Pertanyaan
Selamat malam bang, mau nanya, apakah kasus tipikor bisa di-RJ-kan?
Sebelumnya perkenalkan saya praktisi juga bang sekaligus pemerhati Tipikor
di daerah. Kemarin dana Pembangunan terkait kontrak kerja daerah untuk
proyek nilai proyeknya memang tidak besar bang, kerugian negara hanya 23
juta saja. Hingga akhirnya pihak aparat penegak hukum tidak melanjutkan dan
prosesnya di-RJ-kan begitu? Padahal ini kualifikasinya tindak pidana
korupsi, jadi tipikor bisa di-RJ-kan ya bang? Mohon pencerahannya, terima
kasih.
Pendahuluan
Memang pernah ada wacana penerapan keadilan
restoratif terhadap perkara tindak pidana korupsi oleh beberapa orang
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menuai penolakan dari banyak kalangan.
Penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi
menimbulkan kontroversi yang tajam, baik dari sudut pandang yuridis maupun
etis. Secara normatif, pendekatan ini secara eksplisit bertentangan dengan
ketentuan
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,
selanjutnya disebut dengan “UU tentang Tipikor” yang menyatakan
bahwa:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Dengan demikian, pengembalian kerugian negara bukanlah alasan yang sah untuk menghentikan proses hukum, baik pada tahap penyidikan maupun penuntutan. Maka dari itu, penerapan restorative justice dalam konteks korupsi bukan hanya melanggar norma hukum positif, tetapi juga berpotensi melemahkan integritas sistem peradilan pidana itu sendiri.
Lebih dari sekadar pelanggaran prosedural, restorative justice dalam
kasus korupsi membuka ruang yang sangat berbahaya yaitu menjadi sarana
impunitas terselubung dan mekanisme baru bagi koruptor untuk menghindari
pertanggungjawaban pidana. Jika paradigma ini dilegalkan, maka akan tercipta
insentif psikologis dan sosial bagi masyarakat untuk melakukan korupsi,
dengan asumsi bahwa ‘asalkan dikembalikan, hukum akan lunak’.
Bayangkan apabila korupsi sebesar Rp23 juta dilakukan oleh ratusan ribu
orang di seluruh Indonesia—maka total kerugian negara akan membengkak, dan
sistem hukum kita hanya menjadi fasilitator pengampunan massal.
Dalam konteks ini, restorative justice tidak hanya keliru secara
hukum, tetapi juga secara filosofis dan politis. Ia mereduksi kejahatan
korupsi menjadi sekadar konflik antara pelaku dan negara sebagai korban
ekonomi, padahal korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural terhadap
masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu dilakukan telaah kritis terhadap
wacana ini, dengan membaca lebih dalam struktur ideologi dan logika kuasa
yang beroperasi di balik upaya “memulihkan” sesuatu yang sejatinya merupakan
perusakan sistemik terhadap kepentingan publik.
Latar Belakang yang Perlu Diperhatikan secara Konseptual
Wacana penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi tidak lahir dari keinginan untuk menghancurkan keadilan, melainkan dari krisis yang dialami oleh sistem peradilan pidana itu sendiri. Sistem yang lambat, mahal, dan tidak responsif terhadap keadilan substantif telah memunculkan kerinduan terhadap pendekatan alternatif yang mengutamakan pemulihan, dialog, dan efisiensi. Namun, ketika pendekatan restoratif diterapkan pada kejahatan luar biasa seperti korupsi, ia justru membuka celah legitimasi terhadap impunitas struktural.
Korupsi bukanlah kejahatan biasa. Ia adalah bentuk kekerasan institusional
yang mencuri dari masa depan publik. Dalam hukum pidana modern, korupsi
diakui sebagai kejahatan terhadap sistem, bukan sekadar pelanggaran terhadap
individu. Namun pendekatan restorative justice, yang menekankan pada
dialog antara pelaku dan korban, justru menyempitkan definisi korban
dalam kasus korupsi menjadi sekadar kerugian negara yang dapat dipulihkan
secara ekonomis.
Dalam sistem hukum Indonesia, prinsip
nullum crimen sine poena ditegaskan secara tegas dalam Pasal 4 UU
tentang Tipikor yang sudah disebutkan di atas, yaitu bahwa:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3.”
Ketentuan ini menjelaskan secara mutlak bahwa
pemulihan materiil bukanlah pengganti dari pertanggungjawaban pidana. Namun, dalam praktiknya, beberapa lembaga penegak hukum justru memberikan
ruang penyelesaian restoratif terhadap perkara korupsi berdalih kerugian
negara “tidak signifikan”. Di sinilah muncul
ketegangan antara hukum sebagai norma dan hukum sebagai taktik.
Memang betul, pemidanaan dalam hukum pidana tidak semata ditujukan untuk
memberikan penderitaan. Sebagaimana dikritik oleh Aleksandar Fatic,
pemidanaan tidak boleh hanya menjadi ajang pembalasan, tetapi harus menjawab
kebutuhan etis dan sosial dari korban dan masyarakat secara keseluruhan.[1]
Paradigma retributif justice yang mendasari pemidanaan dalam korupsi,
sejatinya, bukanlah semata-mata persoalan moralistik, melainkan protektif
terhadap struktur sosial dan kepercayaan publik.
Namun jika pendekatan restoratif dimaknai sebagai pengampunan tanpa
pengakuan dan penebusan, ia justru menjadi bentuk baru dari de-legitimasi
negara dalam menegakkan etika publik. Kant menyatakan bahwa “hukuman bukanlah instrumen untuk mencapai kebahagiaan, melainkan
kewajiban moral negara terhadap keadilan”.[2]
Demikian pula Hegel berpendapat bahwa hukum pidana adalah mekanisme
negara untuk mengembalikan pelanggaran terhadap kehendak umum kepada tatanan
yang sah.[3]
Dalam konteks ini, negara tidak sedang bernegosiasi dengan pelaku korupsi,
tetapi menegakkan ulang kontrak sosial yang telah dicederai. Maka,
apabila korupsi diselesaikan hanya dengan pengembalian kerugian negara,
kita sedang mengganti kontrak sosial dengan kontrak bisnis.
Paradoks ini semakin dalam ketika restorative justice dimaknai
sebagai sarana efisiensi fiskal. Benar bahwa proses peradilan memakan biaya
negara. Tetapi memaafkan koruptor demi efisiensi anggaran justru menempatkan
negara dalam posisi yang sama seperti korban pemerasan yang memilih membayar
uang tutup mulut yaitu murah sekarang, mahal selamanya.
John Rawls menegaskan bahwa sistem hukum yang adil harus mengandung tiga
elemen, antara lain keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.[4]
Dalam penerapan restorative justice pada tindak pidana ringan,
prinsip ini saling melengkapi. Tetapi dalam konteks korupsi,
kemanfaatan prosedural sering mengorbankan kepastian hukum dan
keadilan substantif. Akibatnya, hukum kehilangan taring dan negara
kehilangan martabatnya.
Apa yang dikhawatirkan bukan hanya impunitas terhadap satu dua orang,
tetapi terciptanya kultur kebijakan restoratif yang menjadikan
korupsi sebagai kejahatan “yang bisa dinegosiasikan”. Ini adalah jalan sunyi
menuju normalisasi pelanggaran etik, dan sekaligus penegasan bahwa negara
tidak benar-benar percaya pada hukum yang ia buat sendiri.
Pengembalian Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi: antara Rekonstruksi Keadilan dan Erosi Akuntabilitas
Satu di antara elemen konstitutif dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Tipikor, serta dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 5 Desember 2016, selanjutnya disebut dengan “Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016”. Kedua pasal tersebut kini secara normatif memuat konstruksi delik materiil, bukan lagi delik formil sebagaimana sebelumnya, karena kata “dapat” telah dihapus sebagai hasil uji materiil Mahkamah Konstitusi. Artinya, kerugian negara bukan lagi suatu kemungkinan, tetapi harus nyata dan terukur secara faktual.
Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. Putusan MK No.
25/PUU-XIV/2016 menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun
dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”
Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 menyatakan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20
tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1
miliar.”
Transformasi ini penting karena menjadikan kerugian negara sebagai tolok ukur material kejahatan. Namun, problem muncul ketika wacana restorative justice diperkenalkan ke dalam kasus-kasus korupsi yang secara nyata telah menimbulkan kerugian keuangan negara. Dalam konteks ini, pengembalian kerugian negara tidak dapat serta-merta menjadi alasan penghapusan pidana, karena hal itu jelas bertentangan dengan doktrin hukum pidana publik dan prinsip non-derogable yang melekat pada tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut, Pasal 18 UU tentang Tipikor mengatur secara rinci
bentuk-bentuk pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, antara
lain:
1.
Perampasan barang, termasuk barang tidak berwujud atau perusahaan milik terpidana;
2.
Pembayaran uang pengganti, yang nilainya sebesar mungkin menyamai kerugian negara;
3.
Penutupan perusahaan, maksimal selama 1 tahun;
4.
Pencabutan hak-hak tertentu, termasuk fasilitas yang pernah diberikan pemerintah.
Ketentuan ini tidak hanya memperlihatkan pendekatan penghukuman yang
bersifat represif, tetapi juga
restoratif dalam kerangka pemulihan institusional, bukan individual.
Uang pengganti di sini bukanlah “kompensasi damai”, tetapi mekanisme
perampasan secara hukum yang bertujuan untuk merestorasi kerugian negara
melalui paksaan legal, bukan kesepakatan konsensual.
Sejalan dengan itu, konsep pengembalian kerugian negara sebagai bentuk
tanggung jawab pelaku juga ditegaskan dalam doktrin hukum pidana modern.
Barda Nawawi Arief menyebut bahwa pidana tambahan seperti pembayaran
uang pengganti sesungguhnya adalah bentuk mediasi penal dalam ranah publik,
yang bertujuan untuk melengkapi pidana pokok, bukan menggantikannya.[5]
Oleh karena itu, logika restorative justice yang menempatkan
pemulihan sebagai pengganti pidana tidak dapat diberlakukan begitu saja
dalam kasus korupsi, tanpa mengkhianati desain hukum yang ada.
Lebih radikal lagi, Jan Remmelink dalam komentarnya atas KUHP Belanda menegaskan bahwa pidana dalam konteks kejahatan publik seperti korupsi haruslah bersifat restitutif dan preventif, tetapi tidak bisa dilepaskan dari fungsi pembalasan simbolik oleh negara sebagai representasi moral kolektif masyarakat.[6] Dengan kata lain, negara tidak boleh tunduk pada transaksi.
Masalah terbesar dari penerapan restorative justice dalam korupsi
terletak pada kemungkinan reduksi perbuatan kriminal menjadi kesepakatan
privat. Jika kerugian negara hanya diukur dari nilai uang dan dapat
digantikan oleh pembayaran sukarela, maka korupsi tidak lagi dipandang
sebagai pelanggaran terhadap tatanan hukum, melainkan sebagai “kesalahan
ekonomi” yang bisa dikompensasikan. Ini akan membenarkan kecenderungan
masyarakat yang memandang korupsi sebagai kejahatan yang layak dilakukan,
selama pelaku bersedia “mengembalikan”.
Dalam kerangka inilah kita melihat bahwa pengembalian kerugian negara
memang merupakan elemen penting dari keadilan dalam perkara korupsi, tetapi
bukan sebagai akhir dari proses hukum, melainkan
syarat minimum untuk penegakan akuntabilitas penuh. Pemidanaan tetap
harus berjalan, bukan demi dendam, tetapi demi pembuktian bahwa hukum tidak
tunduk pada nilai tawar.
Distorsi Restoratif dan Karakter Kejahatan Korupsi: antara Ilusi Pemulihan dan Realitas Perusakan Sosial
Konsekuensi dari kejahatan korupsi bukan sekadar berkurangnya angka dalam
neraca keuangan negara. Ia memukul langsung jantung pelayanan publik,
merampas hak-hak dasar warga negara, dan mencederai prinsip keadilan
distributif. Pajak yang dibayarkan rakyat dengan harapan dialokasikan untuk
pembangunan dan pelayanan sosial, justru dialihkan menjadi komoditas privat
bagi kepentingan pribadi pejabat yang korup. Ketika dana publik dikorupsi,
maka yang dirampas bukan hanya uang, melainkan masa depan kolektif
bangsa.
Dengan demikian, penerapan restorative justice dalam tindak pidana
korupsi, bahkan untuk nilai kerugian sebesar Rp100 juta, tidak dapat
dibenarkan. Korupsi bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan
tindakan sadar dan sistemik yang dilakukan oleh mereka yang memiliki
kekuasaan, jabatan, dan akses terhadap anggaran. Dalam tradisi hukum pidana,
pelaku kejahatan seperti ini tidak layak diperlakukan sebagai pihak yang
“dapat dimaafkan” hanya karena mengembalikan kerugian. Sebaliknya,
seharusnya berlaku prinsip pemberatan pidana, karena pelaku menggunakan
kekuasaan publik sebagai alat eksploitasi privat.
Ketegasan negara terhadap hal ini terlihat dalam
rumusan Pasal 4 UU tentang Tipikor yang menyatakan:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3.”
Frasa “tidak menghapuskan dipidananya” bukan sekadar redaksi, tetapi
refleksi dari doktrin pemidanaan publik yang menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap keuangan negara bukan persoalan personal antara pelaku
dan negara, melainkan pelanggaran terhadap kehendak umum masyarakat.
Pemaafan dalam konteks ini bukanlah hak negara, melainkan pengkhianatan
terhadap mandat konstitusionalnya.
Sebagian pihak berdalih bahwa dalam ranah pemerintahan, kekeliruan prosedur
atau ketidaktertiban penggunaan anggaran adalah hal teknis yang seharusnya
diselesaikan secara administratif, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disebut dengan “UU tentang BPK”. Memang benar,
BPK berperan sebagai lembaga auditor keuangan negara, dan kekeliruan
administratif tidak serta-merta menjadi korupsi. Namun apabila kesalahan
prosedur tersebut
dilakukan dengan kesengajaan, demi keuntungan pribadi atau pihak lain, maka konstruksi hukum pidananya bergeser menjadi tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini, unsur perbuatan melawan hukum telah terpenuhi, dan pelaku
dapat dijerat dengan
pasal-pasal penyalahgunaan wewenang, suap, maupun gratifikasi.
Adapun restorative justice, dalam doktrin internasional, mensyaratkan adanya kesepakatan antara pelaku dan korban. Dalam konteks penganiayaan atau pencemaran nama baik, logika ini masih relevan. Namun bagaimana mungkin seorang pelaku korupsi berdamai dengan seluruh warga Indonesia sebagai korban? Siapa yang mewakili jutaan suara yang dirampas akses kesejahteraannya? Apakah rakyat akan diminta melakukan voting untuk memaafkan seorang koruptor? Ini adalah absurditas hukum yang tidak dapat diterima secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Jika argumen restorative justice hendak diarahkan pada pemulihan kerugian
negara, maka instrumen yang sah telah tersedia di dalam
Pasal 18 ayat (1) UU tentang Tipikor, yang menyatakan:
“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a.
perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;
b.
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c.
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
tahun;
d.
pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh Pemerintah kepada terpidana.”
Kombinasi pasal ini dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang mana dicabut sebagian ketentuannya oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
khususnya beberapa ketentuan seperti Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang selanjutnya disebut dengan
“UU tentang TPPU”, telah memberikan kekuatan maksimal bagi aparat
penegak hukum untuk merampas kembali seluruh nilai ekonomi dari hasil
kejahatan korupsi. Maka, tidak ada kebutuhan legal maupun logis untuk
mendorong pendekatan restoratif yang justru
mendistorsikan prinsip pertanggungjawaban pidana (strafrechtelijke aansprakelijkheid
atau toerekenbaarheid).
Penghapusan pidana badan dengan menggantinya melalui mekanisme
administratif atau teknis internal lembaga penegak hukum, tanpa dasar dalam
undang-undang, adalah bentuk penyimpangan hukum. Jika
restorative justice benar-benar ingin dimasukkan ke dalam hukum
korupsi, maka jalurnya adalah pembahasan formal di parlemen, bukan melalui
peraturan internal kepolisian, kejaksaan, atau lembaga teknis lainnya. Dalam
prinsip demokrasi dan rule of law, tidak ada ruang bagi produk hukum
subordinatif untuk mengabaikan norma undang-undang yang bersifat
imperatif.
Pengembalian Uang Korupsi: Niat Baik atau Strategi Elusif?
Pertanyaan mengenai apakah seorang pelaku tindak pidana korupsi dapat bebas
dari hukuman apabila mengembalikan kerugian negara secara sukarela sebelum
proses peradilan selesai, telah lama menjadi isu yang memunculkan dilema
antara hukum positif dan “etos pemulihan.” Namun, jawabannya telah secara
tegas dipancangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang Tipikor yang
sudah kami jabarkan di atas sebagai berikut:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3.”
Norma tersebut bukan sekadar klausul teknis, melainkan prinsip normatif
yang menunjukkan bahwa dalam perkara korupsi, pemulihan ekonomi tidak
serta-merta berarti pemulihan keadilan. Bahkan dalam
Penjelasan Pasal 4, ditegaskan:
“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan
pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor
yang meringankan.”
Dengan demikian, pengembalian dana—bahkan jika dilakukan secara sukarela
sebelum putusan—bukanlah alasan penghapus pidana, melainkan dapat
dinilai sebagai faktor perilaku kooperatif dalam menentukan berat
ringannya pidana. Konsepsi ini memberikan ruang etik kepada hakim untuk
mempertimbangkan iktikad baik pelaku dalam kerangka pembalasan yang
proporsional.
Hal ini dapat dilihat dalam
Putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor 53/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Kpg, tertanggal 2 Desember 2015, di mana majelis hakim mempertimbangkan
pengembalian kerugian negara sejumlah Rp100 juta oleh terdakwa sebagai
faktor yang meringankan, dan menjatuhkan pidana selama 1 tahun 10 bulan,
lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang semula 2 tahun 6 bulan.
Pertimbangan ini penting, tetapi tidak menghapus pidananya. Pelaku tetap
harus menjalani hukuman badan karena telah memenuhi seluruh unsur dalam
Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU Tipikor.
Dalam kerangka
teori pertanggungjawaban pidana (toerekenbaarheid), seorang
terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman
hanya jika terdapat alasan penghapus pidana yang sah dan terbukti
secara hukum (ontoerekeningsvatbaarheid). Alasan penghapus pidana
dibedakan menjadi dua, antara lain alasan pembenar (seperti keadaan
darurat atau pembelaan terpaksa), dan alasan pemaaf (seperti daya
paksa atau gangguan jiwa). Rujukan hukum terhadap alasan-alasan ini
tercantum dalam
Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 KUHP
lama, serta pada
Pasal 31 s.d. Pasal 34 dan Pasal 38 s.d. Pasal 44 UU No. 1 Tahun 2023
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru)
yang akan berlaku pada 2026 berdasarkan ketentuan
Pasal 624 UU No. 1 Tahun 2023.
Sebagai contoh, Pasal 48 KUHP lama dan
Pasal 33 UU 1/2023 mengatur tentang keadaan darurat sebagai alasan
pembenar:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana.”
Namun, dalam praktik perkara korupsi, pembuktian bahwa pelaku berada dalam
tekanan atau situasi darurat yang memaksanya melakukan perbuatan melawan
hukum sangat sulit diterima. Korupsi—dengan segala keterencanaannya,
struktur kekuasaan yang menyertainya, dan aktor-aktor yang memiliki
otoritas—tidak memiliki karakteristik spontanitas yang dapat dibenarkan oleh
keadaan darurat.
Justru yang terjadi adalah sebaliknya: pengembalian dana kerap digunakan
sebagai strategi taktis untuk mencari keringanan, atau bahkan
membangun citra moral yang manipulatif di hadapan publik dan pengadilan.
Dalam logika hukum pidana modern, tindakan ini dapat disebut sebagai upaya
post-facto mitigation, bukan dasar penghapusan tanggung jawab hukum.
Bahaya terbesar dari normalisasi pengembalian kerugian negara sebagai
“sarana impunitas” adalah penciptaan persepsi bahwa hukum bisa
dinegosiasikan. Ini mereduksi kejahatan struktural menjadi sekadar transaksi
etik. Jika masyarakat melihat bahwa mengembalikan uang cukup untuk
menghindari penjara, maka korupsi tidak lagi ditakuti, melainkan dihitung
sebagai risiko investasi.
Dalam kerangka hukum pidana progresif, sistem pidana harus tidak hanya
mendidik individu tetapi juga mendisiplinkan struktur. Oleh karena itu,
menghapus pidana dengan pengembalian dana adalah langkah mundur dari misi
negara hukum itu sendiri.
Kemudian, untuk menjawab pertanyaan Anda, apakah pengembalian
kerugian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) dapat dijadikan
dasar penghentian proses pidana? Ataukah, pengembalian kerugian hanya
berperan sebagai strafverminderende omstandigheid (keadaan yang
meringankan hukuman)?
Kami kembali menegaskan bahwa dalam hukum positif Indonesia,
pengembalian kerugian negara oleh pelaku tipikor tidak menghapuskan
pertanggungjawaban pidana. Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 4 UU tentang Tipikor yang
sudah kami jelaskan di atas.
Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 4,
ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara semata-mata merupakan salah
satu faktor yang dapat meringankan pidana, bukan menghapuskan perbuatan
pidana. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan restoratif—yang pada dasarnya
menekankan pada pemulihan (restoration)—tidak kompatibel secara
normatif dengan model penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia.
Konsep ini ditegaskan pula dalam praktik peradilan sebagaimana juga telah kami tegaskan di atas, dalam
Putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor 53/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Kpg,
tertanggal 2 Desember 2015, majelis hakim mempertimbangkan bahwa
pengembalian kerugian negara oleh terdakwa sejumlah Rp100 juta merupakan
bentuk iktikad baik. Namun, terdakwa tetap dijatuhi pidana penjara selama 1
tahun 10 bulan, meskipun tuntutan jaksa semula 2 tahun 6 bulan. Hal ini
menunjukkan bahwa restitusi ekonomi hanya berdampak pada pengurangan berat
hukuman, bukan eliminasi tanggung jawab pidana.
Bahkan dalam perkara lain,
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 55 PK/Pid/2016,
tertanggal 7 November 2016, Mahkamah Agung menegaskan bahwa penghentian
penyidikan dalam kasus tipikor yang telah menimbulkan kerugian negara
sebesar Rp5,1 miliar dinilai tidak sah dan harus dilanjutkan. Mahkamah
secara eksplisit menolak dalih penghentian dengan alasan tidak cukup bukti,
jika di kemudian hari ditemukan bukti kuat atas kerugian negara. Ini menjadi
bukti yuridis bahwa pengembalian dana tidak serta merta menghentikan proses
hukum.
Lebih jauh,
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang selanjutnya disebut “Perma 1/2024” menyatakan bahwa penerapan
keadilan restoratif:
“...tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana”
(vide Pasal 3 ayat (2) Perma 1/2024).
Perma tersebut juga membatasi jenis perkara yang dapat dipertimbangkan
untuk RJ, yakni tindak pidana ringan, delik aduan, atau perkara dengan
ancaman di bawah 5 tahun. Pasal 6 Perma ini dengan jelas mengesampingkan
tindak pidana korupsi yang masuk dalam kategori
extraordinary crime dan memiliki ancaman hukuman minimum 4 tahun (Pasal 2 UU tentang Tipikor).
Dengan demikian,
dari sisi yuridis, tidak ada legitimasi hukum yang membolehkan
penghentian perkara korupsi karena pengembalian uang negara. Secara sistemik, tindakan tersebut bahkan bertentangan dengan asas
legalitas dan keadilan substantif.
Penekanan pada pemulihan kerugian negara dapat tetap diakomodasi melalui
pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Tipikor. Di sinilah
letak keseimbangan antara unsur restitutio in integrum dan
retributive justice, tanpa mengorbankan kepastian hukum dan efek
jera.
Penutup: Keadilan Tidak Bisa Dibarter dengan Pemulihan
Kehadiran restorative justice dalam sistem hukum pidana modern
dimaksudkan sebagai jalan keluar dari penegakan hukum yang terlalu
mekanistik dan represif. Namun, penerapannya tidak bisa diberlakukan seragam
terhadap semua jenis kejahatan. Dalam konteks tindak pidana korupsi,
pengembalian kerugian negara bukanlah instrumen penghapus kejahatan,
melainkan hanya manifestasi dari penyesalan dan tanggung jawab minimal
seorang pelaku.
Dalam sistem hukum Indonesia, posisi pengembalian kerugian telah sangat
jelas: bukan sebagai pintu keluar dari jerat hukum, tetapi sebagai jendela
kecil bagi pengurangan beban hukuman.
Staat moet niet marchanderen met gerechtigheid—negara tidak boleh tawar-menawar dengan keadilan. Jika korupsi dapat dimaafkan hanya dengan pengembalian dana, maka negara
tidak lebih dari makelar moral yang menukar prinsip dengan angka.
Keadilan tidak dapat dipulihkan tanpa penghukuman yang adil. Oleh karena
itu, pengembalian kerugian negara tidak dapat dijadikan dasar penghentian
proses pidana dalam perkara korupsi. Ia hanyalah bagian kecil dari
keseluruhan proses pertanggungjawaban yang lebih besar, yang mengedepankan
integritas hukum, rasa keadilan publik, dan supremasi konstitusi. Tanpa itu,
negara hanya sedang melestarikan impunitas dengan wajah baru.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Aleksandar Fatic, Punishment and Restorative Crime–Handling (USA:
Avebury Ashagate Publishing Limited, 1995), 9.
[2]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 105.
[3]
G.W.F. Hegel, Philosophy of Right, trans. T.M. Knox (Oxford:
Oxford University Press, 1967), §100–104.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 208–212.
[5]
Barda Nawawi Arief,
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru
(Jakarta: Kencana, 2010), 143–145.
[6]
Jan Remmelink,
Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, trans. H. Oemar Seno Adji (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003),
600.