhatikan dengan cermat.
Surat keberatan harus memuat identitas
lengkap pemohon, uraian singkat keputusan/tindakan yang dipersoalkan, alasan
keberatan (misalnya melanggar UU atau AUPB), dan tuntutan (misalnya meminta
pengerukan sungai segera dilakukan).
Pejabat Pemerintahan wajib menyelesaikan dan
memutus keberatan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. Jika dalam jangka waktu
tersebut pejabat tidak merespons atau diam saja, maka secara hukum keberatan
tersebut dianggap dikabulkan (dalam konteks fiktif positif, meskipun terdapat
dinamika baru pasca UU Cipta Kerja yang perlu dicermati, namun prinsip
pelayanan publik menuntut respons).
Tahap Kedua - Mekanisme Banding Administratif (Administratief Beroep)
Jika upaya keberatan ditolak oleh pejabat
yang bersangkutan, atau jika jawaban yang diberikan tidak memuaskan, warga
belum bisa langsung ke pengadilan. Warga harus menempuh tahap kedua, yaitu
mengajukan Banding Administratif. Banding ini diajukan kepada
Atasan Pejabat yang menetapkan keputusan (misalnya Presiden jika pejabatnya
adalah Menteri, atau Gubernur jika pejabatnya adalah Bupati/Walikota, sesuai
struktur hierarki).
Banding administratif diajukan dalam waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keputusan keberatan diterima atau
sejak tenggang waktu jawaban keberatan habis.
Badan/Pejabat atasan wajib memutus banding
administratif dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Keputusan banding ini
bersifat final di lingkungan administrasi.
Hanya setelah seluruh upaya administratif
ini (keberatan dan banding) ditempuh dan hasilnya tetap tidak memuaskan
(ditolak) atau tidak ditanggapi, barulah warga negara memiliki legal
standing yang sah untuk mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara. Bukti tanda terima surat keberatan dan banding administratif wajib
dilampirkan saat mendaftarkan gugatan sebagai bukti telah menempuh upaya
administratif.
Tahapan Ketiga - Litigasi: Strategi, Pembuktian, dan Dinamika Persidangan
Setelah upaya administratif dilalui tanpa
hasil yang diharapkan, perjuangan berlanjut ke meja hijau. Proses litigasi di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memerlukan strategi yang matang dan
kecermatan teknis yuridis yang tinggi, mengingat beban pembuktian ada pada
penggugat untuk mendalilkan adanya perbuatan melawan hukum oleh pemerintah.
Pendaftaran Gugatan dan Tenggang Waktu yang
Ketat
Gugatan harus didaftarkan ke PTUN yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat (pejabat yang digugat).
Tenggang waktu pengajuan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari sejak
keputusan atas upaya administratif diterima atau sejak upaya
administratif dianggap ditolak. Lewat satu hari saja dari batas
waktu ini, hak gugat akan gugur (verjaring) dan gugatan akan ditolak
karena lewat waktu (daluwarsa). Oleh karena itu, pencatatan tanggal
penerimaan surat keputusan banding administratif menjadi sangat
vital.
Penyusunan Posita dan Petitum yang Presisi
Kualitas gugatan sangat menentukan
keberhasilan perkara. Dalam posita, Penggugat harus menguraikan secara
kronologis, logis, dan sistematis fakta-fakta kelalaian pemerintah. Argumentasi
tidak boleh hanya bersifat emosional, tetapi harus yuridis. Harus dijelaskan
secara rinci peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar (misalnya Pasal
sekian UU Penanggulangan Bencana, Pasal sekian Perda Tata Ruang) dan AUPB mana
yang diabaikan (terutama asas kecermatan, asas kepastian hukum, dan asas
pelayanan yang baik). Penggugat harus mampu “menjahit” fakta bencana dengan
pelanggaran hukum tersebut.
Sedangkan untuk petitumnya atau apa yang
hendak dituntut, di PTUN, petitum tidak lagi sekadar meminta pembatalan
keputusan (vernietiging). Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Perma 2/2019,
pengadilan dapat mewajibkan pejabat untuk melakukan tindakan konkret. Penggugat
dapat meminta:
1.
Mewajibkan pejabat untuk Melakukan Tindakan
Pemerintahan (misalnya: “Memerintahkan Tergugat untuk segera melakukan
pengerukan Sungai Ciliwung di segmen X hingga kedalaman Y meter”);
2. Mewajibkan pejabat
untuk Tidak Melakukan Tindakan Pemerintahan (misalnya: “Memerintahkan
Tergugat untuk menghentikan pembangunan bendungan yang berisiko jebol”);
3. Mewajibkan pejabat
untuk Menghentikan Tindakan Pemerintahan yang sedang
berjalan.
Petitum juga dapat memuat tuntutan ganti
rugi dan rehabilitasi. Namun, perlu strategi khusus. Jika tuntutan ganti rugi
sangat kompleks dan membutuhkan pembuktian nilai aset yang rumit, ada kalanya
disarankan untuk memisahkan gugatan ganti rugi (perdata) setelah mendapatkan
putusan PTUN yang menyatakan pemerintah bersalah (melawan hukum). Namun, secara
normatif Perma 2/2019 memungkinkan penggabungan tuntutan ini.
Pembuktian dan Pemeriksaan Ahli: Pertarungan
Ilmiah
Pembuktian dalam kasus bencana alam memiliki
karakteristik khusus karena melibatkan data teknis, ilmiah, dan standar
rekayasa (engineering). Alat bukti yang sah menurut hukum acara PTUN
(Pasal 100 UU PTUN) meliputi surat, keterangan ahli, keterangan saksi,
pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim.
1.
Bukti Surat
Penggugat harus menyiapkan dokumen-dokumen kunci seperti
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang
menunjukkan serapan anggaran bencana, serta korespondensi atau notifikasi
peringatan dini yang diabaikan. Data curah hujan dari BMKG dan data debit air
dari Balai Besar Wilayah Sungai juga sangat penting;
2. Keterangan Ahli (Expert
Witness)
Ini adalah elemen “pembeda” dalam persidangan. Penggugat
perlu menghadirkan ahli yang relevan, seperti ahli hidrologi, ahli teknik
sipil/pengairan, ahli lingkungan, atau ahli manajemen bencana. Ahli ini
bertugas menjelaskan kepada hakim hubungan kausalitas yang rumit: apakah
bencana tersebut murni force majeure atau akibat kelalaian
teknis. Ahli harus mampu membedakan mana dampak yang diakibatkan oleh alam
(misalnya curah hujan ekstrem) dan mana dampak yang merupakan akumulasi
kelalaian (misalnya kapasitas saluran yang berkurang 50% karena sedimentasi
yang tidak dikeruk). Keterangan ahli akan menjadi panduan utama hakim dalam
membentuk keyakinannya;
3. Pemeriksaan Setempat
(Descente)
Majelis hakim dapat diajak untuk turun langsung ke lokasi
bencana guna memverifikasi kondisi faktual infrastruktur yang dipersoalkan.
Melihat langsung tanggul yang jebol atau sungai yang dangkal akan memberikan
gambaran yang jauh lebih kuat daripada sekadar foto atau video di ruang sidang.
Alternatif Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi
Meskipun litigasi menyediakan jalur hukum
yang tegas dan mengikat, prosesnya sering kali memakan waktu lama dan biaya
besar. Untuk pemulihan yang lebih cepat dan solusi yang berbasis konsensus,
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation) bisa menjadi
pilihan strategis. Pasal 74 UU 24/2007 bahkan secara eksplisit mengamanatkan
bahwa penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada tahap pertama
diupayakan berdasarkan asas musyawarah mufakat.
Mekanisme mediasi dapat ditempuh dengan
melibatkan lembaga negara independen yang memiliki otoritas moral dan hukum,
seperti:
1.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Dapat melakukan mediasi terkait dugaan pelanggaran hak asasi
manusia dalam penanganan bencana (misalnya diskriminasi dalam penyaluran
bantuan).
2. Ombudsman Republik
Indonesia
Memiliki kewenangan kuat untuk memeriksa dugaan
maladministrasi. Warga dapat melaporkan kelalaian pemerintah ke Ombudsman.
Ombudsman akan melakukan pemeriksaan, meminta klarifikasi pejabat, dan dapat
mengeluarkan Rekomendasi. Meskipun secara teknis bukan putusan
pengadilan, Rekomendasi Ombudsman memiliki bobot politik dan administratif yang
tinggi. Pejabat yang mengabaikan rekomendasi Ombudsman dapat dikenai sanksi
administratif dan dipublikasikan ketidakpatuhannya, yang berdampak pada
reputasi dan karir pejabat tersebut. Jalur ini sering kali lebih efektif
untuk mendorong tindakan korektif cepat tanpa harus melalui prosedur pembuktian
yang rumit di pengadilan.
Amar Putusan dan Eksekusi: Menagih Janji Negara
Tahap akhir dari proses hukum adalah putusan
pengadilan. Namun, putusan di atas kertas tidak berarti apa-apa tanpa eksekusi
nyata di lapangan.
Variasi Amar Putusan yang Mungkin
Apabila gugatan dikabulkan oleh PTUN, amar
putusan pengadilan dapat berisi variasi perintah sebagai berikut:
1.
Deklaratoir
Menyatakan batal atau tidak sah tindakan pemerintah yang
menjadi objek sengketa (misalnya: membatalkan izin lingkungan yang bermasalah);
2. Mandatoir (Perintah)
Mewajibkan pemerintah untuk melakukan tindakan konkret.
Contoh nyata adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
205/G/TF/2021/PTUN.JKT, di mana amar putusannya berbunyi: “Mewajibkan Tergugat
untuk mengerjakan pengerukan Kali Mampang secara tuntas sampai ke wilayah
Pondok Jaya” dan “Memproses pembangunan turap sungai di kelurahan Pela Mampang”. Putusan
semacam ini sangat spesifik dan actionable;
3. Kondemnator
(Penghukuman)
Menghukum pemerintah membayar ganti rugi sejumlah tertentu
kepada para penggugat (jika tuntutan ganti rugi dikabulkan dan terbukti
jumlahnya) serta biaya perkara.
Mekanisme Eksekusi dan Pengawasan Implementasi
Tantangan terbesar dalam sengketa
administratif adalah eksekusi putusan. Berbeda dengan sengketa perdata
yang memiliki instrumen sita eksekusi (beslag) dan lelang yang dibantu
kepolisian, eksekusi di PTUN sangat bergantung pada kepatuhan pejabat (compliance)
dan itikad baik negara. Tidak ada juru sita yang bisa memaksa Gubernur
mengeruk sungai secara fisik. Namun, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
telah menyediakan mekanisme pemaksa (dwang middelen) untuk mendorong
kepatuhan:
1.
Uang Paksa (Dwangsom)
Pengadilan dapat menjatuhkan denda sejumlah uang untuk setiap
hari keterlambatan pelaksanaan putusan. Ini memberikan tekanan finansial agar
pejabat segera bertindak.
2. Sanksi Administratif
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dapat dikenai sanksi administratif sedang hingga berat
sesuai peraturan disiplin pegawai negeri sipil. Sanksi ini bisa berupa
penundaan kenaikan pangkat hingga pemberhentian.
3. Publikasi Media
Massa
Ketua Pengadilan dapat memerintahkan agar ketidakpatuhan
pejabat diumumkan di media massa cetak nasional. Ini memberikan sanksi sosial
dan politik (naming and shaming) yang sering kali lebih ditakuti oleh
pejabat publik daripada denda uang.
4. Pengawasan
Legislatif
Penggugat dapat melaporkan ketidakpatuhan tersebut kepada
DPRD atau DPR untuk menjadi bahan pengawasan politik (hak interpelasi atau hak
angket) terhadap eksekutif.
Pengawasan implementasi putusan ini
membutuhkan peran aktif dari penggugat, masyarakat sipil, dan media massa untuk
terus mengawal agar pemerintah tidak sekadar membayar denda, tetapi benar-benar
melakukan perbaikan kebijakan dan infrastruktur mitigasi bencana demi
keselamatan publik.
Kesimpulan
Menggugat pemerintah atas kelalaian dalam
bencana alam merupakan manifestasi dari kewarganegaraan aktif dan berfungsinya
mekanisme checks and balances dalam negara hukum demokratis.
Pergeseran yurisdiksi kompetensi absolut melalui Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 telah mempertegas kanal hukum melalui
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai forum yang tepat dan berwenang untuk
menguji Onrechtmatige Overheidsdaad. Langkah ini menutup celah
perdebatan kompetensi yang selama ini sering menjadi alasan penolakan gugatan.
Meskipun jalan proseduralnya (mulai dari
kewajiban menempuh upaya administratif yang berjenjang hingga pembuktian teknis
yang rumit) cukup terjal dan kompleks, langkah hukum ini sangat strategis.
Gugatan hukum bukan sekadar soal mencari menang atau kalah, atau mendapatkan
ganti rugi materiil semata. Lebih dari itu, gugatan ini adalah instrumen untuk
memaksa pemerintah beralih dari pola penanganan bencana yang reaktif dan ad-hoc menjadi
proaktif, terencana, dan akuntabel.
Dengan memahami hak-hak konstitusional, prosedur administratif, dan strategi pembuktian yang tepat sebagaimana diuraikan di atas, warga negara dapat mentransformasi penderitaan akibat bencana menjadi momentum perbaikan tata kelola pemerintahan yang signifikan. Hal ini pada akhirnya bertujuan untuk memastikan bahwa adagium Salus Populi Suprema Lex Esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, tidak hanya menjadi jargon kosong di ruang sidang, melainkan menjadi realitas hukum yang hidup dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh tumpah darah Indonesia.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


