Pendahuluan
  Penegakan hukum lalu lintas melalui sistem tilang di Indonesia telah
    mengalami transformasi yang sangat signifikan dalam satu dekade terakhir.
    Transformasi ini mencerminkan pergeseran paradigma dari model represif
    berbasis interaksi langsung (tilang manual), menuju pendekatan penegakan
    hukum yang berbasis teknologi informasi melalui sistem
    Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). Sistem ini diperkenalkan
    seiring dengan berkembangnya kebutuhan akan penegakan hukum yang lebih
    efisien, objektif, dan bebas dari intervensi subyektif.
  Secara yuridis, tilang sebagai instrumen penegakan hukum telah diatur dalam
    beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
  1.     
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
        Lintas dan Angkutan Jalan
     (selanjutnya disebut UU tentang LLAJ) yang mana terakhir
    telah diubah dengan
    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
        Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
        Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU tentang Cipta Kerja);
  2.    
    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang
        Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan
        Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
    (selanjutnya disebut PP 80/2012); serta 
  3.    
    Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025
        tentang Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
        Berdasarkan Alat Bukti Rekaman Elektronik
  (selanjutnya disebut Perpol 2/2025).
  Pasal 267 UU tentang LLAJ menyatakan:
  (1)     
    Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa
    menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan
    penetapan pengadilan.
  (2)    
    Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
    dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.
  (3)   
    Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
    menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
  (4)    
    Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
    sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas
    dan Angkutan Jalan.
  (5)    
    Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti
    pelanggaran.
  Kemudian, Pasal 272 UU tentang LLAJ, menegaskan:
  (1)     
    Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan
    Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.
  (2)    
    Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
  Kemudian, Peralatan elektronik yang dimaksud dijelaskan dalam
    Pasal 3 ayat (1) Perpol 2/2025 yang meliputi ETLE statis,
    portabel, mobile, dan perangkat elektronik lainnya. Sementara itu, dalam
    Pasal 23 PP 80/2012 menyatakan bahwa penindakan lalu lintas
    dapat didasarkan atas temuan dalam proses pemeriksaan kendaraan bermotor di
    jalan, laporan masyarakat, dan/atau hasil rekaman peralatan elektronik.
  Di sisi lain, penerapan ETLE masih menghadapi keterbatasan cakupan
    geografis dan infrastruktur teknologi, yang kemudian memicu polemik mengenai
    kebijakan tilang manual. Kebijakan ini mengalami dinamika yaitu mulai dari
    larangan tilang manual oleh Kapolri melalui
    Surat Telegram Nomor ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022, tertanggal 18 Oktober
    2022 hingga pembolehan kembali melalui
    Surat Telegram Nomor ST/380/IV.HUK.6.2/2023, tertanggal 16 Mei 2023
    untuk wilayah yang tidak terjangkau ETLE. Hal ini menimbulkan dualisme
    implementatif dan potensi ketidakkonsistenan hukum di lapangan.
  Tulisan ini bertujuan untuk membedah praktik hukum tilang di Indonesia
    secara normatif dan sosiologis, mengevaluasi efektivitas serta integritas
    instrumen hukum yang berlaku, dan mengkritisi dinamika kebijakan yang
    cenderung fluktuatif antara pelarangan dan pemberlakuan kembali tilang
    manual. Dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yuridis-sosiologis,
    serta perspektif rasional kritis dan reflektif, tulisan ini menyoroti
    kebutuhan mendesak akan reformasi sistemik dan harmonisasi hukum lalu
    lintas, terutama dalam menjamin hak warga negara terhadap proses hukum yang
    adil, akuntabel, dan adaptif terhadap teknologi digital modern.
Pengertian Penilangan di Indonesia
  Secara terminologis, istilah “tilang” tidak secara eksplisit ditemukan
    dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan. Namun, secara praktik dan
    substansi hukum, istilah ini telah menjadi bagian integral dari mekanisme
    penegakan hukum administratif terhadap pelanggaran lalu lintas dan angkutan
    jalan (LLAJ). Tilang berfungsi sebagai alat bukti sekaligus sarana
    administratif untuk memproses pelanggaran LLAJ—baik yang diselesaikan
    melalui proses peradilan (sidang) maupun penyelesaian cepat melalui
    pembayaran denda.
  Penerapan sistem tilang merupakan manifestasi dari prinsip
    kepastian hukum dan akuntabilitas penegakan hukum dalam ruang publik
    jalan raya, sebagaimana diamanatkan dalam
    Pasal 3 huruf c UU tentang LLAJ.
Landasan Hukum dan Tata Cara Penilangan
  1.       
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
      dan Angkutan Jalan
    
  Sebagaimana ketentuan Pasal 272 ayat (1) UU tentang LLAJ, mengatur bahwa penegakan hukum dapat dilakukan dengan bantuan
    peralatan elektronik seperti rekaman kejadian;
  Kemudian, pelanggaran atas kewajiban berkendara yang tertib, misalnya tidak
    mengenakan sabuk pengaman, diatur dalam
    Pasal 289 UU tentang LLAJ, yang diancam pidana kurungan dan/atau denda.
  2.      
    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata
      Cara Pemeriksaan Kendaraan dan Penindakan LLAJ (PP 80/2012)
  Pasal 23 menjabarkan bahwa penindakan pelanggaran dapat dilakukan
    melalui:
  1)      
    Pemeriksaan langsung di lapangan;
  2)     
    Laporan masyarakat; dan/atau
  3)     
    Rekaman alat elektronik.
  3.     
    Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 2 Tahun 2025 (Perpol 2/2025)
  Mengatur penindakan berbasis bukti elektronik (ETLE) secara sistematis,
    dari:
  1)     
    Identifikasi pelanggaran (vide Pasal 8);
  2)    
    Verifikasi melalui sistem ERI (vide Pasal 9–10);
  3)    
    Penerbitan Surat Konfirmasi dan Tilang (vide Pasal 11–13);
  4)    
    Hingga pemrosesan digitalisasi berkas dan pembayaran denda melalui virtual
    account (vide Pasal 14–15).
  4.      
    Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang
      Tata Cara Penyelesaian Perkara Tilang (Perma 12/2016)
  Memberikan legitimasi prosedural bagi pengadilan untuk menyidangkan
    pelanggaran lalu lintas secara cepat dan efisien, dengan pendekatan tanpa
    kehadiran pelanggar dan digitalisasi perkara (vide Pasal 4–5).
Perbedaan Surat Tilang Merah dan Biru
  Salah satu instrumen utama dalam proses penindakan pelanggaran lalu lintas
    adalah surat tilang, yang dikenal luas dalam dua jenis utama berdasarkan
    warnanya antara lain tilang merah dan tilang biru.
  Perbedaan antara kedua jenis surat ini tidak sekadar pada warna kertas,
    tetapi mencerminkan perbedaan fundamental dalam mekanisme penyelesaian
    perkara hukum lalu lintas yang ada, antara proses litigasi melalui
    persidangan dan penyelesaian administratif langsung di tempat kejadian.
  Prosedur penindakan pelanggaran lalu lintas ini didasarkan pada ketentuan
    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
      dan Angkutan Jalan
    (selanjutnya disebut dengan UU tentang LLAJ)
    serta Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
      Pol: SKEP/443/IV/1998
    tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas, tertanggal 17
    April 1998.
Tilang Merah: Penyangkalan terhadap Tuduhan Pelanggaran
  Surat tilang berwarna merah diberikan kepada pengendara yang tidak mengakui
    pelanggaran atau merasa keberatan atas tuduhan pelanggaran yang disampaikan
    oleh petugas kepolisian.
  Karakteristik utamanya:
  -       
    Pengendara menolak mengakui kesalahan dan memilih menyelesaikan perkara
    melalui proses persidangan;
  -       
    Polisi akan menyita dokumen berupa SIM atau STNK sebagai barang bukti
    pelanggaran, dan sebagai gantinya memberikan surat tilang merah;
  -       
    Dalam surat tersebut tertera tanggal dan tempat persidangan, di mana
    pengendara berhak menyampaikan pembelaan secara hukum di hadapan hakim;
  -       
    Hakim akan menentukan apakah pelanggaran terbukti secara hukum, dan apabila
    terbukti, besaran denda akan ditetapkan sesuai dengan pelanggaran yang
    dilakukan.
  Contoh kasus:
    Jika pengendara ditilang karena dianggap melanggar batas kecepatan, tetapi
    memiliki bukti bahwa ia tidak melampaui batas kecepatan (misalnya melalui
    rekaman GPS atau foto speedometer), maka ia berhak meminta tilang merah dan
    membela diri di pengadilan.
Tilang Biru: Pengakuan dan Penyelesaian Administratif
  Berbeda dari tilang merah, surat tilang biru diberikan kepada pengendara
    yang mengakui kesalahan dan bersedia menyelesaikan denda secara langsung
    tanpa melalui pengadilan.
  Karakteristik utama:
  -       
    Menunjukkan sikap kooperatif pengendara dengan mengakui kesalahan di
    tempat;
  -       
    Denda dapat langsung dibayarkan melalui sistem virtual account,
    khususnya via Bank BRI;
  -       
    Setelah pembayaran dilakukan, pengendara dapat mengambil kembali dokumen
    kendaraan (STNK/SIM) yang ditahan oleh petugas;
  -       
    Tilang biru mengedepankan efisiensi proses penindakan dan menghindari beban
    administratif pengadilan.
  Contoh kasus:
    Pengendara yang melanggar lampu merah dan menyadari kesalahannya dapat
    langsung menerima surat tilang biru dan menyelesaikan kewajibannya dengan
    membayar denda.
Perbandingan dan Fungsinya dalam Proses Hukum
| 
         
          Aspek  | 
      
         
          Tilang Merah  | 
      
         
          Tilang Biru  | 
    
| 
         
          Sikap pengendara  | 
      
         
          Tidak mengakui kesalahan  | 
      
         
          Mengakui kesalahan  | 
    
| 
         
          Proses hukum  | 
      
         
          Melalui persidangan  | 
      
         
          Penyelesaian administratif langsung  | 
    
| 
         
          Dokumen yang ditahan  | 
      
         
          SIM atau STNK  | 
      
         
          SIM atau STNK  | 
    
| 
         
          Cara pengembalian dokumen  | 
      
         
          Setelah sidang selesai  | 
      
         
          Setelah bukti pembayaran diserahkan  | 
    
| 
         
          Pembayaran  | 
      
         
          Ditentukan oleh hakim setelah persidangan  | 
      
         
          Melalui transfer ke virtual account BRI  | 
    
| 
         
          Tujuan  | 
      
         
          Memberikan hak pembelaan  | 
      
         
          Efisiensi dan percepatan penindakan  | 
    
Jenis Warna Blangko Tilang Lainnya
  Selain warna merah dan biru, tilang terdiri dari lima rangkap blangko
    berbeda warna yang masing-masing memiliki fungsi administratif:
  -       
    Warna merah: untuk pelanggar (jika memilih jalur pengadilan);
  -       
    Warna biru: untuk pelanggar (jika menyetujui denda di tempat);
  -       
    Warna kuning: arsip untuk Kepolisian;
  -       
    Warna putih: arsip untuk Kejaksaan;
  -       
    Warna hijau: arsip untuk Pengadilan.
Sanksi dan Besaran Denda
  Berdasarkan UU tentang LLAJ, besaran denda maksimal terhadap pelanggaran
    lalu lintas berbeda-beda tergantung jenis pelanggarannya. Beberapa di
    antaranya:
  -       
    Pasal 287 ayat (1): Melanggar rambu lalu lintas – denda maksimal
    Rp500.000;
  -       
    Pasal 287 ayat (5): Melebihi batas kecepatan – denda maksimal
    Rp500.000.
  -       
    Pasal 288 ayat (1): Tidak membawa STNK/SIM – denda maksimal Rp500.000.
  -       
    Pasal 281: Mengemudi tanpa SIM – denda maksimal Rp1.000.000.
Evolusi Kebijakan: antara Tilang Manual dan Elektronik
  Penegakan hukum di bidang lalu lintas mengalami transformasi signifikan
    dalam beberapa tahun terakhir, dari sistem berbasis manual yang mengandalkan
    interaksi langsung antara petugas dan pelanggar, menuju sistem digital yang
    berbasis teknologi dan bukti elektronik. Pergeseran ini mencerminkan respons
    institusional terhadap tuntutan akuntabilitas publik, pencegahan pungutan
    liar (pungli), serta adaptasi terhadap kemajuan teknologi.
  Pada tahun 2022, Kapolri mengeluarkan Surat Telegram Kapolri Nomor
    ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022 yang secara eksplisit memerintahkan penghentian
    penindakan pelanggaran lalu lintas secara manual oleh Satuan Lalu Lintas
    Polri. Tujuan utamanya adalah:
  a)      
    Mengurangi potensi penyimpangan dan pungli oleh oknum petugas di
    lapangan;
  b)     
    Mendorong transformasi digital dalam penegakan hukum;
  c)      
    Meningkatkan transparansi dan objektivitas, melalui Electronic Traffic Law
    Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik.
  Pada fase ini, tilang manual hanya diperbolehkan dalam konteks kecelakaan
    lalu lintas atau pelanggaran yang tidak bisa ditindak oleh sistem ETLE.
  Namun, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa belum semua wilayah memiliki
    infrastruktur ETLE yang memadai. Maka, Kapolri kembali menerbitkan Surat
    Telegram Nomor ST/380/IV.HUK.6.2/2023, yang memulihkan sebagian kewenangan
    penegakan tilang manual, dengan batasan ketat dan pelanggaran prioritas
    tertentu.
  Tilang manual diberlakukan untuk jenis pelanggaran dengan potensi fatalitas
    tinggi, antara lain:
  a)      
    Melawan arus lalu lintas;
  b)     
    Penggunaan kendaraan dengan pelat nomor palsu;
  c)      
    Pengendara kendaraan bermotor oleh anak di bawah umur;
  d)     
    Berkendara sambil menggunakan ponsel;
  e)      
    Tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman;
  f)       
    Berkendara dalam keadaan mabuk atau melebihi batas kecepatan.
  Surat telegram tersebut juga mengatur batasan bagi petugas, dengan
    mengedepankan pendekatan persuasif, profesional, dan dilarang keras
    melakukan pungutan di luar ketentuan.
Penguatan Struktur Digital melalui Peraturan Kepolisian Nomor 2 Tahun 2025
  Sebagai tonggak regulatif utama, Peraturan Kepolisian Negara Republik
    Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penegakan Hukum Lalu Lintas melalui
    ETLE (selanjutnya disebut Perpol 2/2025), menetapkan kerangka hukum
    digitalisasi sistem tilang. Beberapa ketentuan kunci dalam peraturan ini
    antara lain:
  1)        Pasal 8 s.d. Pasal 12 Perpol 2/2025: Menetapkan tahapan mulai dari pendeteksian pelanggaran melalui kamera
    ETLE, verifikasi data melalui
    Electronic Registration and Identification (ERI), hingga penerbitan
    Surat Konfirmasi Pelanggaran kepada pemilik kendaraan.
  2)      
    Pasal 13 ayat (2): Jika pemilik kendaraan tidak merespons atau membantah pelanggaran,
    pemblokiran data STNK dilakukan melalui sistem ERI untuk mencegah proses
    administrasi kendaraan berikutnya.
  3)      
    Pasal 14: Mengatur metode pembayaran denda yang dilakukan secara non-tunai melalui
    virtual account, menutup celah penyimpangan transaksi langsung antara
    pelanggar dan petugas.
  4)       Pasal 15: Menegaskan integrasi data tilang dengan sistem peradilan, termasuk
    penginputan berkas perkara ke sistem e-Tilang milik Polri.
Mekanisme E-Tilang dan Pertanggungjawaban Hukum
Sejak diberlakukannya sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) sebagai bentuk digitalisasi dalam penegakan hukum lalu lintas, mekanisme pemrosesan pelanggaran kini dilakukan secara elektronik berbasis bukti rekaman. Proses ini mengurangi interaksi langsung antara pelanggar dan petugas, meningkatkan akuntabilitas, serta memberi ruang pembelaan yang adil sesuai asas due process of law. Berikut adalah tahapan serta hak dan kewajiban yang melekat dalam sistem e-Tilang.
Alur Penindakan Elektronik (ETLE)
  Identifikasi, Verifikasi, dan Konfirmasi
  Sistem ETLE dimulai dengan pendeteksian pelanggaran lalu lintas oleh kamera
    yang telah terpasang di titik-titik strategis. Kamera ini secara otomatis
    merekam data kendaraan dan pelanggaran yang terjadi, seperti menerobos lampu
    merah, tidak memakai helm, atau melanggar marka jalan.
  Data pelanggaran tersebut selanjutnya diverifikasi oleh petugas operator
    yang terhubung dengan
    Electronic Registration and Identification (ERI) untuk mencocokkan
    informasi kendaraan, kepemilikan STNK, dan nomor polisi.
  Setelah diverifikasi, Polri mengirimkan surat konfirmasi pelanggaran kepada
    alamat pemilik kendaraan yang tercatat di ERI, untuk memastikan bahwa
    pelanggaran benar-benar dilakukan oleh yang bersangkutan atau pihak
    lain.
Penerbitan Surat Tilang dan Nomor Pembayaran
  Jika pemilik kendaraan mengakui pelanggaran melalui konfirmasi daring, maka
    sistem akan secara otomatis menerbitkan:
  a)     
    Surat Tilang elektronik, dan
  b)     
    Nomor pembayaran virtual account, yang digunakan untuk melakukan pembayaran
    denda secara non-tunai.
  Proses ini diatur dalam Pasal 14 Peraturan Kepolisian Negara Republik
    Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 (Perpol 2/2025), yang menyebutkan bahwa
    pembayaran denda dilakukan melalui kode pembayaran virtual pada bank yang
    ditunjuk (seperti Bank BRI).
Penyelesaian Perkara dan Proses Persidangan
  Dalam hal pelanggar tidak menyetujui pelanggaran yang dituduhkan, mereka
    berhak mengajukan keberatan. Jika keberatan diajukan, maka perkara akan
    diteruskan ke pengadilan, dan pelanggar akan diberi jadwal untuk mengikuti
    persidangan tilang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
    Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 (Perma 12/2016).
  Hakim akan memeriksa pembuktian dan memutus apakah pelanggaran terbukti
    atau tidak. Keputusan hakim bersifat final dan akan menentukan besaran denda
    yang harus dibayarkan.
Hak Pelanggar dalam Mekanisme ETLE
  Konfirmasi dan Sanggahan
  Pemilik kendaraan memiliki hak untuk:
  a)      
    Mengonfirmasi pelanggaran, apabila benar dilakukan;
  b)     
    Menyanggah pelanggaran, jika merasa tidak melakukannya (misalnya kendaraan
    telah dijual atau dipinjamkan kepada pihak lain).
  Konfirmasi dan sanggahan dapat dilakukan melalui situs resmi ETLE yang
    disediakan oleh Korlantas Polri, dan harus dilakukan dalam jangka waktu yang
    ditentukan dalam surat konfirmasi. Bila tidak ada tanggapan, proses
    dilanjutkan ke tahap sanksi administratif.
Pemblokiran STNK dan Sanksi Lainnya
  Jika tidak ada konfirmasi atau pelanggar mengabaikan surat tilang, maka
    sesuai Pasal 13 ayat (2) Perpol 2/2025, sistem akan:
  a)      
    Melakukan pemblokiran STNK di ERI;
  b)     
    Menangguhkan pengurusan administrasi kendaraan, termasuk perpanjangan pajak
    atau balik nama, hingga denda diselesaikan.
  Pemblokiran bersifat administratif dan bertujuan untuk memaksa kepatuhan
    pelanggar dalam menyelesaikan kewajiban hukumnya.
Cek Status dan Pembayaran Denda Tilang
  Melalui Website Resmi Polri dan Kejaksaan
  Untuk mengetahui status pelanggaran dan denda, pelanggar dapat
    mengakses:
  a)      
    https://etle.polri.go.id/
     (nasional);
  b)     
    https://www.etle-kalbar.info/id/
    (di wilayah Polda Kalbar);
  c)      
    Serta situs resmi Kejaksaan RI untuk melihat informasi persidangan dan
    eksekusi denda di
    https://tilang.kejaksaan.go.id/.
  Setiap pelanggaran terekam dan memiliki nomor registrasi tilang yang dapat
    digunakan untuk melacak status proses hukum.
Alur Pembayaran Virtual dan Bukti Pembayaran
  Setelah memperoleh nomor virtual account, pelanggar dapat membayar denda
    melalui:
  a)      
    ATM;
  b)     
    Mobile banking;
  c)      
    Teller bank rekanan (misalnya Bank BRI).
  Setelah pembayaran dilakukan, pelanggar akan memperoleh bukti pembayaran
    elektronik, dan status pelanggaran dinyatakan selesai.
  Jika sebelumnya terdapat pemblokiran STNK, maka setelah pembayaran denda
    dikonfirmasi oleh sistem, status STNK akan dibuka kembali dalam ERI.
Perspektif Yuridis Normatif Dan Sosiologis
  Upaya penindakan terhadap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
    (LLAJ), baik melalui tilang manual maupun sistem elektronik (ETLE), tidak
    dapat dilepaskan dari kerangka berpikir hukum yang utuh—yakni antara
    legal-formal (yuridis normatif) dan realitas empiris (yuridis sosiologis).
    Keduanya menjadi lensa penting untuk menilai bagaimana hukum tidak hanya
    ditegakkan, tetapi juga diterima dan berdampak pada masyarakat.
Rasio Legis Penindakan Pelanggaran LLAJ
  Penegakan hukum lalu lintas bertujuan menjaga keselamatan pengguna jalan
    dan keteraturan ruang publik. Rasio legis (tujuan pembentukan norma) dari UU
    tentang LLAJ adalah untuk:
  -       
    Mewujudkan lalu lintas yang aman, selamat, tertib dan lancar (vide
    Pasal 3 huruf a);
  -       
    Melindungi hak pengguna jalan secara setara;
  -       
    Menciptakan budaya berlalu lintas yang beretika dan taat hukum.
  Bentuk konkret dari tujuan ini adalah pelaksanaan sistem penilangan sebagai
    instrumen penegakan administratif terhadap perilaku berkendara yang
    menyimpang. Penilangan bukan semata bentuk pemidanaan ringan, melainkan
    langkah preventif dan korektif untuk mencegah kecelakaan dan pelanggaran
    berulang.
Efektivitas dan Kendala Penegakan Tilang Manual
  Meskipun tilang manual telah lama diterapkan dan memiliki payung hukum yang
    jelas, efektivitasnya di lapangan sering kali terbentur pada beberapa
    kendala:
  1.       
    Subjektivitas Petugas di Lapangan
    Tilang manual sangat bergantung pada diskresi petugas. Dalam banyak kasus,
    ini membuka ruang untuk penyimpangan, baik dalam bentuk pungutan liar
    (pungli) maupun intimidasi.
  2.      
    Minimnya Akuntabilitas dan Dokumentasi
 Tidak ada rekaman elektronik atau bukti sahih lain yang menyertai
    penindakan tilang manual, sehingga pelanggar sulit mengajukan keberatan
    secara objektif, dan rawan terjadinya manipulasi.
  3.     
    Kesenjangan Prosedur antar Wilayah
 Implementasi tilang manual sering kali tidak seragam di berbagai daerah.
    Ada wilayah yang sangat represif, ada pula yang longgar karena minim
    pengawasan atau personel.
  4.      
    Beban Administratif pada Lembaga Penegak Hukum
 Tilang manual menambah beban kerja polisi, kejaksaan, dan pengadilan.
    Sistem manual memperlambat alur perkara dan memperbesar potensi backlog
    kasus lalu lintas.
  Walaupun tilang manual tetap dibutuhkan—terutama di wilayah yang belum
    memiliki infrastruktur ETLE—penekanannya harus pada pengawasan yang ketat,
    prosedur standar yang seragam, dan perlindungan terhadap hak pelanggar.
Dinamika Sosial: Kepercayaan Publik dan Ketertiban Lalu Lintas
  Penegakan hukum hanya efektif jika disertai legitimasi sosial. Dalam
    konteks lalu lintas, ada relasi erat antara tingkat kepercayaan publik
    terhadap aparat penegak hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan lalu
    lintas.
  Beberapa dinamika sosial yang perlu dicermati:
  1)       
    Defisit Kepercayaan terhadap Petugas di Lapangan
 Banyak pengendara menganggap tilang manual sebagai peluang “damai di
    tempat”, alih-alih proses hukum. Hal ini menunjukkan rendahnya kepercayaan
    pada prosedur hukum yang adil.
  2)      
    Tingkat Literasi Hukum yang Rendah
 Sebagian besar masyarakat tidak memahami hak mereka dalam proses tilang,
    tidak tahu cara menyanggah atau menghadiri sidang, serta tidak terbiasa
    dengan mekanisme digital.
  3)      
    Stigma Terhadap Aparat dan Kriminalisasi Ringan
 Penindakan pelanggaran ringan secara represif dapat memicu resistensi
    sosial. Tilang dipandang sebagai bentuk pemerasan negara, bukan pengaturan
    sosial untuk kepentingan bersama.
  4)      
    Kebutuhan Akan Konsistensi dan Edukasi Publik
 Ketertiban tidak hanya dibentuk oleh sanksi, tetapi juga oleh konsistensi
    penegakan dan edukasi yang berkelanjutan. Jika masyarakat melihat adanya
    ketimpangan atau tebang pilih, maka efektivitas hukum menjadi lemah.
Simpulan Sementara
  Dari perspektif yuridis normatif, sistem penilangan harus menjamin
    kepastian hukum, keadilan prosedural, dan efektivitas penindakan. Sementara
    itu, dari perspektif sosiologis, keberhasilan sistem hukum lalu lintas tidak
    diukur dari seberapa banyak denda dijatuhkan, melainkan dari seberapa besar
    kepatuhan sukarela masyarakat terbentuk secara kultural.
  Integrasi pendekatan teknologi melalui ETLE, pembatasan tilang manual
    secara bijak, serta penguatan edukasi hukum publik akan menjadi pilar utama
    dalam membentuk budaya berlalu lintas yang beradab dan konstitusional.
  Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
    melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.



