layananhukum

Dari Perjan ke Danantara: Dialektika Hukum dan Masa Depan Tata Kelola BUMN Indonesia

    Pendahuluan

    Dalam konstruksi negara hukum modern (moderne rechtsstaat), pengaturan peran negara dalam bidang ekonomi tidak semata-mata merupakan produk kebijakan pragmatis (pragmatisch beleid), melainkan wujud dari kewajiban konstitusional negara untuk menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan umum (algemeen welzijn). Dalam kerangka welfare-rechtstaat, negara tidak cukup berfungsi sebagai regulator, melainkan juga sebagai actor dan promotor pembangunan ekonomi.

    Dalam konteks ini, Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) diposisikan sebagai entitas hukum publik sekaligus korporasi komersial (quasi-public corporate entity) yang menjadi instrumen sah secara hukum dan institusional negara dalam mendominasi sektor-sektor ekonomi strategis.

    Gagasan mengenai BUMN sebagai subjek hukum publik (publiekrechtelijke rechtspersoon) mendapatkan legitimasi yuridis pada dekade 1980-an, yang dipicu oleh kebutuhan sistemik terhadap struktur organisasi negara yang dapat menjalankan fungsi ganda yaitu pelayanan publik dan produktivitas ekonomi. Momentum ini ditandai dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero), yang selanjutnya disebut dengan PP tentang Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum, dan Persero.

    PP ini diterbitkan dalam upaya mengkonsolidasikan berbagai bentuk subjek hukum usaha negara di bawah rezim regulasi yang terpadu. Dengan menetapkan model pembinaan dan pengawasan terhadap Perjan, Perum, dan Persero, PP tersebut merepresentasikan upaya kodifikasi awal terhadap governance framework bagi subjek hukum berupa badan usaha negara yang menjalankan aktivitas bisnis. Namun sayangnya, peraturan ini lebih bersifat administratif dan teknokratis, tanpa membangun fondasi yuridis dan filosofis yang kuat bagi transformasi kelembagaan BUMN sebagai pelaku ekonomi negara yang modern dan efisien.

    Secara politik hukum (politieke recht), regulasi ini tidak dilahirkan dalam kondisi steril dari dinamika ideologis dan tekanan struktural, melainkan justru dibentuk dalam konstelasi diskursus global tentang efisiensi ekonomi, rasionalisasi kelembagaan, dan reformasi struktural negara pasca-OPEC boom. Dalam waktu bersamaan, tekanan eksternal dari institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia turut membentuk narasi reformasi melalui desakan liberalisasi ekonomi, deregulasi sektor publik, dan restrukturisasi kelembagaan.

    Dalam lanskap domestik, pembinaan dan pengawasan terhadap badan usaha milik negara dilaksanakan oleh kementerian teknis yang secara langsung membawahi masing-masing Perjan, Perum, dan Persero, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf a PP tentang Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum, dan Persero. Pada periode tersebut, struktur kelembagaan yang menangani BUMN masih berada dalam lingkup Kementerian Keuangan Republik Indonesia, khususnya dalam bentuk unit setingkat Eselon II.


    Sejak 1973 hingga awal 1990-an, fungsi ini dijalankan melalui beberapa perubahan nomenklatur, mulai dari Direktorat Persero dan PKPN (Pengelolaan Keuangan Perusahaan Negara), Direktorat Persero dan BUN (Badan Usaha Negara), hingga Direktorat Pembinaan BUMN. Baru pada tahun 1993, dibentuk unit setingkat Eselon I dengan nama Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Usaha Negara (DJ-PBUN), yang kemudian menjadi cikal bakal Kementerian BUMN Republik Indonesia sebagaimana kita kenal saat ini.

    Dalam kerangka pengawasan keuangan, Menteri Keuangan Republik Indonesia memegang peranan sentral, khususnya dalam penyertaan modal negara, persetujuan atas aktiva tetap dan laporan keuangan, serta keterlibatannya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Persero.

    Sedangkan, pengawasan administratif dilakukan oleh Sekretaris Jenderal kementerian teknis terkait, dan pengawasan teknis dilaksanakan oleh Direktur Jenderal di masing-masing kementerian sektoral (vide Pasal 3–6 PP tentang Pembinaan dan Pengawasan BUMN).

    Kendati struktur pengawasan tersebut telah diatur secara normatif, fragmentasi koordinasi, ego sektoral antar kementerian, serta tidak adanya badan yang berfungsi sebagai koordinator tunggal menyebabkan kebijakan pembinaan BUMN pada masa itu berjalan secara parsial, reaktif, dan cenderung diskontinu. Absennya prinsip integrasi dan konsolidasi kelembagaan ini pada akhirnya menciptakan kesenjangan antara tujuan kebijakan makro pembangunan ekonomi nasional dan performa mikro badan usaha milik negara yang menjadi ujung tombaknya.

    Kritik terhadap efektivitas PP ini banyak disuarakan oleh akademisi dan praktisi hukum ekonomi negara. Djoko Santoso Moeljono dan Riant Nugroho, misalnya, mencatat bahwa dalam praktiknya, kinerja BUMN justru mengalami kemunduran dari tahun ke tahun, ditandai dengan penurunan produktivitas, membengkaknya beban operasional, serta rendahnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan.[1] Hal ini menunjukkan bahwa paradigma manajerial yang dianut belum sepenuhnya kompatibel dengan prinsip good corporate governance maupun asas efisiensi publik (doelmatigheid van bestuur).

    Kondisi tersebut mencapai titik kulminasi pada saat Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997, di mana banyak BUMN mengalami kebangkrutan atau terancam likuidasi. Dalam situasi tersebut, Presiden Soeharto selaku aktor eksekutif utama negara memerintahkan pencarian paradigma baru dalam manajemen dan restrukturisasi BUMN. Situasi ini menjadi titik balik (turning point) dalam sejarah hukum korporasi negara, di mana intervensi negara harus diselaraskan dengan tekanan dari lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang mendorong reformasi struktural, termasuk dalam hal privatisasi dan liberalisasi pasar.

    Dari sudut pandang hukum bisnis dan perbandingan sistem hukum, perdebatan antara pendekatan public ownership versus private competition menjadi relevan untuk ditelaah ulang dalam konteks Indonesia. Pertanyaan mendasarnya adalah: sejauh mana BUMN dapat mempertahankan fungsi pelayanan publik (dienstverlening) tanpa kehilangan daya saingnya di pasar yang terbuka? Jawabannya tidak terletak semata pada perumusan kebijakan, tetapi pada desain regulasi yang preskriptif, adaptif, dan berbasis prinsip legal certainty, accountability, dan efficiency.


    Dengan demikian, kelahiran dan perkembangan BUMN tidak bisa dilepaskan dari konstruksi hukum yang kompleks, yang melibatkan interaksi antara norma publik dan privat, antara fungsi pelayanan dan mekanisme komersial, serta antara legitimasi negara dan rasionalitas pasar. Ini adalah medan epistemologis yang menuntut sintesis konseptual dan pendekatan hukum multidisipliner untuk menghasilkan tata kelola korporasi negara yang bukan hanya efektif secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial dan sah secara hukum.

    Landasan Utama Tujuan Pendirian BUMN Dewasa Ini

    Landasan normatif utama yang mengatur BUMN tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut dengan UU tentang BUMN. Dalam Pasal 2 UU tentang BUMN, ditegaskan bahwa tujuan pendirian BUMN meliputi 7 (tujuh) aspek utama, antara lain:

    a.       memperoleh keuntungan;

    b.      memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;

    c.       menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;

    d.      melakukan pemberdayaan, mendukung, dan membangun kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, serta masyarakat;

    e.       sebagai Persero yang menyediakan dan menjamin ketersediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu dan berdaya saing tinggi;

    f.        sebagai Perum, menjamin ketersediaan barang dan/ atau jasa bagi kemanfaatan umum dalam rangka pemenuhan hajat hidup orang banyak dan untuk kebutuhan strategis; dan

    g.      membangun industri strategis yang berbasis riset, inovasi, dan teknologi yang bersinergi dengan negara lain.

    Secara substansial, tujuan-tujuan tersebut menunjukkan bahwa UU tentang BUMN mengakomodasi fungsi ganda antara fungsi profitisasi dan fungsi sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip negara hukum kesejahteraan (welfare rechtstaat) yang tidak menyerahkan sepenuhnya kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar.

    Teori Ekonomi Kesejahteraan dan Justifikasi Intervensi Negara

    Pendekatan Keynesian menjadi referensi epistemologis yang relevan untuk memahami peran negara melalui BUMN. Dalam karyanya yang monumental, The General Theory of Employment, Interest and Money, J.M. Keynes menegaskan bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu menyelesaikan problematika ekonomi seperti pengangguran, stagnasi ekonomi, dan distribusi pendapatan yang timpang.[2] Negara, dalam kerangka negara hukum kesejahteraan, memiliki mandat moral dan yuridis untuk melakukan intervensi melalui instrumen-instrumen ekonomi negara, termasuk BUMN, dalam rangka mengatasi kegagalan pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities), serta eksternalitas negatif baik sosial maupun lingkungan.

    Pandangan Keynesian ini turut diperkuat oleh Joseph E. Stiglitz, yang menyoroti bahwa ketidakseimbangan informasi dan dominasi aktor swasta sering kali memperparah ketidakadilan distribusi sumber daya.[3] Ia berargumen bahwa intervensi negara melalui perusahaan publik sangat krusial dalam menciptakan akses yang setara atas barang dan jasa publik, serta sebagai korektor kelembagaan terhadap distorsi pasar. Hal senada dikemukakan oleh Amartya Sen, yang memandang negara bukan semata entitas administratif, tetapi agen pembangunan yang menjamin capabilities bagi warganya agar dapat menjalani kehidupan yang bernilai.[4]

    Dalam perspektif hukum dan filsafat politik, Roberto Mangabeira Unger menekankan pentingnya kapasitas kelembagaan hukum untuk memungkinkan negara menjadi agen transformasi sosial (transformative agency), bukan sekadar penjaga netralitas pasar.[5] Keberadaan BUMN, dalam konteks ini, merupakan ekspresi konkret dari negara hukum demokratis yang bertanggung jawab terhadap realisasi hak-hak sosial-ekonomi warga negaranya.


    Implikasinya, keberadaan BUMN tidak hanya bertujuan mengejar efisiensi ekonomi atau profitabilitas semata, tetapi juga menjamin keadilan sosial, pemerataan hasil pembangunan, dan aksesibilitas terhadap layanan publik strategis seperti energi, transportasi, pangan, dan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

    Evolusi Fungsi BUMN dalam Tiga Fase

    Sebagaimana diidentifikasi oleh para ahli kebijakan publik, siklus perkembangan BUMN di Indonesia mengalami 3 (tiga) fase transformasi:

    1.        Fase Pendirian Awal

    Ditandai dengan peran BUMN sebagai agent of development, yaitu motor penggerak pembangunan ekonomi yang mengisi ruang-ruang kosong yang belum dijangkau oleh sektor swasta.[6]

    2.       Fase Transisi

    Dalam fase ini, BUMN mulai diarahkan untuk berorientasi pada efisiensi bisnis, namun tetap diberikan penugasan pelayanan publik (Public Service Obligation) terutama di sektor-sektor yang tidak komersial.[7]

    3.      Fase Reposisi dan Privatisasi Selektif

    BUMN yang telah mapan diarahkan menjadi pelaku usaha profesional melalui privatisasi terbatas dan transformasi tata kelola, sesuai prinsip good corporate governance (GCG).

    Dalam konteks ini, kebijakan privatisasi harus tetap memperhatikan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

    Kritik dan Refleksi Konseptual

    Kritik utama terhadap praktik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia menyasar pada persoalan laten yang tak kunjung selesai, yaitu konflik kepentingan antara fungsi sosial (public service obligation) dan fungsi profitisasi (commercial viability), lemahnya akuntabilitas publik, serta kecenderungan intervensi politik dalam manajemen korporasi negara. Dalam banyak kasus, penugasan sosial yang diberikan kepada BUMN oleh negara tidak disertai dengan kompensasi fiskal yang memadai dan mekanisme transparan, sehingga menimbulkan beban struktural terhadap neraca keuangan perusahaan serta menciptakan disinsentif terhadap efisiensi internal.

    Pandangan Joseph E. Stiglitz menunjukkan bahwa peran negara dalam menyediakan barang dan jasa yang bersifat publik tidak dapat disubstitusi oleh mekanisme pasar, tetapi keberhasilan intervensi negara bergantung pada kualitas tata kelola dan kapasitas institusional yang mendasarinya.[8] Dalam konteks BUMN, hal ini menuntut penerapan sistem pengukuran kinerja yang tidak hanya berorientasi pada laba, tetapi juga mencakup indikator sosial dan pembangunan ekonomi jangka panjang.

    Friedrich Hayek, meskipun dikenal sebagai kritikus intervensi negara, memperingatkan bahwa bila negara memang memilih untuk menjalankan fungsi ekonomi melalui entitas korporasi, maka harus ada batasan yang jelas, termasuk disiplin anggaran, transparansi, dan akuntabilitas internal yang tinggi, agar tidak menciptakan apa yang disebutnya sebagai “fatal conceit” dalam birokrasi.[9] Dalam realitas Indonesia, konsep tersebut tercermin dari fakta bahwa banyak BUMN mengalami permasalahan kinerja, bukan karena peran sosialnya semata, tetapi karena buruknya tata kelola, patronase politik, dan minimnya sistem evaluasi yang objektif dan berbasis kinerja riil.

    Di sisi lain, Mariana Mazzucato mengadvokasi model “entrepreneurial state” di mana negara justru harus mengambil risiko dalam inovasi dan pembangunan ekonomi melalui instrumen BUMN, tetapi dengan prinsip manajemen berbasis nilai (value-driven governance) dan evaluasi yang berbasis pada hasil, bukan sekadar kepatuhan prosedural.[10] Model BUMN di Singapura dan Malaysia—Temasek Holdings dan Khazanah Nasional—mengilustrasikan dengan gamblang bagaimana perusahaan milik negara mampu bertransformasi menjadi entitas bisnis modern, profesional, dan akuntabel yaitu profit oriented tanpa mengabaikan mandat sosial. Keberhasilan mereka bersandar pada sistem pengawasan independen dan struktur kepemimpinan yang dibebaskan dari politisasi serta benturan kepentingan. Implementasi pemisahan fungsi kepemilikan, pengawasan, dan pengelolaan memberikan ruang bagi manajemen untuk menerapkan prinsip business judgement rule—yakni kebebasan berkreasi dalam batas wajar untuk memaksimalkan nilai tanpa takut sanksi reguler, sejauh langkahnya diambil dengan itikad baik, penuh informasi, serta tanpa kepentingan pribadi.[11]


    Dalam konteks Indonesia, UU tentang BUMN harus dibaca ulang dan ditegakkan lewat regulasi pelaksana yang lebih ketat. Pertama, definisi dan mekanisme penugasan publik wajib diperjelas seperti tiap ‘layanan wajib’ atau public service obligation (PSO) mesti memenuhi tiga syarat kumulatif—adanya aktor publik yang menugaskan, kompensasi finansial yang setara, dan standar kinerja terukur—agar BUMN tidak menjadi ‘proyek anggaran gelap’ pemerintah. Kedua, business judgement rule harus diadopsi secara eksplisit dalam Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri BUMN, melindungi direksi dari tuntutan penggemar politis sepanjang kebijakan diambil berdasarkan informasi lengkap, tanpa benturan kepentingan, dan demi meningkatkan nilai perusahaan.

    Lebih jauh, integrasi prinsip value for money (VfM), performance-based budgeting (PBB), dan results-based accountability (RBA) adalah keniscayaan. Value for money menggeser paradigma ‘biaya sekadar habis’ menuju ‘optimalisasi manfaat ekonomis, sosial, dan lingkungan’. Performance-based budgeting menegaskan setiap rupiah negara di BUMN terikat output dan outcome yang terukur, memaksa manajemen menetapkan indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPI) yang objektif dan terpublikasi. Results-based accountability pun menuntut transparansi dalam pertanggungjawaban—publik dapat menilai capaian BUMN terhadap target-target strategis, sehingga memacu akuntabilitas sejati.

    Amandemen UU BUMN Tahun 2025 dan Problematika Tata Kelola BUMN

    Undang‑Undang Republik Indonesia Nomor1 Tahun2025, disahkan pada tanggal 24 Februari 2025, merupakan amandemen ketiga atas Undang‑Undang Republik Indonesia Nomor19 Tahun2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU tentang BUMN). Amandemen ini membawa perubahan radikal dalam tata kelola korporasi negara, dimulai dari pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), hingga redefinisi tanggung jawab keuangan dan mekanisme pengawasan eksternal dalam struktur BUMN.

    Tabel Perbandingan UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2025

    Aspek

    UU No. 19 Tahun 2003

    UU No. 1 Tahun 2025

    Status Kerugian BUMN

    Dianggap kerugian negara

    Tanggung jawab manajemen BUMN

    Pengawasan Eksternal

    BPK memiliki wewenang luas

    BPK terbatas pada tujuan tertentu atas permintaan DPR

    Struktur Pengelolaan

    Dikelola langsung oleh pemerintah

    Sebagian wewenang didelegasikan ke Danantara

    Business Judgment Rule

    Tidak diatur secara eksplisit

    Diperkenalkan untuk melindungi direksi

    BPI Danantara: Supremasi Eksekutif atau Profesionalisasi Korporasi?

    Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) digadang sebagai vehicle untuk konsolidasi aset dan optimalisasi investasi BUMN — mengambil inspirasi dari model Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia — dengan modal awal mencapai lebih dari Rp1.000 triliun, mencakup BUMN strategis seperti Pertamina, PLN, dan bank-bank plat merah utama. Namun, walau membungkus narasi profesionalisasi (value-driven governance), faktanya delegasi wewenang langsung dari Presiden mempertegas sentralisasi kendali eksekutif (executive dominance), yang berpotensi melemahkan independensi formal dan substantif BPI Danantara sebagai korporasi negara.

    Selain itu, struktur organisasi BPI Danantara memperlihatkan susunan Dewan Pengawas dan Direksi yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) tanpa kriteria independensi sektoral atau standar kompetensi profesional yang eksplisit. Akibatnya, bangunan formal modernitas kelembagaan (institutional modernity) justru rapuh terhadap pengaruh patronase politik (political patronage). Model ini menimbulkan risiko besar yaitu ketimbang memberi ruang bagi tata kelola yang efisien dan akuntabel, institusi ini menjadi wadah mudahan terjadinya political bail-in — yaitu intervensi situasional yang mengorbankan objektivitas strategis demi kepentingan jangka pendek politik.


    Bukan hanya itu, seperti yang diketahui, Dewan Pengawas yang dikendalikan Presiden menimbulkan celah hukum serius yaitu apakah BPI Danantara masih bisa dianggap sebagai lembaga negara independen (quasi-governmental agency)? Versi regulasi ini tampak tidak sejalan dengan prinsip checks-and-balances sistem hukum Barat maupun prinsip ministeriële verantwoordelijkheid dalam tradisi Belanda. Ketidakhadiran kriteria independensi dalam ketentuan pembentukan menyebabkan simpul konflik kepentingan (conflict of interest) dan memperbesar risiko korupsi kelembagaan (institutional corruption).

    Kemudian saat berbicara mengenai sistem tata kelola yang seharusnya menekankan professional autonomy dan prinsip post-political governance kemungkinan akan tergeser oleh budaya birokrasi politik. Politisasi kelembagaan dan rotasi pejabat berdasarkan kedekatan politik, bila tidak dicegah secara hukum, memungkinkan reformasi jatuh menjadi “eternal patronage system” — dan bukan modern sovereign wealth fund yang mencerminkan kapabilitas negara sebagai penjaga kepentingan publik (public trustee).

    Lebih ironis lagi, independensi struktur ini tidak hanya dipertanyakan dalam tataran kelembagaan, tetapi juga dalam ranah hukum. Jika Dewan Pengawas dan manajemen bukan pejabat publik secara formal, maka perlindungan hukum terhadap independensi mereka berada di wilayah abu-abu. Peraturan sebaliknya justru menjadikan posisi mereka legal secara formal — namun secara politik sangat rentan terhadap tekanan eksekutif.

    Akhir kata, timbul suatu postulat seperti ini, apabila BPI Danantara tidak segera dibekali dengan

    -        Kudeta kelembagaan terhadap intervensi politik — melalui implementasi ketentuan independensi terbuka, transparansi seleksi Dewan, serta batas tegas masa jabatan;

    -        Prinsip tata kelola hasil berbasis nilai publik (public value governance) — dengan lapisan audit eksternal dari BPK, BPKP, KPK, dan auditor independen tanpa kecuali;

    -        Prinsip due diligence konsolidasi aset yang ketat — agar portofolio BUMN tidak ditransaksikan tanpa analisis risiko dan evaluasi akuntansi publik yang memadai;

    ... maka BPI Danantara bisa berubah menjadi instrumen kekuasaan politik tidak lebih dari superholding negara, bukan ekosistem korporasi negara profesional yang diidamkan dalam paradigma negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat).

    Transformasi Kerugian dan BJR: Ruang Bebas Atau Zona Abu-Abu?

    Amandemen UU ini menjadikan kerugian BUMN sebagai tanggung jawab manajemen, bukan lagi ‘kerugian negara’. Prinsip Business Judgment Rule (BJR) diterapkan untuk melindungi manajer dari tuntutan pidana dan perdata selama keputusan diambil dengan itikad baik dan dasar analisis wajar; bentuk pembebasan risiko ini bertujuan merangsang keberanian mengambil keputusan bisnis. Namun, BJR juga bisa menjadi tameng bagi kesalahan fatal bila tidak diiringi transparansi dan mekanisme evaluatif yang transparan dari stakeholder dan pemegang saham public.

    Salah satu perubahan paling kontroversial adalah pembatasan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), yang hanya dapat melakukan pemeriksaan atas permintaan DPR RI. Hal ini menciptakan ketergantungan pada dinamika politik legislatif dan berpotensi memunculkan biases in audit, terutama bila eksekutif dan legislatif berada dalam satu poros kekuasaan. Secara teoritis, pilar checks‑and‑balances menjadi semakin rapuh jika kekuatan audit dikendalikan secara politis.

    Sehingga, pemisahan aset dan pendanaan BPI Danantara dari keuangan negara menimbulkan kekhawatiran akan fragmentasi akuntabilitas. Sejumlah uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal-pasal tentang pemisahan keuangan menyatakan potensi inkonstitusionalitas—di mana keuntungan maupun kerugian BPI Danantara dikecualikan dari defisini ‘kerugian negara’ dalam UU Tipikor, mengaburkan pertanggungjawaban dan mempersulit pemberantasan korupsi jika unit ini dianggap bukan penyelenggara negara

    Transformasi ini tidak hanya mengubah formasi kelembagaan, tetapi juga cara BUMN berinteraksi dengan publik. Tanpa transparansi publik yang memadai—dimana ICW bahkan mencermati ketertutupan akses UU dan peraturan pelaksana—reformasi ini berisiko melahirkan mekanisme subterranean, menyembunyikan keputusan strategis di balik jargon “efisiensi” dan “daya saing” tanpa legitimasi publik.

    Jalan Panjang Profesionalisasi BUMN dalam Bingkai Negara Hukum Kesejahteraan

    Refleksi terhadap evolusi historis dan yuridis BUMN dalam konteks negara hukum kesejahteraan (welfare-rechtstaat) menunjukkan bahwa kehadiran BUMN tidak lahir dari kehendak pasar semata, melainkan sebagai ekspresi dari tanggung jawab konstitusional negara untuk menjamin keadilan sosial, keberlanjutan pembangunan, dan perlindungan terhadap sektor strategis. Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1983 hingga hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, BUMN telah mengalami metamorfosis regulatif yang mencerminkan ketegangan antara idealitas pelayanan publik dan realitas ekonomi pasar.

    Namun, reformasi kelembagaan melalui pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), meski diklaim sebagai tonggak menuju profesionalisasi tata kelola BUMN, tetap menyisakan pertanyaan serius tentang integritas desain hukumnya. Sentralisasi kewenangan pada Presiden, absennya mekanisme seleksi independen atas manajemen dan Dewan Pengawas, serta pemangkasan fungsi pengawasan lembaga negara seperti BPK menandakan potensi deformasi akuntabilitas dalam wajah baru tata kelola korporasi negara.


    Jika independensi kelembagaan tidak ditegakkan secara ketat dan transparansi operasional BPI Danantara tidak dijamin dalam desain regulasi dan praktik, maka jalan menuju entrepreneurial state akan terhenti pada slogan, bukan kenyataan. Reformasi akan kehilangan arah dan berisiko direduksi menjadi instrumen perpetuasi kekuasaan, bukan sebagai wahana peningkatan efisiensi dan kesejahteraan umum.

    Sejarah panjang BUMN memperlihatkan bahwa kebijakan tanpa infrastruktur hukum yang rasional dan mekanisme kontrol yang objektif hanya akan memperpanjang siklus krisis legitimasi korporasi negara. Maka, upaya mewujudkan profesionalisasi yang andal harus berbasis pada rekonstruksi norma hukum yang preskriptif dan transformatif, yang memadukan prinsip good corporate governance, asas legal certainty, dan orientasi pada public value. Dalam kerangka tersebut, BUMN bukan hanya pelaku ekonomi, tetapi juga agen konstitusional pembangunan, sekaligus cermin dari kapasitas negara hukum dalam menjamin keadilan struktural di tengah tantangan liberalisasi global.

    Dengan demikian, masa depan BUMN terletak bukan pada berapa besar kekuatan yang dikuasainya, melainkan pada seberapa bertanggung jawab kekuasaan itu dijalankan—macht zonder verantwoordelijkheid is willekeur (kekuasaan tanpa tanggung jawab adalah kesewenang-wenangan). Jalan menuju profesionalisasi adalah jalan panjang yang hanya dapat ditempuh melalui hukum yang adil, kelembagaan yang tangguh, dan kepemimpinan yang beretika. Tanpa itu semua, BUMN akan tetap menjadi alat kuasa, bukan alat kesejahteraan.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Djoko Santoso Moeljono dan Riant Nugroho, BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan, dan Strategi (Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2005), 82–83.

    [2] J.M. Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money (London: Macmillan, 1936), 3

    [3] Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W.W. Norton & Company, 2002), 45

    [4] Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 87–88.

    [5] Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory (New York: Free Press, 1976), 192

    [6] Ibid.

    [7] Lihat juga Anthony B. Atkinson dan Joseph E. Stiglitz, “Design of Tax Structure: Direct versus Indirect Taxation,” Journal of Public Economics 6, no. 1–2 (1976): 55–75.

    [8] Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work (New York: W.W. Norton & Company, 2006), 115.

    [9] Friedrich A. Hayek, The Fatal Conceit: The Errors of Socialism, ed. W.W. Bartley III (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 82–83.

    [10] Mariana Mazzucato, The Entrepreneurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths (London: Anthem Press, 2013), 138

    [11] Temasek Holdings, Sustainability Report 2023, 12; Khazanah Nasional Berhad, Corporate Governance Highlights 2024, 8.