layananhukum

Kedudukan Hukum Harta Pailit Debitor dalam Terjadinya Sita Pidana terhadap Objek Kepailitan oleh Pengadilan

 

    Pendahuluan

    Konflik antara sita umum dalam kepailitan dan sita pidana dalam hukum acara pidana merupakan sebuah fenomena yuridis yang menyingkap lapisan kompleksitas penegakan hukum lintas rezim. Ketika satu objek kekayaan disentuh oleh dua jenis penyitaan yang didasarkan pada dua undang-undang yang berbeda—Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut sebagai UU tentang Kepailitan) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)—muncul pertanyaan mendasar mengenai hirarki, logika, dan tujuan hukum.

    Kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Pandawa Mandiri Group memberikan ilustrasi konkret atas persoalan ini. Dalam perkara ini, satu objek kekayaan terkena dua jenis sita yaitu pertama, sebagai boedel pailit yang diletakkan di bawah sita umum oleh kurator berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga, dan kedua, disita sebagai barang bukti dalam proses pidana berdasarkan penyidikan atas dugaan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan pencucian uang.

    Pertarungan Dua Rezim dalam Arena Yustisial: Rangkaian Putusan yang Menjadi Titik Balik

    Perjalanan hukum dalam perkara KSP Pandawa Mandiri Group adalah sebuah drama institusional, di mana dua kekuasaan—hukum kepailitan dan hukum pidana—beradu klaim atas satu objek yang sama yaitu boedel pailit.

    Episode pertama dimulai pada 31 Mei 2017, saat Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 37/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst., menyatakan KSP Pandawa Mandiri Group dan pendirinya, Salman Nuryanto, berada dalam kondisi pailit. Sejak saat itu, secara hukum seluruh harta kekayaan debitor—baik yang ada maupun yang diperoleh kemudian—dinyatakan masuk ke dalam sita umum, menjadi wewenang penuh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Di titik inilah hak kepemilikan individu atas asetnya lenyap dan digantikan oleh rejim kepailitan.

    Namun, dalam waktu yang hampir bersamaan, proses pidana menggeliat. Melalui Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 425 s.d. 429/Pid.Sus/2017/PN.Dpk., tertanggal 11 Desember 2017, Nuryanto dan sejumlah anggota KSP Pandawa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana perbankan, penipuan, dan pencucian uang. Ironisnya, pengadilan pidana menetapkan perampasan terhadap sejumlah aset, yang menurut hukum kepailitan, telah lebih dahulu berada dalam penguasaan kurator sebagai bagian dari boedel. Inilah pangkal benturan pun terjadi, dua putusan berbeda dari dua pengadilan, yang memerintahkan dua arah yang saling bertolak belakang terhadap satu objek yang sama.

    Ketegangan ini akhirnya meledak dalam bentuk gugatan hukum oleh Tim Kurator terhadap kejaksaan. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 11/Pdt.Sus-Gugatan Lain-Lain/2018/PN.Jkt.Pst., tertanggal 19 September 2018, hakim menegaskan bahwa penyitaan oleh kejaksaan adalah tidak sah karena dilakukan terhadap aset yang secara hukum sudah masuk dalam boedel pailit. Majelis hakim memerintahkan agar 19 (sembilan belas) aset yang disita oleh jaksa dikembalikan kepada kurator, demi menjamin berlangsungnya pemberesan harta pailit sesuai mandat undang-undang.

    Klimaks dari konflik ini hadir dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, tertanggal 22 Januari 2019. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menolak kasasi Kejaksaan dan menguatkan putusan pengadilan sebelumnya. MA tidak hanya menegaskan bahwa aset tersebut adalah bagian dari boedel pailit, tetapi juga menyatakan bahwa karena debitor telah dinyatakan pailit terlebih dahulu, maka status kepemilikan atas aset tersebut tidak lagi berada pada tangan pribadi Nuryanto—melainkan telah melebur ke dalam sistem pemberesan kepailitan.

    Dari kronologi putusan ini, terlihat bahwa Mahkamah Agung pada akhirnya memilih menegakkan prinsip hukum prioritas sita umum dalam kepailitan di atas sita pidana, setidaknya dalam konteks di mana putusan pailit telah lebih dahulu ditetapkan.

    Simfoni yang Sumbang: Ketegangan Normatif antara Undang-Undang Kepailitan dan KUHAP

    Kemenangan kurator dalam serangkaian putusan pengadilan dalam kasus KSP Pandawa Mandiri Group memang mengembalikan sebagian harapan para kreditor. Namun, di balik narasi yudisial tersebut, tersembunyi ketegangan yang jauh lebih dalam yaitu konflik normatif antar peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan tidak sinkron. Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar siapa yang lebih dahulu menyita, tetapi hukum siapa yang seharusnya berlaku dalam kondisi overlapping yuridiksi atau kewenangan mengadili.

    Ketegangan itu tampak nyata dalam benturan antara 2 (dua) norma kunci. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU tentang Kepailitan) secara eksplisit menyatakan bahwa:

    “Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretan.”

    Ketentuan ini harus dipahami secara mendalam karena menyentuh prinsip dasar tata kelola boedel pailit, yakni bahwa sejak putusan pailit dijatuhkan, seluruh upaya eksekusi individual atas harta debitur harus dihentikan. Ia merupakan manifestasi dari asas utama dalam kepailitan yaitu bahwa sejak debitur dinyatakan pailit, semua upaya eksekusi individual maupun kolektif harus dihentikan dan digantikan oleh sita umum. Harta kekayaan debitor beralih menjadi rezim khusus yang hanya dapat dikelola melalui mekanisme kepailitan yang diawasi oleh hakim, demi prinsip keadilan bagi seluruh kreditor secara proporsional.

    Namun, pada saat bersamaan, Pasal 39 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan bunyi yang berbeda:

    “Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata' atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana….”

    Ketentuan ini membuka ruang interpretasi yang luas. Secara normatif, ia memberikan dasar hukum bagi penyidik untuk melakukan penyitaan pidana terhadap suatu benda, bahkan apabila benda tersebut telah lebih dahulu berada dalam penguasaan kurator sebagai bagian dari boedel pailit. Dalam praktik peradilan, pasal ini sering dijadikan pijakan oleh aparat penegak hukum untuk mengklaim kembali penguasaan atas aset yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana, meskipun secara formal aset tersebut telah tunduk pada mekanisme sita umum dalam kepailitan.

    Di titik inilah logika hukum mulai mengalami friksi. Jika UU tentang Kepailitan menghendaki pengelolaan aset debitur secara kolektif dan tertib oleh kurator, sementara KUHAP memperkenankan intervensi aparat pidana atas benda yang sama, maka kita sedang menyaksikan dualisme normatif yang saling menegasikan. Dua tangan negara—pengadilan niaga dan penegak hukum pidana—justru saling menjambak, bukan bersinergi.

    Pertanyaan yang mengemuka pun menjadi sangat filosofis yaitu apakah kepentingan publik yang dibawa oleh hukum pidana secara otomatis membatalkan kepentingan hukum privat para kreditor yang dijamin dalam hukum kepailitan? Atau justru sebaliknya, dalam tatanan negara hukum yang adil, kedua kepentingan ini seharusnya didamaikan melalui asas prioritas, bukan konfrontasi?

    Teori lex specialis derogat legi generali kerap diajukan sebagai jawaban atas kebuntuan ini. Dalam hal ini, UU tentang Kepailitan adalah lex specialis karena secara khusus mengatur penyitaan dan pemberesan terhadap harta debitor. Sementara KUHAP, meskipun bersifat publik, merupakan lex generalis dalam konteks pengaturan tentang objek sitaan. Maka secara teori, ketika terjadi pertentangan antara keduanya, norma kepailitanlah yang seharusnya diutamakan.

    Namun dalam praktiknya, kita sering menemukan tafsir sebaliknya. Penyidik berpegang pada narasi “kepentingan umum” untuk menjustifikasi tindakan sita pidana atas objek boedel. Padahal, seperti yang ditunjukkan dalam kasus Pandawa, objek tersebut justru lebih berkepentingan untuk dibagi secara adil kepada para kreditor korban penipuan—yang jumlahnya mencapai ribuan.

    Di sinilah pertarungan nilai benar-benar dimulai: antara kepastian hukum yang dijanjikan oleh UU tentang Kepailitan, dan klaim moral atas keadilan substantif yang digaungkan oleh aparat pidana. Dan ketika negara gagal menjawab ketegangan ini dengan kerangka hukum yang sinkron, maka kreditor, debitur, dan bahkan sistem peradilan itu sendiri yang menjadi korbannya.

    Dialektika Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan: Paradoks yang Tak Terelakkan

    Jika kepailitan hadir sebagai mekanisme hukum untuk melindungi kreditor dari kerugian yang tidak proporsional, maka setiap intervensi atas boedel pailit semestinya tunduk pada prinsip keadilan distributif dan kepastian hukum. Namun justru di titik ini, sistem hukum Indonesia memperlihatkan wajah problematiknya—ketika jaminan hukum yang diberikan kepada kreditor justru dapat dilumpuhkan oleh klaim penegakan hukum pidana yang datang kemudian.

    Putusan-putusan pengadilan dalam kasus Pandawa memang memihak kurator. Akan tetapi, keadilan yang ditegakkan terasa separuh hati, karena hanya dipulihkan melalui gugatan, bukan dilindungi secara otomatis oleh sistem. Ribuan kreditor terpaksa menunggu bertahun-tahun hanya untuk menegaskan hak atas aset yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari boedel sejak vonis pailit dijatuhkan. Ini adalah bentuk ketidakpastian hukum yang berkamuflase dalam prosedur formal—di mana hukum terlihat berjalan, tetapi tidak pernah benar-benar hadir bagi korban yang paling terdampak (apparet lex, sed iustitia absens est).

    Dalam benturan antara hukum kepailitan dan hukum pidana, seharusnya ada prinsip penuntun yang konsisten dan berpihak pada asas prioritas hukum substantif. Ketika dua norma saling bertabrakan—yang satu mengatur penyitaan secara khusus dan menyeluruh (lex specialis), dan yang lain memberikan legitimasi penyitaan dalam konteks yang lebih umum (lex generalis)—maka sistem hukum yang rasional akan mendahulukan aturan yang lebih spesifik dan relevan dengan objek yang disengketakan. Meletakkan sita pidana di atas boedel pailit bukan hanya melanggar asas tersebut, tetapi juga menghancurkan logika kolektif dalam kepailitan, yang dirancang untuk memastikan distribusi keuangan secara adil kepada semua kreditor.

    Lebih dari itu, melakukan penyitaan ganda terhadap satu objek adalah praktik yang seharusnya dianggap cacat hukum secara prinsipil. Bagaimana mungkin sebuah negara hukum membiarkan dua organ yudisial saling menarik satu benda dari arah berlawanan? Prinsip hukum perdata yang melarang double seizure (sita ganda) tidak sekadar soal prosedur, melainkan refleksi dari kebutuhan akan keteraturan, efektivitas, dan akuntabilitas sistem peradilan.

    Paradoksnya, ketika hukum hendak mengejar pelaku kejahatan melalui jalur pidana, yang dikorbankan justru adalah korban kolektif yaitu para kreditor yang dirugikan. Dalam logika yang sehat, penegakan hukum pidana seharusnya menopang pemulihan sipil—bukan menjegalnya. Jika negara mengambil alih aset pelaku dan menolaknya kembali ke tangan kreditor melalui mekanisme pailit, maka negara bukan sedang menegakkan keadilan, tetapi sedang mempertegas monopoli kekuasaan atas penderitaan masyarakat sipil.

    Kepastian hukum tidak akan pernah bermakna jika tidak berdampingan dengan keadilan. Dan keadilan tidak akan pernah substansial jika hanya dipahami dari kacamata legal formal tanpa melihat realitas sosial ekonomi para pihak yang terdampak. Negara hukum yang sejati bukan hanya menjamin bahwa hukum berlaku, tetapi memastikan bahwa hukum bekerja untuk siapa yang seharusnya ia layani.

    Mencari Jalan Tengah: Menuju Reformasi Paradigmatik dalam Sengketa Sita Ganda

    Konflik antara rezim kepailitan dan hukum pidana dalam konteks penyitaan terhadap boedel pailit bukan semata-mata problem teknis prosedural. Ia adalah cermin dari kegagalan sistemik dalam membangun tata hukum yang terintegrasi, hierarkis, dan berpihak pada perlindungan hak warga negara secara seimbang. Ketika satu objek harta dapat diperebutkan oleh dua rezim hukum tanpa aturan main yang jelas, maka bukan hanya kreditor yang dirugikan, tetapi juga legitimasi hukum itu sendiri yang terkikis.

    Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah strategis dan reformatif yang tidak bersifat tambal sulam, melainkan merombak dari hulu ke hilir tumpang tindih normatif dan kelembagaan yang selama ini dibiarkan hidup berdampingan secara kontradiktif.

    Pertama, diperlukan kodifikasi ulang terhadap norma-norma yang bersinggungan lintas-rezim, khususnya antara UU tentang Kepailitan dan KUHAP. Kodifikasi ini bukan semata menyusun ulang teks, melainkan menegaskan prinsip hierarki dan asas prioritas dalam penerapan hukum ketika terjadi benturan yurisdiksi. Tanpa kejelasan batas normatif, aparat penegak hukum akan terus berlindung di balik pasal-pasal multitafsir yang membuka celah bagi praktik rebut-merebut kewenangan atas objek hukum.

    Kedua, penguatan yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai instrumen harmonisasi hukum harus menjadi kebijakan institusional yang sistematis. Putusan-putusan seperti dalam perkara Pandawa dan First Travel perlu diletakkan sebagai preseden normatif yang mengikat tidak hanya secara vertikal kepada pengadilan yang lebih rendah, tetapi juga sebagai standar operasional antar-instansi yang terlibat dalam penyitaan aset. Yurisprudensi harus dihidupkan sebagai alat konsistensi hukum, bukan sekadar arsip pengadilan.

    Ketiga, diperlukan reformasi kelembagaan dan mekanisme koordinasi antara kurator dan aparat penegak hukum, terutama jaksa penuntut umum. Harus ada protokol baku yang mengatur bagaimana status hukum aset debitur yang telah dinyatakan pailit harus ditangani ketika bersinggungan dengan proses pidana. Kegagalan menciptakan koordinasi yang jelas justru memperpanjang sengketa, membekukan pemberesan, dan pada akhirnya memupuskan hak-hak kreditor yang seharusnya mendapat perlindungan hukum yang cepat dan proporsional.

    Dengan kata lain, hukum tidak boleh berhenti pada ketaatan prosedural, tetapi harus berani menata ulang dirinya agar mampu mengatasi konflik antarnorma dan antarlembaga. Tanpa keberanian institusional untuk berbenah, hukum akan terus menjadi arena tarik-ulur kekuasaan, bukan sarana penyelesaian yang adil dan efisien.

    Penutup: Saat Hukum Menjadi Arena dan Bukan Pelindung

    Konflik antara sita umum dalam kepailitan dan sita pidana bukanlah sekadar benturan prosedur atau ketidaksinkronan norma; ia adalah cermin dari ketegangan struktural dalam watak hukum itu sendiri—antara hukum yang menjanjikan keadilan dan hukum yang tunduk pada logika kekuasaan.

    Ketika satu objek diperebutkan oleh dua tangan negara—kurator yang mewakili kepentingan kolektif kreditor, dan penyidik yang mengatasnamakan kepentingan umum pidana—yang dipertaruhkan bukan hanya soal aset, melainkan hakikat hukum sebagai instrumen keadilan. Apakah hukum hadir untuk menyelesaikan konflik secara tertib dan adil, atau justru menjadi arena baru tempat kekuasaan berkompetisi tanpa koordinasi dan tanpa tanggung jawab?

    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, tertanggal 22 Januari 2019, memang memberikan arah yang patut diapresiasi: menegaskan supremasi sita umum dan mengembalikan otoritas kurator dalam pemberesan. Namun putusan itu hanya secercah terang dalam sistem yang masih gelap oleh ketidakpastian normatif dan ego sektoral kelembagaan.

    Selama hukum pidana dan hukum kepailitan dibiarkan berdiri dalam ruang yang terpisah—tanpa mekanisme integrasi, tanpa asas prioritas yang jelas, dan tanpa protokol koordinatif yang mengikat—maka hak-hak kreditor akan terus menjadi korban dari pertarungan simbolik antar lembaga penegak hukum. Hukum yang seharusnya menjamin keadilan, justru berubah menjadi sistem yang saling meniadakan dan menunda keadilan itu sendiri.

    Kita tidak sedang kekurangan norma, tetapi kekurangan keberanian untuk menyatukan dan menundukkan norma-norma itu kepada tujuan hukum yang tertinggi: keadilan substantif dan kemanfaatan sosial. Selama rekonstruksi ini tidak dilakukan, kasus seperti Pandawa hanyalah satu dari banyak bom waktu yuridis yang menunggu meledak, dengan korban paling pasti: rakyat biasa yang menaruh kepercayaannya pada janji hukum yang tak pernah ditepati.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.