Pengantar
Perizinan konstruksi merupakan fondasi krusial dalam pembangunan suatu
negara, melampaui sekadar prosedur administratif semata. Keberadaannya
esensial untuk memastikan bahwa setiap aktivitas pembangunan berlangsung
secara tertib, aman, dan berkelanjutan. Fungsi utamanya adalah sebagai
instrumen hukum yang mengendalikan kualitas struktural, menjamin keselamatan
publik, serta menjaga keselarasan proyek dengan rencana tata ruang dan
perlindungan lingkungan hidup.
Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), sebagai bentuk perizinan konstruksi
terkini, secara eksplisit bertujuan untuk memastikan bahwa pembangunan dan
pengelolaan bangunan gedung memenuhi standar yang berlaku, mencakup aspek
keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, sebagaimana diatur
dalam
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang Bangunan Gedung”.
Pentingnya perizinan ini tidak dapat diremehkan. Tanpa regulasi yang ketat,
pembangunan berisiko menimbulkan dampak negatif yang luas, mulai dari
kegagalan struktur yang membahayakan nyawa, kerusakan lingkungan yang tidak
dapat diperbaiki, hingga kekacauan tata kota. Oleh karena itu, kerangka
regulasi perizinan konstruksi, termasuk PBG, dirancang untuk memberikan
perlindungan hukum dan kepastian bagi pemilik bangunan, sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) PP tentang Bangunan Gedung, sekaligus menjaga kepentingan masyarakat luas dan keberlanjutan
ekosistem.
Pendekatan ini mencerminkan komitmen kebijakan yang mendalam untuk
menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Urgensi perizinan ini, dengan demikian, bersumber dari risiko
inheren dalam kegiatan konstruksi dan peran negara dalam memitigasi risiko
tersebut sambil menciptakan lingkungan hukum yang prediktif bagi
investasi.
Transformasi Rezim Perizinan: Dari IMB ke PBG
Lanskap perizinan konstruksi di Indonesia telah mengalami transformasi
signifikan, ditandai dengan pergeseran dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Perubahan ini bukan sekadar
pergantian nomenklatur, melainkan refleksi dari perubahan filosofi dan
pendekatan regulasi yang lebih luas.
Sebelum diberlakukannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”, IMB merupakan
izin fundamental yang wajib dimiliki oleh setiap pihak yang berkeinginan
untuk mendirikan, mengubah, memperluas, mengurangi, atau merawat bangunan
gedung. Proses pengurusan IMB secara historis seringkali dikeluhkan karena
sifatnya yang birokratis, memakan waktu, dan kurang transparan. Persyaratan
yang ekstensif dan berlapis menjadi ciri khasnya, seperti yang terlihat dari
dokumen-dokumen yang harus disiapkan, antara lain:
1.
Surat pengantar dari Ketua RT/RW;
2.
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemohon dan persetujuan lingkungan;
3.
Fotokopi bukti kepemilikan tanah (Sertifikat Hak Milik/Akta Jual Beli/Akta
Hibah);
4.
Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) beserta bukti lunasnya, block plan atau site plan, serta
berbagai surat pernyataan seperti pernyataan tahan gempa dan penggunaan
pelaksana/pengawas konstruksi bersertifikat.
Kerangka hukum IMB pada masa itu juga diatur dalam berbagai peraturan,
termasuk
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1993
tentang Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-Undang Gangguan bagi
Perusahaan Industri, yang kemudian diganti oleh
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2010
tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan, yang selanjutnya disebut dengan “Permendagri tentang IMB 2010”.
Kumpulan persyaratan yang rinci dan peraturan yang berlapis ini, meskipun
bertujuan untuk memastikan pengawasan yang cermat, seringkali justru
menciptakan hambatan administratif dan kurangnya fleksibilitas. Pendekatan
“perintah dan kontrol” yang dominan pada era IMB ini, meskipun berupaya
menjamin pengawasan, seringkali berujung pada inefisiensi dan kurangnya
ketangkasan dalam proses birokrasi, yang pada akhirnya memicu kebutuhan akan
reformasi menuju sistem yang lebih efisien dan responsif.
Kemudian, PBG diperkenalkan sebagai pengganti IMB melalui UU tentang Cipta
Kerja dan peraturan pelaksananya, khususnya PP tentang Bangunan Gedung.
Perubahan ini lebih dari sekadar pergantian nama; ia menandai pergeseran
filosofi mendasar dari “izin” yang cenderung bersifat diskresioner menjadi
“persetujuan” yang berlandaskan pada pemenuhan standar teknis yang telah
ditetapkan.
Tujuan utama PBG adalah untuk memastikan bahwa pembangunan dan pengelolaan
bangunan gedung selaras dengan standar teknis yang berlaku, sehingga
menjamin keselamatan, kenyamanan, dan keberlanjutan bangunan bagi
penggunanya dan lingkungan sekitarnya, sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) PP tentang Bangunan Gedung. PBG berfungsi sebagai perizinan yang harus diperoleh sebelum dimulainya
pembangunan, memberikan legalitas bahwa bangunan direncanakan dan dibangun
sesuai peraturan.
Pergeseran ini dari “izin” menjadi “persetujuan” menandakan perubahan
fundamental dalam pendekatan regulasi. Ini berarti bahwa
persetujuan diberikan bukan berdasarkan diskresi pejabat, melainkan
berdasarkan demonstrasi pemenuhan standar teknis yang telah ditentukan. Hal ini menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari pemohon dan peran
yang lebih sentral bagi profesional bersertifikat, dengan pengawasan
pemerintah yang bergeser ke arah verifikasi dan penegakan, bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dan mengurangi peluang keputusan yang
sewenang-wenang.
Asas-asas Hukum Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia didasarkan pada serangkaian
asas hukum fundamental yang dirancang untuk menjamin kualitas, keamanan, dan
keberlanjutan pembangunan. Asas-asas ini mencerminkan visi holistik dalam
pengaturan sektor konstruksi.
Empat asas utama yang menjadi landasan adalah:
-
Asas Kemanfaatan
Menjamin bahwa bangunan gedung diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi
yang ditetapkan, serta menjadi wadah kegiatan manusia yang memenuhi
nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan
kepantasan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Bangunan Gedung”.
-
Asas Keselamatan
Memastikan bangunan gedung memenuhi persyaratan keandalan teknis untuk
menjamin keselamatan pemilik, pengguna, masyarakat, dan lingkungan di
sekitarnya.
-
Asas Keseimbangan
Menghendaki keberadaan bangunan gedung agar tidak mengganggu keseimbangan
ekosistem dan lingkungan di sekitarnya, serta memastikan pembangunan yang
berkelanjutan.
-
Asas Keserasian
Mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungan di
sekitarnya.
Selain itu, asas kelestarian dan keberlanjutan juga menjadi prinsip
penting, menekankan upaya menjaga kesehatan lingkungan dengan menciptakan
tempat tinggal yang nyaman dan aman. Asas keterbukaan mewajibkan pemerintah
untuk secara aktif memberikan informasi kepada masyarakat tentang permohonan
dan rencana tindakan pemerintah, serta memberikan penjelasan atas berbagai
hal yang diminta.
Asas keadilan menuntut adanya kesetaraan dalam perlakuan dan pemenuhan
hak-hak individu. Kumpulan prinsip hukum yang komprehensif ini menunjukkan
arsitektur hukum yang canggih dan holistik yang mendasari hukum konstruksi.
Ini tidak hanya berfokus pada integritas struktural, tetapi juga mencakup
tujuan sosial dan lingkungan yang lebih luas, serta secara langsung
mengatasi masalah tata kelola yang baik dan partisipasi publik yang
seringkali menjadi titik perdebatan dalam rezim IMB sebelumnya. Hal ini
mengindikasikan upaya yang disengaja untuk membangun kerangka peraturan yang
lebih kuat dan berlandaskan etika.
Landasan Filosofis dan Sosiologis PBG
Landasan filosofis PBG adalah untuk mewujudkan bangunan gedung yang
fungsional, sesuai dengan tata bangunan gedung, serasi dan selaras dengan
lingkungannya, serta menjamin keandalan teknis dari segi keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi penghuninya dan lingkungan
sekitarnya. Ini juga bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung.
Sedangkan, secara sosiologis, PBG berupaya memberikan keamanan dan
kenyamanan bagi lingkungan sekitar, mengakui bahwa bangunan tidak hanya
berfungsi sebagai wadah kegiatan manusia, tetapi juga harus berkontribusi
pada kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. PBG juga mempertimbangkan
keragaman arsitektur dan ornamen bangunan tradisional sebagai cerminan
identitas budaya dan warisan suatu wilayah, menjadikannya sarana pendidikan
dan pengetahuan bagi masyarakat untuk memahami dan menghargai akar budaya
mereka.
Pernyataan eksplisit mengenai landasan filosofis dan sosiologis ini
menunjukkan bahwa PBG bukan sekadar peraturan teknis, melainkan instrumen
kebijakan yang dirancang untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas.
Penekanan pada keandalan teknis untuk keselamatan dan kenyamanan secara
langsung memenuhi kebutuhan praktis penghuni dan komunitas sekitar. Lebih
lanjut, pencantuman pertimbangan budaya dan estetika menunjukkan pengakuan
bahwa bangunan bukan hanya struktur fungsional, tetapi juga berkontribusi
pada lanskap budaya dan kesejahteraan komunitas. Pandangan komprehensif ini
mengangkat proses perizinan melampaui sekadar kepatuhan menjadi alat untuk
pembangunan perkotaan yang holistik.
Dampak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Nomor 11 Tahun 2020 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2022) terhadap Perizinan Konstruksi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja
(UU tentang Cipta Kerja), yang kemudian dicabut dan diganti dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang selanjutnya disebut dengan “Perpu tentang Cipta Kerja”, dan selanjutnya ditetapkan menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja 2023”, membawa perubahan fundamental dalam rezim perizinan berusaha di
Indonesia, termasuk sektor konstruksi. Undang-undang ini merangkum 77
undang-undang dan terbagi ke dalam 11 klaster, dengan fokus pada kemudahan
berusaha serta peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. UU
tentang Cipta Kerja secara eksplisit menjadi salah satu dasar hukum bagi
PBG.
Pergantian instrumen legislatif yang cepat ini (UU 11/2020, Perpu 2/2022,
UU 6/2023) dalam waktu singkat menunjukkan dorongan kuat pemerintah untuk
mempercepat reformasi ekonomi. Meskipun tujuannya adalah menyederhanakan
proses dan menarik investasi, dinamisme legislatif semacam ini dapat
menciptakan ketidakpastian awal bagi pelaku usaha dan praktisi yang berupaya
mengikuti perkembangan hukum. Keterkaitan langsung antara PBG dan
undang-undang “omnibus” ini menempatkan perizinan konstruksi sebagai
komponen sentral dari strategi ekonomi nasional yang lebih luas.
Konsep Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR)
Salah satu inovasi utama dari UU tentang Cipta Kerja adalah pengenalan
konsep Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR). Pendekatan ini membedakan
perizinan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha terhadap kesehatan,
keselamatan, lingkungan, dan kepatuhan hukum, yang diklasifikasikan menjadi
risiko rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi. Tingkat risiko
ini secara langsung menentukan jenis perizinan dan tingkat pengawasan yang
dibutuhkan oleh pelaku usaha. Misalnya, untuk kegiatan usaha dengan risiko
rendah, cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB), sementara untuk risiko
tinggi, diperlukan izin yang lebih kompleks dan evaluasi teknis yang ketat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang PBBR 2021”, awalnya menjadi peraturan pelaksana UU Cipta Kerja terkait PBBR. Namun,
peraturan ini kemudian dicabut dan diganti oleh
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang PBBR 2025”, yang lebih lanjut memperjelas definisi PBBR, Perizinan Berusaha (PB),
NIB, Izin, serta tata cara pengawasan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 PP PBBR 2025.
Adopsi PBBR ini menandakan pergeseran strategis dari pendekatan regulasi
yang seragam dan seringkali memberatkan, menjadi pendekatan yang lebih
bernuansa dan efisien. Dengan menyesuaikan intensitas regulasi dengan risiko
inheren suatu kegiatan, pemerintah bertujuan untuk mengoptimalkan alokasi
sumber daya, memfokuskan pengawasan intensif pada kegiatan berisiko tinggi
sambil menyederhanakan proses untuk kegiatan berisiko rendah. Evolusi
berkelanjutan dari peraturan ini menunjukkan kerangka kebijakan yang
adaptif, di mana pemerintah secara aktif menyempurnakan sistem berdasarkan
pengalaman dan umpan balik untuk meningkatkan efektivitasnya dan memberikan
kepastian hukum yang lebih besar.
Penyederhanaan dan Kepastian Hukum
Tujuan utama dari PBBR adalah penyederhanaan proses perizinan dan
peningkatan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Hal ini diharapkan dapat
mendorong investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, dan pada gilirannya
menciptakan lapangan kerja baru. Sistem
Online Single Submission (OSS) menjadi platform utama untuk
implementasi PBBR, yang memungkinkan pelaku usaha mengajukan perizinan
secara elektronik tanpa perlu mengunjungi kantor layanan perizinan secara
fisik. Peluncuran OSS Berbasis Risiko (OSS-RBA) pada Agustus 2021 semakin
memperkuat komitmen pemerintah terhadap reformasi ini.
Meskipun tujuan kebijakan yang dinyatakan adalah penyederhanaan dan
kepastian hukum, pengesahan UU Cipta Kerja pada awalnya menuai protes dan
kekhawatiran dari berbagai kalangan. Beberapa kekhawatiran meliputi potensi
ketidakjelasan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, hilangnya
pengaturan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara eksplisit,
serta ketidakpastian bagi dunia usaha karena banyaknya aturan teknis yang
akan berubah. Namun, pengembangan dan penyempurnaan berkelanjutan dari
sistem OSS-RBA dan peraturan-peraturan turunannya merupakan respons
pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi gesekan transisi ini dan
mewujudkan kepastian hukum serta kemudahan berusaha yang dijanjikan. Ini
menyoroti ketegangan umum dalam reformasi hukum berskala besar: tantangan
adaptasi dan gangguan jangka pendek versus manfaat jangka panjang dari
sistem yang lebih efisien.
Kerangka Hukum Perizinan Konstruksi: Hierarki dan Relevansi
Kerangka hukum perizinan konstruksi di Indonesia adalah sistem yang
kompleks dan hierarkis, yang berakar pada konstitusi dan dijabarkan dalam
berbagai undang-undang serta peraturan pelaksana di bawahnya. Pemahaman yang
komprehensif terhadap hierarki dan relevansi setiap tingkatan peraturan ini
sangat penting untuk menavigasi proses perizinan.
Dasar konstitusional bagi kerangka hukum perizinan konstruksi khususnya
tertuang dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menjadi landasan prinsip otonomi daerah. Prinsip ini fundamental dalam
pembagian kewenangan perizinan antara pemerintah pusat dan daerah. Di bawah
konstitusi, terdapat beberapa undang-undang utama yang secara langsung
mengatur sektor konstruksi dan perizinannya:
1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
(selanjutnya disebut dengan “UU tentang Bangunan Gedung”) yaitu Undang-undang ini merupakan landasan sektoral utama yang secara
spesifik mengatur penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk persyaratan
administratif dan teknis yang harus dipenuhi. PBG sendiri diatur dalam
kerangka undang-undang ini sebagai bagian dari regulasi yang lebih luas
tentang pengelolaan bangunan gedung.
2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Jasa Konstruksi”, yang mana Undang-undang ini mengatur aspek usaha jasa konstruksi secara
menyeluruh, termasuk ketentuan mengenai sertifikasi tenaga ahli dan badan
usaha yang terlibat dalam proyek konstruksi, seperti Surat Izin Usaha Jasa
Konstruksi (SIUJK).
3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Penataan Ruang”,
Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi penyusunan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) yang harus dipatuhi dalam setiap kegiatan pembangunan.
Kepatuhan terhadap tata ruang sangat penting untuk memastikan keselarasan
penggunaan lahan dan mencegah pembangunan yang tidak sesuai peruntukan.
4)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja
(yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”) (dan perubahannya menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja 2023)), yang mana Undang-undang ini merevolusi sistem perizinan berusaha secara
umum, termasuk perizinan konstruksi, dengan memperkenalkan konsep perizinan
berbasis risiko dan sistem Online Single Submission (OSS).
Undang-undang ini secara fundamental mengubah dan mengintegrasikan ketentuan
dari berbagai undang-undang sektoral lainnya, termasuk yang berdampak
langsung pada konstruksi.
Jaringan undang-undang dasar dan undang-undang sektoral ini menunjukkan
arsitektur hukum yang sangat terintegrasi namun kompleks. UU Cipta Kerja
bertindak sebagai undang-undang “meta” yang secara fundamental mengubah dan
mengintegrasikan ketentuan di berbagai undang-undang sektoral. Integrasi
vertikal dan horizontal ini bertujuan untuk mencapai konsistensi dan
penyederhanaan, tetapi memerlukan pemahaman yang nuansa tentang bagaimana
prinsip-prinsip umum dari undang-undang omnibus berinteraksi dengan
aturan-aturan yang lebih spesifik dan terperinci dari undang-undang
sektoral. Landasan konstitusional untuk otonomi daerah memberikan kerangka
kerja menyeluruh untuk pembagian kewenangan pusat-daerah, yang kemudian
dijabarkan dalam peraturan-peraturan selanjutnya.
Kemudian, Undang-undang di atas kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
berbagai peraturan pelaksana yang membentuk detail operasional perizinan
konstruksi, memastikan implementasi yang seragam dan terstandardisasi di
seluruh Indonesia, antara lain:
1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
(yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang Bangunan Gedung”), ini adalah
peraturan kunci yang merinci mekanisme PBG dan secara resmi menggantikan
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005. PP ini mengamanatkan
penyelenggaraan PBG melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung
(SIMBG), sebuah platform elektronik nasional, sebagaimana diatur dalam
Pasal 261 ayat (1) PP tentang Bangunan Gedung.
2)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang Penataan Ruang”, yang mana
mengatur lebih lanjut implementasi UU Penataan Ruang, khususnya terkait
dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) yang menjadi prasyarat
penting dalam pengajuan PBG.
3)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2020 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang Jasa Konstruksi 2020” (diubah oleh
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang Jasa Konstruksi 2021”), yang mana merinci berbagai aspek usaha jasa konstruksi, termasuk
struktur usaha, jenis, sifat, klasifikasi, dan layanan usaha jasa
konstruksi.
4)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
(yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang PBBR 2025”), ini adalah peraturan terbaru yang mencabut PP PBBR 2021, menjadi dasar
operasional PBBR dan sistem OSS. Peraturan ini bertujuan memberikan
kepastian hukum yang lebih besar dan menyempurnakan proses bisnis perizinan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 PP tentang PBBR 2025.
5)
Meskipun tidak ada Peraturan Presiden yang secara spesifik dan langsung
mengatur PBG dalam informasi yang diberikan, Peraturan Presiden seringkali
menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang untuk mengatur
detail pelaksanaan, terutama terkait sistem OSS dan kebijakan investasi.
Sebagai contoh,
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 tentang
Bidang Usaha Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut dengan “Perpres tentang Penanaman Modal”, relevan dalam konteks investasi di sektor konstruksi. Selain itu,
Peraturan Presiden juga menjadi dasar hukum bagi
Online Single Submission (OSS) sebagai sistem perizinan berusaha yang
terintegrasi secara elektronik.
6)
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan
Sertifikat Standar Jasa Konstruksi, yang selanjutnya disebut dengan “Permen PUPR tentang Sertifikasi Jasa Konstruksi”, yang mengatur secara detail mengenai sertifikasi bagi pelaku usaha jasa
konstruksi, seperti Sertifikat Keahlian (SKA) atau Sertifikat Keterampilan
(SKT), dan Sertifikat Badan Usaha (SBU), yang merupakan prasyarat untuk
mendapatkan SIUJK.
7)
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi
Melalui Penyedia, yang selanjutnya disebut dengan “Permen PUPR tentang Pengadaan Jasa Konstruksi”, peraturan ini sangat relevan untuk proyek konstruksi yang melibatkan
pengadaan barang/jasa pemerintah, mengatur standar dan pedoman dalam
pemilihan penyedia jasa konstruksi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Permen PUPR Pengadaan Jasa Konstruksi.
8)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang selanjutnya disebut dengan “Permen LHK tentang Standar Kegiatan Usaha”, dan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki
AMDAL, UKL-UPL, atau SPPL, yang selanjutnya disebut dengan “Permen LHK tentang AMDAL”, kedua peraturan ini mengatur persyaratan izin lingkungan yang krusial
bagi proyek konstruksi, memastikan bahwa pembangunan mematuhi standar
perlindungan lingkungan hidup.
9)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pertimbangan Teknis Pertanahan, yang selanjutnya disebut dengan “Permen ATR/BPN tentang Pertimbangan Teknis”, dan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang, yang selanjutnya disebut dengan “Permen ATR/BPN tentang KKPR”: Peraturan-peraturan ini mengatur aspek pertanahan dan kesesuaian tata
ruang, yang merupakan prasyarat penting dalam perizinan konstruksi untuk
memastikan pembangunan sesuai dengan peruntukan lahan; dan
10)
Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12
Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Melalui Penyedia, yang selanjutnya disebut dengan “Perlem LKPP tentang Pengadaan Barang/Jasa”, peraturan ini memiliki relevansi signifikan untuk proyek konstruksi yang
didanai oleh pemerintah, mengatur pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa
untuk memastikan proses yang transparan dan akuntabel.
Seluruh peraturan pelaksana ini berfungsi untuk menerjemahkan
prinsip-prinsip dan ketentuan umum dari undang-undang ke dalam prosedur
operasional yang konkret. Keberadaan berbagai tingkatan peraturan ini
menunjukkan upaya pemerintah untuk menciptakan sistem perizinan yang
komprehensif, terstandardisasi, dan terintegrasi secara nasional.
Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Perizinan Konstruksi
Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
perizinan konstruksi merupakan manifestasi dari prinsip desentralisasi dan
otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia. Konsep ini bertujuan untuk
mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan memungkinkan daerah untuk
mengelola urusannya sendiri sesuai dengan potensi dan karakteristik
wilayahnya.
Pembagian kewenangan ini berakar pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota, yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah yang diatur dalam
undang-undang. Prinsip desentralisasi, sebagai sistem pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, memberikan wewenang kepada
pemerintah daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri, yang dikenal
sebagai otonomi daerah.
Meskipun dalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat,
pelimpahan kewenangan (devolusi) ke pemerintah daerah memungkinkan
terciptanya efisiensi dan responsivitas yang lebih baik terhadap kebutuhan
lokal. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan dalam harmonisasi kebijakan
dan standar antara pusat dan daerah, terutama pasca-berlakunya UU Cipta
Kerja yang cenderung mensentralisasi beberapa kewenangan.
Kewenangan Pemerintah Pusat
Dalam kerangka PBG yang baru, pemerintah pusat memegang peran strategis
dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) PBG yang
menjadi acuan standar pelaksanaan di seluruh wilayah Indonesia. Penetapan
NSPK ini bertujuan untuk menciptakan kejelasan dan kesamaan layanan PBG
serta iklim usaha yang kondusif.
Selain itu, pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam penetapan dan
penyelenggaraan bangunan gedung yang memiliki kepentingan strategis nasional
atau berfungsi khusus. Pemerintah pusat juga bertanggung jawab atas
pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), sebuah
sistem elektronik berbasis web yang berlaku secara nasional untuk
melaksanakan seluruh proses penyelenggaraan PBG, Sertifikat Laik Fungsi
(SLF), Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG), Rencana Teknis
Pembongkaran Bangunan Gedung (RTB), dan pendataan bangunan gedung.
Fungsi pembinaan dan pengawasan juga berada di tangan pemerintah pusat,
yang dilaksanakan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, termasuk penyelenggaraan PBG. Teknis pembinaan dan
pengawasan PBG dikoordinasikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR). Lebih lanjut, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Keuangan memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi preventif terhadap
rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai retribusi PBG, serta evaluasi
represif terhadap perda yang sudah ditetapkan, untuk memastikan keselarasan
dengan kebijakan fiskal nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Kewenangan ini diatur dalam kerangka hukum yang lebih luas mengenai
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta
penyelenggaraan perizinan berusaha. Dasar hukum dan penjelasannya dapat
dilihat pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 tentang
Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang PDRD 2023”. Peraturan ini mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 2021. Yang mana menyebutkan bahwa
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), Kementerian
Dalam Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi preventif terhadap rancangan
peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Evaluasi ini bertujuan untuk menguji kesesuaian raperda
dengan kebijakan fiskal nasional (oleh Kementerian Keuangan) serta
kesesuaian dengan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, kepentingan umum, dan peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi (oleh Kementerian Dalam Negeri).
Kemudian,
Evaluasi Peraturan Daerah (Perda) yang Sudah Ditetapkan, kedua
Kementerian tersebut juga berwenang melakukan evaluasi represif terhadap
perda yang sudah ditetapkan. Jika ditemukan ketidaksesuaian dengan
kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau
kebijakan fiskal nasional, Kementerian Keuangan akan merekomendasikan
perubahan perda kepada Kementerian Dalam Negeri, yang kemudian akan meminta
pemerintah daerah untuk melakukan perubahan tersebut.
Kewenangan ini merupakan bagian dari fungsi pembinaan dan pengawasan
pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, termasuk dalam hal pemungutan retribusi daerah, untuk
memastikan keselarasan dengan kebijakan nasional dan kepastian hukum.
Kewenangan Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota, memegang peran operasional
yang vital dalam penyelenggaraan perizinan konstruksi di wilayahnya.
Kewenangan pemerintah daerah pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi
penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi, fasilitasi
penyelenggaraan Sistem Informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah, pengaturan
struktur usaha jasa konstruksi (jenis, sifat, klasifikasi, dan layanan
usaha), serta pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib
pemanfaatan Jasa Konstruksi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 7 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Dalam melaksanakan kewenangan ini, pemerintah daerah dapat melibatkan
masyarakat jasa konstruksi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 7 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Selanjutnya, Pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan utama
dalam penyelenggaraan bangunan gedung di wilayahnya, termasuk pemberian
Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti IMB. Pemerintah daerah
kabupaten/kota wajib menyediakan layanan PBG paling lambat 6 bulan sejak PP
tentang Bangunan Gedung ditetapkan, yaitu paling lambat 2 Agustus 2021.
Untuk mendukung penyediaan layanan ini, pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang memungut retribusi PBG, dengan terlebih dahulu menetapkan Peraturan Daerah (Perda) PBG sebagai dasar hukum pemungutan. Dinas teknis di daerah menetapkan nilai retribusi PBG berdasarkan indeks terintegrasi dan harga satuan retribusi tertinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, menggunakan aplikasi perhitungan yang disediakan oleh Kementerian PUPR. Penerbitan PBG dilakukan oleh dinas yang membidangi urusan perizinan di daerah setelah menerima bukti pembayaran retribusi.
Pemerintah daerah juga memiliki fungsi pengawasan PBG melalui proses
konsultasi bersama Tim Profesi Ahli (TPA) saat penerbitan PBG dan mekanisme
inspeksi oleh penilik pada tahap konstruksi. Selain itu, pemerintah daerah
wajib membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu untuk pemberian pelayanan
perizinan berusaha dan dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan
sistem perizinan berusaha terintegrasi elektronik sesuai dengan standar yang
ditetapkan pemerintah pusat.
Implementasi di Kalimantan Barat (Kalbar)
Di Provinsi Kalimantan Barat, implementasi PBG dan retribusinya telah
diatur melalui peraturan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota,
sebagai tindak lanjut dari regulasi pusat. Misalnya,
Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 1 Tahun 2022 tentang Retribusi
Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut dengan “Perda Kubu Raya tentang Retribusi PBG”, mengatur tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung, yang merupakan
penyesuaian dari Perda Retribusi Izin Mendirikan Bangunan sebelumnya,
berdasarkan amanat UU Cipta Kerja dan PP Bangunan Gedung. Peraturan ini
secara eksplisit mendefinisikan PBG sebagai perizinan yang diberikan kepada
pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,
mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai standar teknis,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 9 Perda Kubu Raya tentang Retribusi PBG.
Selain itu, Kabupaten Kubu Raya juga memiliki
Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 8 Tahun 2021 tentang
Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi, yang selanjutnya disebut dengan “Perda Kubu Raya tentang PBG & SLF”, yang mencabut
Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 2 Tahun 2015. Di Kabupaten
Mempawah, terdapat Peraturan Bupati Mempawah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan
Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut dengan “Perbup Mempawah tentang PBG”, yang merinci tahapan proses PBG, termasuk konsultasi perencanaan dan
penerbitan, serta masa berlaku PBG. Peraturan ini juga menegaskan bahwa PBG
diterbitkan secara elektronik melalui SIMBG, sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) Perbup Mempawah tentang PBG. Untuk Kota Pontianak,
terdapat
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 10 Tahun 2018 tentang Bangunan
Gedung, yang selanjutnya disebut dengan “Perda Pontianak tentang Bangunan Gedung”, dan
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 8 Tahun 2019 tentang Retribusi
Perizinan Tertentu, yang selanjutnya disebut dengan “Perda Pontianak Retribusi Perizinan”, yang kemungkinan besar mencakup retribusi terkait bangunan gedung.
Peraturan Daerah Kabupaten Pontianak Nomor 1 Tahun 2022 tentang Retribusi
Persetujuan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disebut dengan “Perda Pontianak tentang Retribusi PBG” (yang juga merujuk pada penyesuaian dari Perda Retribusi IMB sebelumnya),
juga mengatur Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung, dengan rincian
perhitungan berdasarkan luas total lantai, indeks lokalitas, standar harga
satuan tertinggi, indeks terintegrasi, dan indeks bangunan gedung terbangun,
sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 ayat (1) Perda Pontianak Retribusi PBG.
Peraturan-peraturan daerah ini menunjukkan bagaimana pemerintah daerah di
Kalimantan Barat mengadaptasi mandat pusat ke dalam kerangka hukum lokal,
memastikan bahwa persyaratan dan prosedur PBG terintegrasi dalam sistem
administrasi daerah. Meskipun demikian, harmonisasi antara peraturan pusat
dan daerah tetap menjadi tantangan, terutama dalam memastikan konsistensi
penerapan standar teknis dan retribusi.
Prosedur Pengurusan Izin Konstruksi: Dari Pengajuan hingga Pelaksanaan
Proses pengurusan izin konstruksi di Indonesia, terutama setelah
transformasi ke PBG dan sistem berbasis risiko, melibatkan beberapa tahapan
krusial, mulai dari legalitas usaha hingga persetujuan teknis bangunan.
Adapun penjabarannya sebagai berikut, perhatikan secara seksama:
Tahapan Umum Perizinan Konstruksi (SIUJK & PBG)
Penting untuk membedakan antara perizinan usaha di bidang jasa konstruksi
(SIUJK) dan perizinan untuk mendirikan bangunan (PBG), meskipun keduanya
saling terkait dalam ekosistem konstruksi.
1.
Pengurusan SIUJK (Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi)
Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) adalah legalitas yang wajib
dimiliki oleh badan usaha yang bergerak di bidang jasa konstruksi, meliputi
jasa pelaksana, pengawas, maupun perencana. Proses pengurusannya melibatkan
tiga tahapan utama:
-
Tahap 1 - Sertifikasi Tenaga Ahli (SKA) atau Terampil (SKT).
Kebutuhan SKA atau SKT bergantung pada kualifikasi Izin Usaha Jasa
Konstruksi (IUJK) yang diperlukan. Misalnya, untuk kualifikasi kecil (K1)
cukup dengan SKT dengan tenaga ahli berijazah SMA atau STM, sedangkan untuk
kualifikasi menengah (M1) membutuhkan SKA dengan tenaga ahli minimal
sarjana.
-
Tahap 2 - Sertifikasi Badan Usaha (SBU)
Setelah memiliki SKA/SKT, langkah selanjutnya adalah mendapatkan SBU.
Dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan untuk mendapatkan SBU meliputi:
Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Pengesahan), Akta Pendirian Usaha (PT
atau CV), Surat Keterangan Domisili Usaha, Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengusaha Kena Pajak (PKP), Tanda
Daftar Perusahaan (TDP), SKA/SKT, Neraca & Laporan Keuangan Perusahaan,
Kartu Anggota Asosiasi (KTA), Struktur Organisasi, KTP Pengurus Perusahaan,
dan Pas Foto.
-
Tahap 3: Pengurusan SIUJK
Setelah memiliki SKA dan SBU, badan usaha dapat mengajukan SIUJK ke
Pemerintah Daerah terkait. Persyaratan untuk mengajukan SIUJK mencakup
sebagian besar dokumen yang dibutuhkan untuk SBU, ditambah Sertifikasi Badan
Usaha (SBU) yang telah diperoleh.
2.
Pengurusan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung)
PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan
gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung.
a.
Pengajuan Permohonan PBG melalui SIMBG
Proses pengajuan PBG kini sebagian besar dilakukan secara elektronik
melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG) yang dikelola
oleh Kementerian PUPR. Bagi kegiatan usaha yang membutuhkan pembangunan
gedung, sistem Online Single Submission (OSS) akan memberikan notifikasi
mengenai keperluan PBG dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) kepada SIMBG.
Notifikasi juga akan diberikan kepada pelaku usaha untuk menindaklanjuti
permohonan PBG dan SLF melalui SIMBG. Pemohon dapat langsung mengajukan
secara daring melalui OSS RBA untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB),
kemudian mengajukan permohonan PBG secara daring melalui aplikasi SIMBG
(simbg.pupr.go.id) dengan mengunggah dokumen persyaratan. Bagi pemohon yang
kesulitan mengakses sistem daring, layanan perbantuan tersedia di kantor
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
b.
Persyaratan Administratif dan Teknis PBG
Persyaratan PBG dibagi menjadi persyaratan administratif dan teknis, dengan
detail yang bervariasi tergantung pada kompleksitas dan fungsi bangunan
(hunian atau non-hunian) serta luas dan jumlah lantainya.
Persyaratan Administratif Umum meliputi:
-
Surat Permohonan bermeterai.
-
Surat pernyataan tanggung jawab dan kebenaran dokumen bermeterai.
-
Fotokopi KTP pemohon.
-
Fotokopi bukti kepemilikan tanah (SHM/AJB/Akta Hibah, atau Kutipan C Desa
dengan surat jual beli/pembagian harta hak waris/hibah).
-
Fotokopi SPPT PBB dan bukti lunas PBB/STTS PBB tahun terakhir.
-
Surat Keterangan Rencana Kota (SKRK) dari DPUPR.
-
Foto kondisi lahan di lokasi ditambah titik koordinat lokasi bangunan.
-
Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dan Berita Acara Penyerahan
Fasos/Fasum (untuk lahan yang dipecah ≥ 10 kapling atau ≥ 1500 m²).
-
Dokumen lingkungan (AMDAL, UKL/UPL, SPPL) jika IPPT memanfaatkan lahan ≥ 1
Ha atau bangunan berdampak luas.
-
Surat pernyataan persetujuan tetangga.
-
Akta pendirian perusahaan (untuk non-perorangan).
-
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perorangan/Berbadan Hukum.
Persyaratan Teknis meliputi:
-
Data kondisi tanah (gambar peta lokasi, batas tanah, luas tanah, uraian
data bangunan eksisting, kontur tanah jika kemiringan > 30%).
-
Gambar arsitektur lengkap: situasi (siteplan), rencana tapak, denah,
potongan, tampak, dan detail bangunan gedung.
-
Perhitungan teknis struktur/analisa struktur (terutama untuk bangunan lebih
dari dua lantai atau dengan bentang struktur tertentu).
-
Gambar rencana pondasi, kolom, balok, pelat lantai, rangka atap, penutup,
dan komponen gedung lainnya.
-
Gambar detail struktur (pondasi, kolom, balok, atap, pelat lantai, dinding
geser, basemen jika ada).
-
Hasil penyelidikan tanah (untuk bangunan tidak sederhana atau lebih dari 2
lantai).
-
Perhitungan teknis Mekanikal, Elektrikal, Plumbing (MEP) dan gambar
jaringan listrik, sistem sanitasi (air bersih, air limbah, air hujan,
drainase, persampahan), dan sistem proteksi petir.
-
Surat Rekomendasi dari Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) mengenai
Persetujuan Bangunan Gedung dan Kesesuaian Tata Ruang.
-
Penyedia Jasa Perencana Konstruksi (badan usaha atau perseorangan/arsitek
berlisensi).
-
Sertifikat Keahlian (SKA) tenaga ahli yang relevan (Arsitek, Struktur, MEP)
sesuai kompleksitas bangunan.
Pentingnya setiap dokumen ini terletak pada kemampuannya untuk memberikan
gambaran komprehensif tentang rencana pembangunan, memastikan kepatuhan
terhadap standar teknis dan regulasi tata ruang, serta memitigasi risiko
keselamatan dan lingkungan.
c.
Evaluasi dan Verifikasi
Setelah pengajuan permohonan dan unggah dokumen, petugas DPMPTSP akan
memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan. Jika dinyatakan lengkap,
permohonan akan diproses dengan notifikasi kepada Dinas PUPR untuk
verifikasi secara teknis. Tim verifikasi akan memeriksa rekomendasi teknis,
kesesuaian antara permohonan izin dengan rekomendasi teknis, dan kelayakan
teknis pemberian izin. Proses ini juga dapat melibatkan cek/verifikasi
lapangan oleh Dinas PUPR bersama DPMPTSP.
d.
Penetapan dan Penerbitan PBG
Hasil verifikasi teknis akan menjadi dasar bagi Dinas PUPR untuk
menerbitkan rekomendasi teknis (sesuai atau tidak, layak atau tidak).
Berdasarkan rekomendasi ini, PBG akan diterbitkan. Sebelumnya, Dinas PUPR
juga akan menerbitkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) untuk
perhitungan retribusi daerah yang harus dibayar pemohon. Setelah pembayaran
retribusi, pemohon dapat mengunduh PBG dari aplikasi SIMBG. Proses ini
biasanya memiliki norma waktu yang ditetapkan, misalnya maksimal 14 hari
kerja sejak berkas dinyatakan lengkap.
e.
Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Selain PBG, Sertifikat Laik Fungsi (SLF) adalah dokumen penting lainnya
dalam siklus hidup bangunan. SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh
pemerintah daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung sebelum
dapat dimanfaatkan. SLF menegaskan bahwa bangunan tersebut laik berfungsi
sesuai dengan rencana awal dan telah memenuhi semua persyaratan yang berlaku
setelah pembangunan selesai. SLF memiliki masa berlaku standar, yaitu 5
tahun untuk bangunan umum dan 20 tahun untuk bangunan tempat ibadah,
sehingga memerlukan pemeriksaan berkala. Proses untuk mendapatkan SLF juga
dapat diakses melalui SIMBG.
Isu Krusial dan Tantangan dalam Perizinan Konstruksi
Meskipun telah terjadi reformasi signifikan dalam rezim perizinan
konstruksi, beberapa isu krusial dan tantangan masih membayangi, terutama
terkait sengketa hukum, implementasi sistem baru, dan harmonisasi peraturan.
Sengketa terkait perizinan konstruksi, baik IMB maupun PBG, masih sering
terjadi dan menjadi subjek litigasi di pengadilan.
Sengketa IMB/PBG di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang timbul dari penerbitan
keputusan tata usaha negara, termasuk izin konstruksi. Sengketa seringkali
muncul karena beberapa alasan, seperti:
-
Status Tanah Sengketa
Penerbitan IMB/PBG di atas tanah yang masih dalam perselisihan hukum
kepemilikan menjadi salah satu pemicu utama gugatan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 124K/TUN/2013,
tertanggal 2 Mei 2013 misalnya, menyoroti isu kepastian hukum IMB di atas
tanah sengketa. Sebagaimana ketentuan
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pajak Izin
Mendirikan Bangunan, yang selanjutnya disebut dengan “Perda Medan tentang Pajak IMB”, bahkan mengatur bahwa
permohonan IMB dapat ditunda jika ada pemberitahuan mengenai status
sengketa tanah
atau proses hukum terkait, sebagaimana diatur dalam
Pasal 13 huruf (b) Perda Medan tentang Pajak IMB.
-
Pelanggaran Tata Ruang atau Standar Teknis
Pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) atau
melanggar garis sempadan bangunan (GSB) seringkali menjadi dasar gugatan
pembatalan izin mendirikan bangunan. Sebagaimana
Putusan PTUN Pekanbaru Nomor 32/G/2024/PTUN.PBR, tertanggal 20
Desember 2024 meskipun menolak gugatan penggugat karena kurangnya
legal standing, mengilustrasikan sengketa terkait pembangunan pagar
dan cucian mobil yang diklaim melanggar Daerah Milik Jalan (DMJ) dan tidak
sesuai IMB, sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan hukum putusan tersebut
yang merujuk pada Pasal 13 UU tentang Bangunan Gedung mengenai
garis sempadan.
-
Partisipasi Masyarakat yang Kurang
Sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta
Nomor 455/B/2024/PT.TUN.JKT,
tertanggal 30 Oktober 2024
yang menguatkan Putusan PTUN Jakarta Nomor 93/G/2024/PTUN.JKT, tertanggal 29 Agustus 2024, yang mana dalam amar putusannya menyatakan
sebagai berikut:
MENGADILI:
Dalam Penundaan:
1.
Mengabulkan permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
Objek Sengketa yang diajukan oleh Para penggugat;
2.
Mewajibkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan Persetujuan Bangunan
Gedung Nomor: SK-PBG-317402-01092023-001 tanggal 1 September 2023 dengan
total Luas: 24.331,96 m2, Luas Lantai: 21.179,67 m2 Luas Basemen: 3.152,29
m2 Nama Pemilik Kedutaan Besar India, terletak di Jl. Hr. Rasuna Said Kav,
S-1, Kel/Desa Setiabudi Kec. Setiabudi Kota Administrasi Jakarta Selatan,
sampai adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
Dalam Pokok Perkara:
1.
Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan batal Persetujuan Bangunan Gedung Nomor:
SK-PBG-317402-01092023-001 tanggal 1 September 2023 dengan total Luas:
24.331,96 m2, Luas Lantai: 21.179,67 m2 Luas Basemen: 3.152,29 m2 Nama
Pemilik Kedutaan Besar India, terletak di Jl. Hr. Rasuna Said Kav, S-1,
Kel/Desa Setiabudi Kec. Setiabudi Kota Administrasi Jakarta Selatan;
3.
Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Persetujuan Bangunan Gedung Nomor:
SK-PBG-317402-01092023-001 tanggal 1 September 2023 dengan total Luas:
24.331,96 m2, Luas Lantai: 21.179,67 m2 Luas Basemen: 3.152,29 m2 Nama
Pemilik Kedutaan Besar India, terletak di Jl. Hr. Rasuna Said Kav, S-1,
Kel/Desa Setiabudi Kec. Setiabudi Kota Administrasi Jakarta Selatan;
4.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp2.526.000,- (dua
juta lima ratus dua puluh enam ribu Rupiah);
Jelas bahwa dalam permasalahan di atas terkait pembatalan PBG Kedutaan
Besar India menunjukkan pentingnya pelibatan warga dalam proses perizinan.
Pembatalan ini berimplikasi bahwa PBG harus diulang dari awal dengan
melibatkan masyarakat sekitar. Hal ini menegaskan bahwa aspek prosedural dan
substansial dalam penerbitan izin harus memenuhi prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik, termasuk asas keterbukaan dan partisipasi.
Implikasi dari sengketa ini adalah tertundanya atau bahkan terhentinya
proyek konstruksi, kerugian finansial bagi pihak-pihak terkait, serta
potensi kerusakan reputasi. Putusan pengadilan dalam kasus-kasus ini
berfungsi sebagai yurisprudensi yang memberikan panduan dan kepastian hukum
bagi praktik perizinan di masa mendatang.
Pelanggaran Pidana terkait Izin Konstruksi
Selain sengketa tata usaha negara, pelanggaran terhadap ketentuan perizinan
konstruksi juga dapat berujung pada tuntutan pidana. Tindak pidana yang
sering terjadi adalah membangun tanpa izin atau melanggar ketentuan izin
yang telah diberikan. Dengan Pidana Membangun Tanpa Izin, sebagaimana
Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 4/Pid.C/2021/PN Tsm, tertanggal 25 Mei 2021, misalnya, menjatuhkan pidana denda sebesar
Rp5.000.00, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama 7 (tujuh) hari.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.