Pendahuluan
Penegakan hukum lalu lintas melalui sistem tilang di Indonesia telah
mengalami transformasi yang sangat signifikan dalam satu dekade terakhir.
Transformasi ini mencerminkan pergeseran paradigma dari model represif
berbasis interaksi langsung (tilang manual), menuju pendekatan penegakan
hukum yang berbasis teknologi informasi melalui sistem
Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). Sistem ini diperkenalkan
seiring dengan berkembangnya kebutuhan akan penegakan hukum yang lebih
efisien, objektif, dan bebas dari intervensi subyektif.
Secara yuridis, tilang sebagai instrumen penegakan hukum telah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
(selanjutnya disebut UU tentang LLAJ) yang mana terakhir
telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU tentang Cipta Kerja);
2.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan
Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(selanjutnya disebut PP 80/2012); serta
3.
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025
tentang Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Berdasarkan Alat Bukti Rekaman Elektronik
(selanjutnya disebut Perpol 2/2025).
Pasal 267 UU tentang LLAJ menyatakan:
(1)
Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan
penetapan pengadilan.
(2)
Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.
(3)
Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(4)
Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
(5)
Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti
pelanggaran.
Kemudian, Pasal 272 UU tentang LLAJ, menegaskan:
(1)
Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.
(2)
Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Kemudian, Peralatan elektronik yang dimaksud dijelaskan dalam
Pasal 3 ayat (1) Perpol 2/2025 yang meliputi ETLE statis,
portabel, mobile, dan perangkat elektronik lainnya. Sementara itu, dalam
Pasal 23 PP 80/2012 menyatakan bahwa penindakan lalu lintas
dapat didasarkan atas temuan dalam proses pemeriksaan kendaraan bermotor di
jalan, laporan masyarakat, dan/atau hasil rekaman peralatan elektronik.
Di sisi lain, penerapan ETLE masih menghadapi keterbatasan cakupan
geografis dan infrastruktur teknologi, yang kemudian memicu polemik mengenai
kebijakan tilang manual. Kebijakan ini mengalami dinamika yaitu mulai dari
larangan tilang manual oleh Kapolri melalui
Surat Telegram Nomor ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022, tertanggal 18 Oktober
2022 hingga pembolehan kembali melalui
Surat Telegram Nomor ST/380/IV.HUK.6.2/2023, tertanggal 16 Mei 2023
untuk wilayah yang tidak terjangkau ETLE. Hal ini menimbulkan dualisme
implementatif dan potensi ketidakkonsistenan hukum di lapangan.
Tulisan ini bertujuan untuk membedah praktik hukum tilang di Indonesia
secara normatif dan sosiologis, mengevaluasi efektivitas serta integritas
instrumen hukum yang berlaku, dan mengkritisi dinamika kebijakan yang
cenderung fluktuatif antara pelarangan dan pemberlakuan kembali tilang
manual. Dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yuridis-sosiologis,
serta perspektif rasional kritis dan reflektif, tulisan ini menyoroti
kebutuhan mendesak akan reformasi sistemik dan harmonisasi hukum lalu
lintas, terutama dalam menjamin hak warga negara terhadap proses hukum yang
adil, akuntabel, dan adaptif terhadap teknologi digital modern.
Pengertian Penilangan di Indonesia
Secara terminologis, istilah “tilang” tidak secara eksplisit ditemukan
dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan. Namun, secara praktik dan
substansi hukum, istilah ini telah menjadi bagian integral dari mekanisme
penegakan hukum administratif terhadap pelanggaran lalu lintas dan angkutan
jalan (LLAJ). Tilang berfungsi sebagai alat bukti sekaligus sarana
administratif untuk memproses pelanggaran LLAJ—baik yang diselesaikan
melalui proses peradilan (sidang) maupun penyelesaian cepat melalui
pembayaran denda.
Penerapan sistem tilang merupakan manifestasi dari prinsip
kepastian hukum dan akuntabilitas penegakan hukum dalam ruang publik
jalan raya, sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 3 huruf c UU tentang LLAJ.
Landasan Hukum dan Tata Cara Penilangan
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan
Sebagaimana ketentuan Pasal 272 ayat (1) UU tentang LLAJ, mengatur bahwa penegakan hukum dapat dilakukan dengan bantuan
peralatan elektronik seperti rekaman kejadian;
Kemudian, pelanggaran atas kewajiban berkendara yang tertib, misalnya tidak
mengenakan sabuk pengaman, diatur dalam
Pasal 289 UU tentang LLAJ, yang diancam pidana kurungan dan/atau denda.
2.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata
Cara Pemeriksaan Kendaraan dan Penindakan LLAJ (PP 80/2012)
Pasal 23 menjabarkan bahwa penindakan pelanggaran dapat dilakukan
melalui:
1)
Pemeriksaan langsung di lapangan;
2)
Laporan masyarakat; dan/atau
3)
Rekaman alat elektronik.
3.
Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 2 Tahun 2025 (Perpol 2/2025)
Mengatur penindakan berbasis bukti elektronik (ETLE) secara sistematis,
dari:
1)
Identifikasi pelanggaran (vide Pasal 8);
2)
Verifikasi melalui sistem ERI (vide Pasal 9–10);
3)
Penerbitan Surat Konfirmasi dan Tilang (vide Pasal 11–13);
4)
Hingga pemrosesan digitalisasi berkas dan pembayaran denda melalui virtual
account (vide Pasal 14–15).
4.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Perkara Tilang (Perma 12/2016)
Memberikan legitimasi prosedural bagi pengadilan untuk menyidangkan
pelanggaran lalu lintas secara cepat dan efisien, dengan pendekatan tanpa
kehadiran pelanggar dan digitalisasi perkara (vide Pasal 4–5).
Perbedaan Surat Tilang Merah dan Biru
Salah satu instrumen utama dalam proses penindakan pelanggaran lalu lintas
adalah surat tilang, yang dikenal luas dalam dua jenis utama berdasarkan
warnanya antara lain tilang merah dan tilang biru.
Perbedaan antara kedua jenis surat ini tidak sekadar pada warna kertas,
tetapi mencerminkan perbedaan fundamental dalam mekanisme penyelesaian
perkara hukum lalu lintas yang ada, antara proses litigasi melalui
persidangan dan penyelesaian administratif langsung di tempat kejadian.
Prosedur penindakan pelanggaran lalu lintas ini didasarkan pada ketentuan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan
(selanjutnya disebut dengan UU tentang LLAJ)
serta Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
Pol: SKEP/443/IV/1998
tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas, tertanggal 17
April 1998.
Tilang Merah: Penyangkalan terhadap Tuduhan Pelanggaran
Surat tilang berwarna merah diberikan kepada pengendara yang tidak mengakui
pelanggaran atau merasa keberatan atas tuduhan pelanggaran yang disampaikan
oleh petugas kepolisian.
Karakteristik utamanya:
-
Pengendara menolak mengakui kesalahan dan memilih menyelesaikan perkara
melalui proses persidangan;
-
Polisi akan menyita dokumen berupa SIM atau STNK sebagai barang bukti
pelanggaran, dan sebagai gantinya memberikan surat tilang merah;
-
Dalam surat tersebut tertera tanggal dan tempat persidangan, di mana
pengendara berhak menyampaikan pembelaan secara hukum di hadapan hakim;
-
Hakim akan menentukan apakah pelanggaran terbukti secara hukum, dan apabila
terbukti, besaran denda akan ditetapkan sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan.
Contoh kasus:
Jika pengendara ditilang karena dianggap melanggar batas kecepatan, tetapi
memiliki bukti bahwa ia tidak melampaui batas kecepatan (misalnya melalui
rekaman GPS atau foto speedometer), maka ia berhak meminta tilang merah dan
membela diri di pengadilan.
Tilang Biru: Pengakuan dan Penyelesaian Administratif
Berbeda dari tilang merah, surat tilang biru diberikan kepada pengendara
yang mengakui kesalahan dan bersedia menyelesaikan denda secara langsung
tanpa melalui pengadilan.
Karakteristik utama:
-
Menunjukkan sikap kooperatif pengendara dengan mengakui kesalahan di
tempat;
-
Denda dapat langsung dibayarkan melalui sistem virtual account,
khususnya via Bank BRI;
-
Setelah pembayaran dilakukan, pengendara dapat mengambil kembali dokumen
kendaraan (STNK/SIM) yang ditahan oleh petugas;
-
Tilang biru mengedepankan efisiensi proses penindakan dan menghindari beban
administratif pengadilan.
Contoh kasus:
Pengendara yang melanggar lampu merah dan menyadari kesalahannya dapat
langsung menerima surat tilang biru dan menyelesaikan kewajibannya dengan
membayar denda.
Perbandingan dan Fungsinya dalam Proses Hukum
Aspek |
Tilang Merah |
Tilang Biru |
Sikap pengendara |
Tidak mengakui kesalahan |
Mengakui kesalahan |
Proses hukum |
Melalui persidangan |
Penyelesaian administratif langsung |
Dokumen yang ditahan |
SIM atau STNK |
SIM atau STNK |
Cara pengembalian dokumen |
Setelah sidang selesai |
Setelah bukti pembayaran diserahkan |
Pembayaran |
Ditentukan oleh hakim setelah persidangan |
Melalui transfer ke virtual account BRI |
Tujuan |
Memberikan hak pembelaan |
Efisiensi dan percepatan penindakan |
Jenis Warna Blangko Tilang Lainnya
Selain warna merah dan biru, tilang terdiri dari lima rangkap blangko
berbeda warna yang masing-masing memiliki fungsi administratif:
-
Warna merah: untuk pelanggar (jika memilih jalur pengadilan);
-
Warna biru: untuk pelanggar (jika menyetujui denda di tempat);
-
Warna kuning: arsip untuk Kepolisian;
-
Warna putih: arsip untuk Kejaksaan;
-
Warna hijau: arsip untuk Pengadilan.
Sanksi dan Besaran Denda
Berdasarkan UU tentang LLAJ, besaran denda maksimal terhadap pelanggaran
lalu lintas berbeda-beda tergantung jenis pelanggarannya. Beberapa di
antaranya:
-
Pasal 287 ayat (1): Melanggar rambu lalu lintas – denda maksimal
Rp500.000;
-
Pasal 287 ayat (5): Melebihi batas kecepatan – denda maksimal
Rp500.000.
-
Pasal 288 ayat (1): Tidak membawa STNK/SIM – denda maksimal Rp500.000.
-
Pasal 281: Mengemudi tanpa SIM – denda maksimal Rp1.000.000.
Evolusi Kebijakan: antara Tilang Manual dan Elektronik
Penegakan hukum di bidang lalu lintas mengalami transformasi signifikan
dalam beberapa tahun terakhir, dari sistem berbasis manual yang mengandalkan
interaksi langsung antara petugas dan pelanggar, menuju sistem digital yang
berbasis teknologi dan bukti elektronik. Pergeseran ini mencerminkan respons
institusional terhadap tuntutan akuntabilitas publik, pencegahan pungutan
liar (pungli), serta adaptasi terhadap kemajuan teknologi.
Pada tahun 2022, Kapolri mengeluarkan Surat Telegram Kapolri Nomor
ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022 yang secara eksplisit memerintahkan penghentian
penindakan pelanggaran lalu lintas secara manual oleh Satuan Lalu Lintas
Polri. Tujuan utamanya adalah:
a)
Mengurangi potensi penyimpangan dan pungli oleh oknum petugas di
lapangan;
b)
Mendorong transformasi digital dalam penegakan hukum;
c)
Meningkatkan transparansi dan objektivitas, melalui Electronic Traffic Law
Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik.
Pada fase ini, tilang manual hanya diperbolehkan dalam konteks kecelakaan
lalu lintas atau pelanggaran yang tidak bisa ditindak oleh sistem ETLE.
Namun, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa belum semua wilayah memiliki
infrastruktur ETLE yang memadai. Maka, Kapolri kembali menerbitkan Surat
Telegram Nomor ST/380/IV.HUK.6.2/2023, yang memulihkan sebagian kewenangan
penegakan tilang manual, dengan batasan ketat dan pelanggaran prioritas
tertentu.
Tilang manual diberlakukan untuk jenis pelanggaran dengan potensi fatalitas
tinggi, antara lain:
a)
Melawan arus lalu lintas;
b)
Penggunaan kendaraan dengan pelat nomor palsu;
c)
Pengendara kendaraan bermotor oleh anak di bawah umur;
d)
Berkendara sambil menggunakan ponsel;
e)
Tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman;
f)
Berkendara dalam keadaan mabuk atau melebihi batas kecepatan.
Surat telegram tersebut juga mengatur batasan bagi petugas, dengan
mengedepankan pendekatan persuasif, profesional, dan dilarang keras
melakukan pungutan di luar ketentuan.
Penguatan Struktur Digital melalui Peraturan Kepolisian Nomor 2 Tahun 2025
Sebagai tonggak regulatif utama, Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penegakan Hukum Lalu Lintas melalui
ETLE (selanjutnya disebut Perpol 2/2025), menetapkan kerangka hukum
digitalisasi sistem tilang. Beberapa ketentuan kunci dalam peraturan ini
antara lain:
1) Pasal 8 s.d. Pasal 12 Perpol 2/2025: Menetapkan tahapan mulai dari pendeteksian pelanggaran melalui kamera
ETLE, verifikasi data melalui
Electronic Registration and Identification (ERI), hingga penerbitan
Surat Konfirmasi Pelanggaran kepada pemilik kendaraan.
2)
Pasal 13 ayat (2): Jika pemilik kendaraan tidak merespons atau membantah pelanggaran,
pemblokiran data STNK dilakukan melalui sistem ERI untuk mencegah proses
administrasi kendaraan berikutnya.
3)
Pasal 14: Mengatur metode pembayaran denda yang dilakukan secara non-tunai melalui
virtual account, menutup celah penyimpangan transaksi langsung antara
pelanggar dan petugas.
4) Pasal 15: Menegaskan integrasi data tilang dengan sistem peradilan, termasuk
penginputan berkas perkara ke sistem e-Tilang milik Polri.
Mekanisme E-Tilang dan Pertanggungjawaban Hukum
Sejak diberlakukannya sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) sebagai bentuk digitalisasi dalam penegakan hukum lalu lintas, mekanisme pemrosesan pelanggaran kini dilakukan secara elektronik berbasis bukti rekaman. Proses ini mengurangi interaksi langsung antara pelanggar dan petugas, meningkatkan akuntabilitas, serta memberi ruang pembelaan yang adil sesuai asas due process of law. Berikut adalah tahapan serta hak dan kewajiban yang melekat dalam sistem e-Tilang.
Alur Penindakan Elektronik (ETLE)
Identifikasi, Verifikasi, dan Konfirmasi
Sistem ETLE dimulai dengan pendeteksian pelanggaran lalu lintas oleh kamera
yang telah terpasang di titik-titik strategis. Kamera ini secara otomatis
merekam data kendaraan dan pelanggaran yang terjadi, seperti menerobos lampu
merah, tidak memakai helm, atau melanggar marka jalan.
Data pelanggaran tersebut selanjutnya diverifikasi oleh petugas operator
yang terhubung dengan
Electronic Registration and Identification (ERI) untuk mencocokkan
informasi kendaraan, kepemilikan STNK, dan nomor polisi.
Setelah diverifikasi, Polri mengirimkan surat konfirmasi pelanggaran kepada
alamat pemilik kendaraan yang tercatat di ERI, untuk memastikan bahwa
pelanggaran benar-benar dilakukan oleh yang bersangkutan atau pihak
lain.
Penerbitan Surat Tilang dan Nomor Pembayaran
Jika pemilik kendaraan mengakui pelanggaran melalui konfirmasi daring, maka
sistem akan secara otomatis menerbitkan:
a)
Surat Tilang elektronik, dan
b)
Nomor pembayaran virtual account, yang digunakan untuk melakukan pembayaran
denda secara non-tunai.
Proses ini diatur dalam Pasal 14 Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 (Perpol 2/2025), yang menyebutkan bahwa
pembayaran denda dilakukan melalui kode pembayaran virtual pada bank yang
ditunjuk (seperti Bank BRI).
Penyelesaian Perkara dan Proses Persidangan
Dalam hal pelanggar tidak menyetujui pelanggaran yang dituduhkan, mereka
berhak mengajukan keberatan. Jika keberatan diajukan, maka perkara akan
diteruskan ke pengadilan, dan pelanggar akan diberi jadwal untuk mengikuti
persidangan tilang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 (Perma 12/2016).
Hakim akan memeriksa pembuktian dan memutus apakah pelanggaran terbukti
atau tidak. Keputusan hakim bersifat final dan akan menentukan besaran denda
yang harus dibayarkan.
Hak Pelanggar dalam Mekanisme ETLE
Konfirmasi dan Sanggahan
Pemilik kendaraan memiliki hak untuk:
a)
Mengonfirmasi pelanggaran, apabila benar dilakukan;
b)
Menyanggah pelanggaran, jika merasa tidak melakukannya (misalnya kendaraan
telah dijual atau dipinjamkan kepada pihak lain).
Konfirmasi dan sanggahan dapat dilakukan melalui situs resmi ETLE yang
disediakan oleh Korlantas Polri, dan harus dilakukan dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam surat konfirmasi. Bila tidak ada tanggapan, proses
dilanjutkan ke tahap sanksi administratif.
Pemblokiran STNK dan Sanksi Lainnya
Jika tidak ada konfirmasi atau pelanggar mengabaikan surat tilang, maka
sesuai Pasal 13 ayat (2) Perpol 2/2025, sistem akan:
a)
Melakukan pemblokiran STNK di ERI;
b)
Menangguhkan pengurusan administrasi kendaraan, termasuk perpanjangan pajak
atau balik nama, hingga denda diselesaikan.
Pemblokiran bersifat administratif dan bertujuan untuk memaksa kepatuhan
pelanggar dalam menyelesaikan kewajiban hukumnya.
Cek Status dan Pembayaran Denda Tilang
Melalui Website Resmi Polri dan Kejaksaan
Untuk mengetahui status pelanggaran dan denda, pelanggar dapat
mengakses:
a)
https://etle.polri.go.id/
(nasional);
b)
https://www.etle-kalbar.info/id/
(di wilayah Polda Kalbar);
c)
Serta situs resmi Kejaksaan RI untuk melihat informasi persidangan dan
eksekusi denda di
https://tilang.kejaksaan.go.id/.
Setiap pelanggaran terekam dan memiliki nomor registrasi tilang yang dapat
digunakan untuk melacak status proses hukum.
Alur Pembayaran Virtual dan Bukti Pembayaran
Setelah memperoleh nomor virtual account, pelanggar dapat membayar denda
melalui:
a)
ATM;
b)
Mobile banking;
c)
Teller bank rekanan (misalnya Bank BRI).
Setelah pembayaran dilakukan, pelanggar akan memperoleh bukti pembayaran
elektronik, dan status pelanggaran dinyatakan selesai.
Jika sebelumnya terdapat pemblokiran STNK, maka setelah pembayaran denda
dikonfirmasi oleh sistem, status STNK akan dibuka kembali dalam ERI.
Perspektif Yuridis Normatif Dan Sosiologis
Upaya penindakan terhadap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(LLAJ), baik melalui tilang manual maupun sistem elektronik (ETLE), tidak
dapat dilepaskan dari kerangka berpikir hukum yang utuh—yakni antara
legal-formal (yuridis normatif) dan realitas empiris (yuridis sosiologis).
Keduanya menjadi lensa penting untuk menilai bagaimana hukum tidak hanya
ditegakkan, tetapi juga diterima dan berdampak pada masyarakat.
Rasio Legis Penindakan Pelanggaran LLAJ
Penegakan hukum lalu lintas bertujuan menjaga keselamatan pengguna jalan
dan keteraturan ruang publik. Rasio legis (tujuan pembentukan norma) dari UU
tentang LLAJ adalah untuk:
-
Mewujudkan lalu lintas yang aman, selamat, tertib dan lancar (vide
Pasal 3 huruf a);
-
Melindungi hak pengguna jalan secara setara;
-
Menciptakan budaya berlalu lintas yang beretika dan taat hukum.
Bentuk konkret dari tujuan ini adalah pelaksanaan sistem penilangan sebagai
instrumen penegakan administratif terhadap perilaku berkendara yang
menyimpang. Penilangan bukan semata bentuk pemidanaan ringan, melainkan
langkah preventif dan korektif untuk mencegah kecelakaan dan pelanggaran
berulang.
Efektivitas dan Kendala Penegakan Tilang Manual
Meskipun tilang manual telah lama diterapkan dan memiliki payung hukum yang
jelas, efektivitasnya di lapangan sering kali terbentur pada beberapa
kendala:
1.
Subjektivitas Petugas di Lapangan
Tilang manual sangat bergantung pada diskresi petugas. Dalam banyak kasus,
ini membuka ruang untuk penyimpangan, baik dalam bentuk pungutan liar
(pungli) maupun intimidasi.
2.
Minimnya Akuntabilitas dan Dokumentasi
Tidak ada rekaman elektronik atau bukti sahih lain yang menyertai
penindakan tilang manual, sehingga pelanggar sulit mengajukan keberatan
secara objektif, dan rawan terjadinya manipulasi.
3.
Kesenjangan Prosedur antar Wilayah
Implementasi tilang manual sering kali tidak seragam di berbagai daerah.
Ada wilayah yang sangat represif, ada pula yang longgar karena minim
pengawasan atau personel.
4.
Beban Administratif pada Lembaga Penegak Hukum
Tilang manual menambah beban kerja polisi, kejaksaan, dan pengadilan.
Sistem manual memperlambat alur perkara dan memperbesar potensi backlog
kasus lalu lintas.
Walaupun tilang manual tetap dibutuhkan—terutama di wilayah yang belum
memiliki infrastruktur ETLE—penekanannya harus pada pengawasan yang ketat,
prosedur standar yang seragam, dan perlindungan terhadap hak pelanggar.
Dinamika Sosial: Kepercayaan Publik dan Ketertiban Lalu Lintas
Penegakan hukum hanya efektif jika disertai legitimasi sosial. Dalam
konteks lalu lintas, ada relasi erat antara tingkat kepercayaan publik
terhadap aparat penegak hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan lalu
lintas.
Beberapa dinamika sosial yang perlu dicermati:
1)
Defisit Kepercayaan terhadap Petugas di Lapangan
Banyak pengendara menganggap tilang manual sebagai peluang “damai di
tempat”, alih-alih proses hukum. Hal ini menunjukkan rendahnya kepercayaan
pada prosedur hukum yang adil.
2)
Tingkat Literasi Hukum yang Rendah
Sebagian besar masyarakat tidak memahami hak mereka dalam proses tilang,
tidak tahu cara menyanggah atau menghadiri sidang, serta tidak terbiasa
dengan mekanisme digital.
3)
Stigma Terhadap Aparat dan Kriminalisasi Ringan
Penindakan pelanggaran ringan secara represif dapat memicu resistensi
sosial. Tilang dipandang sebagai bentuk pemerasan negara, bukan pengaturan
sosial untuk kepentingan bersama.
4)
Kebutuhan Akan Konsistensi dan Edukasi Publik
Ketertiban tidak hanya dibentuk oleh sanksi, tetapi juga oleh konsistensi
penegakan dan edukasi yang berkelanjutan. Jika masyarakat melihat adanya
ketimpangan atau tebang pilih, maka efektivitas hukum menjadi lemah.
Simpulan Sementara
Dari perspektif yuridis normatif, sistem penilangan harus menjamin
kepastian hukum, keadilan prosedural, dan efektivitas penindakan. Sementara
itu, dari perspektif sosiologis, keberhasilan sistem hukum lalu lintas tidak
diukur dari seberapa banyak denda dijatuhkan, melainkan dari seberapa besar
kepatuhan sukarela masyarakat terbentuk secara kultural.
Integrasi pendekatan teknologi melalui ETLE, pembatasan tilang manual
secara bijak, serta penguatan edukasi hukum publik akan menjadi pilar utama
dalam membentuk budaya berlalu lintas yang beradab dan konstitusional.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.