layananhukum

Tantangan dan Penegakan Hukum Persaingan Usaha pada Sektor E-Commerce di Indonesia

 

    Pendahuluan

    Transformasi digital telah menciptakan lanskap ekonomi baru yang ditandai dengan ekspansi sektor e-commerce secara eksponensial. Dalam konteks Indonesia, pertumbuhan platform digital—baik dalam bentuk marketplace, agregator aplikasi, hingga layanan streaming—tidak hanya memfasilitasi transaksi ekonomi, tetapi juga menciptakan struktur pasar baru yang rawan terhadap praktik monopoli, penyalahgunaan posisi dominan, serta penghambatan inovasi kompetitor. Hal ini menguji kapasitas negara, khususnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI), untuk menyesuaikan kerangka hukum konvensional dengan dinamika pasar digital yang terus berubah.

    Perdebatan mengenai efektivitas hukum persaingan usaha di era digital mengemuka seiring meningkatnya kompleksitas struktur pasar e-commerce. Mulai dari dominasi agregator digital seperti Google dan Apple, kontrol terhadap algoritma pencarian dan iklan, hingga eksploitasi data pengguna untuk penguatan posisi pasar—semua ini memperlihatkan pentingnya pendekatan hukum persaingan yang progresif dan kontekstual. Artikel ini akan membahas tantangan normatif dan institusional dalam penegakan hukum persaingan di sektor e-commerce Indonesia, serta mengkaji studi kasus strategis KPPU RI vs Google LLC dan Shopee sebagai wujud konkret dari tantangan tersebut.

    Kerangka Hukum Persaingan Usaha dalam Era Digital

    Landasan normatif penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia saat ini masih berpijak pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU tentang Persaingan Usaha). Undang-undang ini merupakan instrumen hukum utama yang mengatur pencegahan dan penindakan terhadap praktik monopoli serta penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha. Beberapa ketentuan penting dalam UU ini meliputi:

    -        Pasal 17: Melarang penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;

    -        Pasal 19 huruf a-d: Melarang pelaku usaha melakukan praktik yang menghambat pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, membatasi peredaran dan/atau penjualan barang atau jasa, melakukan diskriminasi antar pelaku usaha, dan/atau melakukan tindakan yang dapat merugikan pesaingnya;

    -        Pasal 25 ayat (1): Melarang pelaku usaha menyalahgunakan posisi dominan, termasuk dengan menetapkan syarat-syarat tertentu dalam perdagangan yang tidak seimbang dan/atau tidak wajar.

    Untuk memperkuat pelaksanaan norma-norma tersebut, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya PP No. 44/2021). Peraturan ini memberikan dasar lebih teknis bagi KPPU RI dalam menjatuhkan sanksi administratif, termasuk mekanisme pengenaan denda. Salah satu ketentuan penting dalam PP ini adalah:

    -        Pasal 12 ayat (1): Menyatakan bahwa denda administratif terhadap pelaku usaha dapat dikenakan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih yang diperoleh Pelaku Usaha pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang atau paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang;

    -        Pasal 14: Menyebutkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan besaran denda, termasuk dampak negatif dari pelanggaran, durasi pelanggaran, faktor pemberat dan meringankan, serta kemampuan membayar pelaku usaha.

    Namun, kedua regulasi tersebut—baik UU maupun PP—masih menyisakan sejumlah celah regulatif, terutama dalam konteks ekonomi digital. Ketentuan mengenai definisi “pasar bersangkutan” belum mempertimbangkan karakteristik pasar dua sisi (two-sided markets), kontrol terhadap data sebagai sumber kekuatan pasar, serta penggunaan algoritma sebagai instrumen eksklusi kompetitor.


    Dalam konteks penyidikan dan penegakan, KPPU RI belum memiliki instrumen digital investigatif yang memungkinkan pengawasan real-time atas perilaku algoritmik, segmentasi pengguna, maupun harga dinamis berbasis data (dynamic pricing). Tidak adanya mekanisme audit algoritma (algorithmic auditability) dan keterbatasan dalam menjangkau server atau data center di luar wilayah hukum nasional memperlemah daya paksa peraturan perundang-undangan dalam konteks transnasional.

    Studi yang dilakukan oleh Sengge, Anhar, Sudirman, dan Wahyudi Umar menunjukkan bahwa KPPU RI belum memiliki regulasi sektoral yang mengatur secara spesifik penguasaan pasar digital, penggunaan predatory pricing melalui insentif platform, serta belum mengadopsi prinsip-prinsip extraterritoriality yang lazim digunakan di yurisdiksi lain seperti Uni Eropa. Dalam kerangka Uni Eropa, prinsip efek (effects doctrine) telah diberlakukan secara luas, yaitu bahwa pelaku usaha asing dapat ditindak apabila perilakunya menimbulkan dampak terhadap pasar internal Eropa—terlepas dari lokasi badan hukum pelaku usaha tersebut (Sengge, Anhar, Sudirman dan Wahyudi Umar, Pengawasan dan Penegakan Hukum E-Commerce oleh KPPU, Rewang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol. 5 No. 4, 2024).

    Dengan belum diaturnya aspek-aspek tersebut secara eksplisit dalam hukum positif Indonesia, maka pendekatan hukum persaingan masih tertinggal dari perkembangan model bisnis digital yang semakin kompleks dan mendunia. Oleh karena itu, perumusan perangkat hukum baru yang responsif terhadap struktur pasar digital menjadi keniscayaan.

    Kasus KPPU RI vs Google: Representasi Kompleksitas Digital Antitrust

    Salah satu kasus monumental dalam sektor digital di Indonesia adalah perkara Nomor 03/KPPU-I/2024 antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI) dengan Google LLC. Dalam putusan yang dibacakan pada tanggal 21 Januari 2025 tersebut, Majelis Komisi KPPU menjatuhkan denda administratif sebesar Rp202,5 miliar terhadap Google karena dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17, Pasal 19 huruf a dan huruf b, serta Pasal 25 huruf a dan huruf b Undang-Undang tentang Persaingan Usaha.

    Pelanggaran tersebut bermula dari kebijakan Google LLC yang mewajibkan seluruh pengembang aplikasi di sistem operasi Android untuk menggunakan Google Play Billing System (GPBS) sebagai satu-satunya metode pembayaran dalam aplikasi (in-app purchases). Kebijakan ini mulai diberlakukan pada 1 Juni 2022 hingga 31 Desember 2024. KPPU RI menilai tindakan ini mengakibatkan terjadinya penguncian pasar (lock-in effect), di mana pelaku usaha (developer) terikat dan tidak memiliki alternatif lain selain menggunakan sistem pembayaran milik Google. Ini merupakan bentuk penyalahgunaan posisi dominan Google sebagai gatekeeper ekosistem Android di Indonesia.

    Pasal 17 Undang-Undang tentang Persaingan Usaha secara tegas melarang pelaku usaha melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

    Pasal 19 huruf a dan huruf b melarang pelaku usaha melakukan:

    a.       Tindakan yang menghambat pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha di pasar yang sama;

    b.      Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa di pasar bersangkutan.

    Pasal 25 huruf a dan huruf b melarang pelaku usaha yang memiliki posisi dominan untuk:

    a.       Menetapkan syarat-syarat perdagangan yang tidak seimbang dan/atau tidak wajar;

    b.      Menolak dan/atau menghambat pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar bersangkutan.

    Dari sisi pembuktian, KPPU RI menggunakan data keuangan resmi Google LLC yang diajukan kepada U.S. Securities and Exchange Commission (SEC). Karena Google LLC tidak memiliki badan hukum lokal di Indonesia yang dapat menyajikan data penjualan spesifik, KPPU RI mengambil pendekatan estimasi rata-rata pendapatan Google Play Store di Indonesia dari laporan global yang kemudian disesuaikan secara proporsional.

    Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf b PP No. 44 Tahun 2021, yang memperbolehkan pengenaan denda administratif paling banyak 10% dari total penjualan pada pasar bersangkutan selama terjadinya pelanggaran.

    Kasus ini menegaskan penerapan prinsip doctrine of effect, yakni bahwa hukum persaingan usaha Indonesia dapat menjangkau perilaku pelaku usaha asing apabila tindakan tersebut menimbulkan dampak langsung terhadap struktur dan mekanisme pasar di Indonesia. Prinsip ini belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang, namun secara normatif dapat dibenarkan dalam kerangka hukum publik yang bertujuan menjaga kepentingan nasional dan keadilan dalam kompetisi usaha.

    Namun demikian, implementasi putusan KPPU RI terhadap subjek hukum seperti Google menghadapi tantangan dalam aspek eksekusi lintas yurisdiksi. Karena Google LLC tidak memiliki subjek hukum resmi (legal entity) di Indonesia yang dapat dijadikan objek penegakan sanksi, maka pelaksanaan denda administratif sangat bergantung pada instrumen kerja sama hukum internasional (mutual legal assistance) atau melalui pendekatan diplomatik dan koordinasi regulator global.


    Ketiadaan instrumen hukum nasional yang secara eksplisit mengatur keterhubungan antara yurisdiksi digital global dan kepentingan pasar domestik menjadi hambatan utama dalam menyempurnakan penegakan hukum digital terkait antitrust di Indonesia. Oleh karena itu, perkara Google ini tidak hanya menjadi preseden hukum penting, tetapi juga mengungkap kelemahan struktural dalam sistem persaingan usaha nasional untuk mengontrol perilaku aktor digital transnasional secara efektif.

    Kasus Shopee dan Pendekatan Pakta Integritas: Dua Wajah Penegakan

    Berbeda dengan pendekatan sanksional dalam perkara Google, KPPU mengambil pendekatan yang lebih restoratif dan kooperatif dalam perkara Nomor 04/KPPU-I/2024 terhadap PT Shopee International Indonesia dan PT Nusantara Ekspres Kilat (Shopee Express). Perkara ini bermula dari dugaan pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf d dan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang Persaingan Usaha.

    Pasal 19 huruf d Undang-Undang tentang Persaingan Usaha melarang pelaku usaha melakukan tindakan yang dapat merugikan pelaku usaha lain secara tidak wajar, termasuk dengan melakukan pengaturan yang membatasi atau menghilangkan pilihan pasar secara diskriminatif.

    Pasal 25 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa pelaku usaha yang memiliki posisi dominan dilarang:

    Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan menghambat dan/atau menutup kemungkinan pelaku usaha lain untuk bersaing.

    Dalam perkara ini, Shopee diduga melakukan pengaturan algoritma pada sistem platform-nya secara diskriminatif, yaitu dengan mengaktifkan Shopee Express secara otomatis dalam dashboard seller, serta menghilangkan opsi pemilihan jasa kurir dan tarif pengiriman oleh pengguna. Tindakan ini menciptakan efek eksklusi terhadap penyedia jasa pengiriman lain (misalnya J&T), dan mempersempit pilihan konsumen, yang secara hukum merupakan bentuk praktik eksklusi vertikal berbasis platform.


    Namun, pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 11 Juni 2024, para Terlapor menyatakan komitmen untuk melakukan perubahan perilaku dan menandatangani Pakta Integritas Perubahan Perilaku pada 2 Juli 2024. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 93 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU RI diberikan kewenangan untuk menerima, mengevaluasi, dan memantau pelaksanaan perubahan perilaku yang diajukan secara resmi oleh pelaku usaha.

    Dalam konteks ini, KPPU RI melakukan pengawasan intensif selama 90 (sembilan puluh) hari terhadap pelaksanaan perubahan sistem oleh Shopee, termasuk verifikasi:

    -         Pembaruan fitur pemilihan kurir dalam platform Shopee;

    -         Penghentian pengaktifan otomatis Shopee Express;

    -         Penyesuaian algoritma untuk menjamin akses pasar yang setara bagi semua penyedia jasa pengiriman;

    -         Jaminan non-diskriminasi tarif ongkir dan integrasi sistem.

    Berdasarkan Laporan Hasil Pengawasan Perubahan Perilaku tanggal 1 November 2024, KPPU menyimpulkan bahwa para terlapor telah melaksanakan seluruh syarat dan kewajiban yang tertuang dalam pakta integritas tersebut. Maka, dalam Sidang Majelis Komisi pada 7 November 2024, diputuskan bahwa pemeriksaan terhadap Perkara Nomor 04/KPPU-I/2024 dihentikan secara resmi.

    Perbedaan pendekatan antara perkara Google dan Shopee mencerminkan fleksibilitas strategi penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia, yang mengakomodasi konteks kooperatif dan nasionalitas pelaku usaha. Beberapa faktor kunci yang membedakan antara dua perkara ini adalah:

    1.        Kehadiran badan hukum di Indonesia, Shopee beroperasi melalui badan hukum lokal yang tunduk langsung pada yurisdiksi Indonesia, sehingga memudahkan pemanggilan, pengawasan, dan pelaksanaan pakta integritas;

    2.       Responsivitas pelaku usaha, Shopee bersikap kooperatif, mengajukan perubahan perilaku lebih awal, dan terbuka terhadap evaluasi teknis KPPU RI, berbeda dengan Google yang defensive;

    3.      Tingkat kompleksitas yurisdiksi dan pasar, pelanggaran oleh Google menyangkut sistem pembayaran global dan melibatkan laporan keuangan yang bersifat lintas negara, sementara Shopee bersifat lokal dan terfokus pada fitur digital platform tertentu.

    Secara normatif, kedua kasus berada dalam rezim hukum yang sama, yakni UU tentang Persaingan Usaha dan PP No. 44 Tahun 2021. Namun dalam implementasinya, KPPU RI mengambil pendekatan yang proporsional sesuai dengan prinsip due process of law, efektivitas penegakan, dan peluang pemulihan pasar secara sukarela.


    Dengan demikian, kasus Shopee menunjukkan potensi strategis penggunaan pakta integritas sebagai instrumen penegakan hukum yang lebih cepat, efisien, dan restoratif. Namun pendekatan ini tetap harus diikuti dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan kemampuan teknis verifikasi digital agar tidak disalahgunakan sebagai bentuk penghindaran sanksi substantif.

    Tantangan Normatif dan Kelembagaan

    Dalam menghadapi dinamika pasar digital, penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan normatif dan kelembagaan yang substansial. Meskipun Undang-Undang tentang Persaingan Usaha dan PP No. 44 Tahun 2021 telah memberikan dasar hukum, implementasinya masih terbatas dan belum sepenuhnya menjangkau struktur dan perilaku pasar digital yang kompleks. Tantangan tersebut meliputi:

    1.       Ketiadaan Definisi Hukum tentang Pasar Digital

    Peraturan perundang-undangan saat ini belum mengatur secara eksplisit konsep pasar dua sisi (two-sided markets), yaitu struktur pasar yang melibatkan dua kelompok pengguna yang saling berinteraksi melalui perantara platform digital. Contoh pasar dua sisi adalah Google Play Store yang mempertemukan developer aplikasi dan pengguna akhir. Dalam model seperti ini, pengaruh pasar tidak dapat diukur hanya dari volume penjualan, melainkan juga dari kendali atas akses dan data. Belum adanya ketentuan tentang interkoneksi data, pengaruh algoritma, dan jaringan eksklusif (network effects) membuat KPPU RI kesulitan dalam mendefinisikan struktur dan batas pasar bersangkutan secara objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang tentang Persaingan Usaha;

    2.       Keterbatasan Kewenangan Investigatif Digital KPPU RI

    Hingga kini, tidak terdapat mekanisme hukum yang memberikan kewenangan teknis eksplisit bagi KPPU untuk mengaudit atau menelusuri algoritma platform digital secara menyeluruh. Padahal, dalam konteks digital, algoritma dapat digunakan sebagai instrumen eksklusi dan manipulasi pasar. Ketiadaan instrumen audit algoritmik (algorithmic auditability) serta tidak adanya kewajiban keterbukaan (disclosure obligation) terhadap data perilaku pengguna memperlemah daya investigasi KPPU.

    Sebagai perbandingan, Pasal 36 huruf g Undang-Undang tentang Persaingan Usaha memberi kewenangan kepada KPPU RI untuk “meminta bantuan aparat penegak hukum dalam penyidikan,” namun belum diperluas cakupannya ke wilayah teknis digital forensik atau pengawasan algoritma. Akibatnya, KPPU RI hanya mampu menindak berdasarkan indikasi pasar terbuka, bukan investigasi berbasis struktur internal platform.

    3.       Ketergantungan terhadap regulasi dan data asing

    Kasus Google menunjukkan kelemahan sistemik penegakan hukum digital nasional. Dalam perkara Nomor 03/KPPU-I/2024, KPPU RI tidak dapat mengakses data spesifik pendapatan Google Play di Indonesia dan harus menggunakan laporan keuangan global yang diajukan Google ke U.S. Securities and Exchange Commission (SEC). Hal ini mengindikasikan tidak adanya kewajiban bagi perusahaan digital asing untuk menyampaikan laporan keuangan sektoral kepada otoritas Indonesia.

    Ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang tentang Persaingan Usaha sebenarnya memungkinkan KPPU RI memeriksa laporan, dokumen, atau keterangan lain yang dianggap perlu dari pelaku usaha. Namun, keterbatasan yurisdiksi dan tidak adanya badan hukum lokal dari perusahaan global menyebabkan ketentuan tersebut sulit diberlakukan secara efektif terhadap entitas digital transnasional.


    Dalam penelitiannya, Adis Nur Hayati menekankan bahwa pendekatan penguasaan pasar digital tidak dapat hanya berpijak pada volume transaksi atau konsentrasi pangsa pasar. Ia mengusulkan perlunya pembentukan regulasi sektoral digital yang mendefinisikan dominasi pasar berdasarkan penguasaan infrastruktur digital, akses terhadap data pengguna, dan kendali terhadap ekosistem aplikasi. Hal ini sejalan dengan perkembangan di yurisdiksi Uni Eropa yang menekankan pada pengawasan terhadap pelaku usaha digital berdasarkan dampak struktural terhadap inovasi dan kebebasan konsumen (Adis Nur Hayati, Analisis Tantangan dan Penegakan Hukum Persaingan Usaha pada Sektor E-Commerce, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 21 No. 1, 2021, hlm. 109–122).

    Secara keseluruhan, ketiga tantangan ini mengindikasikan perlunya reformasi hukum dan kelembagaan secara mendasar. Tanpa adaptasi regulasi dan penguatan kapasitas investigatif KPPU RI dalam bidang digital, maka hukum persaingan usaha di Indonesia akan tertinggal dari lompatan teknologi pasar dan risiko penyalahgunaan dominasi digital yang semakin masif.

    Rekomendasi dan Reformasi Strategis

    Berdasarkan tantangan normatif dan kelembagaan yang telah diuraikan sebelumnya, diperlukan langkah-langkah strategis dan reformasi regulatif yang menyeluruh untuk memperkuat efektivitas penegakan hukum persaingan usaha di sektor digital. Adapun rekomendasi utama yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1.       Pembentukan Undang-Undang Persaingan Usaha Digital (Digital Competition Act)

    Diperlukan pembentukan undang-undang khusus yang mengatur kompetisi di ruang digital, guna menjawab kekosongan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang tentang Persaingan Usaha. Undang-undang ini harus mencakup:

    -     Definisi pasar digital secara komprehensif, termasuk pasar dua sisi (two-sided markets) dan pasar multi sisi;

    -     Prinsip interoperabilitas, yaitu kewajiban bagi platform dominan untuk membuka akses dan kompatibilitas sistem dengan pelaku usaha lain guna menghindari penguncian eksklusif;

    -     Prinsip net neutrality, yang menjamin akses yang adil dan tidak diskriminatif terhadap konten, aplikasi, dan layanan oleh penyedia jaringan;

    -     Prinsip algorithmic accountability, yaitu kewajiban transparansi dan pengawasan terhadap algoritma yang berpengaruh terhadap perilaku pasar.

    Perumusan undang-undang baru ini dapat diletakkan dalam kerangka reformasi hukum ekonomi digital sebagaimana mandat konstitusional untuk mengatur cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak (vide Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945).

    2.       Penguatan Kewenangan Investigatif dan Digital Forensik KPPU

    Revisi terhadap ketentuan Pasal 36 Undang-Undang tentang Persaingan Usaha perlu dilakukan guna menambahkan klausul eksplisit mengenai kewenangan teknis digital, seperti:

    -         Akses langsung terhadap server lokal, sistem algoritma, dan metadata pengguna dari pelaku usaha digital;

    -         Kewenangan melibatkan auditor algoritmik atau ahli forensik digital untuk membuktikan praktik diskriminasi algoritmik dan eksklusi pasar;

    -         Penetapan kewajiban pelaku usaha digital untuk menyerahkan laporan penggunaan algoritma, struktur data, dan mekanisme prioritisasi konten kepada KPPU secara berkala.

    Dengan demikian, investigasi atas pelanggaran digital tidak lagi hanya berbasis dugaan pasar, melainkan dapat diverifikasi melalui mekanisme teknis yang sah dan objektif.

    3.       Peningkatan Kerja Sama Internasional dan Harmonisasi Lintas Yurisdiksi

    Mengingat sebagian besar pelaku usaha digital berskala global dan tidak berbadan hukum di Indonesia, maka penguatan instrumen Mutual Legal Assistance (MLA) menjadi urgensi strategis. Untuk itu:

    -       Pemerintah Republik Indonesia perlu mengembangkan perjanjian bilateral dan multilateral dalam bidang hukum persaingan usaha digital, khususnya dengan yurisdiksi utama seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara ASEAN;

    -       KPPU RI perlu aktif terlibat dalam forum antitrust global, seperti International Competition Network (ICN) dan ASEAN Expert Group on Competition, guna menyelaraskan standar penegakan hukum digital dan berbagi metodologi.

    Upaya ini juga sejalan dengan amanat Pasal 35 Huruf e UndangUndang tentang Persaingan Usaha, ketentuan ini menjelaskan bahwa salah satu fungsi KPPU RI adalah:

    memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang terkait dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

    Walaupun frasa ini tidak menyebutkan kerja sama internasional secara eksplisit, norma ini memberi dasar untuk KPPU RI mendukung upaya pendekatan global, termasuk pertukaran data dan akselerasi penegakan hukum dengan otoritas asing melalui instrumen diplomatis maupun perjanjian formal. Kemudian, Pasal 36 huruf e UndangUndang tentang Persaingan Usaha juga memberi beberapa kewenangan utama bagi KPPU RI yang juga relevan terhadap kerja sama internasional:

    Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain yang dipandang perlu

    Kewenangan ini memberi ruang bagi KPPU RI untuk meminta data dari lembaga luar negeri atau entitas asing yang terkait dalam suatu kasus, yang membuka ruang bagi KPPU RI untuk melakukan kerja sama dengan lembaga internasional atau lembaga luar negeri dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

    Dengan langkah-langkah reformasi strategis ini, diharapkan penegakan hukum persaingan usaha di sektor digital dapat dilakukan secara adil, adaptif, dan memiliki daya paksa yang tinggi, tidak hanya terhadap pelaku usaha lokal tetapi juga terhadap entitas digital transnasional yang aktif di pasar Indonesia.

    4.       Penerapan Regulatory Sandbox sebagai Instrumen Eksperimen Regulatif dalam Sektor Digital

    Sebagai respons atas karakter sektor digital yang sangat dinamis, kompleks, dan disruptif, diperlukan ruang uji regulatif untuk memastikan bahwa intervensi hukum tidak bersifat reaktif, tetapi partisipatif dan adaptif. Salah satu instrumen strategis yang dapat digunakan adalah regulatory sandbox, yakni kerangka kerja yang memungkinkan pengujian kebijakan dan produk hukum dalam lingkungan terkondisi, terbatas, dan berbasis eksperimen kebijakan (policy prototyping).

    Regulatory sandbox telah terbukti efektif di sektor fintech melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa Keuangan, serta di sektor kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1280/2023 tentang Regulatory Sandbox Inovasi Digital Kesehatan. Konsep ini dapat dan perlu diperluas ke ranah persaingan usaha digital.

    Dalam konteks hukum persaingan, sandbox dapat dimanfaatkan untuk:

    -         Menguji dampak struktur algoritmik terhadap akses pasar dan persaingan usaha dalam platform digital;

    -         Menilai risiko anti-kompetitif dari model bisnis baru sebelum diterapkan luas;

    -         Menguji efektivitas norma hukum baru, termasuk dalam RUU Digital Competition Act, dalam kondisi pasar digital nyata namun terkendali.

    Penerapan sandbox juga akan memberikan ruang bagi KPPU RI, pelaku usaha digital, akademisi, serta pemangku kepentingan lain untuk terlibat dalam proses koregulasi (co-regulation) yang lebih inklusif. Ini sejalan dengan prinsip keterbukaan dan kolaborasi regulatif, yang diyakini lebih fleksibel dan responsif dibanding pendekatan regulasi top-down tradisional.

    5.       Penerapan Koregulasi untuk Memastikan Responsivitas dan Akuntabilitas Kebijakan

    Koregulasi merupakan pendekatan hibrida antara intervensi negara dan inisiatif industri yang didasarkan pada pembagian tanggung jawab normatif dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Dalam ekosistem digital, pendekatan ini sangat penting karena:

    -         Negara (melalui KPPU RI, Komdigi RI, dan lembaga teknis lainnya) belum memiliki kapasitas penuh untuk memahami teknologi secara spesifik dan dinamis;

    -         Sementara itu, sektor swasta (seperti Google, Shopee, Tokopedia, dan lain-lain) memiliki kompetensi teknis namun cenderung mengutamakan kepentingan bisnis dan membutuhkan kontrol.

    Melalui koregulasi, kementerian/lembaga dan asosiasi pelaku usaha dapat bersama-sama menyusun protokol kebijakan, kode etik industri, mekanisme audit algoritma, serta sistem pelaporan mandiri yang terintegrasi dengan proses pengawasan oleh negara.

    Namun, agar koregulasi tidak dikooptasi oleh kekuatan pasar dominan, maka perlu ditetapkan prinsip-prinsip dasar yang tegas, yaitu:

    -         Keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan pakar hukum sebagai pengimbang (counterbalance);

    -         Transparansi proses pembuatan kebijakan dan hasil evaluasi sandbox;

    -         Kewajiban publikasi hasil pengujian regulatif sebagai bentuk akuntabilitas.

    6.       Implikasi Strategis: Kasus Google sebagai Argumentum a Contrario

    Perkara KPPU vs Google LLC menjadi preseden hukum yang menunjukkan keterbatasan sistem regulatif dan investigatif nasional. Ketidakmampuan KPPU mengakses data lokal dan struktur algoritmik Google mencerminkan lemahnya landasan hukum dan ketidaksiapan teknis negara. Jika regulatory sandbox dan koregulasi telah diberlakukan sejak awal, maka:

    -     Praktik penguncian pasar oleh Google Play Billing System dapat diidentifikasi lebih dini;

    -     Algoritma dapat diaudit dan disesuaikan melalui umpan balik dari regulator sebelum diimplementasikan secara masif;

    -     Intervensi negara tidak semata bersifat sanksional, tetapi preventif dan korektif.

    Oleh karena itu, penguatan sandbox dan koregulasi bukan sekadar alat pelengkap kebijakan, tetapi arus utama pembaruan hukum persaingan usaha digital. Hal ini juga dapat menjadi bagian integral dari proses legislasi Digital Competition Act, dengan menjadikan sandbox sebagai instrumen uji regulasi dalam Pasal transisional undang-undang tersebut.


    Penutup

    Penegakan hukum persaingan usaha dalam sektor e-commerce tidak dapat lagi dipahami semata sebagai penjatuhan sanksi administratif terhadap pelanggaran hukum, melainkan sebagai bagian integral dari afirmasi kedaulatan negara dalam ruang ekonomi digital. KPPU RI telah memberikan preseden penting yaitu dari keberaniannya menghadapi raksasa global seperti Google LLC melalui instrumen sanksi, hingga pendekatan restoratif terhadap Shopee melalui pakta integritas. Namun, praktik ini sekaligus membuka kenyataan bahwa perangkat hukum yang tersedia saat ini belum sepenuhnya mampu menjangkau kompleksitas, kecepatan, dan sifat lintas yurisdiksi dari pasar digital.

    Dalam lanskap digital yang diwarnai oleh dominasi algoritma, asimetri data, dan absennya entitas hukum lokal dari pemain global, reformasi hukum persaingan digital menjadi keniscayaan. Tanpa Undang-Undang Persaingan Usaha Digital yang secara tegas mengatur prinsip interoperabilitas, net neutrality, dan akuntabilitas algoritma, maka hukum persaingan akan terus tertinggal dari inovasi.

    Lebih jauh, penguatan kewenangan investigatif KPPU RI, peningkatan kerja sama lintas negara, dan adopsi mekanisme regulatory sandbox serta koregulasi, menjadi jalan tengah yang strategis antara proteksi konsumen, keberlangsungan inovasi, dan efektivitas pengawasan. Sandbox menawarkan ruang uji kebijakan yang fleksibel dan inklusif, sementara koregulasi menjembatani keterbatasan negara dan kompetensi pelaku usaha melalui kolaborasi yang akuntabel.

    Oleh karena itu, penegakan hukum persaingan di era digital harus diarahkan pada tiga hal utama yaitu keadilan pasar, ketahanan regulasi, dan kedaulatan teknologi. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi formalitas administratif dalam sistem yang sudah ditaklukkan oleh kekuatan platform.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.