Pertanyaan
Selamat malam bang, mau nanya bang terkait keharusan adanya Kutipan Buku
Nikah yang Asli atau paling tidak Duplikat nya, pada saat mengajukan bukti
surat di pengadilan agama. Mengingat, terkait buku nikah yang asli apabila
ingin diterbitkan duplikatnya setahu saya harus karena alasan hilang atau
rusak. Dalam kasus ini kutipan buku nikah tidak hilang atau rusak, tetapi
ditahan dari pihak istri dan enggan memberikan (mempersulit agar perceraian
dilakukan), karena berisiko apabila mengajukan permohonan penerbitan
duplikat buku nikah yang asli dengan alasan hilang, karena diketahui kutipan
buku nikah tersebut tidak pernah hilang ini dapat menjadi bumerang terkait
sumpah palsu saat membuat dokumen tersebut. Nah, tetapi suami di sini
memiliki fotocopy dari Kutipan Buku Nikah tersebut, sehingga nantinya yang
diajukan sebagai bukti surat adalah kutipan buku nikah fotokopi yang
dinazegelen, jadi fotocopy dari fotocopy, jadi tidak ada aslinya karena yang
asli ada dengan istri. Kalau kondisinya seperti ini apakah tetap dapat
membuktikan perkawinan tersebut? Selain itu dalam KK disebutkan Perkawinan
Tercatat. Boleh bang, mohon pencerahannya dari pandangan hukum abang seperti
apa. Terima kasih.
Jawaban
Pendahuluan
Dalam proses pengajuan perkara perceraian di Pengadilan Agama, salah satu
syarat formil yang paling fundamental adalah pembuktian adanya ikatan
perkawinan atau pernikahan yang sah. Alat bukti utama untuk ini adalah
Kutipan Akta Nikah atau yang lebih dikenal sebagai Buku Nikah. Namun, dalam
praktik, sering kali timbul permasalahan ketika salah satu pihak (dalam
kasus ini, suami sebagai Pemohon cerai talak) tidak dapat menunjukkan Buku
Nikah yang asli karena ditahan atau disembunyikan oleh pihak lain (misalnya,
istri sebagai Termohon) dengan tujuan untuk mempersulit proses
perceraian.
Kondisi ini menimbulkan dilema hukum yaitu di satu sisi, pengadilan
mensyaratkan adanya bukti akta atau surat otentik. Di sisi lain, Pemohon
tidak dapat menerbitkan duplikat Buku Nikah karena syarat penerbitannya
(alasan sahnya antara lain karena hilang atau rusak) tidak terpenuhi, dan
membuat laporan kehilangan palsu akan berisiko pidana sumpah palsu. Lantas,
apakah fotokopi dari Kutipan Buku Nikah yang telah dibubuhi meterai
(dinazegelen) dan didukung oleh bukti lain seperti Kartu Keluarga
(KK) dapat diterima dan memiliki kekuatan pembuktian yang cukup di mata
hakim?
Kami akan memberikan jawaban berdasarkan pengalaman serta analisisa kami berdasarkan peraturan perundang-undangan, hukum acara, serta praktik peradilan.
Kekuatan Pembuktian dalam Persidangan Perdata
Pembuktian sendiri dalam suatu persidangan merupakan upaya para pihak yang
berperkara dalam rangka meyakinkan hakim atas kebenaran peristiwa atau
kejadian yang diajukan oleh para pihak dengan menggunakan alat-alat bukti
yang ditetapkan oleh undang-undang.[1]
Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang dikenal secara sah adalah alat
bukti tertulis atau surat, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan
sumpah, sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR,[2]
atau Pasal 284 Rbg.,[3]
atau Pasal 1866 KUHPerdata.[4]
Berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan tersebut maka majelis hakim yang
meme riksa perkara melakukan penilaian terhadap pembuktian yang dilakukan
oleh para pihak. Dengan menganut sistem pembuktian positif (positief
wettelijke)[5]
pada hukum acara perdata di Indonesia,[6]
yang mendasarkan penilaian alat bukti berdasarkan alat bukti yang telah
ditetapkan oleh undangundang secara positif (tanpa diperlukan adanya
keyakinan hakim), menja dikan alat bukti surat sebagai alat bukti yang
sangat penting untuk diajukan oleh para pihak yang berperkara.[7]
Alat bukti surat terdiri dari surat bukan akta dan surat akta. Surat akta
terbagi lagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik
merupakan surat yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang[8]
untuk memberikan bukti yang cukup bagi para pihak serta ahli warisnya
termasuk setiap orang yang mendapatkan hak dari padanya, sedangkan akta-akta
lainnya, yang bukan merupakan akta otentik, disebut akta di bawah tangan.[9]
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 701 K/ Sip/1974, tertanggal 1 April 1976 mengemukakan penerimaan fotokopi sebagai alat
bukti jika disertai “keterangan atau dengan cara apapun secara sah ternyata
bahwa fotokopi-fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya”.[10]
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 112 K/Pdt/1996,
tertanggal 17/9/1998 juga menetapkan hal yang sama, bahwa fotokopi surat
sebagai “alat bukti surat” yang tidak disertai atau dicocokkan dengan
aslinya atau tanpa didukung oleh keterangan saksi dan/atau alat bukti
lainnya, maka bukan termasuk alat bukti yang sah.[11]
Kedudukan Buku Nikah Sebagai Alat Bukti
Dasar hukum perkawinan di Indonesia adalah
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019)
yang menyatakan:
1.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagi umat Islam, pencatatan perkawinan atau pernikahan ini menghasilkan
Kutipan Akta Nikah (Buku Nikah) yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan
Agama (KUA). Dalam perspektif hukum acara, Buku Nikah adalah akta
otentik.
Menurut Pasal 165 HIR dan/atau Pasal 285 RBg, akta otentik adalah
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau
di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Kekuatan pembuktian akta otentik adalah kekuatan pembuktian yang sempurna
(volledig bewijskracht) dan mengikat (bindende bewijskracht),
sesuai Pasal 285 R.Bg. juncto Pasal 1870 KUH Perdata. Artinya, apa
yang tertulis di dalamnya harus dianggap benar oleh hakim sampai ada pihak
yang dapat membuktikan sebaliknya.
Inilah sebabnya mengapa Pengadilan Agama sangat mengutamakan keberadaan
Buku Nikah asli sebagai bukti surat utama.
Persyaratan Formal Bukti Surat di Pengadilan
Hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Agama pada prinsipnya
mensyaratkan agar bukti surat diajukan dalam bentuk aslinya. Jika yang
diajukan adalah fotokopi, maka fotokopi tersebut harus dicocokkan dengan
aslinya di muka persidangan oleh panitera atas perintah hakim.
Mengenai pembubuhan meterai (nazegelen), fungsinya diatur dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea
Meterai
menyatakan bahwa dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di
pengadilan dikenakan Bea Meterai.
Penting untuk dipahami bahwa meterai
tidak memberikan kekuatan hukum materiel pada sebuah dokumen.
Sebuah fotokopi yang diberi meterai tidak serta-merta menjadi sah atau
setara dengan aslinya. Fungsi meterai hanyalah untuk memenuhi syarat formal (fiskal) agar
dokumen tersebut dapat dipertimbangkan oleh hakim sebagai alat bukti. Tanpa
meterai, dokumen tersebut bisa dikesampingkan oleh hakim.
Fotokopi Tanpa Adanya Asli
Pertama-tama Anda dapat memahami terlebih dahulu sebagaimana ketentuan
Pasal 1888 KUHPerdata menyatakan:
“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
Apabila akta yang asli itu ada, maka
salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya,
sekadar
salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.”
Dalam praktik, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memberikan penegasan
atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai
berikut:
“Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada
surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (vide Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3609 K/Pdt/1985,
tertanggal 9 Desember 1987)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung Republik Indoensia dalam Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka
fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan
aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut
Hukum Acara Perdata
(vide Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy buku
nikah, saksi sebagai salah satu alat bukti dapat berfungsi untuk memberikan
keterangan kepada hakim, bahwa benar pernikahan/perkawinan tersebut memang
adanya.
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 112 K/Pdt/1996,
tertanggal 17 September 1998, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan
oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai
alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata).”
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy dokumen
tersebut, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan
Pasal 1905 KUHPerdata, yang menyatakan:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka
pengadilan tidak boleh dipercaya.”
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak
adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk
menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang tersebut
adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis). Namun
demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara perdata
tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal keberadaan
fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata diakui dan tidak
disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai
pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (vide
Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik
oleh hakim (vide Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Dalam kasus yang dipaparkan, Anda sebagai Pemohon hanya memiliki fotokopi
dari fotokopi Buku Nikah. Ini secara hierarki memiliki nilai pembuktian yang
sangat lemah. Namun, hukum tidaklah kaku. Hakim memiliki kewajiban untuk
menggali kebenaran materiel dan tidak boleh menolak perkara hanya karena
alasan formalitas yang tidak dapat dipenuhi di luar kesalahan Pemohon.
Berikut adalah analisis dan argumen hukum yang dapat dibangun:
a.
Alasan yang Sah Atas Ketidakmampuan Menunjukkan Asli
Kunci pertama adalah memberikan penjelasan yang jujur dan dapat diterima
oleh akal sehat kepada Majelis Hakim mengenai alasan mengapa Buku Nikah asli
tidak dapat dihadirkan. Alasan bahwa “dokumen asli dikuasai dan ditahan oleh
pihak Termohon” adalah alasan yang lazim dan sering terjadi dalam praktik.
Penjelasan ini harus dituangkan secara jelas dalam surat gugatan/permohonan
pada bagian posita (dasar gugatan).
b.
Memaksimalkan Alat Bukti Lain (Alat Bukti Pendukung)
Karena alat bukti surat lemah, Pemohon harus memperkuat dalilnya dengan
alat bukti lain yang saling bersesuaian:
1.
Dengan menunjukkan Kartu Keluarga (KK) Asli, ini adalah alat bukti
yang sangat kuat. KK adalah dokumen otentik (authentieke akte) yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (seperti Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil setempat). Di dalam KK, pada kolom status perkawinan akan
tercatat “Kawin” atau “Perkawinan Tercatat”. Ini secara tidak
langsung mengonfirmasi fakta adanya perkawinan yang sah dan tercatat
sebagaimana yang tertera dalam fotokopi Buku Nikah. KK menjadi bukti
pendukung yang sempurna.
2.
Akta Kelahiran Anak (Jika Ada)
Apabila dari perkawinan tersebut telah lahir anak, maka Kutipan Akta
Kelahiran anak yang asli dapat diajukan. Di dalam akta tersebut, akan
tercantum nama ayah dan ibu sebagai pasangan suami-istri yang sah. Ini juga
merupakan akta otentik yang menguatkan dalil perkawinan.
3.
Alat Bukti Saksi
Ini menjadi komponen krusial. Pemohon harus menghadirkan minimal dua orang
saksi yang memenuhi syarat formil dan materiel. Saksi-saksi ini (bisa
keluarga, tetangga, atau sahabat) harus dapat memberikan keterangan di bawah
sumpah yang menjelaskan bahwa mereka mengetahui secara pasti adanya ikatan
perkawinan antara Pemohon dan Termohon, mereka hidup bersama sebagai
suami-istri, dan bahkan mungkin mengetahui permasalahan rumah tangga yang
terjadi. Kesaksian mereka akan melengkapi dan menguatkan kelemahan bukti
surat.
c.
Peran Aktif Hakim (vide Pasal 177 HIR / 305 RBg)
Hakim di Pengadilan Agama tidak bersifat pasif. Atas dasar penjelasan
Pemohon, hakim dapat dan sering kali akan menanyakan langsung kepada pihak
Termohon (istri) (apabila hadir) di persidangan mengenai keberadaan Buku
Nikah asli. Jika Termohon mengakui menahannya, atau bahkan mengakui adanya
perkawinan tersebut, maka terjadilah pengakuan (bekentenis),
yang menurut hukum acara merupakan alat bukti yang paling kuat.
Kesimpulan dan Rekomendasi
1.
Keabsahan Tetap Dapat Dibuktikan
Perkawinan tetap dapat dibuktikan di Pengadilan Agama meskipun hanya
menggunakan fotokopi Kutipan Buku Nikah, dengan syarat mutlak adanya
dukungan dari alat bukti lain yang kuat dan saling bersesuaian, utamanya
Kartu Keluarga (KK) asli dan keterangan saksi.
2.
Kekuatan Pembuktian Bersandar pada Gabungan Bukti
Kekuatan pembuktian dalam kasus ini tidak bertumpu pada fotokopi Buku Nikah
semata, melainkan pada rangkaian alat bukti yang secara kolektif
meyakinkan hakim akan kebenaran adanya perkawinan yang sah.
3.
Kejujuran adalah Kunci
Pemohon harus secara jujur dan transparan menjelaskan dalam surat
permohonannya mengenai alasan tidak dapat menunjukkannya dokumen asli. Upaya
menyembunyikan fakta atau membuat keterangan palsu justru akan
merugikan.
Langkah-Langkah Praktis yang Direkomendasikan
1.
Susun surat permohonan cerai talak. Pada bagian posita (uraian kejadian),
jelaskan secara rinci bahwa Buku Nikah asli berada dalam penguasaan Termohon
dan upaya untuk memintanya tidak berhasil.
2.
Dalam surat permohonan atau secara lisan di sidang pertama, mohon kepada
Majelis Hakim agar memerintahkan Termohon untuk membawa dan menunjukkan Buku
Nikah asli di persidangan berikutnya.
3.
Lampirkan Bukti:
-
Fotokopi KTP Pemohon.
-
Fotokopi Kutipan Buku Nikah yang telah dibubuhi meterai Rp10.000 dan dicap
pos (nazegelen).
-
Asli dan Fotokopi Kartu Keluarga (KK).
-
Asli dan Fotokopi Akta Kelahiran Anak (jika ada).
4.
Siapkan minimal dua orang saksi yang kompeten untuk memberikan keterangan
mengenai fakta perkawinan dan kehidupan rumah tangga Anda.
Dengan mengikuti langkah-langkah dan argumentasi hukum di atas, peluang
untuk membuktikan adanya perkawinan/pernikahan yang sah sangat besar, dan
proses perceraian dapat dilanjutkan meskipun Buku Nikah asli tidak berada di
tangan Pemohon.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Pengadilan Tinggi Agama Makassar,
Buku Pedoman Kerja Hakim, Panitera dan Jurusita Sewilayah Pengadilan
Tinggi Agama Makassar, edisi revisi (Makassar: tanpa penerbit, 2011), 34.
[2]
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau
Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S.1848 No. 16, S. 1941 No.
44), Pasal 164.
[3]
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg. atau
Reglemen Daerah Seberang: S. 1927 No. 227), Pasal 284.
[4]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terj. R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Pasal
1866.
[5]
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984), 229.
[6]
Djamanat Samosir,
Hukum Acara Perdata: Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata
(Bandung: Nuansa Aulia, 2011), 212. Lihat juga Winotia Ratna,
“Perbandingan Alat Bukti Keterangan Saksi pada Hukum Acara Perdata dalam
Sistem Hukum Indonesia dengan Singapura: Studi Kasus Beckket Pte. Ltd.
Melawan Deutcshe Bank Ag.” (skripsi, Universitas Indonesia, 2008),
36.
[7]
Soetomo Ramelan, “Peranan Surat dalam Hukum Pembuktian,”
Jurnal Hukum dan Pembangunan 17, no. 1 (1987): 7. Lihat juga
Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Djambatan, cetakan
kedua, 2005), 150.
[8]
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004,
L.N. No. 117 Tahun 2004, T.L.N. No. 4432, Pasal 1 butir (7), (8), dan
(9).
[9]
R. Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, cetakan
ketujuh belas, 2008), 26.
[10]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta:
Liberty, edisi ketujuh, 2006), 165.
[11]
Ali Boediarto,
Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Hukum Acara Perdata
Masa Setengah Abad
(Jakarta: Swara Justisia, 2005), 149–52.