Pertanyaan
Terdapat praktik di lapangan yang memunculkan persoalan hukum dan
berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak korban dalam sistem
peradilan pidana. Dalam suatu kasus penanganan tindak pidana oleh Penyidik
Subdit IV Renakta Polda di salah satu daerah, diketahui bahwa korban telah
mengajukan permohonan restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Republik Indonesia (LPSK RI) sesuai dengan haknya berdasarkan ketentuan
perundang-undangan. Namun, penyidik justru menyarankan agar korban mencabut
permohonan restitusi tersebut. Alasannya, berkas perkara belum lengkap
(P-19) dan belum dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan (P-21) karena
permohonan restitusi belum rampung, sementara masa penahanan tersangka akan
segera berakhir pada tanggal 30 Juni 2025.
Mohon izin sebelumnya bang, mohon dikoreksi apabila saya keliru, setahu
saya, secara konseptual, restitusi merupakan bagian dari hak korban yang
dijamin dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
(Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006) dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Hak tersebut bersifat otonom dan tidak seharusnya dijadikan alasan
penghentian proses hukum terhadap pelaku.
Namun dalam praktik ini, permohonan restitusi yang belum dilengkapi justru
dijadikan dasar oleh pihak penyidik dan jaksa untuk menyatakan berkas belum
lengkap, sehingga apabila tidak segera dilengkapi maka tersangka akan
dibebaskan demi hukum karena batas waktu penahanan telah habis. Coba bang,
boleh pandangan hukumnya. Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Sebelumnya perlu kami tegaskan bahwa jawaban ini disampaikan sebagai bentuk
analisis hukum yang bersifat objektif, independen, dan didasarkan pada
kerangka hukum positif, praktik peradilan, serta pengalaman dan pemahaman
kami dalam bidang hukum pidana dan hukum acara pidana. Jawaban kami ini
tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pihak mana pun, melainkan sebagai
kontribusi dalam membangun diskursus hukum yang kritis dan bertanggung
jawab.
Baik, sebagaimana yang Anda sudah jelaskan sebelumnya bahwa
terdapat permintaan Penyidik Subdit IV Renakta dari suatu Polda kepada
korban untuk mencabut permohonan restitusi dengan alasan dapat menyebabkan
tersangka bebas demi hukum karena berkas belum P-21 menjelang berakhirnya
masa tahanan, menurut kami hal tersebut adalah
sebuah kekeliruan fundamental dalam penerapan hukum acara pidana dan
pemahaman atas hak korban yang dijamin oleh undang-undang. Secara yuridis, permohonan restitusi tidak dapat dan tidak seharusnya
menjadi penghalang untuk melanjutkan proses pidana pokok (suatu pembuktian
tindak pidana). Tindakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan semangat
perlindungan korban, tetapi juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam
sistem peradilan pidana Indonesia.
Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Ilmu pengetahuan mengenai korban tindak pidana, atau yang kemudian dikenal
sebagai viktimologi, mulai berkembang antara tahun 1948 hingga 1958.
Satu di antara pelopor utama dalam bidang ini adalah Hans von Hentig, yang
melalui karyanya berjudul The Criminal and His Victim (1949),
memperkenalkan perspektif baru dalam kajian kriminologi. Ia menyatakan bahwa
dalam setiap peristiwa pidana, tidak cukup hanya menyoroti aspek pelaku
(offender), tetapi perlu pula dianalisis keterlibatan dan peran
korban (victim) secara interaktif. Pendekatan ini membuka pemahaman
bahwa tindak pidana kerap kali merupakan hasil dari suatu
inter-relationship atau hubungan timbal balik antara pelaku dan
korban.[1]
Namun, secara kronologis, gagasan tentang korban sebenarnya telah terlebih
dahulu dikaji oleh Benjamin Mendelsohn dan Marvin E. Wolfgang pada tahun
1947. Mendelsohn bahkan secara eksplisit memperkenalkan istilah
victimology sebagai “the science of the victim.” Fokus kajian
tersebut terletak pada korban kejahatan (victim of crime), tidak
hanya dalam aspek penderitaan yang dialaminya, tetapi juga dalam menelusuri
kontribusi atau peran korban dalam memicu atau memperkuat terjadinya tindak
pidana. Wolfgang, dalam penelitiannya mengenai kasus homicide,
mengamati bagaimana beberapa korban secara aktif turut memicu aksi
kekerasan, yang disebutnya sebagai “victim precipitation”.[2]
Pandangan ini melahirkan satu cabang pemikiran penting dalam hukum pidana
modern, yaitu hak korban atas kompensasi atau restitusi. Di
Indonesia, gagasan ini mendapatkan resonansi melalui pemikiran Mardjono
Reksodiputro[3], yang menegaskan bahwa negara tidak dapat sepenuhnya melepaskan tanggung
jawab atas munculnya korban. Menurutnya, keberadaan korban kejahatan adalah
cermin dari kegagalan negara dalam melindungi warganya. Oleh karena itu,
negara seharusnya tidak hanya memfokuskan upaya pada penegakan hukum
terhadap pelaku, tetapi juga bertanggung jawab secara moral dan hukum dalam
memberikan ganti rugi (compensation) sebagai bagian dari pemulihan
keadilan bagi korban.
Berbagai fakta empirik menunjukkan bahwa terjadinya suatu tindak pidana
tidak semata-mata disebabkan oleh peranan korban, tetapi juga dipengaruhi
oleh kegagalan negara—yang diwakili oleh pemerintah—dalam menjalankan fungsi
konstitusionalnya untuk menjamin rasa aman kepada warga negara. Ketiadaan
jaminan perlindungan atas keamanan publik, baik di fasilitas umum, sarana
transportasi, maupun ruang-ruang publik lainnya, secara faktual menciptakan
kondisi rawan yang memperbesar kemungkinan masyarakat menjadi korban
kejahatan. Oleh karena itu, negara bukan hanya berperan sebagai penegak
hukum atas pelaku, tetapi juga secara moral dan yuridis memiliki tanggung
jawab untuk memulihkan kondisi korban, termasuk melalui mekanisme restitusi
atau kompensasi yang layak.
Dalam dinamika sistem peradilan pidana, korban merupakan pihak yang secara
langsung menanggung penderitaan akibat tindak pidana. Namun ironisnya, dalam
banyak hal, posisi korban justru berada dalam ruang perlindungan hukum yang
lebih lemah dibanding pelaku kejahatan itu sendiri. Kondisi ini mencerminkan
ketimpangan normatif yang mengakar dalam hukum pidana Indonesia, di mana
peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada hak-hak
tersangka dan terdakwa dibanding kepentingan pemulihan korban.
Akibatnya, setelah pelaku dijatuhi pidana oleh pengadilan dan memperoleh
status hukum tetap (inkracht), keadaan korban kerap kali
terabaikan—baik secara psikologis, sosial, maupun ekonomis. Hal ini menjadi
semakin krusial dalam kasus-kasus di mana alat bukti material tidak
mencukupi, sehingga keterlibatan dan kesaksian korban justru menjadi elemen
vital dalam proses pembuktian. Peran sentral korban dalam tahap penyidikan
akan tetap berlanjut hingga tahapan penuntutan dan persidangan.
Sebelum hadirnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, kerangka perlindungan terhadap korban bergantung pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPidana”) sebagai hukum materiil dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai hukum formil. Sayangnya,
baik KUHPidana maupun KUHAP lebih dominan mengatur perlindungan terhadap
pelaku, terutama dalam menjamin prinsip fair trial,
presumption of innocence, dan hak atas pembelaan, daripada pemenuhan
hak-hak korban.
Hadirnya
Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan
lompatan yuridis penting dalam memperbaiki orientasi sistem peradilan pidana
yang lebih adil. Sebagaimana ketentuan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 secara eksplisit
menyebutkan bahwa:
“Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada
saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana.”
Norma tersebut bukan sekadar simbol formal, melainkan bentuk afirmasi
negara bahwa perlindungan hukum tidak hanya berlaku bagi pelaku, tetapi juga
kepada mereka yang menjadi korban kejahatan. Prinsip ini penting untuk
menjaga keseimbangan antara penegakan hukum yang represif dan pemulihan yang
restoratif.
Kompensasi dan Restitusi dalam Perspektif Hukum Perlindungan Korban
Dalam kerangka hukum perlindungan korban tindak pidana, 2 (dua) konsep
penting yang patut dibedakan secara tegas adalah restitusi dan
kompensasi. Keduanya merupakan bentuk reparasi terhadap kerugian yang
dialami korban, tetapi memiliki dasar dan subjek pemberi yang berbeda secara
yuridis.
Restitusi adalah hak korban untuk memperoleh ganti kerugian secara langsung
dari pelaku tindak pidana atau pihak ketiga yang bertanggung jawab.
Restitusi dapat berupa pengembalian harta, pembayaran kerugian atas
penderitaan, atau biaya medis dan rehabilitasi lainnya. Pengertian ini
secara eksplisit tercantum dalam
Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
serta ditegaskan kembali dalam
Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan
Korban, selanjutnya disebut dengan “PP tentang Kompensasi dan Restitusi”,
yang menyatakan bahwa:
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.”
Sebaliknya, kompensasi diberikan oleh negara dalam hal pelaku tindak pidana
tidak mampu memberikan ganti kerugian. Artinya, kompensasi adalah bentuk
tanggung jawab negara sebagai last resort untuk memastikan adanya
pemulihan hak korban. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
yang menyebutkan:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya kepada korban atau keluarganya.”
Lebih lanjut, hak korban untuk mengajukan permohonan restitusi juga diatur
dalam Pasal 7A ayat (1) dan
ayat (4) Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
serta diatur secara teknis dalam Pasal 21
PP tentang Kompensasi dan Restitusi, yang menyatakan
bahwa pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah
pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Melalui peraturan tersebut,
negara menegaskan kedudukan restitusi dan kompensasi sebagai instrumen
pemulihan, bukan hambatan dalam proses pidana. Apabila pengajuan restitusi justru dijadikan alasan untuk menyatakan
berkas perkara pidana belum lengkap (P-19) dan mengancam penghentian proses
pidana, maka hal ini mencederai prinsip due process of law dan
semangat keadilan restoratif yang menjadi dasar reformasi hukum pidana di
Indonesia.
Dasar Hukum Restitusi dalam Sistem Peradilan Pidana
Bahwa kami mengambil beberapa contoh ketentuan mengenai dasar hukum yang
kuat terkait restitusi ini dalam Sistem Peradilan Pidana, seperti dalam
ketentuan Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang TPKS”, jelas menegaskan hak
korban atas restitusi. Permohonan restitusi dapat diajukan langsung oleh
korban, keluarga, atau melalui LPSK, dan diteruskan ke pengadilan melalui
Jaksa. Ini memperkuat posisi korban dalam proses pidana. Bahkan disebutkan
Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku Tindak
Pidana Kekerasan Seksual sebagai jaminan Restitusi dengan izin pengadilan
negeri setempat.
Kemudian dalam UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU ini memberikan
mandat kepada LPSK RI untuk membantu pengajuan restitusi korban di
pengadilan. LPSK berfungsi sebagai fasilitator, pelindung, dan pendamping
hukum korban, guna memastikan hak korban terlaksana secara efektif.
Selanjutnya, bukan hanya ketentuan-ketentuan di atas yang mengatur secara
baik restitusi tersebut, bahkan Mahkamah Agung Republik Indonesia (“MARI”)
melalui
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi
kepada Korban Tindak Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “Perma 1/2022”, yang mana aturan ini
menjadi pedoman teknis utama restitusi:
a)
Pasal 2, menetapkan jenis tindak pidana yang diperbolehkan restitusi seperti
perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme,
perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak,
serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b)
Pasal 4, merinci bentuk restitusi yang mana menyebutkan
bahwa korban berhak memperaleh Restitusi berupa:
-
ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/ atau penghasilan;
-
ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat
penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
-
penggantian biaya perawatan medis clan/ atau psikolagis; dan/atau
-
kerugian lain yang diderita oleh korban sebagai akibat tindak pidana,
termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang
berhubungan dengan proses hukum.
c)
Pasal 5, menetapkan ketentuan atau persyaratan administratif pengajuan—harus
tertulis, bahasa Indonesia, dan dapat diajukan oleh korban atau Kuasanya,
ahli waris, keluarga, LPSK RI, penyidik, atau jaksa.
d)
Pasal 9, menegaskan bahwa permohonan restitusi tidak menghapus hak korban untuk
menempuh jalur perdata bila restitusi ditolak atau dirasa belum mencukupi.
Kemudian, juga terdapat ketentuan Pasal 98 KUHAP, pasal ini membuka
ruang agar ganti rugi korban digabungkan dalam perkara pidana—sebagai bentuk
restitusi melalui proses pidana, bukan terpisah lewat gugatan perdata.
Sehingga menurut pandangan kami, ratio legis (alasan pembentukan
Undang-Undang tersebut di atas), tujuan utama diaturnya restitusi dalam
proses pidana adalah untuk mempermudah, mempercepat, dan menjamin korban
mendapatkan pemulihan. Menggabungkannya dengan perkara pidana adalah sebuah
efisiensi, agar korban tidak perlu lagi mengajukan gugatan perdata terpisah
yang memakan waktu dan biaya. Jika proses permohonan restitusi justru
menjadi alasan untuk menghentikan atau membebaskan pelaku, maka ratio legis
dari seluruh peraturan di atas menjadi gugur dan tidak bermakna. Hal ini
adalah sebuah kontradiksi hukum yang absurd.
Apa yang Dimaksud “Berkas Perkara Belum Lengkap” (P-19)?
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, mekanisme
pra-penuntutan diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), terutama dalam Pasal 110 ayat (2) dan
Pasal 138 ayat (1) KUHAP. Prosedur tersebut merupakan rangkaian
proses antara penyidik (Polri) dan penuntut umum (Jaksa) yang bertujuan
untuk menjamin terpenuhinya persyaratan formil dan materiil suatu berkas
perkara sebelum diajukan ke pengadilan.
Penyidik menyusun berkas perkara hasil penyidikan dan menyerahkannya kepada
penuntut umum. Apabila Jaksa menilai berkas belum lengkap, maka jaksa
mengembalikannya ke penyidik dengan petunjuk resmi melalui formulir P-19.
Sedangkan, apabila berkas telah lengkap, jaksa menerbitkan Surat
Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P-21).
Pengertian “Berkas Lengkap” dalam Perspektif KUHAP
Merujuk pada Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 138 ayat (1) KUHAP,
kelengkapan berkas perkara dibagi menjadi dua dimensi:
1)
Kelengkapan Formil meliputi dokumen administratif seperti Laporan Polisi
(“LP”), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Surat Perintah Penangkapan,
Surat Perintah Penahanan, identitas tersangka, dan kelengkapan legal formal
lainnya; sedangkan
2)
Kelengkapan Materiil, merujuk pada adanya 2 (dua) alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP (keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa) yang secara kumulatif telah
cukup meyakinkan penuntut umum bahwa peristiwa pidana dan keterlibatan
tersangka dapat dibuktikan.
Apakah Restitusi Termasuk Kelengkapan Materiil?
Secara yuridis, permohonan restitusi bukan merupakan bagian dari syarat
formil maupun materiil dalam penilaian kelengkapan berkas perkara
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Restitusi adalah konsekuensi hukum atas timbulnya kerugian yang dialami
korban akibat suatu tindak pidana, namun bukan merupakan bagian dari
unsur-unsur delik yang wajib dibuktikan oleh Penuntut Umum dalam surat
dakwaan.
Dengan demikian, ketiadaan dokumen restitusi dalam berkas perkara tidak
serta-merta menjadikan berkas tersebut tidak lengkap secara materiil, dan
karenanya tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa tersangka harus
dibebaskan demi hukum. KUHAP hanya mensyaratkan kelengkapan berkas secara
formil dan materiil—yang mencakup adanya minimal dua alat bukti yang sah (vide Pasal 184 KUHAP), dan bukan termasuk adanya perhitungan restitusi
atau asesmen dari LPSK RI.
Memang, dalam praktik, apabila permohonan restitusi diajukan sebelum berkas
perkara dilimpahkan ke pengadilan, maka penuntut umum wajib mencantumkan
permohonan tersebut ke dalam surat tuntutan dan menyertakannya sebagai
bagian dari lampiran berkas perkara. Hal ini diatur secara tegas dalam
Pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Meskipun dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang
tentang TPKS, restitusi menjadi salah satu hak korban yang harus
difasilitasi dalam proses pidana, namun kewajiban untuk mengajukan dan
melampirkan restitusi bersifat administratif-komplementer, dan bukan
merupakan bagian dari unsur formil maupun materiil kelengkapan berkas
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 138 ayat (1)
KUHAP.
Dengan demikian, apabila asesmen restitusi dari LPSK belum selesai, jaksa
memang secara teknis dapat mengembalikan berkas perkara melalui mekanisme
P-19 dengan petunjuk untuk dilengkapi. Namun, petunjuk tersebut harus
didasarkan pada kekurangan terkait unsur delik atau alat bukti, bukan
semata-mata karena absennya rincian restitusi. Hal ini karena restitusi
adalah konsekuensi dari tindak pidana, bukan elemen pembuktian deliknya.
Lebih lanjut, dalam konteks penahanan, Pasal 24 sampai dengan Pasal 28
KUHAP memang mengatur batas maksimum waktu penahanan pada setiap tahap
proses pidana. Apabila hingga masa penahanan berakhir berkas perkara belum
dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan, maka secara hukum
tersangka memang harus dibebaskan demi hukum. Namun, pembebasan ini
merupakan konsekuensi administratif dari pengelolaan waktu penahanan, bukan
akibat langsung dari belum rampungnya permohonan restitusi.
Oleh karena itu,
menyandarkan ketidaklengkapan berkas perkara semata-mata pada belum
selesainya asesmen restitusi merupakan kekeliruan dalam memahami hukum
acara pidana. Hal ini juga bertentangan dengan asas due process of law dan dapat
mengakibatkan pengabaian terhadap hak korban untuk mendapatkan pemulihan
yang dijamin secara tegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
termasuk dalam UU tentang TPKS, UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
serta PERMA Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Restitusi dan Kompensasi.
Solusi Hukum terhadap Persoalan Restitusi dalam Hubungan dengan P-21
Argumen yang menyatakan bahwa keberadaan permohonan restitusi menjadi
penghambat bagi penuntut umum untuk menyatakan berkas lengkap (P-21) adalah
keliru secara yuridis. Sistem hukum acara pidana Indonesia telah menyediakan
mekanisme yang jelas dan solutif, sebagaimana diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang relevan.
Pertama, dapat dilihat dari fleksibilitas waktu pengajuan restitusi dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2022, sebagaimana ketentuan
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2022
tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan
Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana
menyatakan bahwa:
“Dalam hal permohonan diajukan melalui penyidik atau LPSK, penyidik atau
LPSK menyampaikan berkas permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 kepada Penuntut Umum disertai Keputusan LPSK mengenai besaran
nilai Restitusi jika terdapat Keputusan dan pertimbangan LPSK mengenai
besaran nilai
Restitusi sebelum berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan atau
paling lambat sebelum Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana.”
Kemudian disebutkan juga dalam ayat Pasal 8 ayat (3) PERMA 1/2022,
tersebut:
“Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum berkas perkara
dilimpahkan, Penuntut Umum wajib memuat permohonan tersebut ke dalam surat
dakwaan dan memasukkan berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ke dalam berkas perkara dan segera menyampaikan salinannya kepada
terdakwa atau penasihat hukumnya.”
Interpretasi normatif (ratio legis) dari pasal-pasal tersebut sangat
jelas bahwa
permohonan restitusi tidak harus selesai pada tahap penyidikan, dan
tidak menjadi syarat untuk menyatakan berkas lengkap secara materiil.
Dengan demikian,
permohonan restitusi yang belum final tidak dapat dijadikan alasan sah
untuk menunda atau menggagalkan proses P-21.
Kedua, terkait mekanisme penanganan yang seharusnya ditempuh, dalam konteks
sistem hukum acara pidana, berikut ini adalah langkah-langkah yang tepat dan
sejalan dengan peraturan yang berlaku:
1.
Penuntut umum seharusnya menyatakan berkas perkara lengkap (P-21) untuk
perkara pokok (tindak pidana), apabila telah terpenuhi syarat 2 (dua) alat
bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan tidak
terdapat kekurangan pada unsur delik;
2.
Koordinasi lanjutan antara Jaksa, korban, dan LPSK RI terkait rincian
permohonan restitusi dapat dilakukan dalam masa antara P-21 hingga
penyusunan surat tuntutan (requisitoir);
3.
Dalam tahap penyusunan tuntutan, penuntut umum memasukkan permohonan
restitusi yang telah dihitung ke dalam surat tuntutan, sebagaimana diatur
dalam
Pasal 28 ayat (3) PP tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
kepada Saksi dan Korban dan PERMA No. 1 Tahun 2022;
4.
Penyidik tidak memiliki kewenangan hukum untuk meminta korban mencabut
permohonan restitusi. Hak korban atas restitusi dilindungi oleh undang-undang, dan pencabutan
hanya dapat terjadi secara sukarela oleh korban, bukan karena tekanan dari
aparat penegak hukum;
5.
Apabila dalam petunjuk P-19 Jaksa menyatakan bahwa berkas belum lengkap
hanya karena belum adanya perhitungan restitusi, maka petunjuk tersebut
harus dipertanyakan. Dalam perspektif hukum acara pidana, restitusi bukan
bagian dari unsur materiil delik, dan oleh karenanya tidak menjadi syarat
pembuktian pokok perkara.
Ketiga, penegasan terhadap peran institusi, perlu diingat bahwa Penyidik bertugas
melengkapi berkas sesuai petunjuk Jaksa, namun ruang lingkupnya terbatas
pada pembuktian delik (unsur pidana) dan bukan pada penghitungan kompensasi
atau restitusi. Sehingga, Penuntut Umum bertanggung jawab untuk menyertakan
permohonan restitusi dalam surat tuntutan, jika permohonan tersebut telah
diajukan secara sah dan lengkap. Sedangkan, LPSK berperan sebagai
fasilitator teknis perhitungan restitusi, yang hasilnya tidak boleh
dijadikan dasar untuk menunda proses P-21 apabila proses asesmen masih
berjalan.
Dengan demikian, menyandarkan tertundanya P-21 atau berkas dinyatakan tidak
lengkap hanya karena perhitungan restitusi belum tersedia merupakan
penyimpangan administratif, bukan persoalan yuridis, dan berpotensi
merugikan korban serta mengabaikan prinsip access to justice dan
keadilan restoratif yang dijamin dalam sistem peradilan pidana modern
Indonesia.
Kesimpulan dan Rekomendasi Hukum
Jawaban Tegas terhadap Pertanyaan Pokok
1.
Apakah permohonan restitusi dapat mengakibatkan tersangka bebas demi
hukum?
Tidak.
Tidak ada satu ketentuan pun dalam sistem hukum acara pidana Indonesia yang
menyatakan bahwa proses permohonan restitusi yang belum selesai dapat
dijadikan dasar untuk membebaskan tersangka demi hukum.
Pembebasan tersangka hanya dapat terjadi apabila
masa penahanan berakhir dan penuntut umum gagal menyatakan berkas lengkap
(P-21)
karena
syarat materiil pembuktian perkara pokok belum terpenuhi (misalnya,
belum cukup alat bukti),
bukan karena permohonan restitusi belum rampung;
2.
Kenapa Jaksa meminta berkas dilengkapi? Apa yang dimaksud “berkas tidak
lengkap”?
Jaksa berwenang mengembalikan berkas (melalui P-19) jika menilai
bahwa belum terdapat minimal 2 (dua) alat bukti yang sah untuk
membuktikan unsur tindak pidana.
Apabila Jaksa menyatakan bahwa
ketiadaan rincian restitusi dari LPSK adalah penyebab tidak lengkapnya
berkas, maka hal itu merupakan penafsiran hukum yang keliru.
Permohonan restitusi bukan bagian dari pembuktian delik, melainkan
hak korban yang bersifat komplementer, dan tidak berkaitan dengan
unsur formil maupun materiil dari suatu tindak pidana.
3.
Apakah ketiadaan restitusi menjadi alasan rasional untuk tidak
melanjutkan perkara?
Sangat tidak rasional dan tidak berdasar hukum. Proses pidana
bertujuan membuktikan kebenaran materiil dan menjerat pelaku sesuai
hukum.
Restitusi hanyalah mekanisme pemulihan bagi korban yang dititipkan dalam
sistem peradilan pidana demi efisiensi dan keadilan restoratif.
Menghentikan atau menunda proses pidana hanya karena restitusi belum
dihitung adalah
ibarat menunda keberangkatan pesawat hanya karena satu penumpang belum
menghitung biaya bagasi—tidak logis dan tidak proporsional.
Saran Tindakan Strategis
1.
Jangan Cabut Permohonan Restitusi
Korban dan/atau kuasa hukumnya
harus secara tegas menolak permintaan pencabutan permohonan
restitusi. Hak atas restitusi dijamin oleh undang-undang, dan pencabutan
tanpa kehendak bebas korban dapat dianggap sebagai bentuk tekanan atau
intimidasi.
2.
Koordinasi dengan LPSK
Segera lakukan komunikasi formal dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) untuk melaporkan permintaan pencabutan oleh penyidik. LPSK
memiliki mandat legal untuk melindungi hak korban, termasuk memberikan
klarifikasi dan edukasi kepada aparat penegak hukum terkait penerapan UU
TPKS dan PERMA No. 1 Tahun 2022.
3.
Kirimkan Surat Resmi ke Instansi Penegak Hukum Terkait
Melalui pendamping hukum atau LPSK, ajukan
surat resmi keberatan kepada:
-
Kepala Kejaksaan Negeri setempat, dan
-
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda setempat.
Surat tersebut harus menjelaskan bahwa proses permohonan restitusi
tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda P-21, sesuai ketentuan
Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2022.
4.
Lakukan Eskalasi jika Perlu
Apabila tidak ada perbaikan respons, pertimbangkan untuk:
-
Mengajukan pengaduan ke Kejaksaan Tinggi, Komisi Kejaksaan, atau
-
Melapor ke Kompolnas, Divisi Propam Polri, atau Lembaga terkait.
Tindakan penyidik yang mendesak pencabutan permohonan restitusi dapat
dinilai sebagai pelanggaran prinsip due process of law,
maladministrasi, dan bahkan sebagai pengabaian terhadap hak korban yang
dilindungi secara konstitusional.
Penutup
Rasa ketidakmasukakalan yang Anda rasakan sangat beralasan. Praktik seperti ini menunjukkan tantangan implementasi perlindungan korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Hukum tidak boleh tunduk pada tekanan pragmatis administratif, dan perlindungan terhadap hak korban harus menjadi prioritas utama dalam sistem hukum yang berkeadilan dan beradab.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Hans von Hentig,
The Criminal and His Victim: Studies in the Sociobiology of Crime
(New Haven: Yale University Press, 1949), 384.
[2]
Benjamin Mendelsohn, “A New Branch of Bio-Psycho-Social Science: Victimology,” Revue Internationale de Criminologie et de Police Technique 8
(1956): 202–205.
[3]
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana: Buku 1
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, 1994).