Pertanyaan
Saya mau tahu semua tentang aturan ekspor impor di Indonesia. Bisa tolong
jelaskan dari awal banget nda bang? Kenapa aturan ini ada, terus perjanjian
internasional apa saja yang Indonesia ikuti? Lalu, peraturan-peraturan di
Indonesia sendiri, dari yang paling tinggi (Undang-Undang) sampai peraturan
daerah, apa saja yang penting? Siapa saja sih kementerian yang punya peran
dalam mengatur ekspor impor ini, misalnya Bea Cukai atau Kementerian
Perdagangan? Dan kalau saya sebagai pengusaha mau ekspor impor, misalnya
minyak kelapa sawit atau kratom, dokumen seperti PE, LS, dan ET itu gunanya
apa? Terus, ada kasus-kasus hukum terkait ekspor impor juga nggak?
Jawaban
Memahami Kompleksitas Rezim Ekspor Impor Indonesia
Indonesia, sebagai negara maritim dan kepulauan, memiliki ketergantungan
yang inheren pada perdagangan internasional. Kegiatan ekspor dan impor bukan
hanya sekadar transaksi ekonomi, melainkan
fondasi vital bagi pertumbuhan ekonomi nasional, stabilitas harga
domestik, dan penciptaan lapangan kerja. Ekspor didefinisikan sebagai
kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean, sementara impor
adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Dinamika
perdagangan global secara langsung memengaruhi neraca pembayaran Indonesia
dan kapasitas negara dalam memenuhi kebutuhan domestik.
Kinerja ekspor dan impor Indonesia menunjukkan tren yang signifikan. Pada
Maret 2022, kinerja ekspor dan impor berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang
sejarah. Tren positif ini berlanjut, dengan
kinerja ekspor
yang mencatatkan pertumbuhan cukup kuat sebesar 16,37% (yoy) atau mencapai
USD22,31 miliar pada Januari 2023. Meskipun demikian, pemerintah tetap
mewaspadai adanya potensi tekanan dari perlambatan ekonomi global dan terus
berupaya meningkatkan daya saing produk ekspor, termasuk melalui hilirisasi
sumber daya alam dan diversifikasi negara tujuan ekspor ke negara-negara
potensial.
Artikel ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan Anda secara komprehensif,
sistematis, dan kritis mengenai kerangka regulasi ekspor-impor di Indonesia.
Ruang lingkupnya mencakup tinjauan filosofis dan historis, eksplorasi
instrumen hukum internasional dan nasional (dari undang-undang hingga
peraturan daerah), pemaparan peran dan kewenangan kementerian terkait,
penjelasan mekanisme operasional bagi pelaku usaha, studi kasus komoditas
strategis, hingga analisis yurisprudensi terkait sengketa.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan pandangan yang utuh, mendalam, dan
praktis bagi para pemangku kepentingan, baik akademisi, praktisi hukum,
maupun pelaku usaha, agar dapat memahami dan menavigasi kompleksitas rezim
hukum ekspor-impor di Indonesia secara efektif.
Landasan Filosofis dan Evolusi Historis Kebijakan Ekspor Impor Indonesia
Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia secara fundamental berlandaskan
pada doktrin “bebas dan aktif” yang diamanatkan oleh konstitusi. Prinsip
“bebas” mengacu pada kemandirian Indonesia untuk tidak memihak blok kekuatan
dunia manapun, sementara “aktif” menunjukkan komitmen negara untuk
berpartisipasi proaktif dalam penyelesaian masalah internasional secara
damai. Doktrin ini bukanlah kebijakan yang netral; ia tidak menyelaraskan
atau mengikat negara dengan kekuatan adidaya atau pakta militer manapun.
Sebaliknya, kemandirian dan keaktifan ini terutama demi kepentingan
nasional, sekaligus memungkinkan pemerintah Indonesia untuk berkolaborasi
dengan negara lain.
Implementasi doktrin “bebas dan aktif” selalu berorientasi pada kepentingan
nasional, dengan tujuan utama mencapai pembangunan, kemakmuran rakyat,
kebenaran, dan keadilan di dalam negeri. Ini mencerminkan pendekatan
pragmatis di mana perdagangan internasional berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan domestik yang lebih besar. Namun, interpretasi doktrin ini
bervariasi di setiap era kepemimpinan.
Misalnya, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebijakan luar
negeri lebih fokus pada perdagangan dan investasi untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, dengan penekanan pada kepentingan domestik, yang
digambarkan sebagai gaya diplomasi “membumi” atau “inward looking”.
Bahkan di era Orde Baru, politik luar negeri “bebas dan aktif” diarahkan
untuk kepentingan nasional, termasuk pembangunan dan kemakmuran rakyat.
Perkembangan Rezim Kebijakan Ekspor Impor dari Masa ke Masa
Era Orde Lama (1945-1966): Perjuangan Kedaulatan dan Konsolidasi Ekonomi
Periode awal kemerdekaan Indonesia ditandai oleh upaya ganda Pemerintah Era
Orde Lama saat itu yaitu
memperoleh pengakuan internasional atas kedaulatan negara dan
mengisi kas negara yang kosong. Perdagangan internasional menjadi
instrumen krusial dalam mencapai kedua tujuan ini. Meskipun diwarnai oleh
semangat patriotisme yang militan dan konfrontasi terhadap sisa-sisa
kolonialisme, Indonesia juga aktif mencari relasi perdagangan. Puncak kerja
sama perdagangan dengan banyak negara tercapai pada tahun 1950-an.
Namun, ketergantungan pada ekspor komoditas mentah dan impor barang
konsumsi menyebabkan kerentanan ekonomi. Pasca-Perang Korea, jatuhnya harga
komoditas global dan impor besar-besaran memicu inflasi dan penurunan tajam
perekonomian. Data menunjukkan bahwa di era Orde Lama, kebijakan
ekspor-impor Indonesia secara fundamental tidak hanya didorong oleh motif
ekonomi, melainkan juga oleh imperatif politik untuk mengukuhkan kedaulatan
dan legitimasi negara yang baru merdeka di panggung global.
Perdagangan menjadi instrumen diplomasi dan pengumpul devisa untuk menopang
pemerintahan yang masih rapuh. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah
dan kerentanan terhadap fluktuasi harga global, seperti yang terjadi
pasca-Perang Korea, secara filosofis menggarisbawahi dilema antara kebutuhan
mendesak akan pendapatan dan upaya untuk membangun struktur ekonomi yang
lebih mandiri. Ini menunjukkan bahwa rezim perdagangan awal adalah cerminan
dari perjuangan eksistensial negara.
Era Orde Baru (1966-1998): Pembangunan Berorientasi Pertumbuhan dan Ketergantungan Eksternal
Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mengadopsi “Trilogi
Pembangunan” yang menekankan stabilitas, pertumbuhan, dan
pemerataan. Kebijakan ekonomi dan perdagangan secara agresif menarik
investasi asing (PMA) dan pinjaman internasional dari lembaga seperti IMF
dan Bank Dunia, yang membentuk konsorsium khusus (International Government Group on Indonesia/IGGI) untuk membiayai pembangunan. Indonesia kembali bergabung dengan IMF
dan PBB pada periode ini, yang meningkatkan posisi ekonominya di mata dunia
dan menghasilkan bantuan keuangan dari lembaga keuangan internasional serta
negara-negara Barat dan Jepang.
Meskipun ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan bahkan
swasembada pangan, ketergantungan pada utang luar negeri dan praktik KKN
(korupsi, kolusi, nepotisme) menciptakan kerentanan struktural. Protes
publik seperti insiden Malari pada tahun 1974 menunjukkan resistensi
terhadap dominasi investasi asing, yang kemudian direspons pemerintah dengan
pengetatan regulasi investasi asing. Puncak kerentanan ini terungkap dalam
krisis moneter 1997-1998, yang memicu kebangkrutan massal dan kekacauan
ekonomi, menandai berakhirnya rezim ini.
Rezim perdagangan Orde Baru, meskipun berhasil mendorong pertumbuhan
ekonomi yang impresif dan menarik investasi asing, secara filosofis
mengorbankan ketahanan jangka panjang demi pertumbuhan jangka pendek.
Ketergantungan pada modal eksternal dan praktik KKN menciptakan fondasi
ekonomi yang rapuh, yang terbukti fatal saat menghadapi guncangan eksternal
seperti krisis moneter 1997-1998.
Hal ini menyiratkan bahwa
kebijakan yang hanya berfokus pada agregat ekonomi tanpa memperhatikan
kualitas institusi dan
distribusi manfaat dapat menciptakan ilusi kemakmuran yang rentan terhadap
keruntuhan. Pelajaran historisnya adalah bahwa “pertumbuhan semu” yang tidak didukung
oleh tata kelola yang baik dan pemerataan dapat menjadi bumerang.
Era Reformasi (1998-Sekarang): Liberalisasi, Reformasi Struktural, dan Peningkatan Daya Saing
Pasca-krisis 1997-1998, Indonesia memasuki era Reformasi dengan agenda
besar liberalisasi perdagangan dan reformasi struktural. Kebijakan bergeser
untuk menghilangkan hambatan investasi dan perdagangan, mendorong investasi
langsung yang berorientasi ekspor, serta mengintegrasikan ekonomi Indonesia
lebih dalam ke dalam ekonomi global. Peningkatan nilai tambah produk menjadi
prioritas, didukung oleh partisipasi aktif Indonesia dalam perjanjian
perdagangan bebas (FTA) regional dan bilateral. Hingga September 2023,
Indonesia telah mengimplementasikan 18 FTA, termasuk
ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA),
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), dan
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), serta perjanjian
bilateral seperti
Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).
Meskipun liberalisasi perdagangan terbukti positif bagi pertumbuhan
ekonomi, tantangan seperti kesenjangan ekonomi, dampak lingkungan, dan
perlindungan industri lokal tetap menjadi isu krusial yang memerlukan
reformulasi kebijakan berkelanjutan.
Filosofi di balik rezim perdagangan era Reformasi adalah keyakinan pada
kekuatan pasar dan integrasi global untuk mendorong pertumbuhan. Namun,
pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan adalah
“pedang bermata dua.” Meskipun membuka peluang pasar dan meningkatkan
efisiensi, ia juga dapat memperburuk kesenjangan, mengancam industri
domestik yang rentan, dan menimbulkan dampak lingkungan yang serius jika
tidak diimbangi dengan kebijakan mitigasi yang kuat. Ini menghadirkan dilema
filosofis tentang sejauh mana negara harus membuka diri versus melindungi
kepentingan domestik, dan bagaimana mencapai “pertumbuhan yang lebih
inklusif” yang adil dan berkelanjutan. Rezim ini terus beradaptasi, mencari
keseimbangan antara daya saing global dan ketahanan nasional.
Instrumen Hukum Internasional dan Dampaknya bagi Perlindungan Hukum Indonesia
Integrasi Indonesia dalam perdagangan global tidak terlepas dari
komitmennya terhadap berbagai instrumen hukum internasional. Ratifikasi dan
aksesi terhadap konvensi dan perjanjian ini menunjukkan upaya untuk
menyelaraskan hukum nasional dengan standar global, yang secara strategis
bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi ekonomi. Namun,
tantangan implementasi menunjukkan bahwa sinkronisasi hukum adalah proses
kompleks yang membutuhkan kapasitas kelembagaan yang kuat.
WTO Agreements
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
Indonesia meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing the World Trade Organization. Ratifikasi ini memiliki implikasi mendalam, mengikat Indonesia pada
prinsip-prinsip perdagangan multilateral seperti non-diskriminasi
(Most-Favoured-Nation/MFN dan National Treatment),
transparansi, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Secara khusus,
WTO Valuation Agreement, yang mengatur metode penetapan nilai pabean, diamanatkan untuk
diimplementasikan dalam hukum nasional Indonesia melalui
Pasal 15 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan.
Revised Kyoto Convention (RKC)
Indonesia secara resmi mengaksesi Konvensi Kyoto Revisi (RKC) pada tanggal
29 Agustus 2014, dengan keberlakuan efektif sejak 22 November 2014. RKC
berfungsi sebagai panduan global untuk prosedur kepabeanan modern dan
efisien. Konvensi ini mempromosikan fasilitasi perdagangan dan kontrol yang
efektif melalui ketentuan hukum yang merinci penerapan prosedur yang
sederhana, transparan, dan prediktif. Aksesi ini menunjukkan komitmen
Indonesia untuk menyelaraskan praktik kepabeanannya dengan standar
internasional guna meningkatkan efisiensi logistik dan perdagangan.
Harmonized System (HS) Convention
Indonesia mengimplementasikan Harmonized System (HS) Convention
untuk klasifikasi barang, yang secara resmi diatur dalam Buku Tarif
Kepabeanan Indonesia (BTKI). HS dirancang untuk menciptakan keseragaman
dalam deskripsi, klasifikasi, dan pengkodean barang dalam perdagangan
internasional, memfasilitasi pengumpulan data statistik perdagangan, dan
menyederhanakan tarif. Indonesia meratifikasi Konvensi HS melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1993 tentang
Pengesahan International Convention On The Harmonized Commodity
Description And Coding System, Beserta Protocolnya. Uniknya, Indonesia menggunakan sistem 8 digit untuk klasifikasi barang,
yang merupakan elaborasi lebih spesifik dari sistem 6 digit HS
internasional, disesuaikan dengan kebutuhan nasional.
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora)
Indonesia meratifikasi CITES melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978 tentang
Mengesahkan “Convention On International Trade In Endangered Species of Wild Fauna
And Flora”, yang Telah ditandatangani di Washington Pada Tanggal 3 Maret 1973,
Sebagaimana Terlampir Pada Keputusan Presiden Ini. Konvensi ini bertujuan untuk melindungi flora dan fauna liar yang
terancam punah dari eksploitasi melalui perdagangan internasional.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI)
bertindak sebagai otoritas pengelolaan CITES, sementara Badan Riset dan
Inovasi Nasional Republik Indonesia (BRIN RI) berfungsi sebagai otoritas
ilmiah. Meskipun telah diratifikasi dan diimplementasikan melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
sebagaimana terakhir telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengingat, kasus perdagangan ilegal masih terus terjadi.
Perlindungan hukum yang nyata membutuhkan lebih dari sekadar teks
undang-undang; ia menuntut alokasi sumber daya yang memadai untuk penegakan
hukum, reformasi sanksi agar memberikan efek jera, dan upaya sistematis
untuk meningkatkan kesadaran publik. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa
perlindungan hukum tidak hanya bergantung pada apa yang diatur,
tetapi juga pada bagaimana aturan tersebut diinternalisasi dan
ditegakkan oleh seluruh elemen masyarakat dan negara.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2022 tentang Peredaran Hasil Hutan Kayu Yang Tercantum
Dalam Apendiks Convention On International Trade In Endangered Species
Of Wild Fauna And Flora
yang mengatur peredaran hasil hutan kayu yang tercantum dalam Apendiks
CITES, termasuk dokumen angkutan dan pengawasan. Selain itu,
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar.
Basel Convention (Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya)
Indonesia meratifikasi Konvensi Basel melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 tentang
Pengesahan Basel Convention On The Control Of Transboundary Movements Of
Hazardous Wastes And Their Disposal
dan bahkan menjadi tuan rumah Pusat Regional Konvensi Basel untuk Asia
Tenggara. Konvensi ini mengatur pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan
pembuangannya. Amandemen Limbah Plastik tahun 2019, yang mulai berlaku pada
24 Maret 2020 (dengan entri baru berlaku 1 Januari 2021), secara signifikan
memperketat kontrol terhadap pengiriman sampah plastik lintas batas,
mewajibkan persetujuan dari negara penerima untuk plastik terkontaminasi
atau tidak dapat didaur ulang.
Meskipun demikian, implementasi di Indonesia masih menghadapi tantangan,
dengan ribuan kasus penyelundupan sampah impor yang melanggar ketentuan,
menunjukkan kurangnya pengawasan dan celah dalam regulasi.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya Dan Beracun
yang mengatur tata cara dan persyaratan pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3), termasuk ekspor limbah B3.
Rotterdam Convention
(Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan
Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan Internasional)
Indonesia meratifikasi Konvensi Rotterdam melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan
Rotterdam Convention on The Prior Informed Consent Procedure for Certain
Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (Konvensi
Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Untuk
Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan
Internasional). Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan
dari dampak negatif perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu
dengan mewajibkan “prosedur persetujuan atas dasar informasi awal” (PIC).
Indonesia telah aktif dalam berbagai workshop untuk mengembangkan
peta jalan pengelolaan bahan kimia berbahaya seperti diklorida paraquat,
menunjukkan komitmen untuk memperkuat kapasitas nasional dalam implementasi
konvensi ini.
Perjanjian Internasional Bilateral dan Regional
Indonesia telah secara aktif terlibat dalam berbagai perjanjian perdagangan
bebas (FTA), dengan 18 FTA yang telah diimplementasikan per September 2023.
Ini mencakup skema regional seperti
ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA),
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), dan
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), serta perjanjian
bilateral (contoh:
Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJEPA).
Perjanjian-perjanjian ini bertujuan untuk memperluas akses pasar bagi produk
Indonesia, meningkatkan daya saing, dan menarik investasi. RCEP, sebagai
perjanjian komprehensif, mencakup berbagai aspek seperti perdagangan barang,
aturan asal barang, prosedur kepabeanan, investasi, dan e-commerce,
menunjukkan komitmen Indonesia terhadap integrasi ekonomi regional.
Kerangka Hukum Nasional Ekspor Impor di Indonesia
Pengaturan ekspor impor di Indonesia mengikuti hierarki peraturan
perundang-undangan yang ketat, mulai dari Undang-Undang sebagai payung hukum
utama hingga peraturan teknis di tingkat kementerian dan daerah. Adapun
beberapa aturan domestik dalam kerangka hukum nasional tentang ekspor impor
di Indonesia, antara lain sebagai berikut ini:
1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
Undang-undang ini merupakan pilar utama dalam rezim kepabeanan Indonesia.
Ia mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan lalu lintas
barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan
bea keluar. Barang yang dimasukkan ke daerah pabean diperlakukan sebagai
barang impor dan terutang bea masuk, sementara barang yang dimuat untuk
dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan
sebagai barang ekspor. UU ini juga mengatur pemeriksaan pabean (penelitian
dokumen dan pemeriksaan fisik barang), pemenuhan kewajiban pabean di kantor
pabean menggunakan pemberitahuan pabean (baik formulir atau data
elektronik), registrasi pelaku usaha untuk akses kepabeanan, serta
pengawasan pengangkutan barang tertentu. Pentingnya UU ini juga terlihat
dari ketentuan mengenai penetapan tarif bea masuk dan bea keluar berdasarkan
sistem klasifikasi barang (HS) dan kewenangan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai untuk menetapkan kembali tarif dan nilai pabean. UU ini juga mengatur
bea masuk pembalasan terhadap negara yang memperlakukan barang ekspor
Indonesia secara diskriminatif.
2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan
UU ini mendefinisikan ekspor sebagai kegiatan mengeluarkan barang dari
Daerah Pabean dan impor sebagai kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah
Pabean (vide Pasal 1 Ayat (16) & (18)). Lingkup pengaturan perdagangan mencakup perdagangan luar negeri dan
pengembangan ekspor (vide Pasal 4 Ayat (1) Huruf b & h). Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur kegiatan perdagangan luar
negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang ekspor dan impor, yang
diarahkan untuk peningkatan daya saing produk, perluasan akses pasar, dan
peningkatan kemampuan pelaku usaha (vide Pasal 38 Ayat (1) & (2)). Pengendalian ini meliputi perizinan, standar, serta pelarangan dan
pembatasan (vide Pasal 38 Ayat (4)). UU ini juga secara eksplisit melarang ekspor atau impor barang yang
dilarang atau tidak sesuai ketentuan pembatasan, serta menetapkan sanksi
pidana bagi pelanggaran seperti mengimpor barang tidak baru atau
mengekspor/mengimpor barang terlarang.
3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
UU ini, yang merupakan penetapan Perpu Cipta Kerja, bertujuan untuk
menciptakan dan memperluas lapangan kerja, mendorong pengembangan koperasi
serta usaha mikro, kecil, dan menengah, dan meningkatkan daya saing
perekonomian nasional. Meskipun tidak secara spesifik merinci pasal-pasal
tentang ekspor impor, UU ini memiliki dampak signifikan terhadap rezim
perizinan berusaha secara umum, termasuk di sektor perdagangan. Perubahan
yang diatur dalam UU ini berfokus pada penyederhanaan perizinan berusaha
berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan, dan peningkatan
ekosistem investasi. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi kemudahan
berusaha bagi pelaku ekspor impor.
4)
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang
Perdagangan
Peraturan ini menjadi dasar bagi berbagai Peraturan Menteri Perdagangan
terkait kebijakan ekspor dan impor.
5)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Mengatur kegiatan perdagangan di KEK, termasuk ekspor impor, dengan
fasilitas dan ketentuan khusus.
6)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
(KPBPB)
Mengatur kegiatan perdagangan di KPBPB, yang terpisah dari daerah pabean
dan bebas dari bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai.
7)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca
Komoditas
Perpres ini sangat krusial karena Neraca Komoditas berfungsi sebagai dasar
penerbitan Persetujuan Ekspor (PE) dan Persetujuan Impor (PI). Selain itu,
Neraca Komoditas juga menjadi acuan data dan informasi situasi konsumsi dan
produksi komoditas berskala nasional, kondisi dan proyeksi pengembangan
industri nasional, serta acuan penerbitan Perizinan Berusaha untuk menunjang
kegiatan usaha di bidang ekspor dan impor. Perpres ini bertujuan untuk
memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dan meningkatkan efektivitas
penerbitan persetujuan ekspor dan impor.
8)
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2023
tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor (dan perubahannya Permendag Nomor
11 Tahun 2024, Permendag Nomor 21 Tahun 2024,
dan Permendag Nomor 9 Tahun 2025)
Peraturan ini mengatur ketentuan umum, persyaratan ekspor, konfirmasi
status wajib pajak, perizinan berusaha, kewajiban pemenuhan dokumen lain,
verifikasi atau penelusuran teknis, dan pengeluaran barang dari kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, kawasan ekonomi khusus, serta tempat
penimbunan berikat. Perubahan-perubahan pada Permendag ini, seperti
Permendag Nomor 11 Tahun 2024, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
dan berusaha bagi eksportir, khususnya terkait produk pertambangan hasil
pengolahan/pemurnian. Permendag Nomor 21 Tahun 2024 menambahkan ketentuan
terkait ekspor hasil sedimentasi di laut dan kratom, serta meningkatkan
nilai tambah ekspor kratom Indonesia. Permendag Nomor 9 Tahun 2025 lebih
lanjut menyelaraskan kebijakan pengoperasian fasilitas pemurnian mineral
logam dan menjaga penerimaan negara.
9)
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021
tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor (dan perubahannya
Permendag Nomor 40 Tahun 2022)
Peraturan ini secara spesifik mengatur jenis-jenis barang yang dilarang
untuk diekspor dan diimpor, meliputi barang kehutanan, pertanian, pupuk
subsidi, pertambangan, cagar budaya, serta sisa dan skrap logam. Permendag
Nomor 40 Tahun 2022 mengubah ketentuan dalam Permendag Nomor 18 Tahun 2021.
Definisi penting seperti “Barang Dilarang Ekspor” dan “Barang Dilarang
Impor” dijelaskan secara rinci. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat
dikenai sanksi administratif.
10)
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2023
tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor (dan perubahannya Permendag
Nomor 20 Tahun 2024)
Peraturan ini menggantikan dan mencabut ketentuan larangan ekspor dalam
Permendag Nomor 18 Tahun 2021. Permendag ini mengatur secara spesifik barang
yang dilarang diekspor, termasuk dari bidang kehutanan, pertanian, pupuk
subsidi, pertambangan, cagar budaya, dan sisa/skrap logam. Permendag Nomor
20 Tahun 2024 sebagai perubahan kedua, menambahkan hasil sedimentasi di laut
sebagai barang yang dilarang untuk diekspor, serta mengatur ketentuan ekspor
kratom yang sebelumnya dilarang.
11)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2023 tentang
Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang
Kiriman (dan perubahannya PMK Nomor 4 Tahun 2025)
PMK ini mengatur secara komprehensif ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak
atas impor dan ekspor barang kiriman. PMK Nomor 4 Tahun 2025, sebagai
perubahan kedua, menyempurnakan layanan ini dengan simplifikasi pungutan
fiskal impor (misalnya bea masuk tambahan dan tarif bea masuk untuk barang
kiriman), pendefinisian ulang barang kiriman (hasil perdagangan vs.
pribadi), serta pengaturan khusus untuk barang kiriman jemaah haji dan
hadiah internasional. PMK ini juga menyederhanakan ketentuan ekspor barang
kiriman, termasuk penyampaian Consignment Note (CN) dan kemudahan
rekonsiliasi.
12)
Surat Edaran Menteri/Surat Keputusan Menteri/Peraturan Lembaga
Meskipun tidak ada detail spesifik mengenai Surat Edaran Menteri atau Surat
Keputusan Menteri dalam materi yang diberikan, peraturan-peraturan ini
seringkali berfungsi sebagai petunjuk teknis pelaksanaan dari peraturan di
atasnya. Contohnya, Keputusan Menteri Keuangan dapat menetapkan daftar
barang yang dibatasi untuk diekspor berdasarkan peraturan menteri
perdagangan. Peraturan Lembaga seperti Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) juga berperan dalam mengatur ekspor impor komoditas tertentu,
seperti narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi.
13)
Peraturan Gubernur (Pergub) Lingkup Kalimantan Barat
Peraturan di tingkat daerah memiliki kewenangan yang terbatas pada lingkup
wilayahnya dan harus selaras dengan peraturan yang lebih tinggi. Contohnya,
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 86 Tahun 2022 tentang Perubahan
atas Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penetapan Indeks K dan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit
Produksi Pekebun Kalimantan Barat, yang mana Pergub ini secara spesifik mengatur penetapan harga Tandan Buah
Segar (TBS) kelapa sawit di Kalimantan Barat, yang secara tidak langsung
memengaruhi nilai ekspor minyak kelapa sawit dari daerah tersebut. Peraturan
ini mencakup ketentuan mengenai harga rata-rata CPO dan
Palm Kernel (PK) tertimbang realisasi penjualan ekspor dan
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 3 Tahun 2022 tentang Rencana
Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2022-2024, Pergub ini memberikan pedoman untuk pengembangan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan, yang dapat memengaruhi praktik ekspor kelapa sawit dari
Kalbar agar sesuai dengan standar keberlanjutan global.
Fenomena Kratom di Kalimantan Barat
Meskipun belum ada Peraturan Gubernur spesifik yang mengatur ekspor kratom,
terdapat indikasi bahwa pemerintah daerah menyambut baik aturan terbaru dari
Kementerian Perdagangan (Permendag Nomor 20/2024 dan Permendag Nomor
21/2024) yang mengizinkan ekspor daun kratom, khususnya dari Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat, dengan harapan dapat memberikan nilai tambah bagi petani.
Ini menunjukkan adanya koordinasi antara kebijakan pusat dan daerah dalam
pengaturan komoditas strategis. Pada tingkat kabupaten/kota, peraturan yang
relevan biasanya bersifat lebih teknis atau implementatif dari peraturan di
atasnya.
Kemudian, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu tentang Tata
Kelola dan Tata Niaga Kratom menunjukkan upaya pemerintah daerah untuk
mengatur budidaya, pengolahan, dan pemasaran kratom, termasuk standarisasi
mutu untuk ekspor. Rancangan Perda ini bertujuan untuk memberikan pedoman
dan memberdayakan petani kratom, serta mendorong kerja sama dengan berbagai
pihak. Ini mencerminkan upaya daerah untuk mengoptimalkan potensi komoditas
lokal dalam kerangka regulasi nasional.
Instrumen dan Mekanisme Penting dalam Rezim Pengaturan Ekspor Impor
Kegunaan PE, LS, dan ET bagi Pelaku Usaha
Dalam rezim pengaturan ekspor impor, terdapat beberapa instrumen kunci yang
wajib dipahami dan dipenuhi oleh pelaku usaha.
-
Persetujuan Ekspor (PE)
PE adalah Perizinan Berusaha di bidang Ekspor berupa persetujuan dari
Menteri Perdagangan untuk melakukan ekspor barang tertentu. Penerbitan PE
dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri berdasarkan neraca
komoditas. PE memuat Nomor Induk Berusaha (NIB), identitas eksportir, pos
tarif/HS, jenis/uraian barang, jumlah dan satuan barang, pelabuhan muat,
serta tanggal berlaku dan berakhirnya persetujuan. PE dapat berlaku untuk
satu kali atau lebih dari satu kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Ekspor
(PEB), dan untuk PE yang berlaku lebih dari satu kali, akan disertai kartu
kendali realisasi ekspor. Bagi pelaku usaha, PE adalah legalitas mutlak
untuk mengekspor barang yang diatur atau dibatasi ekspornya, memastikan
kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah, dan menjadi dokumen pelengkap
pabean.
-
Laporan Surveyor (LS)
LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh Surveyor Pelaksana Verifikasi atau
Penelusuran Teknis Impor (VPTI). LS dapat digunakan sebagai dokumen
pelengkap pabean yang pemeriksaannya dilakukan di kawasan pabean, dan/atau
sebagai dokumen persyaratan impor yang pemeriksaannya dilakukan setelah
melalui kawasan pabean (post border). LS hanya dapat dipergunakan untuk satu
kali pengapalan. Meskipun fokus utama LS seringkali pada impor, konsep
verifikasi atau penelusuran teknis juga berlaku untuk ekspor barang
tertentu. Bagi pelaku usaha, LS memastikan bahwa barang yang diekspor atau
diimpor telah memenuhi standar kualitas, kuantitas, atau persyaratan teknis
yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga mengurangi
risiko sengketa atau penolakan di negara tujuan/asal.
-
Eksportir Terdaftar (ET)
ET adalah Perizinan Berusaha di bidang Ekspor berupa bukti pendaftaran
Eksportir. Eksportir wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), dan untuk
ekspor barang tertentu, wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang Ekspor
dari Menteri, yang salah satunya adalah Eksportir Terdaftar. ET merupakan
legalitas untuk menunjang kegiatan usaha sektor Perdagangan Luar Negeri dan
digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean. Memiliki status ET memudahkan
pelaku usaha dalam mengurus berbagai perizinan dan proses kepabeanan, serta
menunjukkan kredibilitas dan kepatuhan terhadap regulasi.
Contoh Penerapan dalam Usaha Ekspor Impor Komoditas Strategis
Minyak Kelapa Sawit (CPO dan Produk Turunannya)
Ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya diatur secara ketat
mengingat posisinya sebagai komoditas strategis nasional.
1)
Perizinan
Eksportir wajib memiliki NIB dan Persetujuan Ekspor (PE) untuk produk
turunan kelapa sawit. PE ini berlaku untuk satu kali penyampaian
Pemberitahuan Pabean Ekspor (PEB) [, Pasal 4 Ayat (7)].
2)
Hak Ekspor
Terdapat mekanisme “Hak Ekspor” yang dapat dimiliki eksportir berdasarkan
partisipasi dalam Program Percepatan, dan hak ini dapat dibekukan atau
diaktifkan kembali.
3)
Pungutan
Pelaksanaan ekspor produk turunan kelapa sawit dapat dikenakan pungutan
yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
4)
Laporan Realisasi
Eksportir yang memiliki PE wajib menyampaikan laporan realisasi ekspor
secara elektronik kepada Menteri.
5)
Peraturan Daerah (Kalbar)
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 86 Tahun 2022 mengatur petunjuk
pelaksanaan penetapan Indeks K dan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS)
kelapa sawit produksi pekebun Kalbar, yang memengaruhi harga rata-rata CPO
dan PK tertimbang realisasi penjualan ekspor. Ini menunjukkan bagaimana
regulasi daerah berperan dalam tata niaga komoditas yang diekspor. Kebijakan
pajak ekspor kelapa sawit juga dapat berubah, seperti yang pernah ditiadakan
hingga akhir Agustus 2022 melalui PMK Nomor 115/2022.
Kratom
Kratom, yang banyak tumbuh di Kalimantan Barat, merupakan komoditas yang
sedang dalam proses pengaturan ekspornya.
-
Perizinan dan Ketentuan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 dan Nomor 21 Tahun 2024
mengatur kebijakan dan tata cara ekspor komoditas kratom. Permendag No. 20
Tahun 2024 menyatakan bahwa ketentuan larangan ekspor kratom di bidang
pertanian belum diberlakukan. Sementara Permendag Nomor 21 Tahun 2024 secara
spesifik mengatur bahwa ekspor kratom yang telah mendapatkan nomor dan
tanggal pemberitahuan pabean ekspor sebelum berlakunya peraturan ini, tidak
memerlukan Perizinan Berusaha di bidang ekspor (seperti Eksportir Terdaftar
dan Persetujuan Ekspor) dan tidak dikenai kewajiban Verifikasi atau
Penelusuran Teknis Ekspor. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi eksportir
kratom.
-
Jenis Kratom yang Diizinkan Ekspor
Permendag Nomor 21 Tahun 2024 mengatur jenis dan ukuran komoditas kratom
yang diperbolehkan ekspor, yaitu kratom remahan halus dan dalam bentuk
bubuk, sementara daun dan remahan kasar masuk kategori larangan ekspor.
-
Peran Daerah (Kalbar)
DPRD Kapuas Hulu menyoroti perlunya regulasi teknis ekspor kratom yang
memihak kesejahteraan petani dan pelaku usaha, dengan prinsip transparansi
dan akses setara dalam penerbitan PE. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Kapuas Hulu tentang Tata Kelola dan Tata Niaga Kratom juga menunjukkan upaya
untuk mengatur budidaya, pengolahan, dan pemasaran kratom, termasuk
standarisasi mutu sesuai SNI untuk perdagangan.
Peran dan Kewenangan Lembaga Pemerintah dalam Pengaturan Ekspor Impor
Pengaturan ekspor impor melibatkan koordinasi multi-lembaga di tingkat
pusat dan daerah, masing-masing dengan kewenangan dan tugas pokok yang
spesifik.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (melalui Bea Cukai)
Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC),
memiliki peran sentral dalam pengawasan lalu lintas barang, pemungutan bea
masuk dan bea keluar, serta penegakan hukum kepabeanan.
1)
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2)
Tugas Pokok dan Kewenangan
-
Pengawasan dan Pemungutan
Melakukan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah
pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Barang impor terutang bea
masuk, dan barang ekspor dikenai pajak.
-
Pemeriksaan Pabean
Melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang impor, meliputi penelitian
dokumen dan pemeriksaan fisik barang.
-
Penyelesaian Kewajiban Pabean
Memastikan pemenuhan kewajiban pabean di kantor pabean menggunakan
pemberitahuan pabean (formulir atau data elektronik).
-
Registrasi Akses Kepabeanan
Mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan registrasi guna mendapatkan nomor
identitas dalam rangka akses kepabeanan.
-
Pengawasan Barang Kiriman
Mengatur ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak atas impor dan ekspor
barang kiriman, termasuk simplifikasi pungutan fiskal, definisi ulang barang
kiriman, serta pengaturan khusus untuk jemaah haji dan hadiah internasional.
DJBC mengurusi barang kiriman luar negeri karena barang tersebut merupakan
barang impor yang terutang bea masuk.
-
Penetapan Tarif dan Nilai Pabean
Berwenang menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk dalam jangka waktu tertentu.
-
Penegakan Larangan dan Pembatasan (Lartas)
Melakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan dan/atau pembatasan
ekspor impor oleh Pejabat Bea dan Cukai dan/atau Sistem Komputer Pelayanan
(SKP).
-
Penyelesaian Sengketa
Terlibat dalam sengketa kepabeanan terkait penetapan nilai kena pajak,
tarif impor, penghitungan bea keluar, penggunaan fasilitas, dan sanksi
administratif.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (melalui Direktorat Jenderal terkait)
Kementerian Perdagangan memiliki kewenangan utama dalam perumusan dan
pelaksanaan kebijakan perdagangan, termasuk ekspor dan impor.
1)
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
2)
Tugas Pokok dan Kewenangan
-
Perumusan Kebijakan
Bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kebijakan dan pengaturan di bidang
ekspor dan impor.
-
Perizinan Berusaha
Mewajibkan eksportir dan importir untuk memiliki Perizinan Berusaha di
bidang Ekspor/Impor (seperti NIB, Eksportir Terdaftar, Persetujuan
Ekspor/Impor). Penerbitan perizinan ini dilakukan oleh Direktur Jenderal
atas nama Menteri.
-
Konfirmasi Status Wajib Pajak
Setiap penerbitan perizinan ekspor harus melalui Konfirmasi Status Wajib
Pajak.
-
Penetapan Barang yang Diatur/Dilarang
Menetapkan barang yang diatur ekspornya dan barang yang dilarang
ekspor/impornya.
-
Verifikasi atau Penelusuran Teknis
Melaksanakan verifikasi atau penelusuran teknis terhadap barang tertentu.
-
Pengawasan dan Sanksi
Melakukan pengawasan kegiatan ekspor dan impor, serta menerapkan sanksi
administratif bagi pelanggaran kewajiban.
-
Neraca Komoditas
Pemanfaatan neraca komoditas sebagai dasar penerbitan Persetujuan Ekspor.
-
Pengembangan Ekspor
Melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha untuk pengembangan ekspor,
termasuk pemberian insentif, fasilitas, dan promosi dagang.
Peran Kementerian Lainnya
Berbagai kementerian dan lembaga lain juga memiliki peran krusial dalam
pengaturan ekspor impor, khususnya terkait komoditas di bawah yurisdiksi
mereka.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
1)
Dasar Hukum
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian
Negara.
2)
Tugas Pokok dan Kewenangan
Merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang energi dan sumber daya
mineral, termasuk pengaturan ekspor mineral dan batubara. Kementerian ESDM
menghentikan ekspor mineral mentah per 10 Juni 2023, kecuali untuk
perusahaan dengan fasilitas pemurnian yang memenuhi syarat, sesuai dengan UU
Nomor 3 Tahun 2020 yang menekankan hilirisasi. Peraturan Menteri ESDM juga
mengatur tata cara pemberian wilayah, perizinan, dan pelaporan pada kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara, termasuk rekomendasi eksportir
terdaftar dan persetujuan ekspor timah murni batangan.
Kementerian Pertanian
1)
Dasar Hukum
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2019 tentang Tata Cara Perizinan
Berusaha Sektor Pertanian.
2)
Tugas Pokok dan Kewenangan
Memprioritaskan ekspor komoditas pertanian untuk mengurangi ketergantungan
impor dan memperkuat neraca perdagangan. Ini mencakup pendelegasian wewenang
penerbitan perizinan berusaha sektor pertanian kepada Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), serta rekomendasi ekspor/impor komoditas pertanian
tertentu seperti beras, hortikultura, dan tembakau. Kementerian Pertanian
juga menetapkan harga patokan ekspor untuk produk pertanian yang dikenakan
bea keluar.
Kementerian Kesehatan
1)
Dasar Hukum
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
Penyaluran Alat Kesehatan.
2)
Tugas Pokok dan Kewenangan
Mengatur ekspor dan impor alat kesehatan yang hanya dapat dilakukan oleh
produsen alat kesehatan yang memiliki sertifikat produksi dan/atau Penyalur
Alat Kesehatan (PAK). Selain itu, terdapat pengaturan pemasukan alat
kesehatan melalui mekanisme jalur khusus (Special Access Scheme/SAS) untuk
kebutuhan mendesak. Kementerian Kesehatan juga memberikan rekomendasi untuk
mendapatkan persetujuan impor obat, obat tradisional, suplemen kesehatan,
dan kosmetika sebagai barang komplementer.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
1)
Dasar Hukum
Peraturan BPOM RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Permohonan Analisis Hasil Pengawasan dalam rangka Impor dan Ekspor
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
2)
Tugas Pokok dan Kewenangan
Mengatur standar kegiatan usaha dan produk pada penyelenggaraan perizinan
berusaha berbasis risiko sektor obat dan makanan. BPOM memiliki peran dalam
pengawasan pemasukan obat dan makanan ke dalam wilayah Indonesia.
Yurisprudensi dan Putusan Pengadilan Terkait Ekspor Impor
Tinjauan terhadap yurisprudensi dan putusan pengadilan memberikan pemahaman
mendalam tentang bagaimana kerangka hukum ekspor impor diinterpretasikan dan
diterapkan dalam praktik, khususnya dalam penyelesaian sengketa.
1)
Sengketa Pajak dan Kepabeanan
Mahkamah Agung seringkali menangani sengketa terkait bea masuk dan pajak
ekspor/impor. Contohnya,
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5046 B/PK/PJK/2023, tertanggal 16 November 2023 dan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1811/B/PK/PJK/2016, tertanggal 14 Desember 2016, melibatkan PT Nagase Impor-Ekspor Indonesia
terkait perdagangan besar ekspor impor dan jasa perdagangan, termasuk
sengketa tarif PPN atas ekspor jasa. Putusan-putusan ini menegaskan bahwa
dalam hal pertentangan, ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah
harus didahulukan.
2)
Tindak Pidana Kepabeanan
Berbagai putusan MA menunjukkan penegakan hukum pidana dalam kasus
kepabeanan. Contohnya,
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4043 K/Pid.Sus/2019, tertanggal 19 Desember 2019 dan beberapa putusan PN/PT yang mengadili
tindak pidana kepabeanan, seperti mengangkut barang ekspor tanpa dokumen sah
atau membeli barang hasil kejahatan kepabeanan. Sanksi pidana yang
dijatuhkan bervariasi, mulai dari pidana penjara hingga denda.
3)
Sengketa Administratif
Meskipun tidak secara langsung terkait ekspor-impor, yurisprudensi
administratif menunjukkan bagaimana pengadilan meninjau keputusan tata usaha
negara. Putusan MA terkait sengketa administrasi dapat memberikan preseden
tentang prosedur perizinan atau pembatalan penetapan, yang relevan bagi
pelaku usaha yang menghadapi masalah perizinan ekspor impor.
4)
Menangani sengketa kepabeanan, termasuk penetapan nilai kena pajak, tarif
impor, penghitungan bea keluar, penggunaan fasilitas, dan sanksi
administratif. Asas itikad baik (good faith) menjadi pertimbangan krusial
dalam penyelesaian sengketa nilai pabean. Putusan Pengadilan Pajak
seringkali meninjau apakah importir telah bertindak jujur dalam melaporkan
nilai barang.
5)
Menangani sengketa perdata dan pidana terkait ekspor impor. Contohnya,
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 421/PDT/2021/PT DKI, tertanggal 5 Agustus 2021, menunjukkan sengketa perdata terkait penundaan
penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang menyebabkan kerugian materiil
dan imateriil bagi penggugat. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya
kepastian hukum dalam proses perizinan dan potensi tuntutan hukum jika
terjadi perbuatan melawan hukum oleh pihak yang berwenang. Kasus korupsi
impor gula yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan juga menunjukkan
konsekuensi pidana dalam pelanggaran kebijakan impor.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Rezim pengaturan ekspor impor di Indonesia adalah sebuah konstruksi hukum
yang kompleks, dinamis, dan berlapis, mencerminkan perjalanan historis
bangsa dalam menyeimbangkan kepentingan nasional dengan dinamika perdagangan
global. Dari landasan filosofis “bebas dan aktif” yang berorientasi pada
kepentingan domestik, hingga evolusi kebijakan yang beradaptasi dari
konsolidasi pasca-kemerdekaan, pembangunan berorientasi pertumbuhan, hingga
liberalisasi era Reformasi, setiap fase menunjukkan upaya adaptasi terhadap
tantangan internal dan eksternal.
Integrasi Indonesia ke dalam sistem perdagangan global melalui ratifikasi
konvensi internasional seperti WTO
Agreements, Revised Kyoto Convention, dan
Harmonized System Convention, serta keterlibatan dalam berbagai
perjanjian perdagangan bebas regional dan bilateral, adalah langkah
strategis untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Namun, pengalaman
menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara komitmen formal dan
efektivitas implementasi, terutama dalam kasus perlindungan lingkungan (CITES dan Basel Convention) yang masih menghadapi tantangan penegakan hukum dan kesadaran publik.
Peran berbagai kementerian, mulai dari Kementerian Keuangan (Bea Cukai)
yang mengawasi lalu lintas barang dan memungut bea, Kementerian Perdagangan
yang merumuskan kebijakan dan menerbitkan perizinan, hingga kementerian
sektoral seperti ESDM, Pertanian, dan Kesehatan, menunjukkan bahwa tata
kelola ekspor impor adalah upaya kolaboratif multi-pihak. Instrumen seperti
Persetujuan Ekspor (PE), Laporan Surveyor (LS), dan Eksportir Terdaftar (ET)
adalah vital bagi pelaku usaha untuk menavigasi rezim ini secara patuh dan
efisien.
Yurisprudensi dan putusan pengadilan menegaskan pentingnya kepastian hukum
dan konsekuensi serius dari pelanggaran, baik dalam sengketa administratif,
pidana kepabeanan, maupun sengketa perdata terkait perizinan. Kasus-kasus
seperti penundaan SPI atau korupsi impor gula menjadi pengingat akan
pentingnya tata kelola yang bersih dan transparan.
Untuk melahirkan pandangan yang utuh dan komprehensif, beberapa rekomendasi
dapat diajukan:
1.
Terus-menerus mengkaji dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan di
berbagai tingkatan (pusat-daerah) dan antar-kementerian untuk menghindari
tumpang tindih, celah hukum, dan inkonsistensi yang dapat menghambat
kelancaran perdagangan;
2.
Mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk lembaga penegak hukum
(khususnya Bea Cukai dan kepolisian) dalam mengawasi dan menindak
pelanggaran, terutama terkait perdagangan ilegal komoditas sensitif (seperti
flora/fauna dilindungi dan limbah berbahaya). Reformasi sanksi perlu
dipertimbangkan untuk memberikan efek jera yang lebih kuat;
3.
Memastikan semua peraturan, persyaratan, dan prosedur ekspor impor mudah
diakses dan dipahami oleh pelaku usaha, termasuk UMKM, melalui platform
digital yang terintegrasi;
4.
Melakukan sosialisasi yang masif dan berkelanjutan kepada pelaku usaha dan
masyarakat luas mengenai kewajiban dan larangan dalam kegiatan ekspor impor,
serta dampak hukum dari ketidakpatuhan;
5.
Kebijakan ekspor impor harus didasarkan pada analisis data yang mendalam
mengenai situasi pasar global, kebutuhan domestik, dan proyeksi industri,
serta mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan secara
holistik. Mekanisme Neraca Komoditas perlu terus dioptimalkan; dan
6.
Mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk merumuskan peraturan
daerah yang mendukung pengembangan komoditas unggulan lokal (seperti kelapa
sawit dan kratom di Kalbar) dalam kerangka hukum nasional dan internasional,
dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani dan keberlanjutan
lingkungan.
Dengan implementasi yang lebih koheren dan penegakan hukum yang lebih kuat, rezim ekspor impor Indonesia dapat menjadi pilar yang lebih kokoh bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan, sekaligus melindungi kepentingan nasional di tengah dinamika perdagangan global yang terus berubah.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.