layananhukum

Dapatkan Anggota Polri Melangsungkan Perceraian dengan Tanpa Adanya Izin dari Atasan?

 

Pertanyaan

Selamat pagi bang, izin bertanya, apakah dapat Anggota Polri Aktif ingin mengajukan gugatan ke pengadilan agama dengan tanpa adanya surat izin dari atasan bang? Karena sejauh ini saya sudah berapa kali mediasi baik di satker saya saat ini dan juga sudah beberapa kali dimediasikan pada sidang di BP4R untuk perceraian saya, saya juga telah menjalani tes psikologi, juga menjalani pembinaan, dan terakhir sudah diputuskan oleh kami (suami dan istri) dalam sidang BP4R bahwa saya dan istri saya bersedia untuk bercerai hanya saja entah kenapa sampai hari ini istri saya yang menunda-nunda untuk membuat surat kesepakatan cerai yang mana itu adalah syarat yang diminta oleh pihak SDM untuk mengeluarkan surat izin cerai untuk ke pengadilan agama? Padahal khusus untuk kasus saya ini, saya sudah melengkapi syarat administrasi yang diminta, menjalani prosedur yang ada, serta alasan saya bercerai juga ada bukti video saya mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga beralasan saya mengajukan cerai kepada istri saya. Apa Langkah hukum yang bisa saya tempuh dan apakah yang bisa saya lakukan apabila saya mengajukan permohonan cerai talak saya ke pengadilan dengan ketiadaan surat izin cerai dari atasan tersebut? Apakah akan berpengaruh pada gugatan saya? Mohon petunjuk dan arahannya bang, terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Ya, kita sepakati dulu bahwa Perkawinan/Pernikahan, sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun T974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU tentang Perkawinan), merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam realitasnya, tidak semua perkawinan dapat mempertahankan tujuannya tersebut. Ketika perselisihan dan pertengkaran terus-menerus terjadi dan tidak ada harapan untuk rukun kembali, perceraian seringkali menjadi jalan keluar yang tidak terhindarkan untuk diambil sebagai solusi terakhir.

    Bagi masyarakat sipil pada umumnya, proses perceraian diajukan langsung ke pengadilan yang berwenang (baik itu Pengadilan Negeri bagi yang bukan Islam dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam). Akan tetapi, bagi profesi tertentu seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), terdapat prosedur administratif internal yang wajib ditempuh sebelum mendaftarkan gugatan ke pengadilan, yaitu kewajiban memperoleh surat izin cerai dari atasan yang berwenang.


    Artikel ini akan mengkaji secara mendalam permasalahan hukum yang timbul ketika seorang Anggota Polri hendak mengajukan perceraian, namun proses penerbitan izin dari atasan terhambat. Hambatan ini secara spesifik disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan dari pihak istri yang terus mengulur waktu, meskipun sebelumnya telah menyatakan kesiapannya untuk bercerai dalam forum mediasi resmi di Badan Pembantu Penasehat Perkawinan, Perceraian dan Rujuk (BP4R) Kepolisian. Analisis akan didasarkan pada hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Kerangka Regulasi Izin Perceraian bagi Anggota Polri

    Prosedur pengajuan perceraian bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lex specialis yang tetap tunduk pada asas-asas hukum umum (lex generalis) sebagaimana diatur dalam sistem hukum nasional. Regulasi ini mengatur secara berjenjang mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Kepolisian dan/atau Peraturan Kepala Kepolisian sebagai instrumen teknis pelaksanaannya. Berikut penjabaran sistematis dari kerangka regulasi yang mengatur secara berjenjang tersebut, antara lain:

    1.       Undang-Undang tentang Perkawinan sebagai Lex Generalis

    Landasan utama pengaturan perceraian terdapat dalam:

    1)        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 (selanjutnya disebut “UU tentang Perkawinan”); dan

    2)       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “PP tentang Pelaksanaan UU tentang Perkawinan”).

    Sebagaimana ketentuan Pasal 38 UU tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.” Sedangkan, Pasal 39 ayat (1) UU tentang Perkawinan mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

    Kemudian, Pasal 19 PP tentang Pelaksanaan UU tentang Perkawinan memberikan rincian alasan perceraian yang dapat diterima, satu di antaranya adalah:

    (f).  Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

    2.       PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 - Pengaturan untuk ASN

    Pengaturan lebih lanjut yang bersifat sektoral diberikan melalui:

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990, (selanjutnya disebut “PP tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil”)

    Sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, secara eksplisit disebutkan:

    “Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat.”

    Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga disiplin aparatur dan kehormatan institusi, serta memastikan bahwa keputusan pribadi yang diambil tidak bertentangan dengan kepentingan institusional.

    3.       Peraturan Khusus Polri – Perpol dan/atau Perkapolri

    Regulasi teknis yang berlaku secara khusus di lingkungan Polri, antara lain:

    1)        Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk bagi Pegawai Negeri pada Polri (selanjutnya disebut Perkapolri 9/2010), yang telah diubah dan diperbaharui melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 (selanjutnya disebut Perpol 6/2018).

    Beberapa ketentuan penting dalam regulasi ini mencakup, antara lain:

    1.      Kewajiban Pengajuan Permohonan Cerai

    Sebagaimana ketentuan Pasal 8 Perkapolri 9/2010 menyebutkan bahwa anggota Polri yang ingin mengajukan perceraian wajib terlebih dahulu memenuhi:

    “Persyaratan dalam mengajukan permohonan izin cerai bagi pegawai negeri pada Polri, sebagai berikut:

    a.     surat permohonan izin cerai, yang disertai alasan-alasannya;

    b.     fotokopi akta nikah;

    c.     fotokopi Kartu Tanda Anggota (KTA) Polri/PNS Polri.”

    2.     Kewajiban Memenuhi Persyaratan untuk Mendapatkan Izin Tertulis dari Atasan

    Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 18 menyatakan bahwa “setiap perceraian harus dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma-norma agama yang dianut oleh pegawai negeri pada Polri dan mendapatkan izin tertulis dari pejabat yang berwenang.”

    3.     Prosedur di dalam Perpol dan/atau Perkapolri

    Bahwa kemudian adapun mekanisme pembinaan yang ada dalam Perpol dan/atau Perkapolri tersebut dilakukan oleh struktur hierarki internal seperti Kasatker dan pejabat agama/personalia, sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 19 ayat (2) menyebutkan bahwa Kasatker melakukan pembinaan untuk mengharmoniskan kembali hubungan suami istri yang bermasalah. Selanjutnya, Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 20 menjelaskan bahwa pembinaan lanjutan dilakukan oleh pejabat agama/personalia jika Kasatker tidak berhasil. Dan terakhir, Pasal 21 ayat (2) menyatakan bahwa pejabat yang berwenang dapat menerbitkan surat izin cerai setelah mendapat rekomendasi dari pejabat agama/personalia.

    Pejabat berwenang di sini, harus disesuaikan dengan golongan dan/atau kepangkatan Anda di dinas kepolisian baik sebagai Anggota Polri Aktif dan/atau PNS yang bekerja di lingkungan Polri, ini diatur secara jelas dalam ketentuan Pasal 10 Perpol 6 Tahun 2018, yang menyatakan:

    (1)    Pejabat yang berwenang memberikan izin kawin, cerai dan rujuk:

    a.     Kapolri, untuk golongan kepangkatan perwira tinggi Polri, Pegawai Negeri Sipil golongan IV/d dan IV/e;

    b.     Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia, untuk yang berpangkat Komisaris Besar Polisi dan Pegawai Negeri Sipil golongan IV/c;

    c.     Kepala Biro Perawatan Personel Staf Sumber Daya Manusia Polri, untuk yang berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi dan Pegawai Negeri Sipil golongan IV/b ke bawah di lingkungan Markas Besar Polri;

    d.     Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, Kepala Sekolah Pembentukan Perwira Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, Gubernur Akademi Kepolisian Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri dan Komandan Korps Brigade Mobil Polri untuk yang berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi dan Pegawai Negeri Sipil golongan IV/b ke bawah di lingkungannya;

    e.     Kepala Kepolisian Daerah, untuk yang berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi dan Pegawai Negeri Sipil golongan IV/b sampai dengan Inspektur dan Pegawai Negeri Sipil golongan III di wilayahnya;

    f.      Kepala Biro Sumber Daya Manusia Kepolisian Daerah, untuk yang berpangkat Brigadir dan Pegawai Negeri Sipil golongan II ke bawah di lingkungan Kepolisian Daerah; dan

    g.     Kepala Kepolisian Resor dan Kepala Sekolah Polisi Negara untuk yang berpangkat Brigadir dan Pegawai Negeri Sipil golongan II ke bawah di wilayahnya;

    (2)   Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Sekolah dan Kepala Pusat Pendidikan yang ada di bawah jajarannya untuk pangkat Inspektur dan Pegawai Negeri Sipil golongan III ke bawah.

    Apa itu Badan Pembantu Penasehat Perkawinan Perceraian dan Rujuk (BP4R)?

    Badan Pembantu Penasehat Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk (BP4R) merupakan perangkat kelembagaan internal Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berfungsi sebagai organ konsultatif dan pembina dalam urusan pembentukan, pemutusan, dan pemulihan hubungan hukum kekeluargaan bagi anggota Polri. BP4R dibentuk sebagai instrumen struktural yang menjalankan peran strategis dalam memastikan bahwa setiap proses perkawinan, perceraian, dan rujuk dilakukan sesuai dengan asas-asas kedinasan, kepatutan administratif, serta tidak bertentangan dengan norma hukum, agama, dan etika profesi kepolisian.


    Sidang BP4R merupakan forum resmi pembinaan dan pertimbangan institusional terhadap rencana pernikahan maupun permohonan cerai atau rujuk dari anggota Polri. Bagi setiap anggota Polri yang akan melangsungkan pernikahan, kehadiran dalam sidang BP4R bersifat wajib sebagai bentuk verifikasi administratif dan pembinaan etika rumah tangga dalam kerangka disiplin kedinasan.

    Fungsi BP4R meliputi pemberian rekomendasi atas permohonan, klarifikasi administratif, serta penilaian moral atas kesiapan pribadi anggota dalam membentuk dan mempertahankan institusi keluarga sebagai bagian dari integritas kepribadian Polri. Sebagaimana ditegaskan dalam pedoman internal yang diterbitkan oleh Biro Watpers SSDM Polri (2017), keberadaan BP4R tidak hanya bertujuan administratif, tetapi juga merupakan bagian dari sistem pembinaan personel Polri secara holistik dalam membangun keteladanan moral dan ketahanan keluarga sebagai fondasi profesionalitas anggota dalam menjalankan tugas-tugas negara.

    Penyelenggaraan sidang Badan Pembantu Penasehat Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk (BP4R) di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia didasarkan pada kerangka regulasi yang bersifat hierarkis, komplementer, dan bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan internal institusi Polri.

    Bahwa ada pun dasar normat normatif utama terbentuknya BP4R tersebut tidak terlepas dari norma sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk bagi Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018. Peraturan ini menetapkan mekanisme prosedural dalam setiap permohonan pernikahan, perceraian, dan rujuk yang diajukan oleh personel Polri.

    Kemudian, landasan operasional penyelenggaraan sidang pembinaan pernikahan melalui BP4R secara khusus diperkuat melalui Surat Telegram Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: ST/1916/IX/2014 tentang Penyelenggaraan Pembinaan/Bimbingan Nikah, Cerai, dan Rujuk melalui BP4R (selanjutnya disebut “Surat Telegram Kapolri”). Surat Telegram tersebut memuat instruksi langsung kepada seluruh satuan kewilayahan untuk mengoptimalkan fungsi BP4R sebagai forum resmi pembinaan dan pemberian nasihat terhadap personel yang mengajukan permohonan terkait status hukum keluarga.

    Dengan demikian, penyelenggaraan sidang BP4R tidak hanya memiliki legalitas formal, tetapi juga merupakan manifestasi pembinaan personel berbasis nilai-nilai etika institusional dan ketertiban administratif yang berorientasi pada keharmonisan keluarga sebagai fondasi integritas dan profesionalisme anggota Polri.


    Dengan memperhatikan fungsi dan kedudukan Badan Pembantu Penasehat Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk (BP4R) sebagai sarana fasilitasi pembinaan personel Polri dalam urusan rumah tangga, dapat disimpulkan bahwa forum BP4R bukan sekadar tahapan administratif, melainkan instrumen pembinaan moral dan kedinasan yang mendukung terwujudnya ketertiban internal dan keharmonisan keluarga sebagai fondasi integritas serta profesionalisme anggota Polri.

    Asas Due Process dan Kewenangan Pengadilan Agama

    Sebagai bagian dari sistem hukum nasional, putusnya suatu perkawinan/pernikahan tetap harus dilakukan melalui putusan pengadilan yang berwenang. Bagi umat Islam, kewenangan mengadili tersebut tertuang dalam beberapa peraturan terkait antara lain:

    Melalui Peradilan Agama, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009. (selanjutnya disebut “UU tentang Peradilan Agama”)

    Sebagaimana ketentuan Pasal 49 UU tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa:

    Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.”

    Kerangka hukum pengajuan izin perceraian bagi anggota Polri merupakan sistem berlapis yang berpijak pada norma umum (seperti yang sudah kami jelaskan di atas mulai dari UU tentang Perkawinan dan PP No. 9/1975) dan norma khusus sektoral (PP No. 10/1983 jo. PP No. 45/1990), serta peraturan teknis internal Polri (Perkapolri 9/2010 jo. Perpol 6/2018). Mekanisme ini mencerminkan kehati-hatian institusi dalam menjaga integritas dan kedisiplinan internal, serta tetap menjamin akses keadilan melalui Pengadilan Agama sesuai amanat Undang-Undang.

    SEMA tentang Perceraian Anggota Polri dengan atau tanpa Izin

    Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) adalah instrumen hukum yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung untuk memberikan arahan, bimbingan, dan petunjuk administratif kepada seluruh badan peradilan di bawahnya. Meskipun berbentuk tertulis dan bersifat mengatur, SEMA bukan merupakan peraturan perundang-undangan, melainkan termasuk dalam kategori peraturan kebijakan (beleidsregel).

    Menurut Bagir Manan, peraturan kebijakan adalah bentuk diskresi administratif yang tidak berdasar pada delegasi kewenangan dari undang-undang, tetapi lahir dari freies ermessen (kebebasan bertindak pejabat administrasi) guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan sah secara hukum.

    Dengan demikian, SEMA bersifat internal, administratif, dan tidak mengikat secara umum, melainkan hanya berlaku sebagai pedoman operasional bagi aparat peradilan dalam menjalankan tugas yudisialnya. Fungsi utamanya adalah memberikan keseragaman penerapan hukum tanpa menciptakan norma hukum baru yang bersifat mengikat publik.

    Sebagaimana dalam konteks perceraian bagi Anggota Polri ini, Mahkamah Agung dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014 – Rumusan Hukum Kamar Peradilan Agama – 4 mengenai Perceraian Anggota Polri Tanpa Izin Atasan, menyatakan:

    Pengadilan Agama yang memeriksa permohonan/gugatan perceraian dari anggota POLRI yang tidak ada izin atasannya, akan tetapi anggota POLRI tersebut sudah membuat pernyataan bersedia menerima segala akibat dari perceraiannya agar mempedomani Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi PNS pada Kepolisian Negara RI dan SEMA Nomor 5 Tahun 1984. Apabila permohonan cerai dikabulkan atau ditolak, harus dengan mempertimbangkan faktor penyebab dari perselisihan dan pertengkaran antara pasangan suami isteri, sehingga dalam mengambil putusan dapat mewujudkan asas kepastian, keadilan dan manfaat hukum.”

    Selanjutnya, terkait Perceraian Anggota TNI/Polri Belum Memperoleh Izin Atasan, sebagaimana SEMA Nomor 10 Tahun 2020 - Rumusan Hukum Kamar Agama – C.1.c, disebutkan sebagai berikut:

    Permohonan/gugatan perceraian anggota TNI/Polri maupun pasangannya harus melampirkan surat izin/pemberitahuan perceraian dari pejabat yang berwenang. Apabila belum mendapatkan surat tersebut, maka hakim menunda persidangan selama 6 (enam) bulan dan pengadilan memberitahukan penundaan tersebut kepada atasan langsung Pemohon/Penggugat/Termohon/Tergugat. (Penegasan terhadao SEMA Nomor 5 Tahun 1984 dan hasil Rakernas MA Tahun 2010 di Balikpapan).

    Ketiadaan Kesepakatan Tidak Menjadi Hambatan Yuridis atas Pemberian Izin Perceraian bagi Anggota Polri

    Dalam praktik perizinan perceraian di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sering ditemukan hambatan administratif yang tidak selaras dengan kerangka hukum yang berlaku, salah satunya berupa penundaan atau penolakan penerbitan izin cerai oleh atasan dengan dalih belum adanya kesepakatan tertulis dari pasangan. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, kesepakatan antara suami dan istri bukanlah elemen konstitutif dalam pengajuan atau pemberian izin perceraian.

    Tinjauan terhadap sejumlah peraturan—baik yang bersifat umum maupun khusus di lingkungan Polri—menunjukkan bahwa fokus normatif bukanlah pada kehendak sepihak pasangan untuk menunda proses, melainkan pada terpenuhinya prosedur formal dan pembuktian substansi alasan perceraian. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 dengan tegas menyebut bahwa perselisihan dan pertengkaran yang berlangsung terus-menerus, serta tidak adanya harapan untuk hidup rukun kembali, merupakan dasar hukum yang sah untuk perceraian.


    Lebih lanjut, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018, tidak memuat ketentuan yang mensyaratkan kesepakatan tertulis antara suami dan istri sebagai syarat mutlak untuk pemberian izin perceraian oleh pejabat berwenang. Sebaliknya, peraturan tersebut mengatur mekanisme administratif yang bertumpu pada:

    -        Permohonan tertulis dari anggota Polri;

    -        Proses mediasi internal; dan

    -        Pertimbangan objektif dari pejabat yang berwenang berdasarkan hasil pembinaan yang dilakukan.

    Dalam praktik kelembagaan, proses mediasi internal—termasuk sidang pembinaan yang difasilitasi melalui BP4R—merupakan bentuk konkret dari upaya institusional untuk menjembatani konflik rumah tangga personel. Apabila dalam forum resmi tersebut salah satu pihak (misalnya, istri) telah menyatakan kesediaannya untuk bercerai, maka pernyataan tersebut memiliki kekuatan administratif sebagai bentuk pengakuan faktual atas keretakan hubungan. Ketika pernyataan tersebut tidak ditindaklanjuti tanpa alasan yang sah atau rasional, dan justru diiringi dengan upaya menunda proses secara terus-menerus, maka hal itu dapat dinilai sebagai bentuk obstruksi administratif yang tidak beritikad baik.

    Secara substantif, tindakan menunda secara sepihak setelah adanya kesediaan bercerai dalam forum resmi, tidak hanya menunjukkan ketidakkonsistenan dalam sikap, tetapi juga menguatkan dalil bahwa hubungan tersebut telah mengalami stagnasi emosional dan sosial. Hal ini justru memperkuat pembenaran atas alasan perceraian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 huruf f PP 9/1975, dan menjadi indikator kegagalan upaya mediasi.

    Di sisi lain, pejabat Polri yang berwenang menerbitkan izin perceraian memang memiliki ruang diskresi administratif. Namun, diskresi tersebut tidak bersifat absolut dan wajib dijalankan dalam bingkai tiga prinsip dasar administrasi publik, antara lain:

    1.        Prinsip Legalitas

    Bahwa diskresi hanya dapat dilakukan jika peraturan perundang-undangan tidak secara tegas atau rinci mengatur suatu tindakan administratif, atau ketika terdapat kekosongan hukum... Artinya, diskresi bukan bentuk kebebasan absolut, tetapi dilakukan dalam kerangka hukum yang mengakui adanya ruang interpretasi yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu sendiri;

    2.       Prinsip Akuntabilitas

    Bahwa diskresi harus disertai dengan tanggung jawab administratif, hukum, dan moral dari pejabat yang mengambil keputusan... Akuntabilitas menuntut adanya dokumentasi, logika kebijakan, dan laporan yang dapat diuji oleh publik maupun lembaga pengawasan;

    3.      Prinsip Proporsionalitas (Rasionalitas)

    Bahwa berdasarkan prinsip ini lebih menekankan bahwa keputusan atau tindakan diskresioner harus mempertimbangkan keseimbangan antara manfaat yang ingin dicapai dan dampak negatif yang mungkin timbul.[1]

    Dengan demikian, jika syarat prosedural dan materiil telah terpenuhi—termasuk telah dilakukannya mediasi, adanya pernyataan kesediaan bercerai, dan pembuktian atas alasan sah perceraian—maka pejabat berwenang wajib menjatuhkan keputusan secara proporsional. Menolak permohonan semata-mata karena tidak adanya “kesepakatan tertulis” dari pasangan bertentangan dengan semangat perlindungan hukum dan prinsip due process of law bagi anggota Polri yang menjadi pemohon.


    Sehingga, menurut pandangan kami, penolakan izin semata-mata karena tidak adanya “kesepakatan tertulis” dari pasangan adalah tidak beralasan secara hukum dan justru mengarah pada bentuk penyalahgunaan diskresi administratif. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip due process dalam hukum administrasi dan tidak selaras dengan semangat perlindungan terhadap hak personel Polri sebagai warga negara yang setara di hadapan hukum.

    Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Perceraian Anggota Polri Aktif Tanpa atau dengan Izin Atasan

    Untuk memberikan gambaran konkret mengenai penerapan hukum dalam konteks perceraian bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, kami akan menguraikan beberapa contoh yurisprudensi dari putusan Pengadilan Agama. Fokus utama terletak pada bagaimana pengadilan menilai keberadaan atau ketiadaan izin dari atasan sebagai bagian dari pertimbangan hukum, serta bagaimana amar putusan dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap permohonan cerai yang diajukan oleh anggota Polri aktif.

    Analisis ini mencakup dua aspek utama:

    1.        Gambaran Amar Putusan – bagaimana majelis hakim menyatakan dikabulkan atau tidaknya gugatan/talāq, serta bentuk putusan terkait hak-hak keperdataan lainnya (nafkah, hadhanah, mut’ah, dsb.); dan

    2.       Pertimbangan Hukum Hakim – bagaimana pengadilan menilai:

    -         urgensi alasan perceraian;

    -         peran mediasi dan itikad baik; serta

    -         apakah ketidakterpenuhinya izin atasan berdampak pada substansi gugatan cerai di hadapan pengadilan agama.

    Adapun uraian selanjutnya akan memuat sejumlah putusan terpilih yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) guna memberikan perspektif praktis dan evaluatif terhadap implementasi norma pada tataran yudisial.

    1.        Gugatan Dikabulkan Majelis oleh Karena telah Memperoleh Izin dari Atasan

    Sebagaimana Putusan Pengadilan Agama Tais Nomor 355/Pdt.G/2021/PA.Tas, tertanggal 15 Desember 2021, dalam amar putusannya hakim memutuskan sebagai berikut:

    MENGADILI

    Dalam Konvensi

    1.        Mengabulkan permohonan Pemohon konvensi;

    2.       Memberi izin kepada Pemohon konvensi (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon konvensi (TERMOHON) di depan sidang Pengadilan Agama Tais;

    Dalam Rekonvensi

    1.        Mengabulkan Gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;

    2.       Menetapakan anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi bernama Xxxxxxxxxxxxxx, laki-laki, tempat tanggal lahir Talang Benuang 06- 10-2005, Xxxxxxxxxxxxxx, perempuan, tempat tanggal lahir Rejang Lebong 08-10-2011, dan Xxxxxxxxxxxxxx, laki-laki, tempat tanggal lahir Bengkulu 07-08-2018, dalam hadhanah Penggugat Rekonvensi;

    3.       Mewajibkan Penggugat Rekonvensi selaku pemegang hak asuh (hadhanah) untuk memberi akses kepada Tergugat Rekonvensi selaku pihak yang tidak memegang hak asuh (hadhanah) untuk dapat bertemu dengan ketiga orang anak tersebut;

    4.       Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat Rekonvensi berupa:

    4.1        Nafkah selama iddah sejumlah Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) perbulan, total Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah);

    4.2       Mut’ah berupa 3 gram emas 24 karat berbentuk cincin;

    4.3       Nafkah anak bernama Xxxxxxxxxxxxxx, laki-laki, tempat tanggal lahir Talang Benuang 06-10-2005, Xxxxxxxxxxxxxx, perempuan, tempat tanggal lahir Rejang Lebong 08-10-2011, dan Xxxxxxxxxxxxxx, lakilaki, tempat tanggal lahir Bengkulu 07-08-2018 minimal sejumlah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) setiap bulan sampai anak tersebut dewasa atau sekurang-kurangnya berumur 21 tahun di luar biaya pendidikan dan Kesehatan;

    5.       Biaya nafkah iddah dan mut’ah sebagaimana dimaksud dibayarka kepada Penggugat Rekonvensi sebelum pengucapan ikrar talak oleh Tergugat Rekonvensi;

    6.       Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya; Dalam Konvensi Dan Rekonvensi - Membebankan Pemohon konvensi/ Tergugat rekonvensi membayar biaya perkara sejumlah Rp. 355.000,- (tiga ratus lima puluh lima ribu rupiah);

    Adapun pertimbangan hakim dalam perkara tersebut sebagai berikut:

    -        Menimbang, bahwa sebagai seorang anggota Polri, Pemohon telah memperoleh izin atasan untuk mengajukan permohonan perceraian, maka telah terpenuhi ketentuan Pasal 18 Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia;

    -        Menimbang, bahwa alasan pokok Pemohon mengajukan permohonan Cerai Talak adalah antara Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan dan pertangkaran disebabkan Termohon cemburu dengan Pemohon, dan Termohon juga menuduh Pemohon selingkuh, akibatnya sejak lebih kurang 2 tahun 6 bulan keduanya telah berpisah tempat tinggal hingga sekarang dan selama itu pula sudah tidak ada komunikasi apalagi menjalankan kewajiban sebagaimana layaknya suami-istri;

    -        Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan Pemohon belum pernah menjatuhkan talak, maka petitum permohonan Pemohon mengenai izin talak satu raj'i tersebut memenuhi Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu patut dikabulkan;

    Catatan Penting:

    a)       Bahwa Majelis hakim secara tegas mempertimbangkan bahwa izin dari atasan langsung anggota Polri merupakan bentuk kepatuhan terhadap regulasi internal sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010, yang mensyaratkan persetujuan pimpinan sebagai bagian dari mekanisme administratif pengajuan perceraian. Dalam hal ini, kehadiran izin dipandang telah memenuhi tata cara internal yang menjadi kewajiban kedinasan, tetapi bukan syarat substantif bagi dikabulkannya cerai secara hukum agama dan negara oleh pengadilan;

    b)      Bahwa Pengadilan mendasarkan amar putusan pada fakta-fakta perselisihan yang telah berlangsung lama dan tidak terselesaikan, yakni lebih dari dua tahun tanpa komunikasi dan tanpa pemenuhan kewajiban suami-istri. Ini sesuai dengan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa:

    Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

    adalah alasan sah untuk mengajukan perceraian. Selain itu, Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga dijadikan rujukan hakim untuk mengabulkan permohonan talak satu raj’I;

    c)       Bahwa amar putusan menunjukkan bahwa meskipun cerai dikabulkan, hak-hak istri dan anak tetap dilindungi secara proporsional. Hakim menetapkan: Nafkah iddah Mut’ah dalam bentuk emas Nafkah anak hingga usia dewasa Hak asuh anak (hadhanah) Akses kunjungan bagi ayah;

    d)      Bahwa dengan adanya bukti bahwa pemohon (anggota Polri) telah mengikuti prosedur internal dengan baik—yakni memperoleh izin dari atasan—pengadilan memberikan nilai tambah terhadap itikad baik pemohon untuk taat pada ketentuan hukum kedinasan.

    Sehingga yang ingin kami sampaikan adalah putusan ini menggarisbawahi bahwa izin atasan merupakan kewajiban administratif yang memperkuat posisi hukum pemohon, namun bukanlah syarat absolut dikabulkannya permohonan perceraian di pengadilan agama. Hakim tetap menjadikan substansi permasalahan rumah tangga, bukan aspek administratif internal institusi, sebagai penentu utama dalam memutuskan cerai. Ini menunjukkan bahwa dalam perspektif peradilan agama, keadilan substantif tetap menjadi prioritas, dengan tetap menghormati prosedur administratif internal institusi seperti Polri.

    2.       Gugatan Tidak Diterima Majelis oleh Karena Belum Memperoleh Izin dari Atasan

    Sebagaimana Putusan Pengadilan Agama Cilegon Nomor 371/Pdt.G/2021/PA.Clg, tertanggal 6 Juli 2021, dalam amar putusannya hakim memutuskan sebagai berikut:

    MENGADILI

    1.      Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);

    2.     Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 625.000,00 (enam ratus dua puluh lima ribu rupiah);

    Adapun pertimbangan hakim dalam perkara tersebut sebagai berikut:

    -        Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon belum ada menyerahkan surat izin dari atasannya terkait dengan status Pemohon sebagai anggota Polri, maka Majelis Hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut:

    -        Menimbang, bahwa telah ternyata Pemohon sebagai anggota kepolisian Republik Indonesia mengajukan perceraiannya dalam perkara aquo di Pengadilan Agama Cilegon belum memperoleh izin sebagaimana ditentukan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indoenesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia;

    -        Menimbang, bahwa pengaturan tentang perceraian di Indonesia dimuat dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan yang mengikat bagi semua rakyat Indonesia;

    -        Menimbang, bahwa disamping peraturan perundangan di atas yang berlaku secara umum, ada beberapa peraturan yang secara khusus mengikat bagi segolongan masyarakat tertentu;

    -        Menimbang, bahwa khusus bagi anggota Kepolisian perceraian telah diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indoenesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia;

    -        Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 19 Perkapolri Nomor 9 Tahun 2010 dinyatakan bahwa setiap pegawai negeri pada Polri yang akan melaksanakan perceraian wajib mengajukan surat permohonan izin cerai kepada Kasatker (Kepala Satuan Kerja), kemudian Pasal 33 menerangkan Pelanggaran terhadap Perkapolri No. 9/2010, termasuk melakukan perceraian tanpa seizin atasan, maka akan dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    -        Menimbang, bahwa oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa karena Pemohon adalah seorang anggota Polri aktif, maka wajib baginya untuk mendapatkan izin perceraian terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang apabila akan menceraikan isterinya;

    -        Menimbang, bahwa semua pihak, apalagi Hakim sebagai penegak hukum berkewajiban mendorong anggota Polri agar taat dan disiplin terhadap semua peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga fungsi dan peran Polri dapat terwujud;

    -        Menimbang, bahwa atas pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis Hakim menilai permohonan Pemohon obscuur libel (kabur) dan permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);

    Selain dari pada belum mengurus atau memperoleh izin dari atasan sebagaimana putusan di atas, tidak selalu amar putusannya akan menyatakan tidak dapat diterima atau N.O.


    Catatan Penting:

    a)       Bahwa Majelis hakim menyatakan bahwa permohonan perceraian oleh anggota Polri aktif tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena pemohon tidak melampirkan surat izin dari atasan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 19 dan Pasal 33 Perkapolri Nomor 9 Tahun 2010 jo. Perpol Nomor 6 Tahun 2018. Dalam hal ini, izin atasan tidak dianggap sebagai syarat administratif internal semata, tetapi dipandang sebagai bagian dari persyaratan formal yustisial yang berdampak langsung pada admissibility permohonan cerai di mata hakim. Sehingga, Pengadilan memaknai ketidakterpenuhan prosedur internal sebagai kekurangan formil yang bersifat lethalis, sehingga gugatan dinilai tidak layak diperiksa substansinya.

    b)      Bahwa Majelis juga menyatakan bahwa hakim, sebagai bagian dari penegak hukum, juga memiliki tanggung jawab moral dan yuridis untuk mendorong ketaatan terhadap norma disipliner dan regulasi sektoral, khususnya yang berlaku pada lembaga seperti Kepolisian. Oleh karena itu, pengadilan agama menyesuaikan penilaian hukumnya dengan karakter lex specialis institusional. Sehingga, dalam kasus anggota Polri, pengadilan mempertimbangkan kepatuhan terhadap aturan kedinasan sebagai bagian dari prinsip good faith dan integritas pemohon.

    c)       Bahwa istilah obscuur libel atau permohonan kabur digunakan majelis hakim karena tidak terpenuhinya kelengkapan formil yang substansial (dalam hal ini izin cerai dari atasan). Hakim berpendapat bahwa tanpa dokumen tersebut, permohonan kehilangan kejelasan hukum dalam konteks struktur normatif kepegawaian Polri. Sehingga, tidak dilampirkannya dokumen kunci yang dipersyaratkan oleh aturan khusus menyebabkan permohonan dianggap belum matang untuk diperiksa lebih lanjut;

    d)      Bahwa penting dicatat, sebagaimana yang kami sampaikan di atas, bahwa tidak semua putusan perkara cerai anggota Polri tanpa izin atasan berakhir dengan amar “tidak dapat diterima”. Dalam praktik yudisial, terdapat variasi antara satu pengadilan dengan lainnya, tergantung pada: Penafsiran hakim atas urgensi izin tersebut; Kehadiran alasan mendesak atau keadaan memaksa; Kualitas pembuktian konflik rumah tangga; dan kadang faktor kebijakan (discretion) hakim terhadap latar belakang kasus. Meskipun dalam putusan ini izin atasan dijadikan tolok ukur formil utama, namun tidak menutup kemungkinan pengadilan lain akan tetap menerima dan mengadili perkara meskipun tanpa dokumen izin, apabila ditemukan alasan-alasan substantif yang cukup kuat.

    e)      Bahwa pada intinya, putusan ini menegaskan bahwa dalam beberapa kasus, izin atasan dianggap sebagai bagian integral dari kelengkapan formil perkara cerai oleh anggota Polri. Namun, pada praktiknya, tidak ada konsistensi tunggal karena sifat diskresi dan interpretasi yudisial yang dinamis. Ini menuntut adanya kejelasan normatif yang lebih tegas serta pedoman yudisial baku agar tidak terjadi disparitas putusan dalam perkara sejenis.

     

    Selain itu karena tidak ada izin atasan, dapat juga berakhir dengan pencabutan oleh Pemohon atas petunjuk dan arahan hukum dari Hakim, sebagaimana Putusan Pengadilan Agama Ternate Nomor 60/Pdt.G/2022/PA.TTE, tertanggal 2 Februari 2022, yang mana dalam amar putusan hakim menyatakan sebagai berikut:

    MENGADILI

    1.      Mengabulkan permohonan Pemohon untuk mencabut perkaranya;

    2.     Menyatakan perkara Nomor;60/Pdt.G/2022/PA.Tte dicabut;

    3.     Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah).

    Ada pun dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan:

    -       Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah seperti tersebut di atas;

    -       Menimbang, bahwa pada sidang pertama Hakim Tunggal telah menesehati Pemohon, selanjutnya Pemohon menyatakan mencabut surat permohonan dengan alasan Pemohon akan mengurus surat izin dari atasan Pemohon;

    -       Menimbang, bahwa meskipun gugatan Pemohon dicabut, oleh karena perkara ini telah didaftar dalam register perkara dan termasuk dalam bidang perkawinan, maka sesuai Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, biaya perkara harus dibebankan kepada Pemohon;

    Catatan Penting:

    a)     Bahwa dalam kasus ini, hakim tidak langsung menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), tetapi justru memberikan arahan hukum secara preventif pada sidang pertama. Hakim memberikan nasihat kepada Pemohon bahwa perkara perceraian yang diajukan oleh seorang anggota Polri wajib memenuhi syarat administratif, yaitu mengantongi izin tertulis dari atasan, sebagaimana diatur dalam:

    -       Pasal 19 Perkapolri Nomor 9 Tahun 2010 jo. Perpol Nomor 6 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk bagi Pegawai Negeri pada Polri.

    Langkah hakim yang bersifat edukatif ini mendorong Pemohon secara sukarela mencabut permohonan dengan alasan akan terlebih dahulu menyelesaikan izin atasan. Sehingga, Hakim tidak langsung menjatuhkan amar putusan N.O., melainkan memberi ruang kepada Pemohon untuk melengkapi kelengkapan administratif agar tidak mengorbankan substansi perkara di kemudian hari.

    b)    Bahwa Meski tidak secara eksplisit dicantumkan sebagai alasan hukum utama, pencabutan perkara oleh Pemohon didorong oleh pengakuan atas kekurangan formil yang bersifat obligatoir (wajib). Ini menegaskan kembali bahwa bagi anggota Polri, izin atasan adalah syarat administratif yang wajib dilampirkan sejak awal proses, bukan hanya pelengkap teknis. Sehingga, Hakim secara tidak langsung mengkonfirmasi bahwa tanpa izin tersebut, perkara rentan ditolak atau dinyatakan kabur (obscuur libel).

    c)     Bahwa perlu diketahui sebagaimana mengacu pada Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menegaskan bahwa:

    “Apabila gugatan atau permohonan ditarik kembali setelah didaftarkan, maka biaya perkara tetap dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon.”

    Hakim membebankan biaya perkara kepada Pemohon meskipun perkaranya tidak sampai tahap pemeriksaan pokok. Sehingga, pencabutan permohonan tetap membawa akibat hukum berupa beban biaya perkara, sesuai prinsip hukum acara perdata dan prinsip tanggung jawab administratif pihak penggugat.

    d)    Bahwa alih-alih menolak secara tegas, hakim memberikan ruang pemulihan administratif kepada Pemohon. Pendekatan ini patut diapresiasi karena sejalan dengan asas “peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga, pendekatan preventif dalam perkara ini mencerminkan bahwa pengadilan agama juga menjalankan peran sebagai lembaga pembina hukum dan etik administratif, bukan hanya pemutus sengketa semata.

    e)     Bahwa Putusan ini menunjukkan bahwa ketiadaan izin atasan dalam perkara perceraian anggota Polri tidak selalu berujung pada amar N.O., melainkan juga dapat berakhir dengan pencabutan perkara secara sukarela atas arahan hakim. Meskipun demikian, fakta ini tetap menegaskan bahwa izin atasan merupakan prasyarat administratif normatif yang harus dipenuhi sejak awal, baik dalam konteks hukum kepegawaian maupun sebagai bagian dari kelengkapan perkara dalam sistem peradilan agama.

    3.      Gugatan Diterima Majelis oleh Meski pun dengan Tanpa Memperoleh Izin dari Atasan

    Sebagaimana Putusan Pengadilan Agama Sukoharjo Nomor 1038/Pdt.G/2019/PA.Skh, tertanggal 10 Februari 2020, dalam amar putusannya hakim memutuskan sebagai berikut:

    MENGADILI

    1.      Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap sidang tidak hadir;

    2.     Mengabulkan permohonan Pemohon secara verstek;

    3.     Memberi ijin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak satu roj'i terhadap Termohon (TERMOHON) di depan sidang Pengadilan Agama Sukoharjo;

    4.     Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.401.000,00 (empat ratus satu ribu rupiah);


    Ada pun dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan:

    -       Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;

    -       Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon yang dikuatkan dengan bukti surat P.3 (Surat Keterangan Kepala Desa) telah terbukti Termohon telah pergi dari tempat tinggal bersama dan tidak diketahui alamatnya secara pasti dan telah dipanggil melalui panggilan umum (media masa) sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;

    -       Menimbang, bahwa ternyata Termohon meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut tidak pernah datang menghadap di persidangan dan pula tidak ternyata bahwa tidak datangnya Termohon tersebut disebabkan sesuatu alasan yang sah, maka harus dinyatakan tidak hadir dan permohonan Pemohon harus diperiksa dan diputus secara verstek (tanpa dihadiri Termohon);

    -       Menimbang, bahwa Majelis telah menasihati Pemohon agar mengurungkan niatnya bercerai dan kembali rukun dengan Termohon, namun tidak berhasil dan karena Termohon tidak datang menghadap di persidangan maka upaya perdamaian lewat mediasi tidak dilaksanakan;

    -       Menimbang,bahwa Pemohon sebagai Pegawai Negri Sipil telah melaporkan kepada atasan untuk mendapatkan surat izin dari atasan, namun sampai sekarang belum ada surat izin sesuai surat pernyataan Pemohon;

    -       Menimbang, bahwa bukti P.1 (fotocopi Kartu Tanda Penduduk) yang merupakan akta otentik, telah bermeterai cukup dan telah cocok dengan aslinya isi bukti tersebut menjelaskan mengenai identitas dan kependudukan Pemohon, sehingga bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil serta mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat;

    -       Menimbang, bahwa bukti P.2 (fotocopi Kutipan Akta Nikah) yang merupakan akta autentik, telah bermeterai cukup dan telah cocok dengan aslinya isi bukti tersebut menjelaskan mengenai telah terjadinya pernikahan secara Islam antara Pemohon dan Termohon, sehingga bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil serta mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat;

    -       Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.2 tersebut harus dinyatakan terbukti bahwa antara Pemohon dengan Termohon telah dan masih terikat perkawinan yang sah oleh karenanya Pemohon mempunyai dasar hukum (legal standing) untuk mengajukan cerai talak atas Termohon;

    -       Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon dan bukti surat P.1 tersebut, terbukti Pemohon berdomisili di wilayah hukum yang termasuk yurisdiksi Pengadilan Agama Sukoharjo dan berdasarkan dan karena Termohon telah pergi dari tempat tinggal bersama dan tidak diketahui alamatnya maka berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan telah diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 permohon Pemohon secara formil dapat diterima;

    -       Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR yaitu putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Termohon dapat dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum dan beralasan, oleh karena itu Majelis Hakim membebani Pemohon untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya;

    Catatan Penting:

    a)     Bahwa meskipun Pemohon adalah pegawai negeri (ASN) dan menyatakan belum memperoleh surat izin dari atasan, Majelis Hakim tetap menerima dan mengabulkan permohonan cerai secara verstek, dengan pertimbangan bahwa alasan perceraian dan bukti-bukti yang diajukan telah memenuhi syarat formil dan materiil. Sehingga, ketidakhadiran izin atasan tidak menjadi penghalang mutlak bagi hakim untuk mengadili dan mengabulkan permohonan cerai jika terpenuhi alasan substansial dan prosedural, terutama dalam kondisi khusus seperti ketidakhadiran atau tidak diketahuinya alamat Termohon;

    b)    Bahwa Hakim mempertimbangkan bahwa Pemohon telah berusaha memenuhi prosedur, yakni menyampaikan laporan kepada atasan terkait pengajuan izin, tetapi hingga saat persidangan tidak mendapat respons. Ini menunjukkan bahwa ketiadaan izin bukan karena kelalaian, tetapi karena kendala administratif yang tidak dapat dikendalikan Pemohon. Sehingga, Hakim mengedepankan prinsip perlindungan akses keadilan (access to justice), khususnya dalam kondisi di mana Pemohon telah menunjukkan iktikad baik namun terhambat oleh sistem birokrasi internal.

    c)     Bahwa Karena Termohon tidak hadir meski telah dipanggil secara patut dan melalui media massa (panggilan umum), serta tidak memberikan alasan sah, maka hakim menjatuhkan putusan secara verstek sesuai Pasal 125 ayat (1) HIR. Di samping itu, upaya perdamaian melalui mediasi juga tidak dapat dilakukan karena Termohon tidak hadir, sehingga proses mediasi ditiadakan secara sah. Penggunaan mekanisme verstek diperkuat sebagai jalan hukum yang sah apabila pihak Termohon tidak hadir tanpa alasan yang dibenarkan, bahkan dalam perkara perceraian yang umumnya mengedepankan mediasi.

    d)    Bahwa Majelis memberikan porsi besar pada substansi bukti dan legal standing Pemohon, yakni:

    -       Bukti identitas yang sah (P.1);

    -       Bukti hubungan perkawinan (P.2);

    -       Bukti keterangan dari aparat desa terkait keberadaan Termohon (P.3), dan mengakui bahwa syarat formil dan materiil permohonan telah terpenuhi, bahkan tanpa keberadaan surat izin dari atasan.

    Ini menunjukkan bahwa peradilan agama tetap dapat bersikap fleksibel dalam menerapkan persyaratan administratif jika terdapat force majeure, atau hambatan administratif yang tidak disengaja oleh Pemohon.

    e)       Bahwa Majelis juga mendasarkan pertimbangannya pada Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pemanggilan umum, Pasal 66 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU 3 Tahun 2006 jo. UU 50 Tahun 2009 tentang kewenangan absolut dan relatif, Pasal 125 HIR tentang ketidakhadiran pihak dalam perkara perdata. Sehingga, Hakim tidak semata terpaku pada norma sektoral internal (seperti Perpol atau Perkap), tetapi tetap menggunakan kerangka hukum acara perdata nasional untuk menjamin hak Pemohon atas pemeriksaan perkara.

    f)        Bahwa Putusan ini memberikan preseden bahwa dalam perkara perceraian oleh anggota ASN (dan secara kontekstual dapat diterapkan pada anggota Polri), izin atasan bukan syarat absolut jika telah terjadi pembuktian sah terhadap alasan cerai dan kendala administratif berasal dari luar kehendak Pemohon. Hakim tetap dapat mengabulkan gugatan berdasarkan prinsip substansialitas, keadilan, dan efektivitas perlindungan hukum.

    Selanjutnya, Putusan Pengadilan Agama Gresik Nomor 1931/Pdt.G/2021.PA.Gs, tertanggal 6 Juli 2022, dalam amar putusannya hakim memutuskan sebagai berikut:

    MENGADILI

    1.        Mengabulkan permohonan Pemohon;

    2.       Memberi izin kepada Pemohon (INDRA WAHYU UTAMA bin HARTONO) untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap Termohon (KARINA RIZKI RODHEA binti IWAN DWI SISWANTO) di hadapan sidang Pengadilan Agama Gresik;

    3.       Menghukum Pemohon (INDRA WAHYU UTAMA bin HARTONO) untuk membayar kepada Termohon (KARINA RIZKI RODHEA binti IWAN DWI SISWANTO) secara tunai berupa:

    3.1.       Nafkah Mut'ah berupa uang sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah);

    3.2.      Nafkah iddah sebesar Rp. 10.500.000,00 (sepuluh juta lima ratus ribu rupiah);

    dibayar sebelum pengucapan ikrar talak;

    3.3.       Nafkah anak bernama Violet Inka Darlenne Utama, langr di Gresik, tanggal 3 Februari 2021 sekurang-kurangnya setiap bulan sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), dengan kenaikan 10% setiap tahun sampai anak tersebut dewasa/ mandiri;

    4.       Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp 475.000,00 (empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);

    Ada pun dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan:

    -       Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah memerintahkan kepada para pihak untuk menempuh mediasi sesuai ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016, berdasarkan laporan mediator dari Hj. ISTIQOMI, S.H., Mediator Pengadilan Agama Gresik tertanggal 08 Nopember 2021, yang menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan sebagaian mengenai hak isteri dan hak anak, namun kesepakatan tersebut hanya kesepakatan sepihak saja karena Pemohon yang membubuhkan tandatangan sedangkan Termohon tidak bersedia membubuhkan tandatangan karena dengan alasan keberatan cerai dengan Pemohon;

    -       Menimbang, bahwa dalam kesepakatan yang tertuang di laporan mediator Pemohon menyatakan sanggup memberikan nafkah satu orang anak sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) perbulan, dan mut'ah berupa uang sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah);

    -       Menimbang, bahwa terhadap kesanggupan Pemohon, Majelis Hakim menilai kesanggupan Pemohon tersebut merupakan langkah yang baik dan selanjutnya atas kesanggupan Pemohon tersebut akan dipertimbangkan selanjutnya;

    -       Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon sebagai anggota Polri harus memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat atau atasannya langsung sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;

    -       Menimbang, bahwa Pemohon telah mengajukan izin untuk melakukan perceraian dari atasan langsung, namun sampai waktu diberikan selama 6 bulan Pemohon belum mendapat izin untuk melakukan perceraian, kemudian Pemohon mengajukan surat pernyataan bermaterai, sebagaimana diatur dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Kapolri Nomor 09 Tahun 2010 tentang Tata cara pengajuan perkawinan, perceraian rujuk bagi  pegawai negeri pada Kepolisian negara Republik Indonesia dan diperbaru dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018;

    -       Menimbang bahwa sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Nomor 10 tahun 2020 tentang cara perceraian TNI/POLRI menunda batas waktu 6 bulan, namun sampai batas 6 bulan tersebut Pemohon belum mendapatkan surat perceraian dari yang berwenang mengeluarkan surat tersebut maka Pemohon mengambil inisiatif sendiri dengan membuat surat pernyataan menanggung segala resiko;

    -       Menimbang, bahwa alasan pokok permohonan Pemohon adalah bahwa rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sudah tidak harmonis lagi, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan:

    a.       Termohon menolak diajak hubungan suami-isteri dengan alasan lelah karena pekerjaan.

    b.      Termohon menolak permintaan Pemohon untuk menambah keturunan dengan alasan gaji Pemohon tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak.

    -       Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut, Termohon telah memberikan jawaban yang pada pokoknya mengakui dan membenarkan telah terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dan Termohon, akan tetapi menurut Termohon penyebab pertengkaran yang sebenarnya adalah karena adanya Wanita idaman Lain (WIL) Pemohon yang bernaina Sdri. Ika Purwanti dan telah mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Gibran Kenzo Rafandra yang sekarang berumur 2 tahun;

    -       Menimbang, bahwa oleh karena dalil permohonan Pemohon dibantah oleh Termohon, maka sesuai ketentuan Pasal 163 HIR kepada Pemohon dan Termohon diberi kesempatan untuk membuktikan dalilnya masing-masing dengan pembebanan pembuktian secara berimbang;

    -       Menimbang, bahwa dari jawab menjawab antara Pemohon dengan Termohon di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini adalah apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah sedemikian parah, sehingga Pemohon dan Termohon sudah tidak ada harapan untuk rukun kembali;

    Catatan Penting:

    a)       Bahwa meskipun Pemohon adalah anggota Polri aktif dan belum memperoleh surat izin resmi dari atasan sebagaimana diwajibkan oleh Perkapolri Nomor 9 Tahun 2010 jo. Perkapolri Nomor 6 Tahun 2018, Majelis Hakim tetap mengabulkan permohonan cerai. Ini menunjukkan bahwa dalam praktik, izin atasan bukan merupakan prasyarat mutlak yuridis bagi majelis hakim untuk menerima dan memutus perkara cerai talak, khususnya bila sudah ada iktikad baik dari Pemohon untuk mengajukan izin namun tidak memperoleh tanggapan;

    b)      Bahwa Pemohon telah menunjukkan itikad baik dan kepatuhan procedural, seperti Mengajukan permohonan izin kepada atasan langsung, menunggu selama lebih dari 6 bulan, serta membuat surat pernyataan bermaterai untuk menanggung konsekuensi pribadi dan administratif. Hal ini mencerminkan bahwa penundaan izin oleh institusi tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada Pemohon, dan pengadilan dapat tetap melanjutkan proses berdasarkan substansi perkara dan hak Pemohon untuk memperoleh keadilan.

    c)       Bahwa perselisihan dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon telah terbukti secara faktual dan tidak terbantahkan, antara lain:

    -        Hubungan rumah tangga tidak harmonis;

    -        Penolakan hubungan suami-istri dan keberatan memiliki anak;

    -        Dugaan perselingkuhan dan kehadiran wanita idaman lain yang diakui Termohon.

    Majelis menilai bahwa telah terjadi kondisi “pertengkaran dan perselisihan terus-menerus” yang memenuhi kualifikasi alasan cerai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:

    “Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

    d)      Bahwa meskipun mediasi tidak menghasilkan kesepakatan penuh (karena hanya Pemohon yang menandatangani), proses tersebut tetap diakui sah dan menunjukkan bahwa upaya perdamaian telah dilakukan tetapi gagal. Hakim tetap mempertimbangkan bahwa:

    -       Pemohon bersedia memberi nafkah anak dan mut'ah secara tunai.

    -       Termohon menolak menandatangani kesepakatan tetapi mengakui adanya konflik rumah tangga.

    Hal ini memperkuat bahwa persetujuan kedua belah pihak tidaklah wajib selama alasan perceraian dapat dibuktikan secara objektif dan telah dilakukan upaya damai.

    e)      Bahwa Putusan mengatur secara lengkap mengenai:

    -     Izin cerai talak di hadapan pengadilan;

    -     Nafkah mut’ah dan iddah yang dibebankan kepada Pemohon;

    -     Nafkah anak dengan ketentuan jumlah tetap dan eskalasi kenaikan tahunan; serta

    -     Penegasan bahwa pembayaran harus dilakukan sebelum pengucapan ikrar talak.

    Ini menunjukkan bahwa meskipun Pemohon belum memperoleh izin atasan secara formal, hak-hak istri dan anak tetap dilindungi secara adil dan proporsional oleh pengadilan.

    f)        Bahwa Putusan ini memperlihatkan bahwa dalam konteks perceraian oleh anggota Polri:

    -     Izin atasan memang penting secara administratif, tetapi tidak secara yuridis mengikat hakim dalam memutus perkara;

    -     Hakim tetap memprioritaskan substansi konflik dan perlindungan terhadap hak-hak keluarga, termasuk nafkah dan kesejahteraan anak;

    -     Jika telah terdapat bukti kuat tentang retaknya hubungan rumah tangga dan kegagalan mediasi, maka pengadilan tetap berwenang memberikan izin cerai, terlepas dari belum terbitnya surat izin institusional.


    Putusan ini bisa menjadi yurisprudensi penting dalam menunjukkan bahwa perlindungan hak asasi dan keadilan prosedural tetap menjadi prinsip utama dalam peradilan agama, sekalipun berhadapan dengan norma-norma administratif internal institusi seperti Polri.

    Selanjutnya, Putusan Pengadilan Agama Lolak Nomor 3/Pdt.G/2022.PA.Llk, tertanggal 15 Februari 2022, dalam amar putusannya hakim memutuskan sebagai berikut:

    MENGADILI

    Dalam Konvensi

    1.        Mengabulkan permohonan Pemohon;

    2.       Memfasakhkan perkawinan Pemohon (Xxxxxx) dengan Termohon (Xxxxxx);

    Dalam Rekonvensi

    1.        Mengabulkan gugatan Rekonvensi Penggugat Rekonvensi sebagian;

    2.       Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah lampau kepada Penggugat Rekonvensi sejumlah Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah);

    3.       Menolak gugatan Rekonvensi Penggugat Rekonvensi selebihnya;

    Dalam Konvensi dan Rekonvensi Membebankan biaya perkara kepada Pemohon Konvensi/ Tergugat Rekonvensi sejumlah Rp745.000,00 ( tujuh ratus empat puluh lima ribu rupiah)

    Ada pun dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan:

    -       Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 18 Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang ingin mengajukan gugatan harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang (atasannya);

    -       Menimbang, bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan izin cerai sejak tanggal 13 Agustus 2020 dan belum ada izin sehingga Pemohon melampirkan Surat Pernyataan Siap Menanggung Resiko tertanggal 03 Januari 2022;

    -       Menimbang, bahwa yang menjadi dalil-dalil permohonan Pemohon pada pokoknya dapat disimpulkan Pemohon mohon diceraikan dari Termohon dengan dalil-dalil sejak pertengahan tahun 2016 rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak harmonis disebabkan Termohon ketika Pemohon hendak bertugas di luar daerah Termohon beribadah ke gereja sedangkan sudah beragama Islam (mualaf) dan ketika bersama Pemohon, Termohon beribadah ke mesjid dan setelah ada pertengkaran Termohon telah kembali ke manado dan telah berselingkuh dengan laki-laki yang bernama Xxxxxx dan sudah memiliki seorang anak sehingga pada tahun 2017 sampai dengan saat ini Pemohon dan Termohon tidak tinggal bersama;

    -       Menimbang, bahwa dengan jawaban dari Termohon yang pada pokoknya membantah penyebab perselisihan ketika terjadi perpisahan, namun mengaku telah kembali ke agama Kristen setelah Pemohon dan Termohon pisah tempat tinggal dan juga mengaku memiliki pria idaman lain bernama Xxxxxx dan telah mempunyai satu orang anak perempuan tidak berarti dengan serta merta permohonan Pemohon mesti dikabulkan, karena pokok perkara ini adalah perkara perceraian, dimana perkara perceraian itu adalah masuk dalam kelompok hukum perorangan (personel recht) bukan masuk dalam kelompok hukum kebendaan (zaken recht), oleh karenanya sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 863 K/Pdt/1990, tanggal 28 Nopember 1991 tidaklah dibenarkan dalam perkara perceraian semata-mata didasarkan pada adanya pengakuan dan atau adanya kesepakatan saja karena dikhawatirkan timbulnya kebohongan besar (de grote langen) ex Pasal 208 BW, karenanya Pemohon untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonannya tetap dibebani wajib bukti;

    -       Menimbang, bahwa fakta-fakta hukum tersebut di atas telah memenuhi norma hukum Islam sebagaimana dalil Syar’i dalam Kitab Fiqhus sunnah juz II halaman 389 yang diambil alih sebagai Pendapat Majelis Hakim dalam putusan ini, yaitu:

     

     إذا ارتد الزوج أو الزوجة إنقطعت علاقة كل منهما بالأخر لأن ردة أي واحد منهما موجبة للفراقة بينهما وهههههههههههذه الفراقة تعتبر فسخا

     

    Artinya:

    Apabila seorang suami atau isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka satu sama lain. Karena sesungguhnya riddah salah seorang diantara mereka itu menjadikan putusnya hubungan perkawinan mereka. Dan putusnya hubungan perkawinan itu berupa fasakh.

    -       Menimbang, bahwa Pemohon memohon dalam petitum primair agar Majelis Hakim Memberi izin kepada Pemohon (Xxxxxx) untuk menjatuhkan talak satu Raj’i terhadap Termohon (Xxxxxx) di depan sidang Pengadilan Agama Lolak;

    -       Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas tanpa mempersoalkan siapa yang benar dan siapa yang salah, maka permohonan Pemohon patut dikabulkan dan oleh karena perceraian ini dengan sebab Termohon murtad, maka oleh karena itu Majelis berpendapat lebih maslahat untuk menceraikan Pemohon dan Termohon dari pada mempertahankan ikatan perkawinannya dengan menfasakhkan perkawinan Pemohon dan Termohon.

    Catatan Penting:

    a)       Bahwa berbeda dari putusan cerai talak biasa, Majelis Hakim dalam perkara ini tidak memberikan izin talak satu raj’i sebagaimana dimohonkan Pemohon, melainkan memutuskan untuk menfasakhkan perkawinan, karena ditemukan kondisi kemurtadan (riddah) dari Termohon yang menyebabkan bubarnya hubungan perkawinan secara hukum agama Islam. Hal ini mengacu pada kaidah fiqih sebagaimana dikutip Majelis dari Fiqhus Sunnah yang menyatakan bahwa:

    Apabila seorang suami atau isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka satu sama lain, dan putusnya hubungan perkawinan itu berupa fasakh.”

    Putusan ini menunjukkan bahwa fasakh dapat dijadikan dasar putusnya perkawinan secara hukum Islam apabila terdapat perubahan status keagamaan salah satu pihak, yang dalam hal ini mengkonfirmasi ketidakcocokan keyakinan sebagai dasar keretakan rumah tangga.

    b)      Bahwa meskipun Pemohon belum memperoleh izin cerai dari atasannya, dan hanya melampirkan surat pernyataan siap menanggung risiko, Majelis tetap memeriksa dan mengabulkan permohonan. Hal ini memberikan preseden bahwa:

    -        Ketidakhadiran izin atasan tidak serta-merta menggugurkan kewenangan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

    -        Dalam kondisi substantif yang luar biasa, seperti adanya pengakuan murtad dan hubungan dengan pihak ketiga serta anak di luar pernikahan, hakim dapat mengutamakan substansi perkaranya dibanding ketentuan administratif internal lembaga.

    c)       Bahwa meski Termohon mengakui beberapa fakta seperti perubahan agama dan keberadaan anak dari pihak ketiga, Majelis tidak serta-merta menjadikan pengakuan tersebut sebagai dasar mutlak untuk mengabulkan permohonan. Hal ini merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 863 K/Pdt/1990, yang menegaskan:

    Perkara perceraian tidak dapat diputus semata-mata karena kesepakatan atau pengakuan para pihak, karena dapat menimbulkan kebohongan besar (de grote leugen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 BW.”

    Dengan demikian, kewajiban pembuktian tetap melekat pada Pemohon, dan Majelis melakukan pemeriksaan menyeluruh sebelum menyimpulkan bahwa syarat fasakh telah terpenuhi.

    d)      Bahwa Majelis mempertimbangkan bukti bahwa:

    -        Termohon telah kembali kepada agama lamanya (murtad);

    -        Telah menjalin hubungan dengan pria lain dan memiliki anak, serta

    -        Berpisah tempat tinggal sejak tahun 2017.

    Fakta-fakta ini secara objektif menggambarkan bahwa tidak ada lagi harapan rukun, dan pernikahan telah kehilangan ikatan spiritual, emosional, dan sosial, sehingga layak untuk difasakhkan.

    e)      Bahwa meskipun fokus perkara adalah permohonan cerai, Majelis juga mengabulkan gugatan rekonvensi sebagian, yakni:

    Menghukum Pemohon untuk membayar nafkah lampau sejumlah Rp12.000.000, menunjukkan bahwa pengadilan tetap mengakomodasi hak ekonomi istri, meski suami menggugat cerai.

    f)        Bahwa Putusan ini menegaskan beberapa hal penting:

    -     Izin atasan bagi anggota Polri merupakan prasyarat administratif, bukan syarat yuridis mutlak, terutama dalam situasi luar biasa seperti kemurtadan.

    -     Fasakh sebagai mekanisme pemutusan perkawinan dapat dipakai hakim bila kondisi substansial memenuhi, bahkan jika permohonan awal adalah talak.

    -     Yurisprudensi MA tetap menjadi rujukan utama, khususnya terkait kehati-hatian pengadilan agar tidak menjadikan pengakuan sepihak sebagai dasar tunggal putusan.

    -     Hakim tetap mengutamakan prinsip keadilan dengan memberikan putusan imbang antara hak Pemohon dan Termohon, termasuk pengaturan nafkah.

    Putusan ini menjadi bukti konkret bahwa substansi hukum dan keadilan materiil dapat diutamakan atas formalitas prosedural administratif, terutama apabila hak-hak konstitusional dan keadilan para pihak lebih membutuhkan perlindungan substantif.

    Terakhir, yang kami kutip adalah Putusan Pengadilan Agama Palangka Raya Nomor 130/Pdt.G/2024/PA.Plk, tertanggal 2 Desember 2024, yang dalam amar putusannya menyatakan:

    MENGADILI

    1.      Mengabulkan permohonan Pemohon ;

    2.     Memberi izin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap Termohon (TERMOHON) di depan sidang Pengadilan Agama xxxxxxxx Raya;

    3.     Menghukum Pemohon (PEMOHON) untuk membayar nafkah selama masa iddah sejumlah Rp 16.800.000,- (enam belas juta delapan ratus ribu rupiah) dan mut’ah berupa uang sejumlah Rp 5.600.000,- (lima juta enam ratus ribu rupiah) kepada Termohon sesaat sebelum ikrar talak diucapkan ;

    4.     Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp 223.000,- ( dua ratus dua puluh tiga ribu rupiah).

    Ada pun dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan:

    a.   Menimbang, bahwa Pemohon dan Termohon adalah sebagai Anggota Polri yang seharusnya telah mendapatkan Surat Izin Perceraian terlebih dahulu sebelum mengajukan perceraian dari pejabat yang berwenang sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, oleh karenanya setiap Anggota Polri yang ingin mengajukan perceraian hendaknya terlebih dahulu memperoleh izin dari atasannya masing-masing;

    b.   Menimbang, bahwa Pemohon dan Termohon diberi waktu yang cukup untuk mengurus Surat izin dan Pemberitahuan perceraian kepada instansinya, sehingga sesuai dengan SEMA Nomor 10 tahun 2020;

    c.   Menimbang, bahwa Pemohon sudah menyampaikan bahwa ia sudah mengajukan Permohonan izin kepada KABIDPROPAM XXXXXXXXXX xxxxxxxxxx xxxxxx, untuk melakukan perceraian pertanggal 11 September 2023, namun sampai diajukannya permohonan cerai ini Pemohon belum juga memperoleh Surat izin dari Atasannya, sehingga Pemohon menyerahkan Surat Pernyataan tentang siap menanggung segala resiko dengan tidak adanya surat izin perceraian dari atasannya, sedangkan Termohon tidak menyerahkan surat apapun yang bersangkutan tentang itu, oleh karena itu persidangan ini tetap diteruskan;

    Catatan Penting:

    a)       Bahwa secara normatif, Pasal 18 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 (jo. Perkapolri No. 6 Tahun 2018) menyatakan bahwa anggota Polri yang ingin mengajukan perceraian wajib memperoleh surat izin dari pejabat berwenang terlebih dahulu, dalam putusan ini:

    -        Hakim menilai Pemohon telah menempuh prosedur administratif, yakni dengan mengajukan permohonan izin kepada atasan (KABIDPROPAM), namun hingga waktu yang cukup lama tidak mendapatkan keputusan (diam administratif).

    -        Dalam kondisi seperti ini, Pemohon kemudian menyampaikan surat pernyataan siap menanggung segala risiko, dan karena tidak ada kepastian atau larangan tertulis dari atasannya, pengadilan memutus untuk tetap melanjutkan perkara.

    Sehingga, Hakim menerapkan prinsip substansial justice—bahwa ketidakpastian administratif tidak boleh menghalangi hak warga negara (dalam hal ini anggota Polri) untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam urusan perdata, khususnya keluarga.

    b)      Bahwa Putusan ini juga merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020, yang pada pokoknya:

    -     Memberikan ruang bagi hakim untuk menunda pemeriksaan perkara perceraian TNI/Polri selama 6 bulan, guna memberi kesempatan bagi para pihak untuk mengurus perizinan internal.

    -     Namun, apabila dalam waktu yang wajar dan patut tidak ada respons dari instansi, maka pengadilan dapat meneruskan pemeriksaan perkara sebagai bagian dari perlindungan hak konstitusional pihak pencari keadilan.

    Putusan ini menunjukkan bahwa ketentuan administratif internal tidak bersifat mutlak dalam mengikat proses peradilan, terutama jika ketentuan tersebut menghambat akses terhadap keadilan.

    c)       Bahwa Majelis tidak hanya mengabulkan permohonan cerai, tetapi juga:

    Menjatuhkan kewajiban kepada Pemohon untuk membayar nafkah iddah sebesar Rp16.800.000 dan mut’ah sebesar Rp5.600.000 sebelum ikrar talak diucapkan.

    Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perceraian terjadi, pengadilan tetap mengakomodasi prinsip perlindungan terhadap perempuan (Termohon), sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Komplikasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 huruf b dan c, mengenai kewajiban memberi mut’ah dan nafkah iddah bagi istri yang diceraikan;

    d)      Bahwa fakta bahwa Termohon tidak memberikan dokumen apapun, bahkan tidak menyatakan keberatan terhadap proses tersebut, turut memperkuat penilaian majelis bahwa:

    -     Tidak ada resistensi formal atau substansial terhadap permohonan cerai; dan

    -     Persidangan layak untuk dilanjutkan, berdasarkan asas kelancaran proses peradilan (judicial efficiency).

    e)      Bahwa Putusan ini memperkuat preseden yurisprudensi bahwa:

    -     Ketiadaan izin atasan bukanlah penghalang absolut untuk diterimanya gugatan/permohonan perceraian oleh anggota Polri, sepanjang telah dilakukan upaya administratif dan pengadilan dapat menilai secara objektif kondisi substantif rumah tangga para pihak.

    -     Hakim memiliki diskresi yudisial berdasarkan asas keadilan dan proporsionalitas, dengan tetap menghormati ketentuan normatif internal, namun tidak mengorbankan keadilan materiil dan hak konstitusional pihak pencari keadilan.

    -     Putusan ini mencerminkan pendekatan hukum yang integratif antara norma administratif dan keadilan perdata keluarga, serta menjadi rujukan bagi kasus serupa ke depan.

    Rumusan Hukum Kamar Agama Tahun 2023 (Sema Nomor 03 Tahun 2023)

    Terakhir, perlu kami sampaikan juga bahwa terdapat Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung pada tanggal 19 - 21 November 2023 di Hotel Intercontinental Bandung, telah menghasilkan rumusan hukum sebagai berikut:

    Menyempurnakan rumusan hukum Kamar Agama angka 1 huruf b poin 2 dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2022, yaitu “Perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami/istri berselisih dan bertengkar terus menerus atau telah berpisah tempat tinggal selama minimal 6 (enam) bulan”, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat 6 (enam) bulan kecuali ditemukan fakta hukum adanya Tergugat/Penggugat melakukan KDRT.” 

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Prinsip Legalitas,” in Penerapan Prinsip Legalitas, Akuntabilitas, dan Diskresi, in Pengantar Hukum Administrasi Negara, ed. Sjahruddin Rasul, Andin Sofyanoor, dkk. (Subang: Didaktik Press, 2022), 21–30