
Secara teoritik, keberadaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)—atau state-owned enterprises (SOEs)—di hampir seluruh negara di
dunia merupakan konsekuensi dari pandangan filosofis dan konstitusional tentang
fungsi negara dalam kehidupan ekonomi warganya. Gagasan ini berakar dari asumsi
normatif bahwa terdapat cabang-cabang produksi atau sektor-sektor ekonomi yang
oleh sifat dan dampaknya tidak dapat dilepaskan sepenuhnya kepada mekanisme
pasar atau pelaku usaha swasta. Sektor-sektor ini dipandang sebagai public
utilities dan public services, karena memiliki posisi vital dan
strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak serta kestabilan negara.
Argumen utama yang mendasari pendirian BUMN (bukan
hanya di Indonesia) bukanlah sekadar efisiensi ekonomi, melainkan legitimasi
negara untuk campur tangan secara aktif dalam pasar guna menjamin keadilan
distributif, kedaulatan ekonomi, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Dengan kata lain, BUMN muncul sebagai bentuk institusional dari fungsi negara
dalam mengoreksi market failure, sekaligus manifestasi konkret dari
prinsip state interventionism dalam ranah ekonomi. Asumsi ini semakin
menguat terutama dalam negara-negara berkembang atau pascakolonial, di mana
peran negara dalam pembangunan ekonomi nasional tidak dapat dipisahkan dari
misi pembebasan struktural dari ketergantungan asing.
Namun demikian, logika pendirian BUMN tidak boleh
dipahami semata dari aspek kebutuhan teknokratis atau efisiensi administratif.
Terdapat dimensi ideologis yang tak terhindarkan.
Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 ayat (2) dan
(3) UUD NRI 1945 menjadi landasan yuridis bahwa negara wajib menguasai
cabang-cabang produksi yang penting dan strategis. Frasa “menguasai”
dalam ketentuan tersebut telah ditafsirkan Mahkamah Konstitusi secara progresif
sebagai mencakup lima fungsi negara, antara lain pengaturan (regeling),
pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheer), pengawasan (toezicht),
dan pengambilalihan (overname) atas sektor strategis.[1]
Konstruksi ini menegaskan bahwa penyelenggaraan
sektor-sektor vital oleh negara melalui BUMN tidak hanya memiliki basis
konstitusional, melainkan juga merupakan mandat moral-politik dalam mewujudkan
keadilan sosial. Dalam titik ini, peran BUMN menempati posisi ambivalen yaitu
di satu sisi harus menjamin pelayanan publik dengan prinsip social
obligation, di sisi lain dituntut bekerja secara korporatif dengan prinsip profitability
dan efficiency. Ketegangan inilah yang kerap memunculkan dilema
kebijakan, terutama dalam konteks privatisasi dan liberalisasi ekonomi
pascareformasi.
Maka dari itu, konsepsi BUMN perlu dipahami dalam
kerangka multidimensional yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga
reflektif-konseptual. Negara, sebagai subjek hukum publik, tidak semata
berkepentingan sebagai shareholder dalam perusahaan, tetapi sebagai guardian
dari kepentingan publik yang lebih luas. Oleh karena itu, menyerahkan
sepenuhnya pengelolaan sektor vital kepada swasta bukan hanya bertentangan
dengan semangat konstitusi, tetapi juga berpotensi menciptakan oligopoli dan
memperlemah fungsi protektif negara terhadap masyarakat.[2]
Kajian yang pernah dilakukan oleh United Nations
Industrial Development Organization (UNIDO) bekerja sama dengan International
Center for Public Enterprise (ICPE) di Ljubljana, Yugoslavia, mengungkapkan
bahwa pendirian badan usaha milik negara (BUMN) di berbagai yurisdiksi pada
hakikatnya dilandasi oleh kesamaan epistemik yaitu bahwa negara memiliki
tanggung jawab normatif dan praktis untuk mengambil alih kendali atas
sektor-sektor yang dikategorikan sebagai vital dan strategis. Sektor-sektor
ini dianggap terlalu penting untuk dibiarkan tunduk sepenuhnya pada kalkulasi
pasar atau dikendalikan oleh kepentingan korporasi swasta.
Temuan tersebut merefleksikan adanya pola global dalam
pembentukan BUMN yang bersifat bukan sekadar ekonomis, melainkan politis dan
ideologis. Dalam banyak kasus,
pendirian BUMN menjadi strategi negara untuk merebut kembali kedaulatan
ekonomi, terutama dalam konteks negara-negara pascakolonial dan dunia ketiga,
yang selama periode kolonialisme mengalami subordinasi struktural terhadap
kekuatan modal asing. Oleh karena itu, penguasaan negara atas sektor-sektor
vital seperti energi, telekomunikasi, infrastruktur, dan pangan, tidak dapat
dipisahkan dari proyek dekolonisasi ekonomi yang lebih luas.[3]
Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa BUMN adalah
manifestasi konkret dari prinsip negara sebagai pelindung (guardian)
atas kepentingan umum. Dengan mengelola langsung sumber daya strategis, negara
tidak hanya berupaya memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, tetapi juga menjaga
stabilitas sosial dan integritas teritorial dari dominasi kepentingan
eksternal. Dalam perspektif hukum publik, hal ini merupakan pengejawantahan
dari konsep public trusteeship, di mana negara bertindak sebagai wali
amanat atas kekayaan dan infrastruktur yang menyangkut kepentingan bersama.[4]
Namun, perlu dicatat bahwa keberadaan BUMN juga dapat
menghadirkan ambiguitas normatif. Ketika peran negara sebagai pelaku ekonomi
bercampur dengan fungsi regulator, maka berpotensi terjadi konflik kepentingan,
distorsi pasar, dan inefisiensi struktural jika tidak diatur secara ketat oleh
prinsip good governance dan transparansi kelembagaan. Oleh karena itu,
studi UNIDO-ICPE juga menggarisbawahi pentingnya kerangka regulasi yang jelas
dan pengawasan yang ketat sebagai syarat utama bagi efektivitas BUMN dalam
menjalankan fungsi sosial-ekonominya.[5]
Dengan demikian, penguasaaan negara atas sektor-sektor
strategis melalui BUMN bukanlah sekadar pilihan kebijakan, melainkan bentuk
artikulasi dari tanggung jawab negara untuk melindungi kepentingan publik,
menyeimbangkan distribusi kekayaan, dan menegakkan keadilan sosial dalam
kerangka negara hukum yang demokratis.
Kendati dipersatukan oleh
adanya benang merah latar belakang, harus diakui bahwa kehadiran maupun
pendirian usaha negara atau BUMN di setiap negara tidak selalu sama. Umumnya
latar belakang pendirian usaha negara atau BUMN tidak hanya didasarkan pada alasan
ideologis semata.
Pendirian badan usaha milik negara (BUMN) dalam
berbagai negara tidak semata-mata dilandasi oleh argumen efisiensi atau
keperluan administrasi ekonomi, melainkan juga oleh kompleksitas alasan
historis, ideologis, dan politis. Di Eropa Barat pasca-Perang Dunia II,
pengambilalihan sektor ekonomi oleh negara—melalui nasionalisasi sektor energi,
transportasi, dan industri berat—merupakan strategi untuk mengendalikan sumber
daya nasional dan mencegah kapitalisme predator pascaperang. Negara tampil
sebagai aktor utama pembangunan ekonomi, menggeser dominasi kapital swasta yang
dianggap turut bertanggung jawab atas krisis global dan ketimpangan sosial
sebelumnya.[6]
Indonesia menunjukkan pola serupa, meskipun dengan
dinamika dan intensitas politik yang berbeda. Sejak masa kolonial, pemerintah
Hindia Belanda (Nederlands-Indië) telah menstrukturisasi penguasaan
ekonomi melalui pembentukan perusahaan-perusahaan negara kolonial seperti Gemeenschappelijke
Mijnbouw Maatschappij Billiton (pertambangan timah), Staats Spoorwegen
(kereta api), dan NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij
(semen). Ini bukan semata ekspansi ekonomi kolonial, tetapi bentuk konkret dari
kolonialisme korporatif yang menguasai sumber daya strategis untuk akumulasi
kapital metropolitan.[7]
Pasca-kemerdekaan, Indonesia tidak hanya mewarisi
struktur korporasi kolonial tersebut, tetapi juga melakukan nasionalisasi
terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Nasionalisasi bukan semata tindakan
hukum, tetapi juga deklarasi kedaulatan ekonomi dan politik dalam rangka
membangun otoritas negara atas alat produksi. Momentum nasionalisasi tahun
1957, misalnya, menyusul kejatuhan Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan krisis
ekonomi, memperlihatkan bahwa nasionalisasi bukanlah proyek ekonomi murni,
melainkan respons politis terhadap instabilitas nasional dan dominasi asing
yang masih kuat dalam ekonomi domestik.[8]
Secara politik-ekonomi, pendirian BUMN di Indonesia
dapat diklasifikasikan dalam tiga tujuan utama. Pertama, sebagai wadah
transformasi aset yang dinasionalisasi menjadi korporasi publik, yang
mengafirmasi negara sebagai sovereign economic actor. Kedua, untuk
membangun industri strategis yang belum dapat dimasuki oleh swasta karena
keterbatasan modal dan risiko tinggi, seperti industri pupuk, telekomunikasi,
dan energi. Ketiga, sebagai instrumen pembangunan industri pertahanan dan
keamanan nasional (seperti Pindad dan Dahana) yang merupakan manifestasi dari strategic
autonomy negara.[9]
Namun, warisan hukum kolonial masih mendominasi
pengaturan perusahaan negara pada masa awal kemerdekaan. Penggunaan Indonesische
Bedrijven Wet dan Indonesische Comptabiliteitswet menunjukkan betapa
struktur hukum kolonial belum tergantikan. Kebutuhan untuk menyelaraskan
kerangka hukum dengan cita ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum dalam Pasal
33 UUD NRI Tahun 1945 mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan
Negara yang selanjutnya disebut Perpu 19/1960. Perpu ini memperjelas status
badan usaha negara sebagai bagian dari kekayaan negara dan memberikan dasar
hukum unifikasi berbagai bentuk usaha negara.[10]
Lebih lanjut, melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 No. 16; Tambahan
Lembaran Negara No. 2890) tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi
Undang-Undang, bentuk BUMN secara formal diklasifikasikan menjadi tiga
bentuk hukum antara lain Perjan (dengan sifat birokratis), Perum (dengan
orientasi pelayanan publik), dan Persero (dengan orientasi bisnis). Klasifikasi
ini mempertegas diferensiasi fungsi dan tanggung jawab negara dalam menjalankan
peran ganda sebagai pelayan publik dan pelaku pasar. Namun dalam praktiknya,
orientasi bisnis sering kali bertabrakan dengan fungsi pelayanan publik,
menciptakan ketegangan struktural dalam pengelolaan BUMN.[11]
Reformasi pasca-1998 menyederhanakan bentuk BUMN hanya
menjadi dua antara lain Persero dan Perum. Langkah ini sejalan dengan dorongan
liberalisasi dan privatisasi, di mana sebagian BUMN mulai melepas saham ke
publik. Namun, untuk sektor-sektor tertentu yang dikategorikan sebagai public
utilities (seperti listrik, kereta api, gas, dan penerbangan), kepemilikan
negara tetap dipertahankan. Hal ini mencerminkan prinsip selective
privatization, di mana pasar terbuka hanya diberlakukan pada sektor
non-strategis.[12]
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Privatisasi BUMN,
hlm. 460–461.
[2] Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara
dalam Privatisasi BUMN (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 72.
[3] Ha-Joon Chang, Kicking Away the
Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem
Press, 2002), 107–110.
[4] Joseph E. Stiglitz, Globalization
and Its Discontents (New York: W.W. Norton & Company, 2002), 98–100.
[5] United Nations Industrial Development
Organization (UNIDO) dan International Center for Public Enterprises (ICPE), State-Owned
Enterprises: Their Role in the Modern Economy (Ljubljana: ICPE
Publications, 1985), 12–15.
[6] Eric Hobsbawm, The Age of
Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991 (London: Michael Joseph,
1994), 276.
[7] George McTurnan Kahin, Nationalism
and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), 273.
[8] Riant Nugroho dan Randy R.
Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 15–16.
[9] Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai
Negara dalam Privatisasi BUMN, 73–74.
[10] Parluhutan Sagala, Penyebaran
Kepemilikan Saham Pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk
Menciptakan Perusahaan yang Efektif dan Efisien (Disertasi, Universitas
Sumatera Utara, 2009), 46.
[11] Ibrahim Assegaf, Prospek BUMN dan
Kepentingan Umum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 105–107.
[12] Christianto Wibisono, dalam Ibrahim, Prospek BUMN, 107.