Pendahuluan
  Transformasi digital telah menciptakan lanskap ekonomi baru yang ditandai
    dengan ekspansi sektor e-commerce secara eksponensial. Dalam konteks
    Indonesia, pertumbuhan platform digital—baik dalam bentuk marketplace,
    agregator aplikasi, hingga layanan streaming—tidak hanya
    memfasilitasi transaksi ekonomi, tetapi juga menciptakan struktur pasar baru
    yang rawan terhadap praktik monopoli, penyalahgunaan posisi dominan, serta
    penghambatan inovasi kompetitor. Hal ini menguji kapasitas negara, khususnya
    Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI), untuk
    menyesuaikan kerangka hukum konvensional dengan dinamika pasar digital yang
    terus berubah.
  Perdebatan mengenai efektivitas hukum persaingan usaha di era digital
    mengemuka seiring meningkatnya kompleksitas struktur pasar
    e-commerce. Mulai dari dominasi agregator digital seperti Google dan
    Apple, kontrol terhadap algoritma pencarian dan iklan, hingga eksploitasi
    data pengguna untuk penguatan posisi pasar—semua ini memperlihatkan
    pentingnya pendekatan hukum persaingan yang progresif dan kontekstual.
    Artikel ini akan membahas tantangan normatif dan institusional dalam
    penegakan hukum persaingan di sektor e-commerce Indonesia, serta mengkaji
    studi kasus strategis KPPU RI vs Google LLC dan Shopee sebagai wujud konkret
    dari tantangan tersebut.
Kerangka Hukum Persaingan Usaha dalam Era Digital
  Landasan normatif penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia saat ini
    masih berpijak pada
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
        Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
    (selanjutnya disebut UU tentang Persaingan Usaha). Undang-undang ini merupakan instrumen hukum utama yang mengatur
    pencegahan dan penindakan terhadap praktik monopoli serta penyalahgunaan
    posisi dominan oleh pelaku usaha. Beberapa ketentuan penting dalam UU ini
    meliputi:
  -       
    Pasal 17: Melarang penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa
    yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
    usaha tidak sehat;
  -       
    Pasal 19 huruf a-d: Melarang pelaku usaha melakukan praktik yang menghambat pelaku usaha lain
    untuk melakukan usaha yang sama, membatasi peredaran dan/atau penjualan
    barang atau jasa, melakukan diskriminasi antar pelaku usaha, dan/atau
    melakukan tindakan yang dapat merugikan pesaingnya;
  -       
    Pasal 25 ayat (1): Melarang pelaku usaha menyalahgunakan posisi dominan, termasuk dengan
    menetapkan syarat-syarat tertentu dalam perdagangan yang tidak seimbang
    dan/atau tidak wajar.
  Untuk memperkuat pelaksanaan norma-norma tersebut, pemerintah mengesahkan
    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2021 tentang
        Pelaksanaan Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
        Sehat
    (selanjutnya PP No. 44/2021). Peraturan ini memberikan dasar lebih
    teknis bagi KPPU RI dalam menjatuhkan sanksi administratif, termasuk
    mekanisme pengenaan denda. Salah satu ketentuan penting dalam PP ini
    adalah:
  -       
    Pasal 12 ayat (1): Menyatakan bahwa denda administratif terhadap pelaku usaha dapat
    dikenakan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih yang diperoleh Pelaku Usaha pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang atau paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang;
- Pasal 14: Menyebutkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan besaran denda, termasuk dampak negatif dari pelanggaran, durasi pelanggaran, faktor pemberat dan meringankan, serta kemampuan membayar pelaku usaha.
Namun, kedua regulasi tersebut—baik UU maupun PP—masih menyisakan sejumlah celah regulatif, terutama dalam konteks ekonomi digital. Ketentuan mengenai definisi “pasar bersangkutan” belum mempertimbangkan karakteristik pasar dua sisi (two-sided markets), kontrol terhadap data sebagai sumber kekuatan pasar, serta penggunaan algoritma sebagai instrumen eksklusi kompetitor.
  Dalam konteks penyidikan dan penegakan, KPPU RI belum memiliki instrumen
    digital investigatif yang memungkinkan pengawasan real-time atas
    perilaku algoritmik, segmentasi pengguna, maupun harga dinamis berbasis data
    (dynamic pricing). Tidak adanya mekanisme audit algoritma (algorithmic auditability) dan keterbatasan dalam menjangkau server atau
    data center di luar wilayah hukum nasional memperlemah daya paksa
    peraturan perundang-undangan dalam konteks transnasional.
  Studi yang dilakukan oleh Sengge, Anhar, Sudirman, dan Wahyudi Umar
    menunjukkan bahwa KPPU RI belum memiliki regulasi sektoral yang mengatur
    secara spesifik penguasaan pasar digital, penggunaan
    predatory pricing melalui insentif platform, serta belum mengadopsi
    prinsip-prinsip extraterritoriality yang lazim digunakan di
    yurisdiksi lain seperti Uni Eropa. Dalam kerangka Uni Eropa, prinsip efek
    (effects doctrine) telah diberlakukan secara luas, yaitu bahwa pelaku
    usaha asing dapat ditindak apabila perilakunya menimbulkan dampak terhadap
    pasar internal Eropa—terlepas dari lokasi badan hukum pelaku usaha tersebut
    (Sengge, Anhar, Sudirman dan Wahyudi Umar,
    Pengawasan dan Penegakan Hukum E-Commerce oleh KPPU, Rewang Rencang:
    Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol. 5 No. 4, 2024).
  Dengan belum diaturnya aspek-aspek tersebut secara eksplisit dalam hukum
    positif Indonesia, maka pendekatan hukum persaingan masih tertinggal dari
    perkembangan model bisnis digital yang semakin kompleks dan mendunia. Oleh
    karena itu, perumusan perangkat hukum baru yang responsif terhadap struktur
    pasar digital menjadi keniscayaan.
Kasus KPPU RI vs Google: Representasi Kompleksitas Digital Antitrust
  Salah satu kasus monumental dalam sektor digital di Indonesia adalah
    perkara Nomor 03/KPPU-I/2024 antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha
    Republik Indonesia (KPPU RI) dengan Google LLC. Dalam putusan yang dibacakan
    pada tanggal 21 Januari 2025 tersebut, Majelis Komisi KPPU menjatuhkan denda
    administratif sebesar Rp202,5 miliar terhadap Google karena dinilai telah
    melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17,
    Pasal 19 huruf a dan huruf b, serta
    Pasal 25 huruf a dan huruf b Undang-Undang tentang Persaingan Usaha.
  Pelanggaran tersebut bermula dari kebijakan Google LLC yang mewajibkan
    seluruh pengembang aplikasi di sistem operasi Android untuk menggunakan
    Google Play Billing System (GPBS) sebagai satu-satunya metode
    pembayaran dalam aplikasi (in-app purchases). Kebijakan ini mulai
    diberlakukan pada 1 Juni 2022 hingga 31 Desember 2024. KPPU RI menilai
    tindakan ini mengakibatkan terjadinya penguncian pasar (lock-in effect), di mana pelaku usaha (developer) terikat dan tidak memiliki
    alternatif lain selain menggunakan sistem pembayaran milik Google. Ini
    merupakan bentuk penyalahgunaan posisi dominan Google sebagai
    gatekeeper ekosistem Android di Indonesia.
  Pasal 17 Undang-Undang tentang Persaingan Usaha
    secara tegas melarang pelaku usaha melakukan penguasaan atas produksi
    dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
    praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
  Pasal 19 huruf a dan huruf b melarang pelaku usaha melakukan:
  a.      
    Tindakan yang menghambat pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha
    di pasar yang sama;
  b.     
    Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa di pasar
    bersangkutan.
  Pasal 25 huruf a dan huruf b
    melarang pelaku usaha yang memiliki posisi dominan untuk:
  a.      
    Menetapkan syarat-syarat perdagangan yang tidak seimbang dan/atau tidak
    wajar;
  b.     
    Menolak dan/atau menghambat pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
    usaha yang sama di pasar bersangkutan.
  Dari sisi pembuktian, KPPU RI menggunakan data keuangan resmi Google LLC
    yang diajukan kepada U.S. Securities and Exchange Commission (SEC).
    Karena Google LLC tidak memiliki badan hukum lokal di Indonesia yang dapat
    menyajikan data penjualan spesifik, KPPU RI mengambil pendekatan estimasi
    rata-rata pendapatan Google Play Store di Indonesia dari laporan global yang
    kemudian disesuaikan secara proporsional.
  Hal ini didasarkan pada ketentuan
    Pasal 12 ayat (1) huruf b PP No. 44 Tahun 2021, yang memperbolehkan pengenaan
    denda administratif paling banyak 10% dari total penjualan pada pasar
    bersangkutan selama terjadinya pelanggaran.
  Kasus ini menegaskan penerapan prinsip doctrine of effect, yakni
    bahwa hukum persaingan usaha Indonesia dapat menjangkau perilaku pelaku
    usaha asing apabila tindakan tersebut menimbulkan dampak langsung terhadap
    struktur dan mekanisme pasar di Indonesia. Prinsip ini belum diatur secara
    eksplisit dalam Undang-Undang, namun secara normatif dapat dibenarkan dalam
    kerangka hukum publik yang bertujuan menjaga kepentingan nasional dan
    keadilan dalam kompetisi usaha.
Namun demikian, implementasi putusan KPPU RI terhadap subjek hukum seperti Google menghadapi tantangan dalam aspek eksekusi lintas yurisdiksi. Karena Google LLC tidak memiliki subjek hukum resmi (legal entity) di Indonesia yang dapat dijadikan objek penegakan sanksi, maka pelaksanaan denda administratif sangat bergantung pada instrumen kerja sama hukum internasional (mutual legal assistance) atau melalui pendekatan diplomatik dan koordinasi regulator global.
  Ketiadaan instrumen hukum nasional yang secara eksplisit mengatur
    keterhubungan antara yurisdiksi digital global dan kepentingan pasar
    domestik menjadi hambatan utama dalam menyempurnakan penegakan hukum digital
    terkait antitrust di Indonesia. Oleh karena itu, perkara Google ini tidak
    hanya menjadi preseden hukum penting, tetapi juga mengungkap kelemahan
    struktural dalam sistem persaingan usaha nasional untuk mengontrol perilaku
    aktor digital transnasional secara efektif.
Kasus Shopee dan Pendekatan Pakta Integritas: Dua Wajah Penegakan
  Berbeda dengan pendekatan sanksional dalam perkara Google, KPPU mengambil
    pendekatan yang lebih restoratif dan kooperatif dalam perkara Nomor
    04/KPPU-I/2024 terhadap PT Shopee International Indonesia dan PT Nusantara
    Ekspres Kilat (Shopee Express). Perkara ini bermula dari dugaan pelanggaran
    terhadap Pasal 19 huruf d dan
    Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang Persaingan Usaha.
  Pasal 19 huruf d Undang-Undang tentang Persaingan Usaha
    melarang pelaku usaha melakukan tindakan yang dapat merugikan pelaku usaha
    lain secara tidak wajar, termasuk dengan melakukan pengaturan yang membatasi
    atau menghilangkan pilihan pasar secara diskriminatif.
  Pasal 25 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa pelaku usaha yang memiliki
    posisi dominan dilarang:
  Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan menghambat dan/atau
    menutup kemungkinan pelaku usaha lain untuk bersaing.
Dalam perkara ini, Shopee diduga melakukan pengaturan algoritma pada sistem platform-nya secara diskriminatif, yaitu dengan mengaktifkan Shopee Express secara otomatis dalam dashboard seller, serta menghilangkan opsi pemilihan jasa kurir dan tarif pengiriman oleh pengguna. Tindakan ini menciptakan efek eksklusi terhadap penyedia jasa pengiriman lain (misalnya J&T), dan mempersempit pilihan konsumen, yang secara hukum merupakan bentuk praktik eksklusi vertikal berbasis platform.
  Namun, pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 11 Juni 2024, para
    Terlapor menyatakan komitmen untuk melakukan perubahan perilaku dan
    menandatangani Pakta Integritas Perubahan Perilaku pada 2 Juli 2024.
    Berdasarkan ketentuan dalam
    Pasal 93 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik
      Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik
      Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU RI diberikan kewenangan untuk menerima, mengevaluasi, dan memantau
    pelaksanaan perubahan perilaku yang diajukan secara resmi oleh pelaku
    usaha.
  Dalam konteks ini, KPPU RI melakukan pengawasan intensif selama 90
    (sembilan puluh) hari terhadap pelaksanaan perubahan sistem oleh Shopee,
    termasuk verifikasi:
  -        
    Pembaruan fitur pemilihan kurir dalam platform Shopee;
  -        
    Penghentian pengaktifan otomatis Shopee Express;
  -        
    Penyesuaian algoritma untuk menjamin akses pasar yang setara bagi semua
    penyedia jasa pengiriman;
  -        
    Jaminan non-diskriminasi tarif ongkir dan integrasi sistem.
  Berdasarkan Laporan Hasil Pengawasan Perubahan Perilaku tanggal 1 November
    2024, KPPU menyimpulkan bahwa para terlapor telah melaksanakan seluruh
    syarat dan kewajiban yang tertuang dalam pakta integritas tersebut. Maka,
    dalam Sidang Majelis Komisi pada 7 November 2024, diputuskan bahwa
    pemeriksaan terhadap Perkara Nomor 04/KPPU-I/2024 dihentikan secara
    resmi.
  Perbedaan pendekatan antara perkara Google dan Shopee mencerminkan
    fleksibilitas strategi penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia, yang
    mengakomodasi konteks kooperatif dan nasionalitas pelaku usaha. Beberapa
    faktor kunci yang membedakan antara dua perkara ini adalah:
  1.       
    Kehadiran badan hukum di Indonesia, Shopee beroperasi melalui badan hukum lokal yang tunduk langsung pada
    yurisdiksi Indonesia, sehingga memudahkan pemanggilan, pengawasan, dan
    pelaksanaan pakta integritas;
  2.      
    Responsivitas pelaku usaha, Shopee bersikap kooperatif, mengajukan perubahan perilaku lebih awal, dan
    terbuka terhadap evaluasi teknis KPPU RI, berbeda dengan Google yang
    defensive;
  3.     
    Tingkat kompleksitas yurisdiksi dan pasar, pelanggaran oleh Google menyangkut sistem pembayaran global dan
    melibatkan laporan keuangan yang bersifat lintas negara, sementara Shopee
    bersifat lokal dan terfokus pada fitur digital platform tertentu.
Secara normatif, kedua kasus berada dalam rezim hukum yang sama, yakni UU tentang Persaingan Usaha dan PP No. 44 Tahun 2021. Namun dalam implementasinya, KPPU RI mengambil pendekatan yang proporsional sesuai dengan prinsip due process of law, efektivitas penegakan, dan peluang pemulihan pasar secara sukarela.
  Dengan demikian, kasus Shopee menunjukkan potensi strategis penggunaan
    pakta integritas sebagai instrumen penegakan hukum yang lebih cepat,
    efisien, dan restoratif. Namun pendekatan ini tetap harus diikuti dengan
    mekanisme pengawasan yang ketat dan kemampuan teknis verifikasi digital agar
    tidak disalahgunakan sebagai bentuk penghindaran sanksi substantif.
Tantangan Normatif dan Kelembagaan
  Dalam menghadapi dinamika pasar digital, penegakan hukum persaingan usaha
    di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan normatif dan kelembagaan
    yang substansial. Meskipun Undang-Undang tentang Persaingan Usaha dan PP No.
    44 Tahun 2021 telah memberikan dasar hukum, implementasinya masih terbatas
    dan belum sepenuhnya menjangkau struktur dan perilaku pasar digital yang
    kompleks. Tantangan tersebut meliputi:
  1.      
      Ketiadaan Definisi Hukum tentang Pasar Digital
  Peraturan perundang-undangan saat ini belum mengatur secara eksplisit
    konsep pasar dua sisi (two-sided markets), yaitu struktur pasar yang
    melibatkan dua kelompok pengguna yang saling berinteraksi melalui perantara
    platform digital. Contoh pasar dua sisi adalah Google Play Store yang
    mempertemukan developer aplikasi dan pengguna akhir. Dalam model seperti
    ini, pengaruh pasar tidak dapat diukur hanya dari volume penjualan,
    melainkan juga dari kendali atas akses dan data. Belum adanya ketentuan
    tentang interkoneksi data, pengaruh algoritma, dan jaringan eksklusif (network effects) membuat KPPU RI kesulitan dalam mendefinisikan struktur dan batas pasar
    bersangkutan secara objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10
    Undang-Undang tentang Persaingan Usaha;
  2.      
      Keterbatasan Kewenangan Investigatif Digital KPPU RI
  Hingga kini, tidak terdapat mekanisme hukum yang memberikan kewenangan
    teknis eksplisit bagi KPPU untuk mengaudit atau menelusuri algoritma
    platform digital secara menyeluruh. Padahal, dalam konteks digital,
    algoritma dapat digunakan sebagai instrumen eksklusi dan manipulasi pasar.
    Ketiadaan instrumen audit algoritmik (algorithmic auditability) serta
    tidak adanya kewajiban keterbukaan (disclosure obligation) terhadap
    data perilaku pengguna memperlemah daya investigasi KPPU.
  Sebagai perbandingan, Pasal 36 huruf g Undang-Undang tentang Persaingan Usaha
    memberi kewenangan kepada KPPU RI untuk “meminta bantuan aparat penegak
    hukum dalam penyidikan,” namun belum diperluas cakupannya ke wilayah teknis
    digital forensik atau pengawasan algoritma. Akibatnya, KPPU RI hanya mampu
    menindak berdasarkan indikasi pasar terbuka, bukan investigasi berbasis
    struktur internal platform.
  3.      
      Ketergantungan terhadap regulasi dan data asing
  Kasus Google menunjukkan kelemahan sistemik penegakan hukum digital
    nasional. Dalam perkara Nomor 03/KPPU-I/2024, KPPU RI tidak dapat mengakses
    data spesifik pendapatan Google Play di Indonesia dan harus menggunakan
    laporan keuangan global yang diajukan Google ke
    U.S. Securities and Exchange Commission (SEC). Hal ini
    mengindikasikan tidak adanya kewajiban bagi perusahaan digital asing untuk
    menyampaikan laporan keuangan sektoral kepada otoritas Indonesia.
Ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang tentang Persaingan Usaha sebenarnya memungkinkan KPPU RI memeriksa laporan, dokumen, atau keterangan lain yang dianggap perlu dari pelaku usaha. Namun, keterbatasan yurisdiksi dan tidak adanya badan hukum lokal dari perusahaan global menyebabkan ketentuan tersebut sulit diberlakukan secara efektif terhadap entitas digital transnasional.
  Dalam penelitiannya, Adis Nur Hayati menekankan bahwa pendekatan penguasaan
    pasar digital tidak dapat hanya berpijak pada volume transaksi atau
    konsentrasi pangsa pasar. Ia mengusulkan perlunya pembentukan regulasi
    sektoral digital yang mendefinisikan dominasi pasar berdasarkan penguasaan
    infrastruktur digital, akses terhadap data pengguna, dan kendali terhadap
    ekosistem aplikasi. Hal ini sejalan dengan perkembangan di yurisdiksi Uni
    Eropa yang menekankan pada pengawasan terhadap pelaku usaha digital
    berdasarkan dampak struktural terhadap inovasi dan kebebasan konsumen (Adis
    Nur Hayati,
    Analisis Tantangan dan Penegakan Hukum Persaingan Usaha pada Sektor
      E-Commerce, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 21 No. 1, 2021, hlm. 109–122).
  Secara keseluruhan, ketiga tantangan ini mengindikasikan perlunya reformasi
    hukum dan kelembagaan secara mendasar. Tanpa adaptasi regulasi dan penguatan
    kapasitas investigatif KPPU RI dalam bidang digital, maka hukum persaingan
    usaha di Indonesia akan tertinggal dari lompatan teknologi pasar dan risiko
    penyalahgunaan dominasi digital yang semakin masif.
Rekomendasi dan Reformasi Strategis
  Berdasarkan tantangan normatif dan kelembagaan yang telah diuraikan
    sebelumnya, diperlukan langkah-langkah strategis dan reformasi regulatif
    yang menyeluruh untuk memperkuat efektivitas penegakan hukum persaingan
    usaha di sektor digital. Adapun rekomendasi utama yang dapat dirumuskan
    sebagai berikut:
  1.      
      Pembentukan Undang-Undang Persaingan Usaha Digital (Digital Competition Act)
  Diperlukan pembentukan undang-undang khusus yang mengatur kompetisi di
    ruang digital, guna menjawab kekosongan pengaturan yang ada dalam
    Undang-Undang tentang Persaingan Usaha. Undang-undang ini harus mencakup:
  -    
    Definisi pasar digital secara komprehensif, termasuk pasar dua sisi (two-sided markets) dan pasar multi sisi;
  -    
    Prinsip interoperabilitas, yaitu kewajiban bagi platform dominan untuk
    membuka akses dan kompatibilitas sistem dengan pelaku usaha lain guna
    menghindari penguncian eksklusif;
  -    
    Prinsip net neutrality, yang menjamin akses yang adil dan tidak
    diskriminatif terhadap konten, aplikasi, dan layanan oleh penyedia
    jaringan;
  -    
    Prinsip algorithmic accountability, yaitu kewajiban transparansi dan
    pengawasan terhadap algoritma yang berpengaruh terhadap perilaku pasar.
  Perumusan undang-undang baru ini dapat diletakkan dalam kerangka reformasi
    hukum ekonomi digital sebagaimana mandat konstitusional untuk mengatur
    cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak (vide Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945).
  2.      
      Penguatan Kewenangan Investigatif dan Digital Forensik KPPU
  Revisi terhadap ketentuan
    Pasal 36 Undang-Undang tentang Persaingan Usaha perlu dilakukan guna
    menambahkan klausul eksplisit mengenai kewenangan teknis digital, seperti:
  -        
    Akses langsung terhadap server lokal, sistem algoritma, dan metadata
    pengguna dari pelaku usaha digital;
  -        
    Kewenangan melibatkan auditor algoritmik atau ahli forensik digital untuk
    membuktikan praktik diskriminasi algoritmik dan eksklusi pasar;
  -        
    Penetapan kewajiban pelaku usaha digital untuk menyerahkan laporan
    penggunaan algoritma, struktur data, dan mekanisme prioritisasi konten
    kepada KPPU secara berkala.
  Dengan demikian, investigasi atas pelanggaran digital tidak lagi hanya
    berbasis dugaan pasar, melainkan dapat diverifikasi melalui mekanisme teknis
    yang sah dan objektif.
  3.      
      Peningkatan Kerja Sama Internasional dan Harmonisasi Lintas
      Yurisdiksi
  Mengingat sebagian besar pelaku usaha digital berskala global dan tidak
    berbadan hukum di Indonesia, maka penguatan instrumen
    Mutual Legal Assistance (MLA) menjadi urgensi strategis. Untuk itu:
  -      
    Pemerintah Republik Indonesia perlu mengembangkan perjanjian bilateral dan
    multilateral dalam bidang hukum persaingan usaha digital, khususnya dengan
    yurisdiksi utama seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara
    ASEAN;
  -      
    KPPU RI perlu aktif terlibat dalam forum antitrust global, seperti
    International Competition Network (ICN) dan
    ASEAN Expert Group on Competition, guna menyelaraskan standar
    penegakan hukum digital dan berbagi metodologi.
  Upaya ini juga sejalan dengan amanat Pasal 35 Huruf e Undang‑Undang tentang Persaingan Usaha,
    ketentuan ini menjelaskan bahwa salah satu fungsi KPPU RI adalah:
  “memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
    terkait dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”.
  Walaupun frasa ini tidak menyebutkan ‘kerja sama internasional’
    secara eksplisit, norma ini memberi dasar untuk KPPU RI mendukung upaya
    pendekatan global, termasuk pertukaran data dan akselerasi penegakan hukum
    dengan otoritas asing melalui instrumen diplomatis maupun perjanjian formal.
    Kemudian, Pasal 36 huruf e Undang‑Undang tentang Persaingan Usaha
    juga memberi beberapa kewenangan utama bagi KPPU RI yang juga relevan
    terhadap kerja sama internasional: 
  “Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
    yang dipandang perlu” 
  Kewenangan ini memberi ruang bagi KPPU RI untuk meminta data dari lembaga
    luar negeri atau entitas asing yang terkait dalam suatu kasus, yang membuka
    ruang bagi KPPU RI untuk melakukan kerja sama dengan lembaga internasional
    atau lembaga luar negeri dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
  Dengan langkah-langkah reformasi strategis ini, diharapkan penegakan hukum
    persaingan usaha di sektor digital dapat dilakukan secara adil, adaptif, dan
    memiliki daya paksa yang tinggi, tidak hanya terhadap pelaku usaha lokal
    tetapi juga terhadap entitas digital transnasional yang aktif di pasar
    Indonesia.
  4.      
      Penerapan Regulatory Sandbox sebagai Instrumen Eksperimen Regulatif dalam
      Sektor Digital
  Sebagai respons atas karakter sektor digital yang sangat dinamis, kompleks,
    dan disruptif, diperlukan ruang uji regulatif untuk memastikan bahwa
    intervensi hukum tidak bersifat reaktif, tetapi partisipatif dan adaptif.
    Salah satu instrumen strategis yang dapat digunakan adalah
    regulatory sandbox, yakni kerangka kerja yang memungkinkan pengujian
    kebijakan dan produk hukum dalam lingkungan terkondisi, terbatas, dan
    berbasis eksperimen kebijakan (policy prototyping).
  Regulatory sandbox
    telah terbukti efektif di sektor fintech melalui
    Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
      Teknologi Finansial
    dan
    Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Nomor 13/POJK.02/2018 tentang
      Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa Keuangan, serta di sektor kesehatan melalui
    Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1280/2023 tentang
      Regulatory Sandbox Inovasi Digital Kesehatan. Konsep ini dapat dan perlu diperluas ke ranah persaingan usaha
    digital.
  Dalam konteks hukum persaingan, sandbox dapat dimanfaatkan untuk:
  -        
    Menguji dampak struktur algoritmik terhadap akses pasar dan persaingan
    usaha dalam platform digital;
  -        
    Menilai risiko anti-kompetitif dari model bisnis baru sebelum diterapkan
    luas;
  -        
    Menguji efektivitas norma hukum baru, termasuk dalam RUU Digital
    Competition Act, dalam kondisi pasar digital nyata namun terkendali.
  Penerapan sandbox juga akan memberikan ruang bagi KPPU RI, pelaku
    usaha digital, akademisi, serta pemangku kepentingan lain untuk terlibat
    dalam proses koregulasi (co-regulation) yang lebih inklusif. Ini
    sejalan dengan prinsip keterbukaan dan kolaborasi regulatif, yang diyakini
    lebih fleksibel dan responsif dibanding pendekatan regulasi top-down
    tradisional.
  5.      
      Penerapan Koregulasi untuk Memastikan Responsivitas dan Akuntabilitas
      Kebijakan
  Koregulasi merupakan pendekatan hibrida antara intervensi negara dan
    inisiatif industri yang didasarkan pada pembagian tanggung jawab normatif
    dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Dalam ekosistem digital,
    pendekatan ini sangat penting karena:
  -        
    Negara (melalui KPPU RI, Komdigi RI, dan lembaga teknis lainnya) belum
    memiliki kapasitas penuh untuk memahami teknologi secara spesifik dan
    dinamis;
  -        
    Sementara itu, sektor swasta (seperti Google, Shopee, Tokopedia, dan
    lain-lain) memiliki kompetensi teknis namun cenderung mengutamakan
    kepentingan bisnis dan membutuhkan kontrol.
  Melalui koregulasi, kementerian/lembaga dan asosiasi pelaku usaha dapat
    bersama-sama menyusun protokol kebijakan, kode etik industri, mekanisme
    audit algoritma, serta sistem pelaporan mandiri yang terintegrasi dengan
    proses pengawasan oleh negara.
Namun,
agar koregulasi tidak dikooptasi oleh kekuatan pasar dominan, maka perlu
ditetapkan prinsip-prinsip dasar yang tegas, yaitu:
-        
Keterlibatan
masyarakat sipil, akademisi, dan pakar hukum sebagai pengimbang (counterbalance);
-        
Transparansi
proses pembuatan kebijakan dan hasil evaluasi sandbox;
-        
Kewajiban
publikasi hasil pengujian regulatif sebagai bentuk akuntabilitas.
6.      
Implikasi
Strategis: Kasus Google sebagai Argumentum a Contrario
Perkara KPPU vs Google LLC menjadi preseden hukum yang
menunjukkan keterbatasan sistem regulatif dan investigatif nasional.
Ketidakmampuan KPPU mengakses data lokal dan struktur algoritmik Google
mencerminkan lemahnya landasan hukum dan ketidaksiapan teknis negara. Jika
regulatory sandbox dan koregulasi telah diberlakukan sejak awal, maka:
-    
Praktik
penguncian pasar oleh Google Play Billing System dapat diidentifikasi lebih
dini;
-    
Algoritma dapat
diaudit dan disesuaikan melalui umpan balik dari regulator sebelum
diimplementasikan secara masif;
-    
Intervensi negara
tidak semata bersifat sanksional, tetapi preventif dan korektif.
Oleh
karena itu, penguatan sandbox dan koregulasi bukan sekadar alat pelengkap
kebijakan, tetapi arus utama pembaruan hukum persaingan usaha digital.
Hal ini juga dapat menjadi bagian integral dari proses legislasi Digital
Competition Act, dengan menjadikan sandbox sebagai instrumen uji regulasi
dalam Pasal transisional undang-undang tersebut.
Penutup
  Penegakan hukum persaingan usaha dalam sektor e-commerce tidak dapat
    lagi dipahami semata sebagai penjatuhan sanksi administratif terhadap
    pelanggaran hukum, melainkan sebagai bagian integral dari afirmasi
    kedaulatan negara dalam ruang ekonomi digital. KPPU RI telah memberikan
    preseden penting yaitu dari keberaniannya menghadapi raksasa global seperti
    Google LLC melalui instrumen sanksi, hingga pendekatan restoratif terhadap
    Shopee melalui pakta integritas. Namun, praktik ini sekaligus membuka
    kenyataan bahwa perangkat hukum yang tersedia saat ini belum sepenuhnya
    mampu menjangkau kompleksitas, kecepatan, dan sifat lintas yurisdiksi dari
    pasar digital.
  Dalam lanskap digital yang diwarnai oleh dominasi algoritma, asimetri data,
    dan absennya entitas hukum lokal dari pemain global, reformasi hukum
    persaingan digital menjadi keniscayaan. Tanpa Undang-Undang Persaingan Usaha
    Digital yang secara tegas mengatur prinsip interoperabilitas, net
    neutrality, dan akuntabilitas algoritma, maka hukum persaingan akan terus
    tertinggal dari inovasi.
  Lebih jauh, penguatan kewenangan investigatif KPPU RI, peningkatan kerja
    sama lintas negara, dan adopsi mekanisme regulatory sandbox serta
    koregulasi, menjadi jalan tengah yang strategis antara proteksi konsumen,
    keberlangsungan inovasi, dan efektivitas pengawasan. Sandbox menawarkan
    ruang uji kebijakan yang fleksibel dan inklusif, sementara koregulasi
    menjembatani keterbatasan negara dan kompetensi pelaku usaha melalui
    kolaborasi yang akuntabel.
  Oleh karena itu, penegakan hukum persaingan di era digital harus diarahkan
    pada tiga hal utama yaitu keadilan pasar, ketahanan regulasi, dan kedaulatan
    teknologi. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi formalitas administratif
    dalam sistem yang sudah ditaklukkan oleh kekuatan platform.
  Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
    melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


