layananhukum

Kewenangan BPJS Ketenagakerjaan dalam Penegakan Kepatuhan Pendaftaran Peserta

 

    Pendahuluan

    Penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia merupakan manifestasi dari amanat konstitusional negara untuk memberikan perlindungan dan memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyatnya. Jaminan sosial bukanlah sekadar fasilitas atau tunjangan tambahan, melainkan hak fundamental bagi setiap pekerja dan, secara simultan, merupakan kewajiban hukum yang bersifat mutlak bagi setiap Pemberi Kerja, baik dalam skala korporasi besar maupun usaha kecil dan menengah.

    Kerangka hukum yang mengatur hal ini, terutama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang BPJS” beserta peraturan pelaksananya, secara tegas menggariskan kewajiban pendaftaran kepesertaan tanpa terkecuali.  

    Meskipun demikian, dalam praktik di lapangan, masih banyak ditemukan ketidakpatuhan oleh Pemberi Kerja. Bentuk ketidakpatuhan ini bervariasi, mulai dari kelalaian total untuk mendaftarkan perusahaan dan pekerjanya, praktik pendaftaran sebagian pekerja (Perusahaan Daftar Sebagian/PDS), pelaporan data upah yang tidak sesuai dengan kenyataan (under-reporting) untuk menekan beban iuran, hingga penunggakan pembayaran iuran yang telah dipungut dari upah pekerja.

    Kegagalan dalam memenuhi kewajiban ini bukan hanya merugikan hak-hak esensial pekerja atas perlindungan risiko sosial-ekonomi, tetapi juga secara langsung mengekspos perusahaan dan para pengurusnya pada serangkaian risiko hukum yang signifikan, mencakup sanksi administratif yang dapat melumpuhkan kegiatan usaha hingga ancaman sanksi pidana penjara dan denda.  

    Banyak pelaku usaha belum sepenuhnya memahami spektrum kewenangan yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). Lembaga ini tidak hanya berfungsi sebagai operator penyelenggara program, tetapi juga memiliki kewenangan penegakan hukum yang kuat dan terstruktur.

    Tulisan ini disusun untuk memberikan gambaran yang mendalam dan panduan praktis bagi para praktisi hukum korporat, manajer sumber daya manusia, dan pimpinan perusahaan.

    Tulisan ini akan membedah secara sistematis 3 (tiga) pilar utama. Pertama, kedudukan, fungsi, dan kewenangan BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan hukum publik. Kedua, mekanisme penegakan kepatuhan dan eskalasi sanksi yang terstruktur, mulai dari teguran administratif hingga proses pidana. Ketiga, prosedur klarifikasi dan pengaduan sebagai wujud pelayanan publik yang dapat dimanfaatkan oleh Pemberi Kerja.

    Kedudukan, Fungsi, dan Kewenangan BPJS Ketenagakerjaan

    BPJS Ketenagakerjaan didirikan berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kedudukannya unik dan fundamental, yakni sebagai badan hukum publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Status ini secara fundamental membedakannya dari badan usaha milik negara (BUMN) atau badan swasta. Transformasi dari PT Jamsostek (Persero), sebuah perusahaan perseroan yang berorientasi pada laba, menjadi BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan hukum publik, menandai pergeseran paradigma dari pendekatan komersial menjadi pendekatan pelayanan publik yang berprinsip nirlaba, kegotongroyongan, dan keterbukaan, dengan tujuan utama untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.  

    Implikasi dari status “badan hukum publik” ini sangat signifikan. BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya bertindak sebagai penyedia layanan asuransi sosial, tetapi secara esensial menjalankan fungsi negara dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga negara, khususnya para pekerja.

    Status ini memberikan BPJS Ketenagakerjaan otoritas publik yang melekat, termasuk kewenangan untuk menegakkan aturan dalam lingkup tugasnya. Lebih jauh, status ini memberikan legitimasi bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk menerbitkan peraturan internal yang bersifat mengikat, seperti Peraturan BPJS Ketenagakerjaan, yang mengatur secara detail aspek-aspek teknis operasional mulai dari kanal pendaftaran, formulir, hingga mekanisme penanganan pengaduan. Dengan demikian, BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya berfungsi sebagai penyelenggara, tetapi juga sebagai regulator de facto dalam domainnya. Saat berinteraksi dengan BPJS Ketenagakerjaan, perusahaan tidak hanya berhadapan dengan “penyedia layanan”, melainkan dengan badan yang memiliki kewenangan publik dan pembuat aturan.

    Lingkup Program Jaminan Sosial

    Sesuai dengan mandatnya, BPJS Ketenagakerjaan berfungsi menyelenggarakan lima program jaminan sosial yang komprehensif untuk melindungi pekerja dari berbagai risiko sosial-ekonomi. Setiap program memiliki dasar hukum, manfaat, dan ketentuan spesifik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan perubahannya.  

    1.       Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

    JKK adalah program yang memberikan manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.

    -       Dasar Hukum Utama

    Penyelenggaraan program JKK diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015. Peraturan ini telah mengalami dua kali perubahan signifikan untuk meningkatkan manfaat bagi peserta, yaitu melalui   Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 49 Tahun 2023. Tata cara penyelenggaraan yang lebih teknis diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua.  

    -       Manfaat Utama (sebagaimana diperbarui oleh PP No. 82 Tahun 2019)

    a)     Pelayanan Kesehatan yaitu mencakup perawatan tanpa batas biaya sesuai kebutuhan medis, termasuk perawatan di rumah (home care) jika peserta tidak memungkinkan melanjutkan pengobatan di rumah sakit;

    b)    Santunan Uang Tunai yaitu meliputi santunan sementara tidak mampu bekerja, santunan cacat (sebagian anatomis, sebagian fungsi, dan cacat total tetap), santunan kematian, biaya pemakaman, dan santunan berkala yang dibayarkan sekaligus;

    c)     Program Kembali Bekerja (Return to Work) dengan melalui Pendampingan bagi peserta yang mengalami kecelakaan kerja hingga dapat kembali bekerja; dan

    d)    Beasiswa Pendidikan, ini merupakan manfaat yang ditambahkan melalui PP No. 82/2019, diberikan bagi anak dari peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap akibat kecelakaan kerja, untuk maksimal 2 (dua) orang anak.  

    2.        Jaminan Kematian (JKM)

    JKM adalah program yang memberikan manfaat uang tunai kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja.

    -        Dasar Hukum Utama

    Sama seperti JKK, program JKM diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2015 dan telah diperbarui secara signifikan melalui PP Nomor 82 Tahun 2019 dan PP Nomor 49 Tahun 2023;

    -       Manfaat Utama (sebagaimana diperbarui oleh PP No. 82 Tahun 2019)

    Manfaat JKM ditingkatkan secara substansial untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi keluarga yang ditinggalkan.

    a)          Santunan Kematian

    Terdiri dari santunan sekaligus sebesar Rp20.000.000 (naik dari Rp16.200.000), santunan berkala yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp12.000.000 (naik dari Rp4.800.000), dan biaya pemakaman sebesar Rp10.000.000 (naik dari Rp3.000.000). Total manfaat tunai yang diterima ahli waris menjadi Rp42.000.000.  

    b)          Beasiswa Pendidikan

    Diberikan bagi anak dari peserta yang telah memiliki masa iur paling singkat 3 (tiga) tahun, untuk maksimal 2 (dua) orang anak.  

    3.        Jaminan Hari Tua (JHT)

    JHT adalah program tabungan yang manfaatnya berupa uang tunai yang dibayarkan sekaligus saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

    -       Dasar Hukum Utama

    Penyelenggaraan program JHT diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015. Peraturan ini kemudian diubah oleh PP Nomor 60 Tahun 2015 sebagai respons atas aspirasi pekerja.

    -       Manfaat dan Ketentuan Pencairan:

    a)      Besaran Manfaat

    Manfaat JHT adalah seluruh akumulasi iuran yang telah disetor (terdiri dari iuran pekerja dan pemberi kerja) ditambah hasil pengembangannya.  

    b)      Kondisi Pencairan

     PP Nomor 60 Tahun 2015 mengubah Pasal 26 PP Nomor 46 Tahun 2015, menghapus ketentuan yang mengharuskan pekerja yang berhenti bekerja atau terkena PHK untuk menunggu hingga usia 56 tahun untuk mencairkan JHT. Saat ini, manfaat JHT dapat dibayarkan kepada peserta yang mengundurkan diri atau terkena PHK setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan.  

    4.       Jaminan Pensiun (JP)

    JP adalah jaminan sosial yang bertujuan mempertahankan derajat kehidupan yang layak dengan memberikan penghasilan bulanan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

    -        Dasar Hukum Utama

    Program ini diatur secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015.  

    -       Manfaat dan Ketentuan

    a)      Manfaat Pensiun

    Berupa uang tunai yang dibayarkan setiap bulan kepada penerima manfaat (peserta atau ahli warisnya). Jenis manfaatnya meliputi Pensiun Hari Tua, Pensiun Cacat, Pensiun Janda/Duda, Pensiun Anak, dan Pensiun Orang Tua.  

    b)    Usia Pensiun

    Untuk pertama kali ditetapkan 56 tahun, dan selanjutnya bertambah 1 tahun untuk setiap 3 tahun berikutnya hingga mencapai 65 tahun. Per 1 Januari 2025, usia pensiun ditetapkan menjadi 59 tahun.  

    c)     Masa Iur

    Untuk menerima Manfaat Pensiun bulanan, peserta harus memiliki masa iur minimal 15 tahun. Jika masa iur kurang dari 15 tahun saat mencapai usia pensiun, peserta berhak mendapatkan seluruh akumulasi iurannya beserta hasil pengembangannya secara sekaligus (lump sum).  

    5.       Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)

    JKP adalah program terbaru yang merupakan amanat dari UU Cipta Kerja, dirancang untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

    -       Dasar Hukum Utama

    Penyelenggaraan program JKP diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2021. Peraturan ini kemudian disempurnakan secara signifikan melalui PP Nomor 6 Tahun 2025 untuk mengoptimalkan perlindungan bagi pekerja;

    -       Manfaat Tiga-dalam-Satu

    JKP memberikan tiga jenis manfaat secara terintegrasi :  

    1.        Uang Tunai

    Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2025, manfaat uang tunai ditingkatkan menjadi 60% dari upah selama maksimal 6 bulan (sebelumnya 45% untuk 3 bulan pertama dan 25% untuk 3 bulan berikutnya).  

    2.       Akses Informasi Pasar Kerja

    Bimbingan jabatan dan penyediaan informasi lowongan pekerjaan melalui Sistem Informasi Ketenagakerjaan.  

    3.      Pelatihan Kerja

    Pelatihan berbasis kompetensi untuk meningkatkan keterampilan (reskilling atau upskilling) agar pekerja dapat kembali bersaing di pasar kerja.  

    -       Syarat Penerima Manfaat: Manfaat JKP diberikan kepada peserta yang mengalami PHK, dengan masa iur minimal 12 bulan dalam 24 bulan terakhir, dan bersedia untuk bekerja kembali. Manfaat ini tidak berlaku bagi yang mengundurkan diri, pensiun, cacat total tetap, atau meninggal dunia.  

    Kehadiran program JKP yang terintegrasi dengan program lainnya semakin memperkuat sentralitas data kepesertaan yang akurat dan kepatuhan pemberi kerja. Kegagalan pemberi kerja dalam mendaftarkan pekerjanya berarti merampas hak pekerja atas kelima jaring pengaman sosial ini secara simultan, meninggalkan mereka rentan tanpa perlindungan saat menghadapi risiko-risiko tersebut.

    Kewajiban Mutlak Pemberi Kerja (Sifat Wajib Kepesertaan)

    Prinsip fundamental yang mendasari sistem jaminan sosial di Indonesia adalah kepesertaan yang bersifat wajib (mandatory). Pasal 15 ayat (1) UU tentang BPJS secara eksplisit dan tidak ambigu menyatakan:

    “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”.

    Frasa “wajib” ini menegaskan bahwa pendaftaran bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan hukum yang tidak dapat ditawar (non-negotiable). Kewajiban ini dipertegas kembali dalam berbagai peraturan pelaksana di bawahnya, yang mengharuskan pemberi kerja mendaftarkan seluruh pekerjanya tanpa terkecuali, termasuk pekerja dalam masa percobaan, direksi dan komisaris yang menerima upah, serta pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Batas waktu pendaftaran pun diatur secara tegas, yakni paling lama 30 hari sejak pekerja mulai bekerja.  

    Posisi hukum pekerja semakin diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 82/PUU-X/2012, tertanggal 5 Oktober 2012. Putusan ini memberikan tafsir “inkonstitusional bersyarat” terhadap Pasal 15 ayat (1) UU BPJS, yang secara efektif melahirkan norma hukum baru. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa jika Pemberi Kerja “nyata-nyata lalai” dalam mendaftarkan pekerjanya, maka pekerja yang bersangkutan berhak untuk mendaftarkan dirinya sendiri sebagai peserta program jaminan sosial, dan seluruh iuran serta kewajiban yang timbul menjadi tanggungan Pemberi Kerja. Hak proaktif pekerja ini kemudian diadopsi secara formal ke dalam peraturan turunan, salah satunya adalah Pasal 6A Peraturan BPJS Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran Kepesertaan Bagi Pemberi Kerja dan Pekerja Penerima Upah Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan pada Kanal Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan. Putusan MK ini secara fundamental mengubah dinamika hubungan hukum, dari yang semula hanya berpusat pada kewajiban pemberi kerja menjadi hak yang dapat dituntut dan dieksekusi secara mandiri oleh pekerja.  

    Mekanisme Penegakan Kepatuhan dan Eskalasi Sanksi

    BPJS Ketenagakerjaan dibekali dengan serangkaian kewenangan penegakan hukum yang terstruktur dan berlapis untuk memastikan kepatuhan Pemberi Kerja. Mekanisme ini tidak berjalan secara tunggal, melainkan merupakan sebuah ekosistem penegakan hukum yang terintegrasi dan melibatkan berbagai lembaga negara lainnya.

    Kewenangan Pengawasan dan Pemeriksaan

    Sebagai langkah awal, BPJS Ketenagakerjaan memiliki unit kerja khusus yang bertugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kepatuhan Pemberi Kerja. Namun, pengawasan ini tidak berhenti di lingkup internal. Terdapat sinergi yang kuat dengan Pengawas Ketenagakerjaan yang berada di bawah naungan Kementerian Ketenagakerjaan. Pengawas Ketenagakerjaan memiliki kewenangan yang lebih luas, termasuk melakukan pemeriksaan mendalam hingga penyidikan tindak pidana ringan di bidang ketenagakerjaan.

    Perjanjian kerja sama antara Kemnaker dan BPJS Ketenagakerjaan secara eksplisit mengatur koordinasi dalam hal pengawasan dan penegakan hukum. Adanya dua lapis pengawasan ini—internal oleh BPJS dan eksternal oleh Kemnaker—menciptakan sistem kontrol yang lebih efektif dan sulit dihindari oleh Pemberi Kerja yang tidak patuh.  

    Sanksi Administratif Berdasarkan PP Nomor 86 Tahun 2013

    Landasan utama bagi pengenaan sanksi administratif adalah Pasal 17 UU Nomor 24 Tahun 2011 , yang tata cara detailnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang Selain Pemberi Kerja Pekerja Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Alur pengenaan sanksi ini bersifat bertahap (eskalatif) sebagai berikut:  

    Tahap I: Teguran Tertulis

    Ini adalah tahap peringatan yang memberikan kesempatan bagi Pemberi Kerja untuk melakukan perbaikan.

    1.        Teguran Tertulis Pertama

    BPJS Ketenagakerjaan akan mengeluarkan surat teguran tertulis pertama yang memberikan jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja bagi Pemberi Kerja untuk memenuhi kewajibannya (mendaftar, melunasi tunggakan, atau memperbaiki data).  

    2.       Teguran Tertulis Kedua

    Apabila teguran pertama diabaikan, BPJS Ketenagakerjaan akan mengeluarkan surat teguran tertulis kedua, juga dengan jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja.  

    Tahap ini merupakan “jendela kesempatan” krusial bagi perusahaan untuk menyelesaikan kewajibannya tanpa dikenai sanksi finansial atau sanksi yang lebih berat. Komunikasi dan klarifikasi melalui kuasa hukum idealnya dilakukan pada tahap ini.

    Tahap II: Pengenaan Denda

    Jika setelah berakhirnya masa teguran kedua kewajiban tetap tidak dipenuhi, sanksi akan bereskalasi ke ranah finansial.

    1.       BPJS Ketenagakerjaan akan mengenakan denda sebesar 0,1% (nol koma satu persen) setiap bulan dari total iuran yang seharusnya dibayar;

    2.       Denda ini mulai dihitung sejak tanggal teguran tertulis kedua berakhir dan bersifat akumulatif, terus berjalan selama kewajiban belum dilunasi. Denda harus disetorkan kepada BPJS bersamaan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya. Denda yang terkumpul akan menjadi pendapatan lain dari Dana Jaminan Sosial.  

    Tahap III: Sanksi Tidak Mendapat Pelayanan Publik Tertentu (TMP2T)

    Ini adalah sanksi pamungkas dalam ranah administratif yang memiliki daya paksa sangat tinggi, karena dapat menghambat bahkan melumpuhkan operasional bisnis perusahaan. Sanksi ini diterapkan apabila Pemberi Kerja tidak melunasi denda yang telah dikenakan. Penting untuk dipahami bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak mengeksekusi sanksi ini secara langsung. Sebaliknya, BPJS Ketenagakerjaan mengajukan permintaan kepada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang berwenang untuk memberlakukan penghentian layanan publik. Lingkup layanan yang dapat dihentikan sangat strategis dan vital bagi kelangsungan usaha, meliputi:

    -        Perizinan terkait usaha (misalnya, perpanjangan Surat Izin Usaha Perdagangan/SIUP);

    -        Izin yang diperlukan untuk mengikuti tender proyek pemerintah maupun swasta;

    -        Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA);

    -        Izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (outsourcing);

    -        Izin Mendirikan Bangunan (IMB).  

    Sanksi TMP2T menunjukkan betapa seriusnya negara memandang pemenuhan kewajiban jaminan sosial sebagai bagian integral dari kepatuhan berusaha.

    Tabel 1: Eskalasi Sanksi Administratif bagi Pemberi Kerja Tidak Patuh (Berdasarkan PP Nomor 86 Tahun 2013)

    Tahapan

    Jenis Sanksi

    Dasar Hukum

    Jangka Waktu

    Pelaksana/Inisiator

    Keterangan Kritis

    Peringatan

    Teguran Tertulis I

    Pasal 10 ayat (1)

    10 hari kerja

    BPJS Ketenagakerjaan

    Jendela kesempatan pertama untuk pemenuhan tanpa sanksi finansial.

    Teguran Tertulis II

    Pasal 10 ayat (2)

    10 hari kerja

    BPJS Ketenagakerjaan

    Peringatan terakhir sebelum pengenaan denda.

    Denda

    Denda Administratif

    Pasal 10 ayat (3) & (4)

    Dihitung per bulan setelah teguran kedua berakhir

    BPJS Ketenagakerjaan (menagih)

    Denda 0,1% per bulan dari iuran terutang, bersifat akumulatif.

    Pembatasan Layanan Publik

    Tidak Mendapat Pelayanan Publik Tertentu (TMP2T)

    Pasal 9 & Pasal 10 ayat (6)

    Berlaku hingga kewajiban dipenuhi

    Pemerintah/Pemda (atas permintaan BPJS)

    Sanksi terberat yang dapat melumpuhkan operasional bisnis (izin usaha, tender, IMB, dll).

    Ultimum Remedium: Potensi Sanksi Pidana

    Di luar sanksi administratif, UU BPJS juga menyediakan instrumen hukum pamungkas (ultimum remedium) berupa sanksi pidana. Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2011 secara tegas mengatur bahwa Pemberi Kerja yang melanggar kewajibannya untuk memungut iuran yang menjadi beban pekerja dan/atau tidak menyetorkan seluruh iuran (bagian pekerja dan bagian perusahaan) kepada BPJS, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).  

    Tindakan tidak menyetorkan iuran yang sudah dipungut dari gaji pekerja dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan. Ancaman pidana ini secara spesifik menargetkan individu yang bertanggung jawab dalam struktur perusahaan, yaitu jajaran direksi atau pimpinan yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab atas pengelolaan keuangan dan ketenagakerjaan. Terdapat sejumlah preseden kasus di mana direksi perusahaan telah diproses secara hukum dan divonis pidana penjara karena terbukti menunggak atau menggelapkan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Ini merupakan risiko hukum personal tertinggi yang harus diwaspadai oleh manajemen perusahaan.  

    Peran Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN)

    Untuk mengoptimalkan penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara, BPJS Ketenagakerjaan secara aktif menjalin kerja sama dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yang diturunkan hingga ke tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.  

    Dalam kerangka kerja sama ini, BPJS Ketenagakerjaan dapat memberikan Surat Kuasa Khusus (SKK) kepada Kejaksaan. Dengan SKK tersebut, Jaksa akan bertindak dalam kapasitasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk mewakili BPJS Ketenagakerjaan dalam melakukan tindakan hukum, terutama penagihan piutang iuran kepada perusahaan-perusahaan yang menunggak. Ketika sebuah perusahaan menerima surat panggilan dari Kejaksaan terkait tunggakan iuran BPJS, hal ini menandakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan telah melakukan eskalasi penegakan hukum dengan memanfaatkan wibawa dan kewenangan institusi Kejaksaan untuk memastikan kepatuhan.

    Prosedur Klarifikasi dan Pengaduan sebagai Wujud Pelayanan Publik

    Sebagai badan hukum publik, BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya memiliki fungsi penegakan kepatuhan, tetapi juga kewajiban untuk menyediakan pelayanan publik yang berkualitas, transparan, dan akuntabel. Hal ini mencakup penyediaan mekanisme bagi peserta, termasuk Pemberi Kerja, untuk meminta klarifikasi dan menyampaikan pengaduan.

    Setiap Pemberi Kerja dan peserta berhak untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat mengenai status kepesertaan, rincian perhitungan iuran, denda, serta manfaat program. BPJS Ketenagakerjaan diwajibkan untuk menyediakan berbagai kanal pelayanan yang mudah diakses, baik secara fisik (kantor cabang, unit layanan) maupun elektronik (situs web, aplikasi mobile), untuk memfasilitasi pendaftaran dan pelayanan informasi. Hak untuk mendapatkan klarifikasi ini menjadi dasar bagi Pemberi Kerja untuk secara resmi mempertanyakan dasar perhitungan atau status ketidakpatuhan yang ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.  

    Mekanisme Penanganan Pengaduan Internal BPJS Ketenagakerjaan

    Dasar hukum utama yang mengatur mekanisme ini adalah Peraturan BPJS Ketenagakerjaan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Unit Pengendali Mutu Pelayanan dan Penanganan Pengaduan Peserta. Peraturan ini mencabut dan menyempurnakan peraturan sebelumnya (Peraturan BPJS Nomor 6 Tahun 2015).  

    Prosedur formal ini dapat digunakan secara strategis sebagai langkah hukum pertama yang terdokumentasi sebelum melakukan eskalasi ke lembaga lain. Dengan mengajukan permintaan klarifikasi atau pengaduan secara tertulis melalui kuasa hukum, seluruh korespondensi menjadi bukti hukum yang formal. Jawaban tertulis dari BPJS Ketenagakerjaan atas surat tersebut akan menjadi dasar yang kuat untuk langkah selanjutnya. Jika jawaban tersebut memuaskan, maka permasalahan dapat diselesaikan. Namun, jika tidak memuaskan, jawaban tersebut menjadi bukti bahwa upaya penyelesaian secara internal telah ditempuh namun gagal. Hal ini akan memperkuat posisi hukum Pemberi Kerja apabila sengketa harus berlanjut ke ranah hukum lain, seperti Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait penerbitan surat keputusan sanksi. Ini adalah langkah krusial untuk membangun rekam jejak pembelaan (paper trail) yang solid.

    Alur penanganan pengaduan berdasarkan peraturan tersebut adalah sebagai berikut:

    1.        Pengajuan Pengaduan

    Setiap peserta, termasuk Pemberi Kerja, yang merasa tidak puas terhadap pelayanan atau keputusan BPJS Ketenagakerjaan dapat menyampaikan pengaduan secara resmi melalui kanal-kanal yang disediakan.  

    2.       Jangka Waktu Penanganan

    BPJS Ketenagakerjaan wajib menangani dan memberikan tanggapan atas pengaduan tersebut dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak pengaduan diterima secara lengkap.  

    3.      Kelengkapan Dokumen

    Apabila data atau dokumen pendukung yang disampaikan oleh pengadu belum lengkap, pengadu diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika dalam kurun waktu tersebut kelengkapan tidak dipenuhi, maka pengaduan dianggap telah selesai.  

    4.       Eskalasi Sengketa

    Apabila hasil penanganan pengaduan yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat diterima oleh pengadu, maka penyelesaian sengketa dapat dilanjutkan melalui mekanisme hukum yang berlaku di luar BPJS, misalnya melalui mediasi atau pengadilan.   

    Mekanisme ini merupakan jalur formal yang dapat dan sebaiknya ditempuh oleh Pemberi Kerja yang menghadapi masalah kepatuhan. Surat Kuasa Khusus yang akan dibahas pada bagian selanjutnya dapat digunakan untuk secara resmi menjalankan proses permintaan klarifikasi atau pengaduan melalui jalur ini, sekaligus menuntut tanggapan resmi dari BPJS Ketenagakerjaan dalam kerangka waktu yang telah mereka tetapkan sendiri.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.