Bahwa sebagaimana Pengadilan Niaga Semarang sebagaimana
Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga
Smg., tertanggal 21 Oktober 2024, secara resmi menyatakan PT Sri Rejeki Isman
Tbk (Sritex) beserta 3 (tiga) anak perusahaannya dalam keadaan pailit, akibat
kegagalannya memenuhi perjanjian restrukturisasi utang yang telah disahkan
melalui mekanisme homologasi. Yang mana ada pun amar putusannya sebagai
berikut:
MENGADILI
1.
Mengabulkan
permohonan Pemohon Pembatalan Perdamaian untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan Para
Termohon telah lalai untuk memenuhi isi Perjanjian Perdamaian yang telah di
sahkan berdasarkan No. 12/Pdt.Sus-PKPU /2021/PN.Niaga Smg tanggal 25 Januari
2022, antara Para Termohon dengan Kreditor-kreditornya;
3.
Membatalkan
Perjanjian Perdamaian sebagaimana yang telah di sahkan berdasarkan Putusan
Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Semarang, No. 12/Pdt.Sus -PKPU
/2021/PN.Niaga Smg tanggal 25 Januari 2022, antara Para Termohon dengan
Kreditor-kreditornya;
4.
Menyatakan PT SRI
REJEKI ISMAN TBK, PT SINAR PANTJA DJAJA, PT BITRATEXINDUSTRIES, dan PT
PRIMAYUDHA MANDIRIJAYA Pailit dengan segala akibat hukumnya;
5.
Mengangkat Haruno
Patriadi, S.H., Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang sebagai Hakim
Pengawas;
6.
Mengangkat:
- Denny Ardiansyah,
S.H., M.H. berkantor di Jalan Madyotaman I No.5, Punggawan, Banjarsari,
Kota Surakarta, Jawa Tengah. Kurator dan Pengurus terdaftar di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-308
AH.04.03-2019 tertanggal 31 Desember 2019;
- Nur Hidayat, S.H.,
berkantor di Menara 165 lantai 4 JI. TB Simatupang Kav.1, Cilandak Timur,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Kurator dan Pengurus
terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor AHU-235 AH.04.05-2022 tertanggal 08 September 2022;
- Fajar Romy Gumilar,
S.H. berkantor di Gedung Gondangdia Lama 25, Lantai 3, Jl.R.P. Soeroso No
25. Cikini, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kurator dan Pengurus terdaftar di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik lndonesia Nomor
AHU-98.AH.04.06-2023 tertanggal 07 Juni 2023;
- Nurma Candra Yani
Sadikin, S.H., M.H. berkantor di 18 Office Park Building, Lantai 12, Unit
A & H, JI TB Simatupang, Kav 18, Jakarta Selatan, DKI Jakarta.
Kurator dan Pengurus terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik lndonesia Nomor AHU-117 AH.04.05-2022 tertanggal 29 Maret 2022.;
untuk
diangkat sebagai Kurator yang akan melakukan pengurusan dan pemberesan dalam
proses Kepailitan perkara ini;
5.
Menetapkan
imbalan jasa (fee) Kurator akan ditetapkan kemudian setelah proses Kepailitan
ini selesai;
6.
Menghukum Para
Termohon Pembatalan Perdamaian PT SRI REJEKI ISMAN TBK, Dkk, untuk
membayar biaya permohonan yang timbul atas permohonan Pembatalan Perdamaian ini
sebesar Rp. 3.245.000,00 (Tiga Juta Dua Ratus Empat Puluh Lima Ribu Rupiah);
Kemudian, putusan tersebut di atas diperkuat oleh Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 345 K/PDT.SUS-PAILIT/2024,
tertanggal 18 Desember 2024. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU tentang
Kepailitan), seluruh harta kekayaan debitor pailit otomatis masuk dalam sita
umum, dan pengurusannya berada di tangan Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas.
Namun, dinamika pailit Sritex berubah drastis ketika pada 20 Mei 2025, Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) menetapkan sejumlah pejabat Sritex, termasuk Komisaris Utama Iwan Setiawan Lukminto, sebagai tersangka dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dugaan korupsi ini berkaitan dengan penyalahgunaan fasilitas kredit dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) serta PT Bank DKI senilai total Rp692,9 miliar, yang digunakan untuk membayar utang atau membeli aset secara ilegal.
Konflik hukum yang muncul dalam kasus ini berkisar
pada pertanyaan, apakah Kejagung RI dapat menyita dan menjual aset yang
telah diletakkan dalam sita umum oleh kurator untuk mengganti kerugian negara?
Atau, haruskah Kejagung RI tunduk pada proses pemberesan harta pailit oleh
kurator terlebih dahulu?
Dari perspektif hukum kepailitan, Pasal 1 Angka
1 UU tentang Kepailitan menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum
atas seluruh kekayaan debitor pailit, dan pengurusannya dilakukan oleh
kurator. Sedangkan Pasal 31 ayat (2) UU tentang Kepailitan menyatakan
bahwa:
“Semua
penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus, dan jika perlu Hakim Pengawas
harus memerintahkan pencoretannya.”
Sementara itu, dari sisi hukum acara pidana, Pasal
39 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan
peluang yang berbeda:
“Benda
yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pengadilan perkara
pidana...”
Kedua norma ini menciptakan irisan kewenangan yang
mengakibatkan benturan normatif. Di satu sisi, kurator adalah eksekutor hukum
privat untuk menjamin pembayaran kepada kreditur. Di sisi lain, aparat penegak
hukum pidana adalah representasi kepentingan publik untuk melindungi keuangan
negara dari kerugian akibat tindak pidana.
Perdebatan akademik pun tajam. Prof. Edward Omar
Sharif Hiariej menyatakan bahwa sita pidana memiliki kedudukan yang
lebih tinggi karena hukum pidana adalah hukum publik yang bersifat memaksa[1].
Sebaliknya, Dr. Hadi Shubhan menegaskan bahwa sita umum pailit
bersifat mengikat secara menyeluruh dan harus didahulukan karena kepailitan
adalah status hukum yang membekukan seluruh peralihan kekayaan debitor[2].
Mahkamah Agung dalam berbagai putusan cenderung
mendahulukan sita umum dan menegasikan sita pidana, sepanjang
aset yang disengketakan telah berada dalam penguasaan kurator sebelum adanya
proses pidana. Tiga putusan penting perlu disorot:
1.
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 202 PK/Pdt.Sus/2012, tertanggal 20 Mei 2012 (PT Sinar Central Rejeki vs. Bareskrim Mabes Polri), MARI
menolak klaim Polri atas aset pailit dan menyatakan bahwa aset tersebut bukan
milik pelaku tindak pidana secara langsung, melainkan milik perseroan yang
telah dinyatakan pailit sebelumnya;
2.
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1533 K/Pdt.Sus-Pailit/2017, tertanggal 31 Januari 2018, (Kejagung RI vs. Kurator
PT Meranti Maritime): MARI menyatakan bahwa aset debitor pailit tidak dapat
dirampas negara karena tidak memiliki hubungan langsung dengan perbuatan
pidana, serta telah lebih dahulu dimasukkan dalam masa insolvensi.
3.
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 3 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, tertanggal 22 Januari 2019 (Kejagung RI vs. Kurator
Pandawa Group), Mahkamah memutuskan aset yang telah dinyatakan sebagai harta
pailit tidak dapat disita untuk perkara pidana yang diputus setelah pernyataan
pailit.
Ketiga putusan ini secara konsisten memperlihatkan bahwa sita umum memiliki daya tahan hukum yang lebih kuat ketika telah lebih dahulu diletakkan dan belum dicoret atau digugurkan secara sah.
Dalam konteks Sritex, analisis yuridis harus
memisahkan dua skenario:
1.
Jika aset yang
dibeli dengan dana korupsi di atasnamakan Sritex (entitas pailit): Maka secara
hukum, aset tersebut menjadi bagian dari harta pailit. Konsekuensinya, Kejagung
tidak berwenang menyita langsung, melainkan harus tunduk pada sistem pemberesan
oleh kurator, di mana BJB dan Bank DKI sebagai kreditur tercatat akan
memperoleh pembagian berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte.
2.
Jika aset dibeli
oleh pengurus Sritex dengan dana kredit tetapi diatasnamakan pribadi: Maka aset
tersebut bukan bagian dari harta pailit, dan Kejagung berwenang menyita serta
melelang untuk dimasukkan ke kas negara. Dalam hal ini, berlaku prinsip follow
the asset dalam TPPU.
Kasus Sritex memperlihatkan kekacauan sistemik akibat
absennya harmonisasi antara hukum pidana dan hukum kepailitan. Negara tidak
boleh membiarkan perebutan kewenangan antara kurator dan aparat penegak hukum
karena yang dirugikan adalah kreditur, pekerja yang belum menerima hak-haknya,
dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Dibutuhkan revisi terhadap Pasal 39 KUHAP agar memberikan batas yang tegas atas prioritas sita pidana terhadap objek dalam kepailitan. Di sisi lain, Mahkamah Agung harus lebih tegas memberikan panduan teknis melalui Surat Edaran MA (SEMA) agar tidak terjadi dualisme pelaksanaan hukum.
Sritex adalah cermin dari benturan norma hukum yang
tidak selesai secara sistemik. Tanpa intervensi legislatif dan yurisprudensi
progresif, konflik seperti ini akan terus berulang dan membahayakan kepastian
hukum serta keadilan substantif.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.