Pendahuluan
  Akuisisi (acquisition) adalah satu di antara dari banyak strategi
    penting dalam dunia bisnis yang memungkinkan perusahaan untuk memperluas
    jangkauan, memperkuat posisi mereka di pasar, atau bahkan bertahan di tengah
    persaingan yang semakin ketat. Namun, di balik peluang besar yang ditawarkan
    oleh akuisisi, terdapat kompleksitas hukum, permasalahan finansial, dan
    strategis yang harus dipahami secara mendalam.
  Memahami aturan dan proses akuisisi bukan hanya tentang mematuhi ketentuan
    peraturan perundang-undangan, tetapi juga tentang melindungi integritas
    Perusahaan (protect corporate integrity), memastikan keberlanjutan
    bisnis, dan menghindari risiko hukum yang bisa berdampak jangka panjang.
  Akuisisi, pada dasarnya, adalah proses di mana sebuah perusahaan mengambil
    alih sebagian atau seluruh kepemilikan perusahaan lain. Proses ini sering
    kali melibatkan transaksi yang bernilai besar, menjadikannya salah satu
    langkah bisnis yang paling signifikan dan berisiko. Dalam banyak kasus,
    akuisisi dirancang untuk mencapai tujuan strategis, seperti mendapatkan
    teknologi baru, mengakuisisi basis pelanggan yang lebih besar, atau
    meningkatkan efisiensi operasional melalui sinergi bisnis. Namun, proses ini
    tidak sesederhana transfer aset atau saham; akuisisi menyentuh berbagai
    aspek hukum, seperti peraturan perundang-undangan tentang persaingan usaha,
    nilai pasar, hingga dinamika internal perusahaan yang terlibat bahkan sampai
    ke permasalahan ketenagakerjaan.
  Secara garis besar, proses akuisisi melibatkan beberapa tahapan penting,
    mulai dari identifikasi target, uji tuntas atau due diligence,
    negosiasi, hingga penyelesaian transaksi. Pada tahap due diligence, calon pembeli harus menilai kondisi keuangan, aset, dan
    kewajiban hukum perusahaan target. Ini adalah momen kritis di mana kejelian
    dalam memahami potensi risiko sangat dibutuhkan. 
  Di sisi lain, perusahaan target harus memastikan bahwa proses tersebut
    berjalan dengan transparansi untuk menghindari potensi sengketa di kemudian
    hari. Setelah semua syarat dan ketentuan terpenuhi, akuisisi dilanjutkan
    dengan negosiasi kontrak dan pengesahan transaksi sesuai dengan regulasi
    yang berlaku, termasuk aturan yang ditetapkan oleh otoritas seperti Komisi
    Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia.
  Penting untuk dicatat bahwa akuisisi tidak hanya berdampak pada perusahaan
    yang terlibat, tetapi juga pada ekosistem bisnis yang lebih luas. Regulasi
    yang mengatur akuisisi, seperti larangan terhadap praktik monopoli atau
    persaingan usaha tidak sehat, dirancang untuk melindungi pasar dari
    penyalahgunaan kekuatan ekonomi. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam
    tentang hukum dan regulasi akuisisi tidak dapat diabaikan.
  Di sisi lain, aspek manusia juga menjadi salah satu tantangan besar dalam
    akuisisi. Transisi kepemilikan sering kali memengaruhi budaya kerja,
    struktur organisasi, dan bahkan motivasi karyawan. Jika tidak dikelola
    dengan baik, akuisisi bisa berujung pada konflik internal atau hilangnya
    talenta kunci dalam perusahaan target, yang justru merusak tujuan strategis
    akuisisi itu sendiri.
Dengan begitu banyak aspek yang saling terkait, memahami aturan dan proses akuisisi tidak hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga menjadi alat penting untuk memastikan bahwa setiap langkah diambil secara strategis dan terinformasi. Bisnis yang mengabaikan kompleksitas ini berisiko mengalami kegagalan akuisisi, yang tidak hanya menghabiskan sumber daya finansial tetapi juga merusak reputasi. Dalam konteks ini, memahami aturan akuisisi bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga investasi jangka panjang untuk keberhasilan dan keberlanjutan bisnis.
Definisi Akuisisi dan Perbedaannya dengan Merger
  Akuisisi berasal dari Bahasa Inggris acquisition yang berarti
    pengambilalihan. Michael A. Hitt., dkk., menyatakan akuisisi
    merupakan kegiatan memperoleh atau membeli perusahaan lain dengan cara
    membeli sebagian besar saham dari perusahaan sasaran.[1]  
  Munir Fuady menyatakan dengan akuisisi maka baik Perusahaan yang
    mengambilalih maupun yang diambilalih tetap eksis, jadi dengan akuisisi
    tidak ada Perusahaan yang lenyap dan tidak ada Perusahaan yang baru
    terbentuk dari akuisisi tersebut.[2]
    
  Kemudian, definisi menurut peraturan perundang-undangan dapat kita temukan
    dalam
    Pasal 109 Angka 11 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
        Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
    sebagaimana telah ditetapkan menjadi
    Undang-Undang, sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
        Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
        Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
        Undang-Undang
    yang selanjutnya disebut “UU tentang Cipta Kerja” sebagaimana telah mengubah ketentuan
    Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
        tentang Perseroan Terbatas
    atau yang selanjutnya disebut “UU tentang PT”, yang menyatakan sebagai berikut:
  “Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum
    atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang
    mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.”
  Dari definisi di atas, menekankan 3 (tiga) aspek utama:
  1.       
    Bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh badan hukum (seperti
    Perseroan Terbatas – PT, Yayasan, atau Koperasi) atau
    orang perseorangan;
  2.      
    Bahwa terdapat objek yang diambil alih yaitu saham perseroan sebagai
    alat pengalihan kendali tersebut, atau sederhananya, terdapat badan hukum
    yang membeli
    saham (sebagai objek kebendaan yaitu benda bergerak tidak berwujud)
    dari suatu perseroan hingga jumlah tertentu yang menyebabkan perubahan
    pengendalian terhadap perusahaan tersebut;
3. Bahwa karena adanya proses pengambilalihan melalui pembelian tersebut timbul akibat hukum yaitu berubahnya pengendalian atas perseroan kepada pihak yang mengambil alih atau pihak yang mengambil alih memperoleh hak untuk menentukan kebijakan atau mengendalikan aktivitas Perusahaan tersebut.
  Dalam ranah praktis, berdasarkan definisi akuisisi, dapat dikatakan
    bahwa:
  a.      
    Cara pengambilalihan perusahaan bisa dilakukan oleh orang perorangan, atau
    bisa dilakukan oleh badan hukum melalui direksi perusahaan, atau dapat juga
    dilakukan melalui pemegang saham yang bersangkutan; atau
  b.     
    Pihak yang mengambil alih bisa badan hukum perusahaan dan badan hukum yang
    bukan perusahaan, seperti koperasi atau yayasan, atau dapat juga orang
    perorangan.
  Sedangkan, Merger atau penggabungan sebagaimana ketentuan
    Pasal 109 Angka 9 UU tentang Cipta Kerja sebagaimana telah
    mengubah ketentuan Pasal 1 Angka 9 UU tentang PT, yang menyatakan sebagai berikut:
“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.”
  Penekanan utama pada definisi tersebut di atas, menunjukkan hubungan erat
    antara subjek hukum (perseroan yang menggabungkan diri dan penerima)
    dan objek hukum (aktiva (asset) dan pasiva (kewajiban atau
    responsibility)). Kemudian penggabungan objek hukum tersebut secara
    otomatis terjadi (tanpa perlu perjanjian individual (contractual liability) untuk tiap aset/kewajibannya) hal ini kental sekali untuk menegaskan
    prinsip successor liability by operation of law. Proses ini juga
    mencerminkan tujuan penggabungan, yaitu efisiensi, penguatan bisnis, atau
    sinergi dalam struktur perseroan yang baru. Dengan demikian, penggabungan
    adalah mekanisme hukum yang memberikan landasan formal bagi penyatuan dua
    atau lebih entitas korporasi ke dalam satu struktur yang lebih kuat dan
    terintegrasi.
  Jadi, perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
  1.       
    Subjek Hukum
  a.    
      Merger
  Melibatkan 2 (dua) atau lebih perseroan, di mana perseroan yang
    menggabungkan diri kehilangan status badan hukumnya, sehingga yang semula
    ada 2 (dua) atau lebih hanya akan menjadi 1 (satu) badan hukum saja yang
    menerima penggabungan). 
  b.    
      Acquisition
  Melibatkan pihak yang mengambil alih (apakah badan hukum atau individu) dan
    perseroan target, di mana perseroan target tidak hilang status badan hukum
    dan tetap eksis secara hukum tetapi kendalinya beralih ke badan hukum atau
    individu tersebut.
  2.      
    Objek Hukum
  a.    
    Merger
  Aktiva (asset) dan pasiva (kewajiban) seluruhnya berpindah ke
    perseroan penerima penggabungan. 
  b.    
    Acquisition
  Saham atau aset tertentu dari perseroan target menjadi objek
    akuisisi, tidak selalu melibatkan seluruh aktiva/pasiva.
  3.     
    Akibat Hukum
  a.    
    Merger
  Perseroan yang menggabungkan diri berhenti beroperasi dan kehilangan status
    hukumnya.
  b.    
    Acquisition
  Perseroan target tetap eksis tetapi berada di bawah kendali pihak pengambil
    alih.
  4.      
    Tujuan
  a.    
      Merger
  Penyatuan dua entitas menjadi satu untuk sinergi dan efisiensi.
  b.    
    Acquisition
  Kendali atas perseroan target untuk tujuan strategis seperti penguasaan
    pasar atau teknologi.
  Contoh Konkret
  -       
    Merger
  PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah, dan PT BRI Syariah bergabung
    menjadi PT Bank Syariah Indonesia (BSI), di mana tiga bank tersebut
    menggabungkan dan eksis sebagai satu entitas baru yaitu BSI, yang mana
    Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia (OJK RI) secara resmi mengeluarkan
    izin merger 3 (tiga) usaha Bank Syariah tersebut pada 27 Januari 2021
    melalui Surat Nomor SR-3/PB.1/2021. Selanjutnya, pada 1 Februari 2021,
    Presiden Joko Widodo meresmikan kehadiran BSI. Komposisi pemegang saham BSI
    adalah: 
  A.    
    PT Bank Mandiri (Persero) Tbk 50,83%;
  B.    
    PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk 24,85%;
  C.   
    PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk 17,25%. 
  D.   
    Sisanya adalah pemegang saham yang masing-masing di bawah 5%. 
  Penggabungan ini menyatukan kelebihan dari ketiga bank syariah tersebut,
    sehingga menghadirkan layanan yang lebih lengkap, jangkauan lebih luas,
    serta memiliki kapasitas permodalan yang lebih baik. Didukung sinergi dengan
    perusahaan serta komitmen pemerintah melalui Kementerian BUMN, BSI didorong
    untuk dapat bersaing di tingkat global..
  -       
    Acquisition
Akuisisi PT Bank Danamon Indonesia Tbk oleh MUFG Bank, Ltd. (Mitsubishi UFJ Financial Group) pada tahun 2019. MUFG secara bertahap mengambil alih mayoritas saham Bank Danamon hingga akhirnya menguasai lebih dari 90% sahamnya. Dalam proses ini: Bank Danamon tetap eksis sebagai entitas hukum. Kendali atas Bank Danamon beralih ke MUFG Bank sebagai pemegang saham mayoritas.
Jenis-Jenis Pengambilalihan
  Adapun berikut adalah jenis-jenis pengambilalihan atau akuisisi beserta
    contoh konkritnya:
  1.       
    Akuisisi Horizontal (Horizontal Acquisition)
  Terjadi ketika sebuah perusahaan mengakuisisi perusahaan lain yang bergerak
    dalam bidang atau industri yang sama. Tujuannya adalah untuk memperluas
    pangsa pasar, mengurangi persaingan, dan meningkatkan efisiensi operasional.
    Contohnya, pada tahun 2019, The Walt Disney Company secara resmi
    menyelesaikan akuisisi sebagian besar aset 21st Century Fox, termasuk
    studio film, jaringan televisi, dan properti lainnya. Disney membeli aset
    21st Century Fox dengan nilai transaksi sekitar $71,3 miliar,
    21st Century Fox sendiri tetap eksis sebagai entitas yang
    terpisah dalam bentuk Fox Corporation (mengelola aset yang tidak
    diakuisisi, seperti Fox News dan Fox Sports). Tidak ada
    penggabungan entitas, melainkan pengambilalihan aset dan pengendalian
    sebagian besar bisnis Fox oleh Disney, jelas ini adalah Akuisisi
    Horizontal, mengingat kedua perusahaan bergerak di industri hiburan dan
    media (produksi film, jaringan televisi, dan distribusi konten). Akuisisi
    ini memungkinkan Diisney memperluas portofolio kontennya (seperti menguasai
    properti Marvel, Avatar, dan The Simpsons) serta
    memperkuat posisinya dalam layanan streaming dengan
    Disney+.
  2.      
    Akuisisi Vertikal (Vertical Acquisition)
  Melibatkan pengambilalihan perusahaan yang berada pada tingkat berbeda
    dalam rantai pasokan atau produksi. Ini dapat berupa akuisisi terhadap
    pemasok bahan baku atau distributor produk akhir, dengan tujuan meningkatkan
    efisiensi dan kontrol atas rantai pasokan. Contohnya,
    Amazon mengakuisisi Kiva Systems, sebuah perusahaan yang
    memproduksi robot untuk gudang, seharga $775 juta. Ini adalah contoh
    akuisisi vertikal karena Amazon mengintegrasikan teknologi dan proses
    Kiva Systems ke dalam operasional logistiknya, yang merupakan tahap
    sebelumnya dalam rantai pasokan (supplier robot gudang untuk
    operasional ritel Amazon). Dalam akuisisi ini, Amazon tidak hanya
    membeli teknologi tetapi juga mengontrol pemasok utama untuk kebutuhan
    automasi gudangnya. Dengan demikian, Amazon dapat meningkatkan efisiensi dan
    mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga.
  3.     
    Akuisisi Saham (Stock Acquisition)
  Akuisisi saham terjadi ketika sebuah perusahaan membeli saham perusahaan
    lain untuk memperoleh kendali. Saham yang diambil alih mencerminkan
    kepemilikan atas aset dan operasional perusahaan tersebut. Contohnya, PT
    Inalum membeli 51,2% saham PT Freeport Indonesia dari Freeport-McMoRan dan
    Rio Tinto. Dengan menguasai saham ini, PT Inalum memperoleh kendali atas
    operasional dan aset tambang Freeport Indonesia. Sehingga, akuisisi
    ini tidak mencerminkan hubungan horizontal (dua perusahaan yang bersaing
    langsung) atau vertikal (perusahaan dari rantai pasokan yang berbeda).
    Sebaliknya, ini adalah pengambilalihan saham strategis oleh pemerintah
    melalui BUMN berdasarkan aturan divestasi saham di bidang usaha
    pertambangan.
  4.      
    Akuisisi Aset (Asset Acquisition)
  Dalam jenis ini, perusahaan mengambil alih sebagian atau seluruh aset
    perusahaan target atau perusahaan pembeli membeli aset-aset tertentu
    (seperti properti, teknologi, atau hak kekayaan intelektual) dari perusahaan
    target, tanpa mengambil alih perusahaan secara keseluruhan. Contohnya, di
    tahun 2012, Microsoft pernah membeli 925 paten dan aplikasi paten milik AOL
    senilai $1,1 miliar, walau akhirnya Facebook membeli 650 paten dan aplikasi
    AOL dari Microsoft seharga 550 juta dollar AS (sekitar Rp 5 triliun).
    Pembelian ini dilakukan hanya selang beberapa minggu setelah Facebook
    membeli Instagram seharga 1 miliar dollar AS.
  5.      
    Akuisisi Konglomerasi (Conglomerate Acquisition)
  Akuisisi konglomerasi terjadi ketika sebuah perusahaan mengakuisisi
    perusahaan lain yang beroperasi di sektor atau industri yang berbeda.
    Contohnya, Berkshire Hathaway, yang merupakan perusahaan induk dengan
    portofolio investasi di berbagai sektor (seperti asuransi, energi,
    transportasi, dan lain-lain), mengakuisisi Precision Castparts,
    sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur komponen untuk industri
    kedirgantaraan, energi, dan pertahanan. Kedua perusahaan ini tidak memiliki
    hubungan langsung dalam hal rantai pasokan atau sektor operasional, sehingga
    akuisisi ini merupakan contoh dari diversifikasi konglomerasi. Akuisisi ini
    bertujuan untuk memperluas portofolio bisnis Berkshire Hathaway tanpa
    hubungan operasional langsung.
  6.     
    Akuisisi Manajemen (Management Buyout | MBO)
  MBO memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan jenis akuisisi lainnya
    karena pihak yang membeli perusahaan atau asetnya adalah manajemen internal
    dari perusahaan itu sendiri. Ini membuatnya berbeda dari akuisisi
    konvensional yang biasanya melibatkan pihak eksternal. Karakteristik
    Utama:
  a.      
    Pelakunya adalah manajemen internal (bukan pihak eksternal);
  b.      
    Biasanya didanai melalui kombinasi hutang (leverage) dan ekuitas yang diinvestasikan oleh manajemen;
  c.      
    Dapat terjadi ketika pemilik ingin keluar dari perusahaan atau ketika
    perusahaan induk menjual anak perusahaannya.
  Contohnya, Pendiri Dell, Michael Dell, memimpin proses MBO dengan bantuan
    perusahaan ekuitas swasta, Silver Lake Partners. Transaksi ini
    bernilai $24,4 miliar dan melibatkan pembelian saham dari pemegang saham
    publik untuk menjadikan Dell perusahaan privat.
  7.      
    Akuisisi Terselubung (Backdoor Acquisition)
  Perusahaan kecil atau swasta diakuisisi oleh perusahaan besar untuk masuk
    ke pasar tertentu atau menghindari regulasi ketat, sering kali melalui jalur
    alternatif seperti
    Special Purpose Acquisition Companies (SPAC).  Akuisisi
    terselubung atau backdoor acquisition terjadi ketika sebuah
    perusahaan menggunakan entitas yang sudah terdaftar di bursa saham untuk
    masuk ke pasar saham tanpa harus melalui proses IPO tradisional. Contohnya,
    Social Capital Hedosophia adalah SPAC, yaitu perusahaan cangkang yang
    sudah terdaftar di bursa saham dengan tujuan khusus untuk mengakuisisi
    perusahaan lain. SPAC sendiri tidak memiliki operasional bisnis nyata;
    fungsinya adalah membantu perusahaan lain go public melalui merger
    atau akuisisi. Virgin Galactic menggunakan SPAC milik
    Social Capital Hedosophia untuk masuk ke pasar saham pada tahun 2019,
    menghindari proses IPO tradisional yang biasanya memakan waktu lebih lama
    dan lebih kompleks. Dalam struktur ini, SPAC mengakuisisi atau bergabung
    dengan perusahaan target (Virgin Galactic) sehingga perusahaan target
    langsung menjadi perusahaan publik tanpa IPO. Transaksi antara
    Virgin Galactic dan Social Capital Hedosophia pada 2019 adalah
    Akuisisi Terselubung (Backdoor Acquisition), karena menggunakan SPAC
    untuk menjadi perusahaan publik tanpa proses IPO tradisional.
  8.     
    Akuisisi Konsentris (Concentric Acquisition)
  Akuisisi konsentris adalah pengambilalihan perusahaan lain yang tidak
    bersaing secara langsung tetapi memiliki keterkaitan dalam layanan, produk,
    teknologi, atau saluran distribusi. Tujuan utamanya adalah untuk memperluas
    penawaran produk atau layanan dengan menambahkan elemen yang saling
    melengkapi, sehingga perusahaan dapat menjangkau pasar yang lebih luas atau
    melayani pelanggan dengan solusi yang lebih lengkap. Contohnya, Akuisisi
    YouTube oleh Google, karena hubungan antara keduanya adalah
    komplementer dan memungkinkan ekspansi strategis Google di area yang
    berbeda tetapi saling mendukung dalam industri teknologi dan media
    digital.
Persiapan yang Harus Dilakukan Sebelum Melakukan Akuisisi
  Akuisisi merupakan langkah strategis yang sering kali membawa peluang besar
    bagi pertumbuhan perusahaan, namun prosesnya sangat kompleks dan membutuhkan
    perencanaan yang matang. Keberhasilan akuisisi bergantung pada kemampuan
    perusahaan untuk menargetkan peluang akuisisi yang tidak hanya relevan
    tetapi juga dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan dan pemegang
    saham. 
  Selain itu, penting untuk memastikan bahwa harga yang dibayarkan untuk
    akuisisi tidak melebihi nilai wajar (fair value), guna menghindari
    dampak negatif terhadap keuangan perusahaan. Langkah berikutnya yang tak
    kalah penting adalah mengintegrasikan entitas yang diakuisisi secara cepat
    dan efisien ke dalam bisnis yang sudah ada. Integrasi yang baik menjadi
    kunci untuk memaksimalkan manfaat dan mencapai tujuan strategis dari
    akuisisi.
  Langkah pertama dalam proses akuisisi adalah dengan mengajukan pertanyaan
    mendasar kepada diri sendiri untuk memastikan visi yang jelas. Mengapa
    akuisisi ini merupakan langkah terbaik untuk mengembangkan bisnis Anda?
    Apakah tujuannya untuk mengatasi kelemahan dengan membeli perusahaan yang
    lebih unggul di pasar yang Anda incar? Apakah Anda ingin memperluas
    jangkauan produk atau layanan, mengintegrasikan produksi secara vertikal,
    mencapai skala ekonomi, atau menjadi lebih kompetitif dengan menawarkan
    harga yang lebih rendah? Mungkin juga Anda ingin mendapatkan akses ke sumber
    daya manusia atau talenta baru.
  Tujuan utama dari akuisisi adalah memperkuat posisi strategis perusahaan.
    Oleh karena itu, penting untuk menentukan tujuan tersebut secara spesifik
    sejak awal. Membiarkan diri terpengaruh oleh peluang akuisisi yang tidak
    sesuai dengan visi strategis dapat menjadi keputusan yang berisiko.
    Kejelasan dan fokus pada tujuan strategis adalah kunci untuk memastikan
    akuisisi benar-benar memberikan nilai tambah bagi bisnis Anda.
  Akuisisi suatu Perusahaan, terutama perusahaan besar, bukanlah pekerjaan
    gampang. Banyak hal yang harus diperhatikaan dan biasanya dilakukan oleh
    suatu Tim Akuisisi. Tim ini terdiri dari:
  a.      
    Pihak Banker, yang akan bertugas menelaah bidang finansial.
  b.     
    Pihak lawyer, yang akan menelaah bidang hukum dan pajak.
  c.      
    Pihak akuntan, yang akan menelaah bidang akuntansi dan pajak.
d. Pihak Appraiser, yang akan menilai asset-aset.[3]
Kerangka Hukum Akuisisi di Indonesia
  Dalam hukum di Indonesia ketentuan mengenai akuisisi atau pengambilalihan
    ini diatur dalam beberapa aturan yang relevan, antara lain:
  1.       
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
    Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sebagaimana telah diubah
    dengan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (vide Pasal 118 Angka 1 sampai dengan Angka 6 Peraturan Pemerintah Pengganti
        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
        Kerja
    sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang, sebagaimana
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
        Cipta Kerja menjadi Undang-Undang);
  2.      
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
    Terbatas;
  3.     
    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2010 tentang
    Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Saham yang Dapat Menyebabkan
    Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
  4.      
    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2021 tentang
    Pelaksanaan Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (vide dengan catatan, Pasal 23 yang menyatakan: “Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan
      pelaksanaan yang mengatur mengenai larangan praktek Monopoli dan
      persaingan usaha tidak sehat,
      yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap
          berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
          Pemerintah ini.”);
  5.      
    Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
    2021 tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Denda Pelanggaran Praktek Monopoli Dan
    Persaingan Usaha Tidak Sehat;
  6.     
    Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
    2023 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan
    Usaha Tidak Sehat;
  7.      
    Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
    2023 tentang Penilaian terhadap Penggabungan, Peleburan, atau
    Pengambilalihan Saham dan/atau Aset yang dapat Mengakibatkan Terjadinya
    Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat;
  8.     
    Peraturan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 4
    Tahun 2022 tentang Penentuan Pasar Bersangkutan;
  Aturan yang juga relevan:
  1.       
    Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 74 /POJK.04/2016
    tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka;
  2.      
    Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 21 /POJK.03/2019
    tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Perkreditan Rakyat
    dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan
  3.     
    Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 41/POJK.03/2019
    tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi
    Bank Umum.
  Menurut M. Yahya Harahap[4], perbuatan hukum pengambilalihan termasuk bidang hukum kontrak atau hukum
    perjanjian (verbintenissenrecht) sebagaimana yang diatur dalam buku
    Ketiga KUHPerdata. Khususnya, Bab Kedua tentang Perikatan-Perikatan yang
    dilakukan dari kontrak atau persetujuan yang meliputi Bagian Kesatu mengenai
    Ketentuan Umum (Pasal 1313 – 1319). Bagian Kedua tentang syarat-syarat yang
    diperlukan untuk sahnya persetujuan (Pasal 1320 – 1337) dan Bagian Ketiga
    tentang akibat persetujuan (Pasal 1338 – 1341).
  Dengan demikian, apabila ditinjau secara yuridis pengambilalihan atau
    akuisisi merupakan persetujuan antara pihak yang diambil alih dengan yang
    mengambilalih.
Siapa yang Memiliki Kapasitas Membuat Kesepakatan Pengambilalihan
  Siapa yang berkompeten atau memiliki kapasitas menjadi pihak dalam
    kesepakatan atau perbuatan hukum akuisisi atau pengambilalihan? Mari kita
    perhatikan ketentuan
    Pasal 125 ayat (2) UU tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan bahwa:
  “Pengambilalihan dapat dilakukan oleh
    badan hukum
    atau
    orang perseorangan.”
  Artinya, yang pihak yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan
    melakukan akuisisi atau pengambilalihan adalah badan hukum (rechtspersoon/legal entity) atau
    orang perseorangan (natuurlijke persoon/Natural Person).
    Sedangkan, cara pengambilalihan, apabila ia adalah badan tersebut melalui
    Direksi Perseroan atau dapat juga melalui pemegang saham
    (shareholders) yang bersangkutan.[5]
Badan hukum yang dimaksud di sini tidak harus dan tidak hanya Perseroan Terbatas (“PT”) saja, akan tetapi bisa juga berupa Yayasan dan Koperasi yang juga merupakan Badan Hukum atau bahkan “Perkumpulan” yang juga merupakan Badan Hukum.
  Kemudian, mengenai objek atau pokok persoalaan tertentu (bepaalde onderwerp) dari akuisisi:
  -       
    Adanya kesepakatan pengambilalihan “saham” Perseroan; dan
  -       
    Kuantitas (besaran) saham Perseroan yang dapat diambil alih, bisa
    “seluruhnya” atau “Sebagian besar” saham Perseroan bersangkutan.[6]
  Dalam UU tentang Perseroan Terbatas yang terakhir telah diubah dalam UU
    tentang Cipta Kerja, tidak disebutkan terkait frasa “seluruhnya” atau
    “Sebagian besar” akan tetapi disebutkan apabila terjadi pengambilalihan
    (akuisisi) secara keseluruhan, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
    Pasal 7 ayat (1) dan Ayat (5) UU tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan:
  (1)     
    Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang
    dibuat dalam bahasa Indonesia. dan
  (5)    
    Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi
    kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
    terhitung sejak keadaan tersebut,
    pemegang saham yang bersangkutan wajib:
  a.    
    mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain; atau
  b.    
    Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
  Apabila dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut dilampaui, pemegang
    saham tetap kurang dari 2 (dua) orang:
  a.      
    pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi (personal liability)
    atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan
b. atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.[7]
  Hanya, ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang
    atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), dan ayat (6) tidak
    berlaku bagi:
  a.      
    persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
  b.     
    badan usaha milik daerah;
  c.      
    badan usaha milik desa;
  d.     
    Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,
    lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; atau
  e.      
    Perseroan yang memenuhi kriteria untuk usaha mikro dan kecil.[8]
Akibat Hukum Pengambilalihan (Akuisisi)
  Akibat yang timbul dari segi hukum Perusahaan maupun dari aspek bisnis,
    “beralihnya pengendalian” terhadap Perseroan dari tangan yang diambil alih
    tidak mengakibatkan Perseroan yang diambil alih, menjadi bubar atau
        berakhir. Pengambilalihan sebagaimana dimaksud adalah pengambilalihan saham yang
    mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut.[9]
  Selanjutnya apabila kita cermati ketentuan
    Pasal 125 ayat (4) UU tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan bahwa:
  “Dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan,
    Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus
      berdasarkan keputusan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran
    dan
    ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 89.”
  Pasal 125 ayat (4) tersebut di atas secara spesifik menegaskan bahwa
    apabila suatu pengambilalihan (akuisisi) dilakukan oleh badan hukum yang
    berbentuk perseroan, sebelum melakukan perbuatan akuisisi, direksi dari
    perseroan tersebut wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari RUPS
    dan persetujuan ini harus memenuhi ketentuan mengenai kuorum kehadiran dan
    syarat pengambilan keputusan yang diatur dalam Pasal 89 UU PT. Artinya,
    keputusan direksi untuk melaksanakan pengambilalihan tidak dapat
      dilakukan secara sepihak, tetapi harus melalui mekanisme internal perusahaan yang melibatkan
    pemegang saham melalui RUPS.
  Kemudian, Pasal 89 UU tentang Perseroan Terbatas memberikan
    penjelasan rinci mengenai kuorum kehadiran dan syarat pengambilan keputusan
    dalam RUPS yang diselenggarakan untuk menyetujui tindakan-tindakan penting
    yang satu di antaranya adalah “pengambilalihan” atau “akuisisi”. RUPS dapat
    dilangsungkan jika dihadiri oleh
    paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari seluruh saham
    dengan hak suara, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Keputusan
    yang diambil dalam rapat tersebut
    dinyatakan sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat)
        bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.
  Jika kuorum kehadiran ini tidak tercapai, Pasal 89 memberikan solusi
    melalui mekanisme RUPS kedua. Dalam RUPS kedua, kuorum kehadiran yang
    diperlukan diturunkan menjadi
    2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dengan tetap mempertahankan syarat bahwa keputusan harus disetujui oleh
    paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang
    dikeluarkan. Ketentuan ini memberikan fleksibilitas untuk memastikan bahwa
    keputusan strategis, seperti pengambilalihan, dapat tetap dilakukan meskipun
    kuorum pada RUPS pertama tidak terpenuhi.
  Pasal 89 juga menyatakan bahwa ketentuan mengenai kuorum kehadiran dan
    pengambilan keputusan dalam RUPS berlaku pula bagi Perseroan Terbuka,
    sepanjang tidak ada pengaturan lain dalam peraturan perundang-undangan di
    bidang pasar modal. Selain itu, mekanisme tambahan terkait tata cara
    penyelenggaraan RUPS seperti:
  a.      
    Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada
    ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
    Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS
    ketiga;
  b.     
    Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah
    dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan
    dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri;
  c.      
    Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS tentang ditetapkan
    kuorum untuk RUPS ketiga bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
    tetap.
  d.     
    Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling
    lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan; dan
  e.      
    RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10
    (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang
    mendahuluinya dilangsungkan.
  Hal tersebut di atas berlaku secara mutatis mutandis (dengan
    penyesuaian) untuk pelaksanaan RUPS yang dimaksud dalam Pasal 89 UU tentang
    Perseroan Terbatas.
  Lantas, bagaimana apabila ada pemegang saham tidak setuju dengan Keputusan
    RUPS tersebut?
  Ketentuan dalam
    Pasal 126 ayat (2) UU tentang Perseroan Terbatas memberikan
    hak kepada pemegang saham yang tidak menyetujui keputusan RUPS mengenai
    pengambilalihan (akuisisi) untuk menggunakan haknya sebagaimana diatur dalam
    Pasal 62 UU tentang Perseroan Terbatas. Pasal ini memberikan mekanisme perlindungan bagi pemegang saham yang
    merasa keberatan terhadap tindakan perseroan yang menurutnya dapat merugikan
    dirinya atau Perseroan itu sendiri.
  Pasal 62 UU tentang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa setiap pemegang
    saham memiliki hak untuk meminta kepada perseroan agar membeli kembali saham
    miliknya dengan harga yang wajar (fair value) apabila mereka tidak
    menyetujui tindakan tertentu yang dilakukan oleh perseroan. Tindakan yang
    dimaksud meliputi perubahan anggaran dasar,
    pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang nilainya lebih dari
      50% kekayaan bersih perseroan, serta tindakan seperti penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
    atau pemisahan. Ketentuan ini memberikan pemegang saham peluang untuk keluar
    dari perseroan dengan kompensasi yang adil jika mereka tidak sepakat dengan
    keputusan yang dibuat oleh RUPS tersebut.
  Namun, ada batasan yang diatur dalam
    Pasal 37 ayat (1) huruf b UU tentang Perseroan Terbatas, yaitu bahwa perseroan hanya dapat membeli kembali saham yang telah
    dikeluarkan dengan ketentuan nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali
    tidak boleh melebihi 10% dari jumlah modal yang ditempatkan dalam
        perseroan. Apabila permintaan pembelian kembali saham dari pemegang saham melebihi
    batas ini, perseroan diwajibkan untuk mencari pihak ketiga yang bersedia
    membeli sisa saham tersebut.[10]
    Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas keuangan perseroan dan
    menghindari dampak negatif terhadap modal perseroan akibat pembelian kembali
    saham dalam jumlah besar.
  Lebih lanjut,
    Pasal 126 ayat (3) UU tentang Perseroan Terbatas menegaskan
    bahwa penggunaan hak oleh pemegang saham yang tidak setuju terhadap
    keputusan RUPS, termasuk meminta pembelian kembali sahamnya,
    tidak akan menghentikan proses pelaksanaan pengambilalihan tersebut.
    Dengan kata lain, proses tersebut tetap dapat berjalan sesuai keputusan RUPS
    meskipun terdapat pemegang saham yang menolak keputusan tersebut dan
    menggunakan haknya untuk meminta pembelian saham.
  Ketentuan ini memberikan keseimbangan antara kepentingan mayoritas pemegang
    saham (majority shareholders) yang telah menyetujui keputusan RUPS
    dan perlindungan terhadap hak minoritas (minority
    shareholders) yang menolak keputusan tersebut. Pemegang saham
    minoritas memiliki jalur untuk melindungi investasinya tanpa menghalangi
    keberlangsungan keputusan strategis yang telah diambil oleh mayoritas dalam
    RUPS. Namun, batasan mengenai pembelian kembali saham yang ditetapkan dalam
    Pasal 37 ayat (1) huruf b menunjukkan bahwa “UU tentang Perseroan Terbatas” juga berupaya untuk melindungi stabilitas keuangan perseroan, memastikan
    bahwa perseroan tidak terbebani oleh pembelian saham dalam jumlah besar yang
    dapat mengganggu operasionalnya.
Secara keseluruhan, regulasi ini mencerminkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), di mana hak-hak pemegang saham dihormati sambil tetap menjaga keseimbangan antara keputusan strategis perusahaan dan perlindungan terhadap kepentingan minoritas.
  Kemudian melanjutkan setelah Keputusan RUPS tersebut memenuhi persyaratan
    untuk dilakukan akuisisi, setelah itu dilakukan, melalui Direksi tadi, pihak
    yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan
    pengambilalihan kepada Direksi Perseroan yang akan diambil alih.[11]
    
  Catatan:
    Perlu diingat bahwa Yang dimaksud dengan “pihak yang akan mengambil alih”
    adalah Perseroan, badan hukum lain yang bukan Perseroan, atau
    orang perseorangan.[12]
    
  a.      
    Perseroan yang dimaksud di sini adalah Perseroan Terbatas (“PT”),
    yaitu:
  1.       
    badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
    dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham; atau
  2.      
    badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil
    sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro
    dan kecil;
  b.     
    Badan hukum lainnya yang bukan Perseroan yaitu seperti koperasi,
    yayasan, atau badan hukum lainnya yang diakui berdasarkan peraturan
    perundang-undangan;
  c.      
    Kemudian, orang perseorangan.
  Direksi Perseroan yang akan diambil alih dan Perseroan yang akan mengambil
    alih dengan persetujuan Dewan Komisaris
    masing-masing menyusun rancangan Pengambilalihan yang memuat
    sekurang-kurangnya:
  a.      
    nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan
    Perseroan yang akan diambil alih;
  b.     
    alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan
    Direksi Perseroan yang akan diambil alih;
  c.      
    laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a untuk
    tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan
    yang akan diambil alih;
  d.     
    tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil
    alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran Pengambilalihan dilakukan
    dengan saham;[13]
  e.      
    jumlah saham yang akan diambil alih; 
  f.       
    kesiapan pendanaan;
  g.     
    neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah
    Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
    umum di Indonesia;
  h.     
    cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap
    Pengambilalihan;
  i.       
    cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan
    Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih;
  j.       
    perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka waktu
    pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi
    Perseroan;
  k.      
    rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila
    ada.[14]
  Dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham,
    ketentuan sebagaimana dimaksud tidak berlaku.[15]
     Mengingat, bahwa pengambilalihan saham Perseroan lain
    langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat
        rancangan Pengambilalihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak
    yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan
    anggaran dasar Perseroan yang diambil alih.[16]
    tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh
    Perseroan dengan pihak lain.[17]
    
Syarat Pengambilalihan (Akuisisi)
  Mengenai syarat pengambilalihan, wajib memperhatikan kepentingan:
  a.      
    Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
  b.     
    kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
  c.      
    masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.[18]
Saham yang dapat Diambil Alih dan Caranya
  Pasal 125 ayat (1) mengatur saham yang dapat diambil alih, sedangkan ayat
    (4) dan ayat seterusnya mengatur cara pengambilalihan. Mengenai saham yang
    dapat diambil alih dapat dilakukan terhadap:
  1.       
    Saham yang telah dikeluarkan; dan/atau
  2.      
    Saham yang akan dikeluarkan.
  Artinya, menurut hukum, saham Perseroan yang dapat diambil alih adalah
    saham yang telah ditempatkan dan disetor (geplaatst aandelenkapitaal en (Vol)gestort aandelenkapitaal | subscribed and paid-up share). Akan tetapi, dapat juga terhadap
    saham yang belum keluar atau yang akan dikeluarkan (aandelen in portefeuille) atau saham portefel (portfolio).[19]
Cara Pengambilalihannya
  Cara pengambilalihannya (akuisisi) dapat dilakukan:
  1.       
    Melalui Direksi Perseroan; atau
  2.      
    Dapat langsung dari Pemegang Saham.
Tidak mutlak harus melalui Direksi Perseroan atau harus hanya melalui Pemegang Saham. Bebas dipilih salah satu di antaranya. Mungkin ada yang berpendapat lebih efisien langsung dengan pemegang saham apalagi jika saham yang hendak diambil alih jumlahnya tidak signifikan. Tergantung strategi juga melihat hal ini.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
      [1]
        Michael A. Hitt., dkk., “Manajemen Strategis: Daya Saing &
        Globalisasi”, (Jakarta: Salemba Empat, 2002), 59.
      [2] Munir Fuady, “Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO”, (Bandung : PT
        Citra Aditya Bakti, 2001), 5.
      [3] Budi Untung, “Hukum Akuisisi”, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2020),
        5.
      [4]
        M. Yahya Harahap, “Hukum Perseroan Terbatas”, (Jakarta: Sinar Grafika,
        2021), 507-508.
      [5]
        vide Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [6] vide Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
        1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan
        Terbatas.
      [7]
        vide Pasal 109 Angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti
        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
        sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang, sebagaimana
        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
        Cipta Kerja menjadi Undang-Undang sebagaimana telah mengubah ketentuan
        Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
        tentang Perseroan Terbatas.
      [8]
        vide Pasal 109 Angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti
        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
        sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang, sebagaimana
        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
        Cipta Kerja menjadi Undang-Undang sebagaimana telah mengubah ketentuan
        Pasal 7 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
        tentang Perseroan Terbatas.
      [9]
        vide Pasal 125 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [10]
        vide Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [11]
        vide Pasal 125 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [12]
        vide Penjelasan Pasal 125 ayat (5) Undang-Undang Republik
        Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [13]
        Dalam tata cara konversi saham ditetapkan harga wajar saham dari
        Perseroan yang diambil alih serta harga wajar saham penukarnya untuk
        menentukan perbandingan penukaran saham dalam rangka konversi saham (vide Penjelasan Pasal 126 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
      [14]
        vide Pasal 125 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [15]
        vide Pasal 125 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [16]
        vide Penjelasan Pasal 125 ayat (7) Undang-Undang Republik
        Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [17]
        vide Pasal 125 ayat (8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [18]
        vide Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
        Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
      [19]
        M. Yahya Harahap, “Hukum Perseroan Terbatas”, op.cit, 510.


