Membongkar Mitos Kemudahan Perceraian
Di tengah masyarakat, seringkali terbesit persepsi bahwa mengajukan
perceraian di Pengadilan Agama adalah sebuah proses yang cenderung mudah dan
hampir selalu dikabulkan. Anggapan ini, bagaimanapun, adalah sebuah mitos
yang perlu dibongkar.
Pengadilan Agama, sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum keluarga
Islam, tidak beroperasi sebagai mesin stempel perceraian. Sebaliknya,
Majelis Hakim memegang peran krusial sebagai penjaga ikatan suci
perkawinan—sebuah mitsaqan ghalidzan atau perjanjian yang agung—yang
tidak dapat diputus hanya berdasarkan emosi sesaat atau dalil yang
goyah.
Artikel ini akan melakukan analisis kritis dan reflektif terhadap fenomena
penolakan gugatan cerai baik cerai talak maupun cerai gugat di Pengadilan
Agama. Berikut kami akan mengurai pertimbangan yuridis dan faktual yang
mendasari penolakan tersebut, serta menarik pelajaran konseptual bagi para
pencari keadilan dan praktisi hukum.
Konteks Hukum Perceraian: Benteng Pertahanan Terakhir Sebuah Perkawinan
Sistem hukum perkawinan di Indonesia bersifat dualistik. Bagi warga negara
Muslim, yurisdiksi penyelesaian sengketa perceraian berada di tangan
Pengadilan Agama. Landasan hukumnya mencakup
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(sebagaimana terakhir telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019),
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Filosofi yang mendasari peraturan ini adalah
untuk mempersulit perceraian. Sebagaimana
Pasal 39 ayat (2) UU tentang Perkawinan secara tegas menyatakan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan jika “…………
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
isteri”. Ini bukan frasa yang bisa ditafsirkan secara bebas. Hukum telah
menetapkan alasan-alasan limitatif dan kumulatif yang harus dipenuhi,
sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 PP tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
dan Pasal 116 KHI. Alasan-alasan tersebut antara lain yaitu:
Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.
Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 116 KHI menyatakan sebagai
berikut:
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.
salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya;
c.
salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e.
salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.
antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.
suami melanggar taklik talak;
h.
peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Di sinilah peran hukum acara menjadi sentral. Berdasarkan
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura atau
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan
Madura, berlakulah asas actori incumbit probatio—siapa yang
mendalilkan, dia yang wajib membuktikan. Penggugat (Istri) atau Pemohon
(Suami) tidak cukup hanya menceritakan keretakan rumah tangganya; ia harus
membuktikan dalil-dalilnya dengan alat bukti yang sah menurut hukum, yakni
bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. (vide Pasal 1866 KUH Perdata)
Ketika Dalil Tak Bertemu Bukti
Dari lanskap hukum tersebut, penolakan gugatan cerai oleh Majelis Hakim
bukanlah tindakan arbitrer, melainkan konsekuensi logis dari kegagalan
Penggugat/Pemohon memenuhi beban pembuktian (burden of proof).
Berikut adalah analisis mendalam terhadap alasan-alasan yuridis dan faktual
yang kerap menjadi penyebab penolakan.
1.
Tidak Terbuktinya Dalil Gugatan
Ini adalah alasan paling fundamental dan sering dijumpai. Penggugat/Pemohon
mungkin memiliki cerita yang menyentuh dan alasan yang secara subjektif
sangat kuat. Namun, pengadilan adalah forum hukum, bukan ruang curahan hati.
Dalil mengenai pertengkaran terus-menerus, ketiadaan nafkah, atau
ketidakjujuran pasangan harus didukung oleh bukti nyata. Tanpa bukti yang
cukup, dalil tersebut hanya akan dianggap sebagai klaim sepihak yang tidak
berdasar hukum;
2.
Kelemahan Alat Bukti Saksi
Saksi adalah alat bukti utama dalam perkara perceraian. Namun, tidak semua
kesaksian memiliki nilai pembuktian yang sama. Sehingga ada beberapa hal
yang akhirnya menjadi krusil diperhatikan, antara lain:
1)
Testimonium de Auditu
Kesaksian yang hanya berdasarkan “katanya” atau “dengar dari
Penggugat/Pemohon” tidak memiliki nilai pembuktian yang kuat. Saksi haruslah
orang yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri fakta yang ia
terangkan. Jika saksi hanya mengulang cerita Penggugat, kesaksiannya
dianggap testimonium de auditu (kesaksian dari pendengaran) dan harus
ditolak atau dikesampingkan oleh hakim.
2)
Unus Testis Nullus Testis
Asas ini, yang berarti “satu saksi bukanlah saksi”, seringkali menjadi batu
sandungan. Hukum acara perdata umumnya mensyaratkan minimal 2 (dua) orang
saksi. Jika Penggugat hanya mampu menghadirkan 1 (satu) orang saksi, maka
kesaksian tersebut tidak cukup untuk membuktikan dalilnya,
kecuali didukung oleh alat bukti lain yang meyakinkan.
3.
Kesalahan Prosedural dan Ketiadaan Alat Bukti
Dalam beberapa kasus, penolakan terjadi karena kelalaian fatal dari pihak
Penggugat atau kuasa hukumnya. Misalnya, tidak menghadirkan saksi sama
sekali meskipun telah diberi kesempatan oleh hakim. Ini menunjukkan
ketidaksiapan dan ketidakseriusan dalam berperkara, yang berujung pada
gugatan yang tidak terbukti.
4.
Gugatan Cacat Formil atau Materil
Gugatan dapat ditolak jika mengandung cacat formil (misalnya, identitas
para pihak tidak jelas, surat kuasa tidak sah) atau cacat materil (misalnya,
alasan yang dikemukakan tidak termasuk dalam alasan perceraian yang diatur
undang-undang).
Kami mengambil contoh ada beberapa Putusan Pengadilan, sebagaimana beberapa
Putusan Pengadilan Agama Sungai Raya menunjukkan konsistensi Majelis Hakim
dalam menerapkan prinsip-prinsip pembuktian secara ketat.
1.
Putusan Pengadilan Agama Sungai Raya Nomor 45/Pdt.G/2025/PA.Sry,
tertanggal 21 Maret 2025, bahwa dalam putusan tersebut ada pun amar putusan
hakim menyatakan sebagai berikut:
MENGADILI
1.
Menolak gugatan Penggugat;
2.
Membebankan kepada Pengggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
380.000,- (tiga ratus delapan puluh ribu rupiah);
Bahwa ada pun pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara tersebut sebagai
berikut:
-
Menimbang, bahwa keterangan saksi pertama Penggugat mengenai keadaan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat yang sudah tidak harmonis karena perselisihan
dan pertengkaran disebabkan Tergugat tidak memberikan nafkah, Tergugat tidak
jujur dan Tergugat sering keluar malam, adalah fakta yang tidak dilihat
sendiri/tidak didengar sendiri/tidak dialami sendiri dan tidak relevan
dengan dalil yang harus dibuktikan oleh Penggugat, oleh karena itu
keterangan saksi tersebut tidak memenuhi syarat materiil sebagian
sebagaimana telah diatur dalam pasal 308 R.Bg. sehingga keterangan saksi
tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian dan harus ditolak;
-
Menimbang, bahwa keterangan saksi kedua Penggugat mengenai keadaan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat yang sudah tidak harmonis karena perselisihan
dan pertengkaran disebabkan Tergugat tidak memberikan nafkah dan Tergugat ,
tidak jujur mengenai Penghasilan, dan Tergugat sering keluar malam, adalah
fakta yang tidak dilihat sendiri/tidak didengar sendiri/tidak dialami
sendiri dan tidak relevan dengan dalil yang harus dibuktikan oleh Penggugat,
oleh karena itu keterangan saksi tersebut tidak memenuhi syarat materiil
sebagian sebagaimana telah diatur dalam pasal 308 R.Bg. sehingga keterangan
saksi tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian dan harus ditolak;
-
Menimbang, bahwa terkait pokok perkara, saksi yang dihadirkan oleh
Penggugat tersebut memberi keterangan hanya dengar tentang keadaan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat dari cerita Penggugat, dan tidak pernah
melihat, menyaksikan atau mendengar langsung perselisihan dan pertengkaran
Penggugat dan Tergugat;
-
Menimbang, bahwa saksi-saksi hanya mendengar cerita dari Penggugat kalau
Tergugat tidak memenuhi nafkah, dan tidak tahu kalau Tergugat tidak jujur
dalam pengahasilan dan Tergugat yang sering keluar malam, bahkan saksi kedua
yang merupakan teman curhat Penggugat, tidak tahu dan tidak kenal kepada
Tergugat;
-
Menimbang, bahwa keterangan yang hanya berdasarkan informasi, bukan
pengetahuan langsung yang diperoleh dengan cara melihat, mendengar, atau
mengalami sendiri, adalah testimonium de auditu yang menurut
substansi Pasal 308 R.Bg. tidak memliki nilai pembuktian. Oleh karena itu,
segenap dalil Penggugat mengenai terjadinya perselisihan dan pertengkaran
perihal masalah nafkah, Tergugat tidak jujur dan Tergugat sering keluar
malam harus dinyatakan tidak terbukti;
-
Menimbang, bahwa saksi-saksi Penggugat tersebut juga tidak pernah melihat
Tergugat tidak memberikan nafkah dan atau Tergugat yang tidak jujur dalam
hal pendapatan dan Tergugat sering keluar malam, hal mana didalilkan
Penggugat sebagai sebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran. Dengan
demikian, dalil-dalil Penggugat tersebut harus pula dinyatakan tidak
terbukti karena tidak didukung alat bukti apapun;
-
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan,
berdasarkan keterangan saks-saksi yang dihadirkan dipersidangan, karena
saksi tidak ada yang melihat, mendengar dan menyaksikan, maka Majelis Hakim
menilai bahwa hubungan Penggugat dan Tergugat sebagai suami isteri masih
dalam keadaan normal. Majelis Hakim tidak menemukan adanya fakta
perselisihan dan pertengkaran, apalagi yang memenuhi kualifikasi untuk
menjadi alasan perceraian sebagaimana ditetapkan undang-undang, yaitu
perselisihan yang bersifat terus-menerus dan tidak ada jalan untuk
dirukunkan lagi;
2.
Putusan Pengadilan Agama Sungai Raya Nomor 77/Pdt.G/2025/PA.Sry,
tertanggal 25 Maret 2025, bahwa dalam putusan tersebut ada pun amar putusan
hakim menyatakan sebagai berikut:
MENGADILI
1.
Menolak permohonan Pemohon;
2.
Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp
220.000,00 (dua ratus dua puluh ribu rupiah);
Bahwa ada pun pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara tersebut sebagai
berikut:
-
Menimbang, bahwa 1 orang saksi yang dihadirkan Pemohon di persidangan
merupakan orang yang tidak dilarang sebagai saksi sebagaimana maksud Pasal
172 RBg. namun terhadap 1 (satu) orang saksi Pemohon Majelis Hakim akan
mempertimbangkan sebagai berikut;
-
Menimbang, bahwa menurut pasal 283 Rbg dan Pasal 1905 KUH Perdata,
keterangan seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga batas minimal
2 orang saksi tidak terpenuhi (Unus testis nullus testis), yang
berarti bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa didukung oleh alat bukti
lainnya tidak boleh di percaya;
-
Menimbang, bahwa bukti T.3 (bukti pemotongan pajak penghasilan Pemohon)
merupakan akta dibawah tangan yang telah memenuhi syarat formil, namun
secara materil tidak memiliki relevansi dengan perkara a quo;
-
Menimbang, bahwa 1 (satu) orang saksi yang dihadirkan Termohon di
persidangan merupakan orang yang tidak dilarang sebagai saksi sebagaimana
maksud Pasal 172 RBg., namun terhadap 1 (satu) orang saksi Termohon Majelis
Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut;
-
Menimbang, bahwa menurut pasal 283 Rbg dan Pasal 1905 KUH Perdata,
keterangan seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga batas minimal
2 orang saksi tidak terpenuhi (Unus testis nullus testis), yang
berarti bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa didukung oleh alat bukti
lainnya tidak boleh di percaya. Namun dipersidangan Termohon telah
mengajukan bukti surat T.2 (Surat Pernyataan) yang oleh Majelis Hakim telah
dipertimbangkan dimuka;
-
Menimbang, bahwa dari satu orang saksi yang diajukan oleh Termohon tidak
ada yang secara jelas melihat Pemohon dan Termohon bertengkar sehingga
Majelis Hakim berpendapat satu orang saksi tersebut hanya mengetahui
berdasarkan asumsi belaka. Keterangan satu orang saksi Termohon tersebut
dalam hukum pembuktian disebut testimonium de auditu yaitu keterangan
saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan, yang merupakan hasil
pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari orang lain dan bukan
pengalaman sendiri. Keterangan saksi yang demikian berada di luar kategori
saksi yang dibenarkan berdasarkan Pasal 308 RBg dan Pasal 1907 KUHPerdata
sehingga Majelis menilai keterangan yang diberikan oleh satu orang saksi
Termohon tidak dapat diterima;
-
Menimbang, bahwa perkawinan adalah ikatan yang kuat dan agung (mitsaqon ghalidzo), yang dipersaksikan Allah SWT dan malaikat untuk membentuk keluarga yang
sakinah, selamat dunia akherat, dan melahirkan generasi Islam yang baik;
-
Menimbang, bahwa walaupun perceraian merupakan perbuatan yang diizinkan
(halal dalam pandangan Islam) namun perceraian yang tidak memenuhi
alasan-alasan yang dibenarkan secara hukum merupakan perbuatan yang paling
dibenci di sisi Allah swt., sebagaimana hadis Nabi saw. yang diriwayatkan
oleh Abu Daud, sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِ يِ صَلَّى اللَّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلََلِ إِلَى اللَِّّ تَعَالَى الطَّلََقُ
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi saw. bersabda: Perbuatan halal
yang paling dibenci di sisi Allah swt adalah perceraian”;
-
Menimbang, bahwa oleh karena pernikahan adalah bahtera di atas lautan,
tentu banyak badai yang harus dilewati dan diatasi dengan perjuangan, maka
haruslah baik Pemohon dan Termohon bersikap lapang dada, atas segala
kekurangan pasangan dan meredam egoisme yang sering membara demi keutuhan
rumah tangga sampai maut memisahkan;
-
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, menyatakan bahwa untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri;
-
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 283 RBg dan pula asas actori incumbit
probatio bahwa barangsiapa yang mendalilkan suatu hak atau peristiwa, ia
harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Pembuktian merupakan suatu
upaya untuk meyakinkan Majelis Hakim tentang kebenaran dalil-dalil
permohonan Pemohon dalam suatu persengketaan di persidangan, dalam hal ini
keterangan satu orang saksi Pemohon tidak mendukung kebenaran dalil-dalil
permohonannya dan Pemohon tidak mengajukan bukti lain meskipun Majelis Hakim
telah memberikan kesempatan yang cukup untuk itu;
-
bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon tidak cukup beralasan
dan tidak sesuai maksud dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, permohonan Pemohon sebagaimana
petitum nomor 2 harus dinyatakan ditolak;
3.
Putusan Pengadilan Agama Sungai Raya Nomor 78/Pdt.G/2025/PA.Sry,
tertanggal 19 Maret 2025, bahwa dalam putusan tersebut ada pun amar putusan
hakim menyatakan sebagai berikut:
MENGADILI
1.
Menolak gugatan Penggugat;
2.
Membebankan kepada Pengggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
220.000,- (dua ratus dua puluh ribu rupiah);
Bahwa ada pun pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara tersebut sebagai
berikut:
-
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat telah memberikan jawaban dan
menyatakan tidak mau bercerai, demikian juga Tergugat membantah dalil dari
gugatan Penggugat, maka sesuai dengan pasal 283 Rbg jo.1865 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Majelis Hakim membebankan bukti kepada
Penggugat dan Tergugat;
-
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah
mengajukan alat bukti surat (P1)-(P2);
-
Menimbang, bahwa (P1) dan (P2) merupakan akta autentik dengan nilai
kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht), bermeterai cukup, dicap pos (nazegelen) dan cocok dengan aslinya, maka
sesuai ketentuan Pasal 285 RBg., Pasal 1888 KUH Perdata dan Pasal 3 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai, (P1) dan (P2)
tersebut dapat diterima sebagai alat bukti dan akan dipertimbangkan lebih
lanjut;
-
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil Penggugat yang didukung (P1) dan (P2),
telah terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat terikat dalam perkawinan yang
sah. Oleh karena itu, gugatan Penggugat telah mempunyai landasan hukum untuk
mengajukan perkara ini;
-
Menimbang, bahwa dalam persidangan Penggugat tidak menambah bukti apapun
lagi walaupun telah diberikan waktu yang cukup untuk itu; Menimbang, bahwa
Tergugat menyatakan tidak akan mengajukan alat bukti apapun meskipun telah
diberikan kesempatan oleh Majelis hakim, sehingga Majelis Hakim menilai
Tergugat tidak dapat membuktikan dalil bantahannya;
-
Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat telah mengajukan dalil gugatan,
Penggugat harus mampu membuktikannya sebagaimana maksud Pasal 283 RBG jo.
Pasal 1865 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: Barang siapa mengaku mempunyai
suatu hak atau menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan hak itu atau
untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak itu atau adanya
kejadian itu, oleh karenanya berdasarkan pasal tersebut Majelis Hakim
berpendapat bahwa, ternyata Penggugat tidak mendukung dalil gugatan
Penggugat dengan menghadirkan saksi-saksi ataupun alat bukti lain yang dapat
menerangkan adanya pertengkaran dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat,
maka majelis hakim telah sepakat dan berkesimpulan bahwa Penggugat tidak
berhasil membuktikan dalil gugatannya. Hal ini sesuai dengan maksud ibarat
dalam kitab Al Muhadzadzab juz II halaman 303 yang kemudian diambil alih
menjadi pendapat Majelis, yaitu:
فإن لم يكن معه بينة لم يسمع دعوا ه
Yang artinya: “Apabila Penggugat tidak berhasil membuktikan dalil
gugatannya, maka gugatannya harus ditolak”;
-
Menimbang, bahwa walaupun perceraian merupakan perbuatan yang diizinkan
(halal dalam pandangan Islam) namun perceraian yang tidak memenuhi
alasan-alasan yang dibenarkan secara hukum merupakan perbuatan yang paling
dibenci di sisi Allah swt., sebagaimana hadis Nabi saw. yang diriwayatkan
oleh Abu Daud, sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِ يِ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلََلِ إِلَى اللََِّّ تَعَالَى الطَّلََ قُ
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi saw. bersabda: Perbuatan halal
yang paling dibenci di sisi Allah swt adalah perceraian”;
-
Menimbang, bahwa oleh karena pernikahan adalah bahtera di atas lautan,
tentu banyak badai yang harus dilewati dan diatasi dengan perjuangan, maka
haruslah baik Penggugat dan Tergugat bersikap lapang dada, atas segala
kekurangan pasangan dan meredam egoisme yang sering membara demi keutuhan
rumah tangga sampai maut memisahkan;
-
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
maka Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat tidak
cukup beralasan dan tidak sesuai maksud dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, gugatan Penggugat
sebagaimana petitum nomor 2 harus dinyatakan ditolak.
Ketiga putusan ini, meskipun dengan dalil yang berbeda-beda, ditolak karena
alasan yang sama secara fundamental yaitu kegagalan pembuktian.
Majelis Hakim secara konsisten menerapkan asas-asas hukum acara yang
fundamental. Tidak ada pertimbangan yang bersifat subjektif atau emosional.
Fokusnya murni pada apakah dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan terbukti
secara sah dan meyakinkan di muka persidangan. Ini menunjukkan bahwa hakim
bertindak sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi) yang
memastikan bahwa perceraian hanya dapat terjadi jika syarat-syarat formil
dan materiilnya terpenuhi.
Menjaga Keadilan dan Etika Yudisial
Penolakan gugatan cerai bukan cerminan dari sikap hakim yang
anti-perceraian. Justru, ini adalah manifestasi dari prinsip kehati-hatian
yudisial (judicial prudence). Ada beberapa dimensi penting dalam
sikap ini:
-
Menjaga Sakralitas Perkawinan
Seperti yang dikutip dalam
Putusan Pengadilan Agama Sungai Raya Nomor 77/Pdt.G/2025/PA.Sry, tertanggal 25 Maret 2025, perkawinan adalah mitsaqan ghalidzan.
Hakim, dengan menuntut pembuktian yang kuat, secara tidak langsung memaksa
para pihak untuk merefleksikan kembali keseriusan niat mereka dan memastikan
bahwa keputusan untuk berpisah benar-benar didasarkan pada kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki (irretrievable breakdown), bukan konflik
temporer.
-
Melindungi Pihak yang Lebih Lemah
Proses pembuktian yang ketat melindungi Tergugat dari tuduhan-tuduhan yang
tidak berdasar. Tanpa beban pembuktian, siapa pun dapat dengan mudah
mengajukan gugatan cerai dengan dalil-dalil palsu untuk menyingkirkan
pasangannya.
-
Menjamin Kepastian Hukum
Dengan menolak gugatan yang lemah, hakim menciptakan yurisprudensi yang
jelas: perceraian harus didasarkan pada fakta hukum yang terbukti, bukan
asumsi atau cerita sepihak. Ini memberikan kepastian hukum dan mencegah
penyalahgunaan lembaga peradilan.
-
Kepentingan Terbaik bagi Anak
Meskipun tidak selalu menjadi pertimbangan utama dalam putusan penolakan (karena fokus pada dalil pokok), menjaga keutuhan perkawinan sebisa mungkin selaras dengan hak anak untuk dibesarkan oleh kedua orang tuanya.
Putusan-putusan yang menolak gugatan cerai memberikan pelajaran berharga
bagi semua pihak yang terlibat dalam sistem peradilan keluarga. Harus
dipahami bahwa Pengadilan Agama adalah lembaga hukum, bukan lembaga
konseling. Rasa sakit, kekecewaan, dan ketidakcocokan, meskipun nyata secara
emosional, harus dapat diterjemahkan ke dalam dalil-dalil hukum yang bisa
dibuktikan. Sebelum melangkah ke pengadilan, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya memiliki bukti yang cukup?
Siapa saksi yang bisa saya hadirkan yang benar-benar melihat atau
mendengar konflik kami?” Tanpa persiapan ini, gugatan yang diajukan berisiko tinggi untuk
ditolak.
Kemudian sebagai seorang advokat, mengingat dalam etika profesi seorang
advokat memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk memberikan
nasihat hukum yang jujur. Ini termasuk menginformasikan klien tentang
lemahnya posisi mereka jika alat bukti tidak memadai. Mengajukan gugatan
yang sejak awal sudah diketahui lemah buktinya bukan hanya tidak efisien,
tetapi juga dapat memberikan harapan palsu kepada klien dan berpotensi
melanggar etika profesi. Strategi hukum yang bertanggung jawab adalah
melakukan asesmen bukti secara menyeluruh, mempersiapkan saksi dengan baik,
dan mengelola ekspektasi klien secara realistis.
Pada akhirnya, putusan yang menolak perceraian bukanlah akhir dari
segalanya. Ia bisa menjadi momentum bagi pasangan untuk melakukan
introspeksi, mencoba rekonsiliasi dengan lebih serius, atau jika jalan
perpisahan tetap menjadi pilihan, mempersiapkan gugatan berikutnya dengan
bukti yang jauh lebih kuat dan matang. Palu hakim yang menolak sebuah
gugatan cerai sejatinya tidak sedang menutup pintu keadilan, melainkan
sedang menegakkan pilar-pilar hukum pembuktian demi menjaga agar ikatan suci
perkawinan tidak diputus secara gegabah.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.