Pendahuluan
Apabila dicermati, ketentuan
Pasal 117 Angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
(selanjutnya disebut “UU tentang Cipta Kerja”), telah mengubah ketentuan
Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, sebagaimana terakhir diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disebut “UU tentang Desa”), menyatakan bahwa:
“Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa adalah badan
hukum yang didirikan oleh Desa dan/atau bersama Desa-Desa guna mengelola
usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas,
menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.”
Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan badan hukum yang dibentuk oleh
desa guna mengelola potensi ekonomi lokal secara kolektif demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Landasan formal awal kehadiran BUMDes secara eksplisit diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disebut “UU tentang Desa”), sebagai bagian dari agenda besar
desentralisasi dan penguatan otonomi desa pasca reformasi. Undang-undang ini
memperkenalkan BUMDes dalam kerangka hukum yang memberi ruang bagi desa
untuk membentuk badan usaha sebagai instrumen pengembangan ekonomi lokal dan
alat redistribusi kesejahteraan berbasis partisipasi warga.
Gagasan mengenai kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) selanjutnya dijabarkan lebih lanjut melalui sejumlah peraturan pelaksana. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain itu, pengaturan lebih teknis juga dimuat dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, serta Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, yang kemudian telah dicabut melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2015.
Rangkaian peraturan tersebut membentuk fondasi administratif bagi
eksistensi dan operasionalisasi BUM Desa. Namun demikian, hingga saat itu
belum tersedia kepastian hukum yang memadai terkait status badan hukum BUM
Desa, mekanisme pengelolaan aset, maupun model tata kelola yang profesional
dan akuntabel. Ketidakjelasan ini kemudian menjadi alasan normatif dan
praktis bagi negara untuk merespons melalui
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Badan Usaha Milik Desa, yang hadir sebagai instrumen regulatif untuk mengisi kekosongan hukum
serta menjamin keberfungsian BUM Desa secara nasional dan berkelanjutan.
Dalam konteks politik hukum pembangunan, kelahiran BUM Desa dapat dibaca
sebagai produk rekayasa institusional negara pasca-reformasi untuk menjawab
persoalan ketimpangan struktural antara pusat dan desa. BUM Desa diposisikan
sebagai instrumen ekonomi baru di level mikro yang mengemban misi besar
yaitu
membangun desa dari desa, melalui semangat kewirausahaan lokal (local entrepreneurship), partisipasi masyarakat, dan pengelolaan sumber daya berbasis kearifan
lokal.
Namun, idealisasi normatif ini segera berhadapan dengan realitas sosial-hukum yang jauh dari sinkron. Ketika desain institusional BUM Desa dipaksakan bergerak dalam kerangka good corporate governance (GCG) ala subjek bisnis modern, tanpa disertai revitalisasi struktural terhadap perangkat hukum desa, maka BUM Desa justru terjebak dalam kekacauan orientasi. Regulasi normatif berjalan terlalu cepat, sementara kesiapan struktur kelembagaan desa—baik secara kapasitas SDM, budaya hukum (legal culture), maupun manajemen tata Kelola (governance management)—belum mampu mengejar laju kerangka hukum yang dibentuk dari atas.
Situasi ini menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai
“mual kelembagaan” terjemahan konseptual dari istilah
motion sickness—yakni suatu kondisi disorientasi sistemik yang
dialami oleh BUM Desa karena harus berjalan tanpa kompas normatif yang
memadai. Dalam metafora hukum, BUM Desa ibarat kendaraan yang mesinnya telah
menyala, namun belum memiliki peta jalan yang jelas yaitu ke mana arah
ditempuh, siapa yang mengemudi, bagaimana navigasi dijalankan, dan apa
tanda-tanda keselamatan kelembagaan yang mesti diikuti. BUM Desa dipaksa
bertindak seperti korporasi, namun secara konstitusional tetap dikekang oleh
posisi subordinatif di bawah struktur Pemerintahan Desa.
Paradoks inilah yang menjadi landasan refleksi kritis dalam tulisan ini.
Artikel ini berupaya membongkar secara sistematis dan teoritis bagaimana
ketidaksinkronan antara desain hukum dan praksis kelembagaan dalam
penyelenggaraan BUM Desa menimbulkan anomali struktural, serta menawarkan
pembacaan radikal atas problem disorientasi hukum ini melalui pendekatan
yuridis normatif dan sosiologis yang tajam, kontekstual, dan progresif.
Kerangka Yuridis antara Norma dan Realitas
Sebagaimana yang sudah Penulis jelaskan tersebut di atas, bahwa Badan Usaha
Milik Desa (BUM Desa) adalah produk hukum negara yang lahir dari semangat
desentralisasi dan rekognisi terhadap kewenangan asli desa dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara yuridis, eksistensi BUM Desa
berpijak pada beberapa perangkat peraturan perundang-undangan, antara
lain:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disebut “UU tentang Desa”);
2.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan
Usaha Milik Desa
(selanjutnya disebut PP No. 11/2021).
Secara normatif, Pasal 1 PP No. 11/2021 menyatakan bahwa:
“Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa adalah badan
hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola
usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas,
menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.”
Redaksi ini dengan tegas menyatakan bahwa BUM Desa memiliki status sebagai
badan hukum mandiri, terpisah dari struktur pemerintahan desa, dan
diarahkan untuk menjalankan aktivitas ekonomi dengan orientasi kesejahteraan
masyarakat.
Namun dalam pelaksanaannya, terjadi kontradiksi konseptual dan struktural yang tajam antara spirit entrepreneurial government yang diusung oleh peraturan perundang-undangan nasional, dengan realitas empirik kelembagaan desa yang belum siap secara sistemik.
Paradoks Desain Institusional
Secara normatif, Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dirancang sebagai subjek
hukum ekonomi desa yang otonom dengan orientasi korporatisasi lokal. Model
kelembagaan ini mengadopsi semangat good corporate governance (GCG)
dan prinsip-prinsip entrepreneurial government sebagaimana
dikembangkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam gagasannya mengenai
reinventing government. Pendekatan tersebut menekankan pentingnya
efisiensi, profesionalitas, dan inovasi dalam pelayanan publik dengan cara
menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam praktik pemerintahan,
suatu wilayah yang secara historis merupakan domain birokrasi administratif
dan bukan logika perusahaan swasta.
Osborne dan Gaebler mengkritik model birokrasi konvensional yang terlalu
berorientasi pada input dan proses, bukan pada outcome atau hasil
yang nyata. Dalam pengamatannya terhadap birokrasi di Amerika Serikat,
mereka menyatakan bahwa pemerintah kerap kali mengeluarkan pembiayaan besar
untuk kegiatan pelayanan publik, namun tidak selalu disertai dengan
peningkatan kualitas hasil atau kesejahteraan masyarakat. Mereka berargumen
bahwa birokrasi yang berorientasi pada hasil (result-oriented bureaucracy) lebih mampu menciptakan pelayanan yang efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara publik dibandingkan dengan birokrasi yang hanya
berfokus pada pelaksanaan prosedur[1].
Namun demikian, idealisasi desain institusional tersebut kerap berbenturan
dengan realitas struktur sosial-politik di tingkat desa. Sistem kelembagaan
desa di banyak tempat masih bercorak patrimonial, informal, dan
paternalistik. Relasi kuasa bersifat personal dan berbasis loyalitas
genealogis maupun kedekatan politik, bukan rasionalitas institusional.
Kondisi ini menciptakan kesenjangan struktural antara prinsip manajerial
modern yang diadopsi secara normatif, dan kapasitas lokal untuk
menjalankannya secara substantif.
Fenomena ini menimbulkan apa yang dapat disebut sebagai
mabuk kelembagaan—suatu kondisi di mana BUM Desa dipaksa beroperasi
dalam sistem hukum dan tata kelola yang secara struktural tidak kompatibel
dengan kapasitas sosial, ekonomi, dan politik lokal. Akibatnya, banyak BUM
Desa yang secara formal telah dibentuk, namun secara fungsional tidak mampu
menjalankan mandat ekonominya dengan baik.[2]
Di sisi lain, studi menunjukkan bahwa implementasi GCG pada BUM Desa memang
memiliki potensi besar untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan
kinerja organisasi, tetapi realisasinya dihadang oleh hambatan sumber daya
manusia, kultur lokal, serta resistensi terhadap perubahan. Oleh karena itu,
dibutuhkan pendekatan kelembagaan yang tidak sekadar normatif dan
top-down, tetapi juga kontekstual, partisipatif, dan berbasis
realitas desa yang pluralistik.[3]
Ketidaksiapan Struktural dan Kultural Desa
Kontradiksi antara desain normatif Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa)
sebagai badan hukum korporatif dan realitas implementasinya di tingkat desa
dapat dijelaskan melalui beberapa problematik mendasar yang bersifat
struktural dan kultural.
Pertama, Keterbatasan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Mayoritas pengelola BUM Desa tidak memiliki latar belakang keahlian dalam
manajemen bisnis, hukum korporasi, maupun akuntansi keuangan desa. Kondisi
ini menghambat pelaksanaan tata kelola yang akuntabel dan profesional.
Penelitian yang dilakukan oleh Ayi Yayan Sofian dkk. pada BUM Desa Bina
Laksana di Desa Sukalaksana, Kabupaten Garut, menunjukkan bahwa meskipun BUM
Desa telah beroperasi, pelaporan keuangan dan dokumentasi hukum belum
berjalan optimal akibat ketiadaan sistem pengawasan internal dan regulasi
teknis pengelolaan keuangan yang memadai.[4]
Kedua, Absennya Sistem Tata Kelola yang Baku dan Tertulis
Meskipun
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Badan Usaha Milik Desa
telah mewajibkan keberadaan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga sebagai dokumen konstitusional BUM Desa, masih
banyak BUM Desa di lapangan masih menjalankan aktivitas bisnis tanpa standar
operasional prosedur (SOP), mekanisme akuntabilitas internal, ataupun desain
model bisnis yang jelas dan terdokumentasi. Ketiadaan perangkat tata kelola
ini berkonsekuensi pada lemahnya transparansi dan tidak optimalnya
pengawasan pengelolaan aset desa. Sebagaimana dikemukakan oleh Khasanah,
kelembagaan BUM Desa memerlukan inovasi struktural serta sinergi antara
perencanaan strategis dan implementasi regulatif.[5]
Ketiga, Kuatnya Orientasi Budaya Non-Korporat Dalam Pengelolaan
Kelembagaan Desa
Pengurus BUM Desa sering kali merupakan perangkat desa atau pihak-pihak
yang ditunjuk melalui relasi politik, bukan berdasarkan seleksi berbasis
profesionalitas atau kompetensi substantif. Dominasi relasi informal dalam
pengisian jabatan pengurus BUMDes ini menciptakan ruang konflik kepentingan
dan memperlemah prinsip independency dalam tata kelola. Akibatnya,
prinsip-prinsip good corporate governance seperti transparansi,
akuntabilitas, dan pengawasan berbasis prinsip
check and balance tidak dapat diimplementasikan secara efektif.
Sebagaimana diuraikan oleh Dewi dkk., salah satu “titik akupresur” yang
harus ditekan untuk menyembuhkan “mabuk kelembagaan” (motion sickness) BUM Desa adalah sterilisasi kepentingan politik dalam struktur
pengelolaan.[6]
Ambiguitas Status Hukum dan Relasi Kuasa
Meskipun secara eksplisit disebutkan sebagai badan hukum dalam
Pasal 1 PP No. 11/2021, status hukum BUM Desa masih berada dalam
ruang abu-abu yang tidak sepenuhnya setara dengan badan usaha formal lainnya
seperti Perseroan Terbatas (PT) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Ambiguitas ini menimbulkan ketegangan struktural dan problematika hukum yang
signifikan, baik dalam dimensi pengelolaan internal maupun dalam hubungan
eksternal dengan pihak ketiga.
Pertama, Tidak Terdapat Pemisahan Tegas antara Kepemilikan dan
Pengelolaan (Ownership Vs. Management)
Dalam subjek hukum yang berbadan hukum korporasi seperti PT atau BUMD,
terdapat struktur yang secara hukum yang membedakan secara jelas antara
pemilik modal (dalam bentuk pemegang saham atau penyerta modal) dan
pengelola (Direksi dan Dewan Komisaris). Namun dalam praktik BUM Desa, tidak
terdapat mekanisme yang rigid dan terstruktur untuk membedakan relasi
kepemilikan desa sebagai entitas publik dengan pengelolaan usaha yang
seharusnya profesional. Hal ini memunculkan persoalan konflik kepentingan
dan dominasi kuasa politik lokal dalam pengelolaan ekonomi desa. Seperti
dijelaskan oleh Satriyo dkk.,
ketidakterpisahan antara kepemilikan dan pengelolaan menjadikan BUMDes
berada dalam kekosongan posisi hukum korporasi yang lazim dan melemahkan
prinsip-prinsip manajerial yang profesional.[7]
Kedua, Tidak Adanya Struktur Pemegang Saham atau Mekanisme Kepemilikan
Modal yang Spesifik
Berbeda dengan PT yang memiliki struktur permodalan yang jelas melalui
saham dan BUMD yang tunduk pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, BUMDes hanya
menyebut “penyertaan modal desa” tanpa disertai skema kapitalisasi,
pembagian hak suara, atau mekanisme pengendalian manajemen yang spesifik.
Kondisi ini menjadikan posisi BUM Desa sebagai subjek hukum terkesan
setengah hati—disebut badan hukum, tetapi tidak memiliki atribut hukum
korporasi yang utuh.
Ketiga, Relasi Hukum antara BUM Desa dan Pihak Ketiga (terutama dalam
Perikatan Perdata Komersial) menjadi Tidak Jelas dan Rawan Dipertanyakan
Keabsahannya
Status hukum yang tidak rigid menimbulkan problem yuridis ketika BUM Desa
terlibat dalam kontrak bisnis, pinjaman modal, atau perikatan perdata
lainnya. Pihak eksternal dapat sewaktu-waktu menggugat legalitas BUM Desa
sebagai mitra kontraktual, karena tidak adanya kejelasan struktur
pertanggungjawaban hukum dan aset. Hal ini diperparah oleh ketiadaan
pemisahan kekayaan secara tegas antara kekayaan desa dan kekayaan BUM Desa.
Seperti yang disoroti oleh Dewi dkk., ambiguitas posisi ini membuat BUM Deas
beroperasi seperti lembaga setengah publik, setengah privat—yang secara
kelembagaan belum memiliki “imunitas” maupun akuntabilitas hukum yang
seimbang.[8]
Keempat, BUM Desa Tidak Tunduk pada Rezim Hukum Korporasi secara
Penuh
BUMDes bukan merupakan subjek hukum dalam pengertian
rechtspersoon sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Ketidakterikatan ini menimbulkan anomali
hukum karena pada satu sisi BUM Desa menjalankan fungsi ekonomi dan
melakukan perikatan seperti korporasi, namun di sisi lain tidak memiliki
kedudukan hukum yang diatur secara tegas oleh hukum korporasi nasional.
Sebagaimana diuraikan oleh Purwo Santoso,
badan hukum seperti BUMDes yang tidak terdefinisikan secara rigid dalam
sistem hukum nasional akan berisiko menjadi korban dari kekosongan norma
(legal vacuum) maupun tumpang tindih regulasi antar sektor.[9]
Lemahnya Rezim Supervisi dan Akuntabilitas
Konsekuensi paling nyata dari ambiguitas dan kekosongan struktur hukum BUM Desa adalah lemahnya sistem supervisi, evaluasi, dan pertanggungjawaban kelembagaan. Meskipun secara normatif Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa telah memuat ketentuan tentang pelaporan, audit, dan pengawasan internal oleh musyawarah desa serta penasihat, dalam praktik, ketentuan tersebut tidak didukung oleh mekanisme institusional dan perangkat hukum yang memadai untuk menjamin akuntabilitas secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk. menunjukkan bahwa ketiadaan sistem pembinaan, evaluasi, dan pengawasan yang sistemik dan terstruktur dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menyebabkan BUM Desa beroperasi dalam ruang otonomi yang tidak terkawal. Kondisi ini menciptakan kerentanan terhadap penyimpangan kewenangan, potensi penyalahgunaan aset desa oleh elite lokal, serta berkembangnya model kelembagaan simbolik yang hanya memenuhi kewajiban administratif tanpa menghasilkan kinerja substantif.[10]
Selain itu, tidak adanya lembaga pengawasan eksternal independen, serta
ketiadaan skema audit publik terhadap penggunaan dana desa yang dialokasikan
ke BUM Desa, telah membuka ruang gelap pengelolaan keuangan tanpa instrumen
korektif. Seperti yang dijelaskan oleh Hadjon, pengawasan dalam sistem
administrasi pemerintahan bukan hanya soal prosedur administratif, tetapi
merupakan manifestasi dari prinsip negara hukum (rechtsstaat) yang
mengharuskan setiap penggunaan kewenangan publik dapat diuji secara terbuka
dan bertanggung jawab.[11]
Tautan yang Belum Tuntas antara Desa sebagai Subjek Hukum dan BUM Desa sebagai Subjek Ekonomi
Permasalahan krusial lain yang memperlemah fondasi hukum dan kelembagaan
BUM Desa adalah absennya pemisahan konseptual dan yuridis antara Desa
sebagai subjek hukum publik administratif dan BUMDes sebagai subjek hukum
ekonomi privat. Secara normatif, BUMDes disebut sebagai badan hukum yang
“mandiri”, tetapi dalam banyak aspek tetap melekat pada perangkat desa
sebagai entitas politik-pemerintahan. Dilema ini menimbulkan ambiguitas
status yaitu apakah BUMDes berfungsi sebagai badan hukum publik yang
menjalankan layanan publik berbasis asas desentralisasi administratif, atau
sebagai badan hukum privat yang berorientasi pada efisiensi ekonomi dan
keuntungan (profit oriented)?
Ketiadaan kejelasan atas aspek ini menghasilkan sejumlah implikasi
sistemik, antara lain:
1.
Ketidakjelasan tata kelola dan pengawasan, karena tidak ada garis demarkasi
antara fungsi politik-pemerintahan dan fungsi ekonomi-korporatif;
2.
Kerancuan dalam penganggaran dan penggunaan dana desa, di mana
pengalokasian dana ke BUM Desa rentan disalahartikan sebagai bagian dari
kebijakan pemerintah, bukan investasi bisnis;
3.
Ketiadaan skema pertanggungjawaban hukum, baik dalam bentuk audit publik
maupun mekanisme pertanggungjawaban korporasi privat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, kegagalan sistem
hukum Indonesia dalam membangun batas tegas antara domain publik dan privat
menjadikan banyak institusi hasil rekayasa negara—termasuk BUM
Desa—beroperasi dalam medan abu-abu antara negara dan pasar, yang cenderung
tidak akuntabel.[12]
Dalam konteks hukum administrasi modern, BUM Desa seharusnya dikonstruksi
sebagai “public economic entity”—yaitu badan hukum dengan status
otonom yang tunduk pada sistem hukum privat dalam hubungan bisnis, tetapi
tetap dapat diawasi oleh prinsip-prinsip hukum publik dalam penggunaan
sumber daya publik. Namun, konstruksi semacam ini belum hadir dalam kerangka
hukum Indonesia. Ketidakhadiran jembatan antara desain kelembagaan negara
dan struktur operasional pasar menjadikan BUM Desa entitas yang
timpang—beroperasi seperti perusahaan, tetapi dipertanggungjawabkan seperti
birokrasi desa.
Diskursus Kritis: Dislokasi Konsep Good Governance dalam Konteks BUMDes
Konsep Good Corporate Governance (GCG) merupakan konstruksi tata kelola modern yang didesain untuk entitas bisnis privat, seperti Perseroan Terbatas (PT), perusahaan publik, atau lembaga keuangan yang beroperasi dalam sistem pasar yang kompetitif. Dalam desain aslinya, GCG menekankan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, responsibilitas, independensi, serta fairness, yang semuanya bertumpu pada asumsi rasionalitas pasar, struktur pemegang saham, dan perimbangan kepentingan antara direksi, komisaris, dan investor.
Namun, ketika konsep ini ditransplantasikan ke dalam kerangka kelembagaan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)—sebuah entitas berbasis komunitas dan
produk hukum publik yang tumbuh dari struktur pemerintahan desa—terjadi
dislokasi epistemik dan fungsional. BUMDes bukan didesain untuk
mengejar profit maximization, melainkan sebagai alat rekayasa sosial
dan ekonomi berbasis gotong royong. Ketidaksesuaian ini menjadikan
implementasi prinsip GCG dalam BUMDes bersifat superfisial, bahkan
kontraproduktif.
Sebagaimana dijelaskan oleh Dewi dkk., BUMDes sesungguhnya tidak dirancang
dengan orientasi korporatis seperti halnya BUMN atau BUMD, melainkan
berfungsi sebagai instrumen pembangunan partisipatif di tingkat desa. Namun,
melalui regime GCG dan dorongan kebijakan yang menempatkan BUMDes
dalam kerangka return on investment, telah terjadi pemaksaan logika
pasar ke dalam struktur kelembagaan yang seharusnya mengabdi pada logika
sosial. Ini menciptakan
ketegangan epistemologis antara orientasi sosial dan tuntutan efisiensi
ekonomi, yang mengakibatkan disorientasi dalam operasionalisasi kelembagaan
(Amelia Sri Kusuma Dewi, dkk.,
Motion Sickness: Holding the Acupressure Point of Village-Owned Business
Entities on the Wheel of Good Corporate Governance, (Malang: Brawijaya Law Journal, Vol. 11 No. 1, 2024), hlm. 48–53).
Lebih lanjut, ketegangan ini diperparah oleh ketidaksiapan desain hukum dan
kelembagaan untuk menyerap prinsip-prinsip GCG secara substantif. Tidak
adanya struktur pemisahan peran antara pemilik modal dan pengelola,
ketiadaan dewan pengawas independen, serta absennya laporan tahunan berbasis
standar akuntansi bisnis menyebabkan prinsip GCG hanya menjadi jargon
administratif tanpa penerapan yang konkret. Seperti dicatat oleh Mobius
dalam kerangka analisis GCG global, implementasi tata kelola yang baik hanya
mungkin dilakukan jika struktur hukum, aktor institusional, dan kultur
manajemen mendukung terbentuknya relasi kuasa yang simetris antar pemangku
kepentingan (Mark Mobius,
Corporate Governance: An Asia-Pacific Critique, (London:
International Finance Corporation, 1998), hlm. 114–116).
Dalam konteks BUMDes, transplantasi konsep GCG tanpa dekonstruksi epistemologis dan adaptasi struktural justru menciptakan fenomena governance illusion: seolah-olah BUMDes dikelola secara profesional, padahal masih dijalankan dengan logika birokratis, tanpa standar akuntabilitas bisnis. Hal ini sejalan dengan pandangan Osborne dan Gaebler dalam gagasannya tentang entrepreneurial government, di mana reformasi kelembagaan publik memerlukan rekayasa insentif dan struktur pengambilan keputusan yang sesuai dengan karakteristik entitasnya—bukan sekadar menerapkan model dari sektor privat (David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, (New York: Addison-Wesley, 1992), hlm. 51–55).
Kekeliruan mendasar dalam pendekatan pemerintah adalah melihat BUMDes
sebagai miniatur korporasi, bukan sebagai
entitas sosial-ekonomi hibrida yang memerlukan kerangka tata kelola
tersendiri. Akibatnya, banyak BUMDes dipaksa bertransformasi ke dalam
struktur yang bukan hanya tidak sesuai, tetapi juga mengaburkan mandat
utamanya sebagai penggerak ekonomi desa berbasis komunitas.
Kritik Sosio-Legal: Problem Partisipasi, Akuntabilitas, dan Disorientasi Kepemimpinan
Secara teoretik, tata kelola BUM Desa diharapkan mengadopsi prinsip
partisipasi deliberatif berbasis musyawarah, transparansi berbasis akses
informasi publik, serta akuntabilitas sosial berbasis pertanggungjawaban
terbuka kepada komunitas desa. Namun, studi lapangan di Desa Sukalaksana
mengindikasikan bahwa nilai-nilai tersebut belum melekat secara substantif
dalam praktik kelembagaan. Temuan empiris menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat dalam Musyawarah Desa (MUSDes) lebih bersifat simbolik daripada
deliberatif; transparansi anggaran masih dibatasi dalam elit lokal; dan
tidak adanya pedoman teknis baku menyebabkan laporan keuangan BUM Desa tidak
dapat diaudit secara professional.[13]
Masalah ini bukan hanya bersifat administratif, melainkan sosiologis dan
politis. Rendahnya partisipasi bukan karena apatisme warga, melainkan karena
hegemonisasi informasi dan dominasi pengambilan keputusan oleh elite desa.
Struktur kekuasaan lokal yang tidak demokratis membentuk semacam
informal governance, di mana pengelolaan BUM Desa cenderung
dikendalikan oleh segelintir aktor dengan kedekatan politik atau kekerabatan
dengan kepala desa atau aparatur. Dalam kerangka ini, konsep
power asymmetry menjadi kunci untuk memahami mengapa pelibatan
masyarakat dalam BUM Desa gagal dikonversi menjadi kontrol kolektif yang
bermakna.
Dari perspektif hukum, ketidakhadiran mekanisme
check and balance internal maupun pengawasan eksternal yang
independen menyebabkan disorientasi kepemimpinan kelembagaan. Tanpa
kejelasan prosedural dalam rekrutmen pengurus BUM Desa, dan tanpa kapasitas
teknokratik yang memadai, lembaga ini mengalami stagnasi inovasi, stagnasi
distribusi manfaat, dan stagnasi legitimasi.
Sebagaimana dicatat oleh Gaventa, keberhasilan tata kelola partisipatif
mensyaratkan bukan hanya ruang formal untuk partisipasi, tetapi juga
rekonfigurasi relasi kuasa antara warga dan negara di level lokal.[14]
Dekonstruksi dan Strategi Radikal
Memahami krisis kelembagaan BUM Desa tidak cukup hanya melalui pembaruan
teknokratik, tetapi memerlukan dekonstruksi terhadap fondasi normatif dan
struktur kekuasaannya. Untuk itu, strategi reformasi harus menyasar akar
dari kekakuan hukum, resistensi politik lokal, dan struktur sosial yang
eksklusif.
1.
Revisi Hukum Desa
Legislasi desa perlu dikaji ulang untuk menghindari kontradiksi antara
orientasi sosial BUM Desa dengan kerangka hukum yang menekankan logika
pasar. Revisi harus menempatkan BUM Desa sebagai hybrid entity yang
diakui secara eksplisit dalam hukum sebagai lembaga sosial-ekonomi dengan
tata kelola berbasis komunitas, bukan hanya sebagai kendaraan ekonomi.
2.
Desentralisasi Tata Kelola BUM Desa
Pemerintah pusat dan daerah harus memberi ruang bagi setiap desa untuk
mengembangkan model bisnis BUM Desa sesuai dengan karakteristik sosial dan
ekonomi lokal, tanpa skema pemaksaan dari atas. Ini selaras dengan gagasan
subsidiaritas dalam hukum administrasi modern, di mana unit terdekat dengan
rakyat diberi kewenangan tertinggi untuk mengatur urusannya.[15]
3.
Sterilisasi Politik dalam Pengelolaan Ekonomi Desa
Relasi antara perangkat desa dengan struktur ekonomi desa harus dibatasi
secara hukum dan kelembagaan. Mekanisme seperti fit and proper test,
masa jabatan terbatas, dan pelaporan publik tahunan wajib diberlakukan untuk
memutus mata rantai politisasi pengelolaan aset desa.
4.
Digitalisasi dan Transparansi Operasional
Inovasi teknologi dapat dijadikan alat kontrol publik melalui
platform pelaporan keuangan terbuka, sistem e-MUSDes, serta
partisipasi daring dalam perencanaan bisnis desa. Teknologi dapat menjadi
pengimbang struktur kekuasaan informal yang selama ini menghambat
partisipasi dan akuntabilitas.
Putusan Mahkamah Agung Sebagai Legitimasi Final atas Rekayasa Kelembagaan BUM Desa
Perdebatan mengenai jiwa dan raga Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa)—apakah ia entitas sosial atau korporasi, milik publik atau privat—selama ini bergulir di ruang-ruang akademik dan forum kebijakan. Namun, pada tanggal 11 Oktober 2021, perdebatan tersebut menemukan klimaksnya di arena yudisial. Melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 32 P/HUM/2021, palu godam yudisial telah diketuk untuk memberikan jawaban final atas salah satu aspek paling krusial dari “paradoks normatif” BUM Desa.
Putusan ini, yang menolak Permohonan Uji Materiil terhadap Pasal 73
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021, bukan sekadar produk hukum. Ia
adalah monumen yang mengabadikan kemenangan konsepsi negara yang
sentralistis dan formalistik atas realitas kelembagaan yang organik di
tingkat desa. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru menjadi justifikasi
hukum tertinggi yang melegitimasi “disorientasi structural” dan “mual
kelembagaan” yang dialami BUM Desa.
Arena Pertarungan: Privat Melawan Komunal, Otonomi Melawan Intervensi
Untuk memahami kedalaman implikasi putusan ini, kita harus melihatnya
sebagai sebuah drama pertarungan konsepsi. Di satu sisi, berdiri
Perkumpulan UPK NKRI (sebagai Pemohon Hak Uji Materil), representasi
dari unit-unit pengelola dana bergulir eks PNPM-MPd yang telah
bertransformasi menjadi badan hukum privat seperti perkumpulan atau
koperasi. Mereka berargumen bahwa aset yang mereka kelola adalah milik
entitas privat mereka. Kewajiban untuk bertransformasi menjadi BUM Desa
Bersama, menurut mereka, adalah bentuk
perampasan aset secara paksa yang melanggar hak milik dan asas
kepastian hukum. Ini adalah suara dari bawah yang menuntut pengakuan atas
otonomi kelembagaan yang telah mereka rintis.
Di sisi lain, berdiri Presiden Republik Indonesia (selaku Termohon Hak Uji Materil), yang mewakili logika negara. Argumennya lugas yaitu aset tersebut berasal dari APBN, maka ia bersifat komunal atau kolektif milik masyarakat desa. UPK hanyalah pengelola, bukan pemilik. Oleh karena itu, negara, melalui mandat UU tentang Cipta Kerja, berkewajiban melakukan “penataan” untuk memberikan kepastian hukum dan akuntabilitas melalui format BUM Desa Bersama. Ini adalah suara dari atas yang memprioritaskan kontrol, standardisasi, dan tata kelola versi negara.
Palu Hakim Agung: “Penataan” Sebagai Eufemisme untuk Paksaan
Di tengah pertarungan narasi ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengambil posisi yang tegas. Pertimbangan hukumnya (ratio decidendi)
menjadi kunci untuk memahami bagaimana paradoks dilegitimasi. MA memutuskan
bahwa karena aset tersebut bersifat komunal, maka kewajiban transformasi
menjadi BUM Desa Bersama bukanlah perampasan, melainkan
“penataan kelembagaan untuk tujuan kepastian hukum dan
keberlanjutan.”
Hal tersebut tampak dalam Ratio decidendi atau landasan hukum utama
yang menjadi dasar penolakan permohonan Pemohon dalam putusan ini
adalah:
Karakter yuridis aset yang dikelola oleh UPK eks PNPM-MPd bukanlah aset
privat milik perkumpulan Pemohon, melainkan aset komunal milik masyarakat
desa yang bersumber dari dana pemerintah (APBN). Oleh karena itu,
Pemerintah memiliki kewenangan dan kewajiban berdasarkan amanat
Undang-Undang Cipta Kerja untuk mengatur transformasi kelembagaan
pengelolanya (dari UPK menjadi BUMDes Bersama) demi memberikan kepastian
hukum, perlindungan, dan akuntabilitas atas aset tersebut. Dengan
demikian,
Pasal 73 PP No. 11/2021 tidak bertentangan dengan undang-undang yang
lebih tinggi, melainkan merupakan peraturan pelaksana yang sah.
Singkatnya, putusan ini bergantung sepenuhnya pada kualifikasi hukum atas
aset yang menjadi sengketa. Begitu Majelis Hakim Agung menetapkan aset
tersebut sebagai aset komunal dan bukan aset privat, maka seluruh argumen
Pemohon mengenai perampasan hak milik dan pelanggaran kepastian hukum
menjadi gugur.
Di sinilah letak argumen kritisnya. Kata “penataan” yang hampir ditemukan sebanyak 14 (empat belas) kali dalam putusan tersebut, yang berfungsi sebagai eufemisme yang sangat kuat untuk menutupi sifat asli dari intervensi tersebut yaitu paksaan normatif. Logika Mahkamah Agung Republik Indonesia secara sempurna merefleksikan watak negara yang Anda pahami salami ini—sebuah rezim yang percaya bahwa masalah-masalah sosial-ekonomi yang kompleks di tingkat desa dapat diselesaikan dengan resep yuridis yang seragam dari pusat. Putusan ini secara efektif memberikan stempel legal pada gagasan bahwa “kebaikan” berupa kepastian hukum dan akuntabilitas (GCG) boleh dipaksakan dari atas, bahkan jika itu harus menegasikan proses historis dan kelembagaan yang telah tumbuh di masyarakat. “Mual kelembagaan” yang dirasakan BUM Desa kini bukan lagi sekadar gejala, melainkan sebuah kondisi yang telah dilegalkan oleh lembaga yudikatif tertinggi tersebut.
Absolutisme Legal-Formal: Ketika Status “Badan Hukum” menjadi Berhala
Lebih jauh, putusan ini mengukuhkan sebuah tendensi berbahaya dalam
pembangunan hukum di Indonesia yaitu absolutisme legal-formal. Baik
Pemerintah Republik Indonesia maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia
menempatkan status “badan hukum” sebagai solusi pamungkas, seolah-olah label
yuridis tersebut adalah berhala yang dengan sendirinya akan melahirkan tata
kelola yang baik, transparansi, dan kesejahteraan.
Ini adalah puncak dari disorientasi struktural. Seperti yang telah Penulis
jabarkan sebelumnya, masalah fundamental BUM Desa bukanlah ketiadaan label
“badan hukum”-nya, melainkan ketidaksiapan ekosistem desa—SDM yang terbatas, kultur non-korporat, politisasi oleh elite desa, dan
lemahnya supervisi. Putusan MARI sama sekali tidak menyentuh akar masalah ini. Sebaliknya, ia
justru memperkuat ilusi bahwa dengan memiliki stempel “badan hukum”, BUM
Desa secara ajaib siap mengadopsi rezim
Good Corporate Governance.
Akibatnya, putusan ini tidak mendorong revolusi tata kelola yang
substantif, melainkan hanya mendorong
formalisasi praktik yang ada. BUM Desa kini wajib berbadan hukum, namun praktik di dalamnya—yang penuh
dengan relasi kuasa personal dan jauh dari prinsip GCG—tetap berjalan
seperti biasa, kini dengan jubah legalitas yang lebih kuat. Putusan ini
tidak menyelesaikan paradoks, ia hanya membungkusnya dalam pasal-pasal dan
amar putusan yang tak terbantahkan. Ia adalah titik di mana negara, melalui
hukum, berhenti mencoba memahami desa, dan mulai memerintahkannya secara
absolut.
Penutup: Dari Krisis Normatif ke Agenda Revolusi Hukum Desa dari Bawah
Tulisan ini telah membedah secara mendalam bagaimana BUM Desa terjebak
dalam sebuah “paradoks normative” dan menderita “disorientasi structural”.
Ia dipaksa mengenakan jubah korporasi modern melalui rezim
Good Corporate Governance, sementara tubuh sosial dan kulturalnya
masih berakar pada realitas pedesaan yang komunal dan seringkali politis.
Ambiguitas status hukum, desain institusional yang top-down, serta
lemahnya rezim supervisi telah menciptakan sebuah entitas hibrida yang
gagap, mengalami “mual kelembagaan” dalam perjalanannya mencari jati
diri.
Krisis ini mencapai titik kulminasinya dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 32 P/HUM/2021. Putusan ini lebih dari sekadar produk hukum; ia adalah penegasan final dari proyek rekayasa kelembagaan negara. Dengan melegitimasi transformasi paksa kelembagaan pengelola dana masyarakat menjadi BUM Desa Bersama, Mahkamah Agung secara efektif telah menutup ruang perdebatan mengenai legalitas model BUM Desa yang dipaksakan. Kepastian hukum yang dicanangkan oleh hakim agung telah tercipta di atas kertas, namun ironisnya, ia justru memperdalam krisis substantif di lapangan. “Governance illusion” kini telah mendapatkan stempel yudisial tertinggi.
Lantas, apa jalan ke depan? Jika pintu untuk menantang norma secara hukum
telah tertutup, maka tantangan berikutnya menjadi lebih radikal yaitu
bagaimana melakukan revolusi hukum dari bawah? PR bersama ini bukan
lagi milik para legislator di Senayan atau hakim di Jakarta, melainkan milik
para pegiat desa, akademisi, dan masyarakat desa itu sendiri. Agenda ke
depan harus bergeser dari perdebatan normatif ke aksi strategis untuk
menavigasi struktur yang ada.
Beberapa agenda revolusioner yang harus menjadi prioritas adalah:
1.
Dekonstruksi dan Adaptasi GCG, yang mana prinsip-prinsip GCG (transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi, kewajaran) tidak harus ditelan mentah-mentah.
Desa harus didampingi untuk
mendekonstruksi dan menerjemahkan prinsip-prinsip universal tersebut
ke dalam praktik lokal yang relevan dengan gayanya sendiri. “Akuntabilitas”
misalnya, tidak hanya diwujudkan melalui laporan keuangan standar, tetapi
melalui forum Musyawarah Desa yang benar-benar hidup, partisipatif, dan
memiliki daya paksa moral bersama (kebersamaan yang hidup dengan semangat
gotong royong);
2.
Membangun Otonomi Substansial dari Dalam,
meskipun BUM Desa kini berbadan hukum seragam, ruang untuk otonomi masih ada
di tingkat AD/ART dan praktik bisnis. Gerakan desa harus fokus pada
bagaimana memanfaatkan ruang sempit ini untuk merumuskan model bisnis yang
benar-benar berakar pada potensi lokal dan semangat sosial serta komunal
yang berciri khas, bukan sekadar mengejar profit ala korporasi. Ini adalah
perjuangan untuk merebut kembali jiwa BUM Desa dari cengkeraman
formalisme hukum sentralistik; dan
3.
Menciptakan Rezim Akuntabilitas Hibrida, ya, daripada menunggu supervisi dari atas yang seringkali absen, desa
perlu membangun mekanisme akuntabilitas hibrida. Ini berarti mengawinkan
transparansi digital (misalnya, platform online sederhana untuk
laporan keuangan) dengan pengawasan komunal yang kuat melalui lembaga adat
atau dewan pengawas yang dipilih langsung oleh warga, terpisah dari
pemerintah desa.
Pada akhirnya, masa depan BUM Desa tidak akan ditentukan oleh indahnya
bunyi pasal dalam undang-undang atau amar putusan mahkamah. Ia akan
ditentukan oleh kemampuan kolektif masyarakat desa untuk membajak struktur
formal yang dipaksakan ini dan mengisinya dengan substansi, makna, dan
praktik yang sesuai dengan nafas kehidupan mereka. Perjuangan untuk BUM Desa
yang sejati adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa
roh gotong royong dan kearifan lokal dapat tumbuh, bahkan di dalam
cangkang baja birokrasi dan hukum yang paling kaku sekalipun.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Osborne & Gaebler, “Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector”, (New York: Plume, 2003), hlm. 140–145.
[2]
Ariutama, Saputra, & Sukmono, “The Role of Village-Owned Enterprises (BUMDes) to Rural Development:
A Comparative Institutional Analysis”, 2018, hlm. 276–280.
[3]
Rachmawati, “Implementation of Good Corporate Governance to Improve the Quality of
Human Resources in Village-Owned Enterprises”, Edunity, 2024.
[4]
Ayi Yayan Sofian,
Implementasi Good Governance Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Desa
Sukalaksana Kecamatan Samarang Kabupaten Garut, (Serang: Sawala Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10 No. 2, 2022),
hlm. 292–308.
[5]
Nur Rahmah Khasanah,
Inovasi Tata Kelola Badan Usaha Milik Desa Pendowo Mulyo,
(Yogyakarta: JSPG Journal of Social Politics and Governance, Vol. 3 No.
1, 2021), hlm. 25–30.
[6]
Amelia Sri Kusuma Dewi, dkk.,
Motion Sickness: Holding the Acupressure Point of Village-Owned
Business Entities on the Wheel of Good Corporate Governance, (Malang: Brawijaya Law Journal, Vol. 11 No. 1, 2024), hlm.
48–71.
[7]
Satriyo Budi Santoso,
Kedudukan Hukum BUMDes Sebagai Subjek Hukum Perdata, (Yogyakarta:
Jurnal Hukum Universitas Janabadra, Vol. 12 No. 2, 2021), hlm.
121–130
[8]
Amelia Sri Kusuma Dewi, dkk.,
Motion Sickness: Holding the Acupressure Point of Village-Owned
Business Entities on the Wheel of Good Corporate Governance, (Malang: Brawijaya Law Journal, Vol. 11 No. 1, 2024), hlm.
55–56
[9]
Purwo Santoso, Politik Hukum dan Desentralisasi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 211.
[10]
Amelia Sri Kusuma Dewi, dkk., loc.cit.
[11]
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2002), hlm. 87.
[12]
Soetandyo Wignjosoebroto,
Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: Elsam
dan HuMa, 2001), hlm. 176–178
[13]
Ayi Yayan Sofian,
Implementasi Good Governance Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Desa
Sukalaksana Kecamatan Samarang Kabupaten Garut, (Serang: Sawala Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10 No. 2, 2022),
hlm. 292–308
[14]
John Gaventa,
Power and Powerlessness: Quiescence and Rebellion in an Appalachian
Valley, (Urbana: University of Illinois Press, 1980), hlm. 215–217).
[15]
Philipp Dann, The Law of Development Cooperation, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2013), hlm. 141.