Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi kecenderungan
yang menguat dalam integrasi pendekatan keadilan restoratif ke dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia. Lembaga penegak hukum secara bertahap—namun
konsisten—menginisiasi dan memberlakukan peraturan internal yang mengafirmasi
pendekatan ini sebagai alternatif terhadap pola penegakan hukum yang selama ini
bersifat retributif, prosedural, dan legalistik. Fenomena ini mencerminkan
upaya rekonstruksi paradigma, di mana keadilan tidak lagi dimaknai semata-mata
sebagai pembalasan (ius talionis), tetapi sebagai pemulihan relasi
sosial yang rusak akibat tindak pidana.
Misalnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,
yang selanjutnya disebut sebagai “Perpol No. 8 Tahun 2021”. Setahun
sebelumnya, Kejaksaan Republik Indonesia telah mendahuluinya melalui Peraturan
Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang selanjutnya disebut sebagai “Perja
No. 15 Tahun 2020. Terbaru, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang selanjutnya disebut sebagai “Perma No. 1 Tahun 2024”.
Namun, perlu ditegaskan bahwa keadilan restoratif
bukanlah doktrin baru dalam hukum pidana nasional. Alih-alih sebagai kebijakan
inovatif kontemporer, prinsip-prinsip restoratif telah terselip secara
diam-diam dan nyaris terlupakan dalam sistem hukum positif kita, khususnya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 14 KUHP, terutama
Pasal 14c, telah sejak lama membuka celah bagi pelaksanaan pidana bersyarat
yang sejatinya mengandung semangat restoratif.
Pasal 14a KUHP mengatur bahwa hakim, setelah melalui
pertimbangan cermat dan keyakinan bahwa pengawasan dapat dilakukan secara
memadai, berwenang menjatuhkan pidana bersyarat (conditional sentences).
Sementara Pasal 14c KUHP memberikan ruang eksplisit bagi penetapan syarat
khusus berupa kewajiban terpidana mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana dalam jangka waktu tertentu—sebuah bentuk
konkret dari pemulihan, yang merupakan jantung dari keadilan restoratif.
Secara teknis, pelaksanaan pidana bersyarat dijabarkan
lebih lanjut dalam Pasal 14d hingga Pasal 14f KUHP. Ketentuan ini antara lain
memuat kemungkinan keterlibatan lembaga bantuan sosial dalam proses pengawasan
(Pasal 14d), fleksibilitas pengubahan syarat dan masa percobaan (Pasal 14e),
serta konsekuensi terhadap pelanggaran syarat yang telah ditetapkan (Pasal
14f). Sayangnya, kerangka hukum ini tidak diimbangi oleh pengaturan yang
memadai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang hanya
menyinggung pidana bersyarat secara singkat dalam Pasal 276—dan itupun tanpa
penjelasan teknis.
Buku Panduan Memahami Pidana Bersyarat dalam KUHP: Pedoman Bagi Penegak Hukum terbitan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat bahwa secara historis, pendekatan ini tidak lahir dari kekosongan. Putusan Hoge Raad atau Hooggerechtshof van Nederlands-Indië (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tertanggal 15 Maret 1926 menegaskan bahwa syarat-syarat khusus dalam pidana bersyarat harus mencerminkan koreksi terhadap perilaku dan gaya hidup terpidana, baik dalam ruang privat maupun publik.
Masih dalam sumber yang sama, dijelaskan bahwa
perkembangan hukum pidana di Belanda menunjukkan kemajuan signifikan dalam
penerapan syarat-syarat khusus dalam pidana bersyarat. Berdasarkan Pasal 14c
ayat (2) Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda), telah ditetapkan
sekurang-kurangnya 14 jenis syarat khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim.
Ketentuan ini menunjukkan pendekatan yang jauh lebih progresif dibandingkan
sistem hukum pidana Indonesia saat ini. Adapun syarat-syarat tersebut meliputi:
1.
Kewajiban
membayar seluruh atau sebagian kerugian atau kehilangan yang ditimbulkan oleh
tindak pidana;
2.
Kewajiban
memperbaiki seluruh atau sebagian kerusakan akibat tindak pidana;
3.
Pembayaran
sejumlah uang tertentu sebagai jaminan keamanan, yang ditentukan oleh hakim
paling tinggi sebesar selisih antara pidana denda maksimum yang diatur dengan
pidana denda yang dijatuhkan;
4.
Pembayaran
sejumlah uang tertentu kepada Criminal Injuries Compensation Fund (Schadefonds
Geweldsmisdrijven), yaitu lembaga yang bertugas memberikan pendampingan dan
advokasi bagi korban tindak pidana, dengan jumlah maksimal sesuai batasan
pidana denda;
5.
Larangan untuk
berhubungan atau melakukan kontak dengan individu atau organisasi tertentu;
6.
Larangan berada
di lokasi atau tempat tertentu;
7.
Kewajiban hadir
pada waktu dan tempat tertentu selama jangka waktu tertentu;
8.
Kewajiban melapor
secara berkala kepada lembaga atau instansi tertentu;
9.
Larangan
mengonsumsi narkotika dan/atau alkohol, disertai kewajiban menjalani tes urin
atau darah guna memastikan kepatuhan terhadap larangan tersebut;
10.
Penempatan pada
institusi layanan kesehatan tertentu;
11.
Kewajiban
menjalani pelayanan atau perawatan kesehatan di fasilitas yang ditentukan;
12.
Penempatan pada
institusi atau akomodasi sosial tertentu;
13.
Kewajiban
mengikuti program intervensi untuk perubahan perilaku;
14.
Ketentuan lain
yang dinilai relevan dan proporsional dengan karakteristik tindak pidana dan
pelakunya.
Ketentuan di atas mencerminkan paradigma baru
pemidanaan yang menitikberatkan pada pembinaan, reintegrasi sosial, serta
perlindungan korban, bukan semata pada pembalasan. KUHP Belanda secara
eksplisit memberi ruang bagi hakim untuk menyesuaikan syarat pidana bersyarat
dengan kebutuhan individual kasus dan tujuan pemidanaan yang lebih manusiawi.
Ini menjadi preseden penting bagi reformasi hukum pidana Indonesia.
Selanjutnya, dalam karya akademiknya yang berjudul Lembaga Pidana Bersyarat,
Prof. Dr. Muladi, S.H., pernah mengemukakan sejumlah persyaratan substantif
tambahan yang dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana
bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah. Persyaratan ini
tidak hanya bersifat yuridis, tetapi juga mencerminkan pendekatan kriminologis
dan sosiologis yang lebih humanistik terhadap pelaku. Adapun kriteria tersebut
meliputi:
a)
Terdakwa belum
pernah melakukan tindak pidana sebelumnya dan selama ini dikenal taat terhadap
norma hukum yang berlaku;
b)
Terdakwa berada
dalam kategori usia yang sangat muda, yakni antara 12 hingga 18 tahun;
c)
Tindak pidana
yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang besar atau signifikan;
d)
Terdakwa tidak
memiliki kesadaran atau tidak menyangka bahwa perbuatannya akan menimbulkan
kerugian besar;
e)
Tindak pidana
dilakukan karena adanya pengaruh atau hasutan dari pihak lain yang bersifat
kuat dan persuasif;
f)
Terdapat
alasan-alasan yang dapat dipertimbangkan secara objektif sebagai dasar pemaafan
terhadap perbuatan terdakwa;
g)
Korban tindak
pidana secara langsung atau tidak langsung turut mendorong terjadinya tindak
pidana tersebut;
h)
Terdakwa telah
membayar atau bersedia membayar ganti kerugian kepada korban atas kerugian atau
penderitaan yang ditimbulkan oleh tindak pidananya;
i)
Tindak pidana
yang dilakukan berkaitan dengan kondisi atau situasi tertentu yang bersifat
insidental dan kecil kemungkinan untuk terulang;
j)
Kepribadian,
sikap, dan perilaku terdakwa menunjukkan bahwa ia memiliki tingkat penyesalan
yang tinggi serta keyakinan bahwa ia tidak akan mengulangi tindak pidana di
masa mendatang.
Gagasan Prof. Muladi ini memperkuat narasi bahwa
pidana bersyarat bukanlah sekadar alternatif pemidanaan, melainkan instrumen
strategis yang mampu menyeimbangkan dimensi keadilan substantif, kepentingan
rehabilitatif, serta keberlanjutan reintegrasi sosial bagi pelaku. Penerapannya
memerlukan sensitivitas yudisial terhadap latar belakang personal dan sosial
pelaku, serta kerangka normatif yang tidak kaku dalam mengevaluasi motif dan
dampak perbuatan pidana.
Namun demikian, sebagaimana dicatat kembali oleh ICJR dalam buku Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, penerapan pidana bersyarat masih menghadapi hambatan serius. Di antaranya adalah ketiadaan aturan pelaksana, disparitas pemahaman di antara aparat penegak hukum, beban administratif dalam menghitung kerugian korban, hingga lemahnya koordinasi lintas institusi. Hakim pun menghadapi dilema metodologis: apakah boleh melangkah lebih progresif saat KUHAP sendiri tidak memberikan legitimasi prosedural bagi keadilan restoratif?
Yang lebih mengkhawatirkan adalah terjadinya legal
dissonance—di mana norma hukum substantif (KUHP) membuka ruang keadilan
restoratif, namun hukum acara (KUHAP) tetap terjebak dalam skema retributif
yang rigid. Hal ini menjadi refleksi tentang bagaimana kebijakan hukum pidana
kita kerap gagal menjembatani antara nilai-nilai normatif dan kebutuhan
praksis, antara prinsip pemulihan dan realitas birokrasi penegakan hukum.
Tim dari Kantor
Hukum Eka Kurnia Chrislianto bahkan menemukan sejumlah putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang menyinggung penerapan Pasal 14c KUHP secara
langsung, sebagai berikut:
1)
Putusan pertama
adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 915 K/Pid.Sus/2014,
tertanggal 25 Februari 2015. Dalam putusan tersebut, Majelis Kasasi menguatkan
pidana bersyarat khusus yang dijatuhkan oleh Majelis Pengadilan Negeri
Gorontalo. Yang mana ada pun Amar Putusannya sebagai berikut:
MENGADILI
Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Gorontalo tersebut;
Memperbaiki
amar Putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo Nomor 05/Pid/ 2013/PT.Gtlo, tanggal 11
April 2013, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo Nomor 117/Pid.B/2012/PN.Gtlo,
tanggal 10 Desember 2012 tersebut, sekedar mengenai penjatuhan pidananya,
sehingga selengkapnya sebagai berikut:
1.
Menyatakan
Terdakwa MUSLIMIN Alias MUSLIMIN Bin MASSI telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangganya”;
2.
Menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama
4 (empat) bulan;
3.
Menetapkan pidana
tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim
yang menentukan lain, karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan selama 1 (satu) tahun berakhir dan Terpidana tidak memenuhi
syarat khusus berupa memberi kepada istri dan anaknya uang sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) tiap bulan selama 1 (satu) tahun dengan
menyerahkan bukti berupa kuitansi;
4.
Menetapkan barang
bukti berupa: 1 (satu) buah Buku Kutipan Akta Nikah milik sdri. Xxx dengan
Sdra. Muslimin yang menikah pada tanggal 22 November 2008 dengan Nomor Kutipan
Akta Nikah: 184/13/XII/2008, tanggal 23 Desember 2008 yang ditandatangani
Kepala KUA Kecamatan Kota Tengah Drs. H. Arifin Adam Nip. 150302586,
dikembalikan kepada yang berhak melalui saksi xxx;
5.
Membebankan
kepada Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini
sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus Rupiah);
Ada
pun Pertimbangan Hukum dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai berikut:
-
Bahwa
alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan,
karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP;
-
Bahwa putusan
Pengadilan Negeri Gorontalo pada tanggal 10 November 2012 dan dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Gorontalo pada tanggal 11 April 2013, telah memutus
perkara a quo bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang RI
Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
-
Bahwa Judex
Facti tidak salah menerapkan hukum, dan telah benar dalam mengadili
perkara tersebut, serta tidak melampaui batas kewenangan yang ada padanya;
-
Bahwa Judex
Facti telah mempertimbangkan perkara a quo dengan
seksama dan tepat, dan telah pula mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan hal-hal
meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, sehingga permintaan
Penuntut Umum agar Terdakwa dijatuhi pidana lebih berat, yaitu 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan tidak dapat dikabulkan, karena berat ringannya pidana yang
dijatuhkan adalah kewenangan Judex Facti;
-
Bahwa meskipun
demikian, membaca fakta hukum yang ditarik dari pemeriksaan persidangan, bahwa
benar Terdakwa telah menikahi saksi xxx di KUA (Kantor Urusan Agama), Kelurahan
Dulalowo, Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, dan telah mendapat Kutipan
Akta Nikah Nomor 182/13/XII/2008 pada bulan November 2008, dan Terdakwa telah
meninggalkan istrinya serta tidak tinggal serumah, karena dengan alasan ke
tempat kerja di Pohuwalo, hingga istri Terdakwa melahirkan seorang anak
perempuan bernama xxx yang saat sekarang telah berumur 3 (tiga) tahun, Terdakwa
tidak memberi nafkah lahir batin, pemeliharaan serta kebutuhan istri dan
anaknya;
-
Bahwa saksi-saksi
yang diajukan di persidangan menguatkan kesimpulan dalam pertimbangan Judex
Facti, sehingga pertimbangan Judex Facti dapat diterima;
-
Menimbang, bahwa
berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata putusan Judex
Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
-
Menimbang, bahwa
namun demikian, putusan a quo perlu diperbaiki dengan
menambahkan syarat khusus, yaitu keharusan Terdakwa membiayai hidup istri dan
anaknya dengan gajinya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) perbulan
selama waktu sebagaimana disebutkan dalam amar putusan dengan menyerahkan bukti
berupa kuitansi, dan jika Terdakwa tidak memenuhi syarat khusus tersebut, maka
Terdakwa harus menjalani pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa;
-
Menimbang, bahwa
oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum ditolak dengan
perbaikan dan terhadap Terdakwa dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada
tingkat kasasi ini dibebankan kepada Terdakwa;
-
Memperhatikan
Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 14a jo. Pasal 14c KUHP,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
2) Putusan kedua yang juga relevan adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1238 K/Pid/2005, tertanggal 26 Oktober 2006. Dalam perkara ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat sebelumnya terhadap Terdakwa. Meskipun demikian, dalam menjatuhkan putusan pidana, Majelis Hakim Agung menegaskan bahwa pemidanaan tidak boleh dipahami semata-mata sebagai bentuk pembalasan (retributive justice), melainkan sebagai sarana pembinaan (rehabilitative) dan penjeraan (deterrent) yang berorientasi pada perubahan perilaku. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memutuskan untuk menjatuhkan pidana bersyarat terhadap Terdakwa. Ada pun begini amar putusannya:
MENGADILI
Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA/- PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN
NEGERI BANDUNG tersebut;
Membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Bandung No.88/Pid.B/2005/- PN.Bdg. tanggal 19 April
2005;
MENGADILI SENDIRI:
1.
Menyatakan
Terdakwa Izaak Markus Armelius Paliama bin Marthin Ernst Paliama tersebut di
atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”
Menghuni rumah yang bukan miliknya tanpa persetujuan atau ijin pemilik dan
melakukan perbuatan tidak menyenangkan”;
2.
Menjatuhkan
pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama: 4
(empat) bulan;
3.
Menetapkan bahwa
hukuman tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari ada perintah
lain dengan keputusan Hakim, oleh karena Terpidana sebelum lewat masa percobaan
6 (enam) bulan telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum, dengan syarat
khusus dalam 3 (tiga) bulan meninggalkan rumah yang bersangkutan;
4.
Menyatakan barang
bukti berupa:
-
1 (satu) buku
photo copy Sertifikat HGB No.809/Kec. Sukajadi GS No.204/1937 atas tanah seluas
1.323 di Jl. Cipaganti No.43 Bdg, atas nama Gereja Protestan di Indonesia
Bagian Barat di Bandung;
-
1 (satu) photo
copy Surat Keputusan Kepala Kantor BPN Bandung No.550.2/60/HGB/KP/2004
tertanggal 22 Juli 2004 atas nama Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat di
Bandung;
-
1 (satu) lembar
photo copy kwitansi No.781/2004 tertanggal 23 Juli 2004 senilai Rp.
26.332.000,- (dua puluh enam juta tiga ratus tiga puluh dua ribu rupiah) atas
nama Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat di Bandung;
-
1 (satu) lembar
photo copy bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Tahun 2004 atas nama GPIB
Drs. Max Mongkol/Theol;
-
1 (satu) lembar
photo copy Surat Pernyataan tertanggal 10 Januari 1969 atas nama Pendeta
Paliama;
-
1 (satu) lembar
photo copy surat Permohonan Pengosongan sebuah rumah Dinas Pendeta
No.371/K/P/72 tertanggal 31 Mei 1972 atas nama Gereja Protestan Indonesia
Bagian Barat;
-
1 (satu) lembar
photo copy Surat Kepada Komandan Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara
Bandung No.21/K/64 tentang Perumahan Pendeta Jemaat GPIB Bandung;
-
1 (satu) photo
copy surat permohonan bantuan pada Majelis Sinode GPIB Jakarta No.117/K/P/72
tanggal 19 Februari 1992;
-
1 (satu) buku
foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor: 281 sebagai pembaharuan dari
Sertifikat Hak Guna Bangunan No.809/Sukajadi Surat Ukur No.294/Pasteur/2004
tertanggal 22 Februari 2005, luas 1.323 M2, nama pemegang Hak, Protestan di
Indonesia Bagian Barat Badan Hukum Indonesia Berkedudukan di Bandung tertanggal
24 Februari 2005;
Tetap
terlampir dalam berkas perkara;
Menghukum
Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan
dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima
ratus rupiah);
Ada
pun pertimbangan hukum dari Majelis Kasasi Mahkamah Agung sebagai berikut:
-
Bahwa
alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena apa yang dilakukan Terdakwa
dengan menempati rumah tersebut tanpa adanya ijin dari pemiliknya dalam hal ini
Gereja GPIB ” Bethel ” Bandung, sedangkan yang memiliki ijin untuk menempati
rumah tersebut adalah orang tua Terdakwa dan sebagai rumah dinas yang terakhir
pada tahun 1995, dengan demikian penghunian rumah yang dilakukan dengan sengaja
oleh Terdakwa sedang ia tahu ijin penghunian telah berakhir, hal ini telah
menunjukkan unsur kedua dari pasal 36 ayat (4) jo. Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang No.4 Tahun 1992 telah terpenuhi;
-
Bahwa selain itu
apa yang dilakukan oleh Terdakwa dalam menempati dan menguasai tanah berikut
bangunan di atasnya yang terletak di Jalan Cipaganti No.43 Kota Bandung,
tindakan Terdakwa yang menghalang-halangi petugas BPN untuk melakukan
pengukuran atas tanah berikut bangunan yang ditempatinya dengan menunjukkan
sikap yang kasar disertai ucapan kata-kata yang keras telah menunjukkan adanya
perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa oleh karenanya unsur-unsur
dalam dakwaan Kedua pun telah terbukti ;
-
Menimbang,
bahwa pemidanaan bukanlah sebagai tindakan balas dendam dan merupakan tindakan
pembinaan maupun penjeraan, dan berdasarkan ketentuan Pasal 14 c KUHP Majelis
menganggap layak atas diri Terdakwa diberikan syarat-syarat khusus untuk segera
meninggalkan lokasi yang dihuninya dalam jangka waktu yang akan ditentukan
dalam amar putusan ini;
3)
Putusan ketiga
yang dapat dijadikan rujukan adalah Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 819 K/Pid/2013, tertanggal 10 Desember 2013. Dalam perkara
ini, Majelis Hakim Agung mengafirmasi kekuatan hukum dari Surat Perdamaian
antara korban dan Terdakwa, yang pada pokoknya memuat kesepakatan mengenai
skema pembayaran ganti rugi secara mencicil. Mahkamah Agung memandang bahwa
kesepakatan tersebut mencerminkan adanya itikad baik dari pihak Terdakwa untuk
memulihkan kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana, sehingga ada pun
amar putusannya sebagai berikut:
M E N G A D I L I
Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa: KADEK RENTIASIH ALIAS DEK
REN tersebut;
Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: JAKSA/PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN
NEGERI SINGARAJA tersebut;
Memperbaiki
amar putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 58/PID/2012/PT.DPS tanggal 30
Januari 2013 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Singaraja tanggal 26
Juli 2012 Nomor: 97/Pid.B/2012/PN.Sgr. sekedar mengenai pidana penjara sehingga
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1.
Menyatakan
Terdakwa KADEK RENTIASIH alias DEK REN telah terbukti se- cara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENIPUAN“ ;
2.
Menghukum
Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan
masa percobaan selama 8 (delapan) bulan dengan syarat khusus hutang Terdakwa
diselesaikan dalam 4 (empat) kali pembayaran sampai dengan batas waktu masa
percobaan selesai;
3.
Menetapkan bahwa
pidana itu tidak perlu dijalani, kecuali apabila di kemudian hari ada perintah
lain dalam putusan Hakim karena Terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu tindak
pidana kejahatan sebelum masa percobaan 8 (delapan) bulan berakhir dengan syarat
khusus hutang Terdakwa diselesaikan dalam waktu 4 (empat) kali pembayaran
sampai dengan batas waktu masa percobaan selesai;
4.
Menetapkan barang
bukti berupa:
-
4 (empat) lembar
Cek BCA masing-masing;
-
1 (satu) lembar
Cek Nomor: FG 774346 tanggal 12 Oktober 2010, dengan nilai nominal
Rp40.000.000,00;
-
1 (satu) lembar
Cek Nomor: CM 758024 tanggal 24 Oktober 2010 dengan nilai nominal
Rp15.822.000,00;
-
1 (satu) lembar
Cek Nomor: CN 623817 tanggal 18 November 2010 dengan nilai nominal
Rp25.000.000,00;
-
1 (satu) lembar
Cek Nomor: CN 623817 tanggal 18 November 2010 dengan nilai nominal
Rp27.340.000,00;
-
1 (satu) lembar
BG Nomor: GEW 945181 tanggal 13 Oktober 2010, dengan nilai nominal
Rp38.000.000,00;
Dirampas
untuk dimusnahkan;
-
1 (satu) lembar
surat keterangan penolakan tanggal 13 Oktober 2010;
-
1 (satu) lembar
surat keterangan penolakan tanggal 14 April 2011;
Tetap
terlampir dalam berkas perkara;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00021 tanggal 28 Agustus 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00022 tanggal 28 Agustus 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00023 tanggal 29 Agustus 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00024 tanggal 29 Agustus 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00025 tanggal 29 Agustus 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00026 tanggal 29 Agustus 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00027 tanggal 29 Agustus 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00028 tanggal 6 September 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00029 tanggal 17 September 2010 ;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00030 tanggal 17 September 2010;
-
1 (satu) lembar
Nota Jaminan 00033 tanggal 18 September 2010;
Dikembalikan
kepada saksi Faujiah;
Membebankan
Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar
Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);
Ada
pun pertimbangan hukum dari Majelis di Mahkamah Agung sebagia berikut:
-
Bahwa
alasan-alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex
facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukumnya sudah tepat
sehingga dapat membuktikan Terdakwa melakukan tindak pidana “Penipuan“ sesuai
Pasal 378 KUHP karena terbukti Terdakwa pada medio Agustus 2010 dan September
2011 bertempat di Toko Emas Purnama milik saksi Faujiah di Kelurahan Banjar
Bali, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, telah membeli beberapa perhiasan
berupa gelang, cincin, kalung/ rantai dan anting yang seluruhnya seharga
Rp146.000.000,00 (seratus empat puluh enam juta rupiah) dengan memberi jaminan
4 Cek atas nama Ni Putu Eka Widanti dengan Nomor masing-masing : No.CI774346,
No. 758024, No. CN 623814 dan No. CN623817 serta 1 (satu) lembar Bilyet Giro
atas nama Terdakwa dengan No. GEW 945181, dimana pada saat menyerahkan Cek-Cek
dan BG sebagai jaminan tersebut Terdakwa menyatakan memberitahukan jika semua
Cek dan BG in casu semuanya ada dananya, sehingga saksi Faujiah tergerak
hatinya untuk menyerahkan barang/perhiasan kepada Terdakwa. Bahwa pada
kenyataannya setelah beberapa Cek dan BG tersebut dicairkan oleh saksi Faujiah
oleh pihak Bank Indonesia tidak dapat mencairkan karena dananya tidak ada
(kosong);
-
Bahwa dari uraian
tersebut telah ternyatalah tindakan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur
Penipuan sebagaimana tersebut dalam dakwaan alternatif Pertama sesuai Pasal 378
KUHP.
-
Menimbang, bahwa
namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 58/PID/2012/PT.DPS
tanggal 30 Januari 2013 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Singaraja
tanggal 26 Juli 2012 Nomor: 97/Pid.B/2012/PN.Sgr. harus diperbaiki sekedar
mengenai pidana, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa
oleh karena dalam kasus a quo telah dibuatkan Surat Kesepakatan
Perdamaian pada bulan Juli 2011 antara Terdakwa dengan saksi korban Faujiah
tentang penyelesaian in casu secara kekeluargaan dengan pembayaran
secara mencicil setiap bulannya maka kiranya masalah tersebut dapat
diselesaikan dengan memberikan hak dan kewajiban secara seimbang antara
Terdakwa dengan saksi korban (Faujiah) berupa sistim pembayaran yang ditetapkan
yang harus dilaksanakan oleh Terdakwa, sehingga tidak merugikan pihak korban
(saksi Faujiah) dengan cara-cara sebagaimana tersebut dalam amar putusan di
bawah ini;
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.