Pertanyaan
Sebagai pelaku bisnis yang bergerak di bidang ekspor dan impor, saya
seringkali merasa kebingungan dengan berbagai aturan Bea dan Cukai yang
terus berubah. Saya ingin memahami secara mendalam, beberapa hal berikut
ini:
1.
Apa sebenarnya Bea dan Cukai itu, dan mengapa perannya begitu krusial bagi
kelangsungan bisnis saya?;
2.
Apa saja dasar hukum utama yang menjadi landasan bagi seluruh kegiatan
kepabeanan dan cukai di Indonesia?;
3.
Kewenangan apa saja yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dalam mengawasi dan mengatur kegiatan bisnis, baik ekspor maupun impor?;
4.
Syarat-syarat dan prosedur apa saja yang harus saya penuhi sebagai pelaku
bisnis dalam melakukan kegiatan ekspor dan impor agar sesuai dengan
ketentuan Bea dan Cukai?; dan
5.
Bagaimana putusan pengadilan, khususnya dari Mahkamah Agung, dapat
memengaruhi interpretasi dan penerapan aturan Bea dan Cukai, serta
implikasinya terhadap praktik bisnis di lapangan?
Saya membutuhkan jawaban yang kritis, komprehensif, sistematis, lengkap,
objektif, dan profesional, dengan kutipan peraturan perundang-undangan yang
jelas dan lengkap, serta format penulisan putusan pengadilan yang
sesuai.
Jawaban
Pengantar
Bea dan Cukai seringkali dipandang sebagai suatu perangkat negara yang
sangat kompleks dan penuh regulasi. Namun, bagi pelaku bisnis ekspor dan
impor, memahami peran serta aturan Bea dan Cukai adalah kunci untuk
kelancaran operasional dan kepatuhan hukum pada saat mereka (pelaku usaha)
melaksanakan kegiatan usaha mereka. Artikel ini akan memandu para pelaku
usaha melalui seluk-beluk kepabeanan dan cukai di Indonesia, disajikan
dengan komprehensif, dengan gaya penulisan yang informatif dan praktis untuk
memberikan informasi, edukasi, dan pandangan hukum yang terpercaya bagi
masyarakat dan pelaku bisnis.
Mengingat, bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah unit
eselon I di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang bertugas
mengawasi lalu lintas barang dari dan/atau ke luar negeri, serta mengawasi
barang-barang dengan sifat atau karakteristik tertentu. Peran ini tidak
hanya terbatas pada pengawasan, tetapi juga mencakup pelayanan, fasilitasi
perdagangan, dan optimalisasi penerimaan negara.
Perlu digaris bawahi bahwa, pertanyaan Anda sangat relevan dan mendasar
bagi setiap pelaku usaha yang terlibat dalam perdagangan internasional.
Memahami secara utuh lanskap hukum Bea dan Cukai di Indonesia adalah fondasi
untuk memastikan kepatuhan, efisiensi, dan keberlanjutan bisnis Anda.
Memahami Definisi dan Peran Strategis Bea dan Cukai
Memahami Bea dan Cukai adalah langkah fundamental bagi setiap bisnis yang
terlibat dalam perdagangan internasional. Istilah ini mencakup dua bidang
hukum yang saling terkait namun memiliki fokus yang berbeda.
Istilah “Kepabeanan”, merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan
dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar Daerah
Pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Daerah Pabean sendiri
didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku
Undang-Undang tentang Kepabeanan, sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan
(yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kepabeanan”). Ini berarti setiap barang yang melintasi batas negara Indonesia, baik
masuk maupun keluar, berada di bawah pengawasan kepabeanan.
Sedangkan, “Cukai” adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap
barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik khusus yang
ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Cukai. Barang Kena Cukai (BKC) ini
memiliki karakteristik tertentu, seperti konsumsinya perlu dikendalikan,
peredarannya perlu diawasi, penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif
bagi masyarakat atau lingkungan, atau penggunaannya memerlukan pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, sebagaimana ketentuan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
(yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cukai”) . Saat ini, BKC
meliputi etil alkohol atau etanol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA),
dan hasil tembakau (HT), sebagaimana ketentuan
Pasal 4 ayat (1) UU tentang Cukai.
Meskipun diatur dalam undang-undang terpisah, kepabeanan dan cukai berada
di bawah satu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Integrasi ini menunjukkan
sinergi dalam pengawasan dan penerimaan negara, memastikan bahwa kedua aspek
ini bekerja bersama untuk mencapai tujuan fiskal dan pengawasan negara.
Peran Strategis Bea dan Cukai bagi Pelaku Bisnis
Bea Cukai adalah garda terdepan dalam mengatur arus barang yang masuk
(impor) dan keluar (ekspor) dari wilayah Indonesia. Kepatuhan terhadap
regulasi Bea Cukai adalah prasyarat mutlak untuk memastikan kelancaran
rantai pasok global bisnis. Tanpa pemahaman yang memadai, proses pengiriman
barang dapat terhambat, bahkan berujung pada penyitaan atau pengenaan
sanksi.
Kemudian, Bea masuk, bea keluar, dan cukai merupakan komponen penting
penerimaan negara. Pemahaman yang benar tentang tarif, perhitungan, dan
prosedur pembayaran akan mencegah denda, keterlambatan, dan potensi kerugian
finansial yang tidak perlu bagi bisnis.
Selain itu, Bea Cukai juga berperan dalam melindungi industri dalam negeri
dari praktik perdagangan tidak sehat, seperti dumping atau barang
subsidi, serta melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang berbahaya,
ilegal, atau yang tidak memenuhi standar. Ini berarti bisnis yang beroperasi
secara legal turut mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan iklim usaha
yang adil dan aman.
Dinamika regulasi yang terus-menerus terjadi di bidang kepabeanan dan cukai
merupakan sebuah realitas yang harus dihadapi oleh setiap pelaku bisnis.
Berbagai peraturan, mulai dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hingga Surat
Edaran (SE) Direktur Jenderal, seringkali mengalami pembaruan. Sebagai
contoh,
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2025
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun
2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan
Ekspor Barang Kiriman, menyempurnakan layanan ekspor impor barang kiriman. Demikian pula,
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-22/BC/2024 tentang
Pemberitahuan Pabean Ekspor
menggantikan peraturan sebelumnya.
Perubahan regulasi ini, yang dilakukan untuk beradaptasi dengan dinamika
perdagangan global, perkembangan teknologi, dan tujuan kebijakan ekonomi
atau sosial pemerintah, menciptakan tantangan signifikan bagi bisnis. Apa
yang dianggap patuh kemarin mungkin tidak lagi sesuai dengan ketentuan hari
ini. Oleh karena itu, bisnis tidak cukup hanya mengetahui hukum, tetapi juga
harus mampu beradaptasi secara berkelanjutan. Ini menuntut investasi dalam
pemantauan regulasi yang berkelanjutan dan, yang lebih penting, kemampuan
untuk mengintegrasikan perubahan tersebut ke dalam operasional bisnis. Tanpa
pendekatan proaktif ini, risiko ketidakpatuhan, denda, dan hambatan
operasional akan meningkat.
Dasar Hukum Utama yang Mengatur Bea dan Cukai di Indonesia
Dasar hukum yang mengatur kepabeanan dan cukai di Indonesia merupakan
sebuah sistem berlapis yang melibatkan berbagai tingkatan peraturan
perundang-undangan. Pemahaman terhadap hierarki dan interkoneksi peraturan
ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan hukum yang komprehensif. Ada
pun ada beberapa peraturan perundang-undangan terkait antara lain
sebagaimana yang diatur utama dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kepabeanan”). Undang-undang ini menjadi landasan bagi segala aktivitas pengawasan
lalu lintas barang, pemungutan bea masuk dan bea keluar, serta prosedur
kepabeanan. Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang ini
yang dikenakan terhadap barang impor, sedangkan bea keluar adalah pungutan
negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang ekspor.
Kemudian, dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
(yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cukai”) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan terakhir diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan
(yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang HPP”). Undang-undang ini mengatur jenis barang kena cukai, tarif, cara
pelunasan, hingga kewenangan pejabat cukai. Perubahan penting melalui UU
tentang HPP memperkenalkan penyesuaian definisi dan objek cukai, termasuk
penambahan rokok elektrik sebagai hasil tembakau yang dikenakan cukai,
sebagaimana ketentuan Pasal 14 Angka 1 UU HPP, yang mengubah Pasal 4 ayat (1) UU tentang Cukai.
Kemudian, Peraturan Pemerintah atau “PP” berfungsi sebagai aturan pelaksana
dari undang-undang, memberikan detail lebih lanjut mengenai implementasi
ketentuan yang lebih tinggi. Contohnya, terkait penghentian penyidikan
tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara diatur
dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2023 tentang
Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan
Penerimaan Negara. Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan atau “PMK” mengatur lebih
detail aspek teknis kepabeanan dan cukai, seringkali merespons kebutuhan
praktis dan dinamis di lapangan. Beberapa PMK penting yang relevan bagi
bisnis meliputi:
-
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2025 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang
Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.
PMK ini menyempurnakan layanan ekspor impor barang kiriman, termasuk
simplifikasi pungutan fiskal dan pendefinisian ulang barang kiriman hasil
perdagangan dan pribadi;
-
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2024 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.010/2022 tentang
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas
Barang Impor. PMK ini memberikan tarif bea masuk 0% untuk impor kendaraan
bermotor listrik berbasis baterai hingga 31 Desember 2025, sebagai upaya
pemerintah untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik, sebagaimana
ketentuan Pasal 4A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2024; dan
-
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2024 tentang
Tata Cara Penyelesaian Barang Kena Cukai dan Barang Lain yang Dirampas untuk
Negara, yang Dikuasai Negara, dan yang Menjadi Milik Negara. PMK ini
menjelaskan prosedur penyelesaian barang yang terlibat dalam pelanggaran
cukai, termasuk barang yang dirampas, dikuasai, atau menjadi milik negara.
Selanjutnya terdapat juga Peraturan Direktur Jenderal (PERDIRJEN) dan Surat
Edaran (SE) memberikan petunjuk pelaksanaan yang lebih operasional dan
detail, seringkali berkaitan dengan prosedur teknis harian. Contohnya:
-
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-22/BC/2024 tentang
Pemberitahuan Pabean Ekspor. Peraturan ini mengatur format, isi, dan
petunjuk pengisian Pemberitahuan Pabean Ekspor (PEB) yang menjadi dokumen
kunci dalam proses ekspor, sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat
(2) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-22/BC/2024;
-
Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor SE-13/BC/2024 tentang
Pedoman Pembatasan Permohonan Penyediaan Pita Cukai (P3C) Hasil Tembakau
(HT) Awal dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) Awal. SE ini memberikan
pedoman pembatasan pemesanan pita cukai berdasarkan kriteria risiko, yang
sangat relevan bagi produsen barang kena cukai.
Pemahaman terhadap hierarki dan interkoneksi peraturan ini sangat penting.
Bisnis tidak dapat hanya mengandalkan Undang-Undang utama; mereka harus
memahami peraturan pelaksana di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan atau Surat Edaran Direktur
Jenderal. Perubahan pada tingkat peraturan yang lebih rendah dapat secara
signifikan mengubah prosedur operasional, bahkan jika Undang-Undang dasarnya
tetap sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan peraturan
tingkat bawah sebagai alat yang tangkas untuk menyempurnakan kebijakan tanpa
memerlukan proses legislatif yang panjang. Konsekuensinya, pelaku bisnis
harus secara terus-menerus melakukan uji tuntas hukum untuk memastikan
operasional mereka tetap selaras dengan ketentuan terbaru, sehingga dapat
menghindari sanksi dan menjaga kelancaran bisnis.
Kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Mengawasi Kegiatan Bisnis
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki kewenangan yang luas
dalam mengawasi kegiatan bisnis, terutama yang berkaitan dengan lalu lintas
barang ekspor dan impor serta peredaran barang kena cukai. Kewenangan ini
mencerminkan dualitas peran DJBC sebagai regulator yang ketat dan
fasilitator perdagangan yang efisien.
DJBC adalah unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan yang bertugas
mengawasi lalu lintas barang dari dan/atau ke luar negeri, serta mengawasi
barang-barang dengan sifat atau karakteristik tertentu. Fungsi DJBC mencakup
perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta standardisasi teknis di bidang
kepabeanan dan cukai. Selain itu, DJBC juga berperan dalam optimalisasi
penerimaan negara, memberikan pelayanan, dan fasilitasi perdagangan.
Sebagai regulator, DJBC memiliki serangkaian kewenangan untuk memastikan
kepatuhan dan mencegah pelanggaran:
1)
Pemeriksaan Pabean
Terhadap barang impor, DJBC berwenang melakukan pemeriksaan pabean yang
meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang, sebagaimana
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU tentang Kepabeanan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memverifikasi kebenaran pemberitahuan
pabean dan memastikan tidak ada pelanggaran;
2)
Pengawasan Pengangkutan
Bea Cukai berwenang mengawasi pengangkutan barang tertentu dalam daerah
pabean, sebagaimana ketentuan
Pasal 4 ayat (1) UU tentang Kepabeanan. Hal ini penting untuk mencegah penyelundupan atau peredaran barang
ilegal.
3)
Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean
Direktur Jenderal Bea dan Cukai memiliki kewenangan untuk menetapkan
kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean,
sebagaimana ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU tentang Kepabeanan. Kewenangan ini memungkinkan Bea Cukai untuk mengoreksi kesalahan atau
ketidaksesuaian yang ditemukan setelah barang keluar dari kawasan pabean.
4)
Tindakan Penegakan Hukum Bidang Cukai
Pejabat Bea dan Cukai memiliki kewenangan yang kuat di bidang cukai. Mereka
berwenang untuk menghentikan, memeriksa, menahan, dan menyegel barang kena
cukai serta sarana pengangkutnya, sebagaimana ketentuan
Pasal 33 ayat (1) UU tentang Cukai. Selain itu, mereka juga berwenang memeriksa pabrik, tempat penyimpanan,
dan tempat penjualan eceran barang kena cukai, sebagaimana ketentuan
Pasal 35 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Cukai, serta buku, catatan, atau dokumen terkait dengan barang kena cukai untuk
tujuan audit, sebagaimana ketentuan
Pasal 39 ayat (1) UU tentang Cukai.
5)
Penyelesaian Barang Rampasan/Dikuasai Negara
Bea Cukai memiliki kewenangan dalam tata cara penyelesaian barang kena
cukai dan barang lain yang dirampas untuk negara, dikuasai negara, dan
menjadi milik negara. Ini termasuk penetapan, penyimpanan, perkiraan nilai,
hingga usulan peruntukan barang-barang tersebut, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2024
tentang Tata Cara Penyelesaian Barang Kena Cukai dan Barang Lain yang
Dirampas untuk Negara, yang Dikuasai Negara, dan yang Menjadi Milik
Negara.
Kewenangan Pelayanan dan Fasilitasi
Di sisi lain, DJBC juga berperan sebagai fasilitator perdagangan,
memberikan layanan untuk memperlancar kegiatan bisnis, antara lain:
1.
Registrasi Kepabeanan
Bea Cukai mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan registrasi kepabeanan
guna mendapatkan Nomor Identitas Kepabeanan (NIK) sebagai akses kepabeanan,
sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (1) UU Kepabeanan. NIK adalah nomor
identitas bersifat pribadi yang diberikan DJBC untuk akses kepabeanan secara
manual maupun elektronik.
2.
Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB)
Bea Cukai berwenang memberikan persetujuan pengeluaran barang impor setelah
kewajiban pabean dipenuhi. SPPB ini menjadi kunci bagi barang impor untuk
dapat masuk ke wilayah pabean.
3.
Pemberian Fasilitas
Bea Cukai dapat memberikan berbagai fasilitas, seperti pembebasan bea masuk
atau keringanan bea masuk untuk barang impor sementara, sebagaimana
ketentuan Pasal 10B ayat (3) UU tentang Kepabeanan. Contoh lainnya adalah pembebasan cukai untuk tujuan tertentu, seperti
untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan atau untuk
kebutuhan perwakilan negara asing, sebagaimana ketentuan
Pasal 9 ayat (1) UU tentang Cukai.
4.
Simplifikasi Prosedur
Melalui regulasi seperti
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2025
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun
2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan
Ekspor Barang Kiriman, Bea Cukai melakukan simplifikasi pungutan fiskal impor barang kiriman dan
pendefinisian ulang barang kiriman untuk mendukung kecepatan layanan. Ini
menunjukkan upaya Bea Cukai untuk menyelaraskan pengawasan dengan kebutuhan
efisiensi perdagangan.
Dualitas peran Bea Cukai sebagai regulator dan fasilitator memiliki
implikasi penting bagi bisnis.
Ini berarti bahwa pelaku usaha tidak hanya harus fokus pada penghindaran
sanksi, tetapi juga harus secara aktif mencari dan memanfaatkan fasilitas
serta prosedur yang disederhanakan untuk mendapatkan keunggulan
kompetitif. Pendekatan berbasis risiko yang diterapkan Bea Cukai, di mana tingkat
pemeriksaan disesuaikan dengan profil risiko importir/eksportir, semakin
menekankan bahwa kepatuhan yang tinggi dapat menghasilkan layanan yang lebih
cepat dan efisien. Misalnya, importir dengan status Mitra Utama (MITA) atau
Authorized Economic Operator (AEO) mendapatkan persetujuan
pengeluaran barang tanpa pemeriksaan fisik dan dokumen, yang secara
signifikan mengurangi “dwelling time” dan biaya operasional.
Oleh karena itu, bagi bisnis, memahami peran ganda ini sangatlah krusial.
Ini bukan hanya tentang “apa yang tidak boleh dilakukan,” tetapi juga
“apa yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan operasional.”
Keterlibatan proaktif dengan Bea Cukai, menjaga standar kepatuhan yang
tinggi, dan memahami kelayakan untuk berbagai fasilitas dapat secara
substansial mengurangi waktu tunggu dan biaya, sehingga secara langsung
memengaruhi efisiensi dan profitabilitas bisnis. Ini juga menunjukkan adanya
pergeseran menuju hubungan yang lebih kolaboratif antara bisnis dan Bea
Cukai, di mana transparansi dan kepatuhan terhadap aturan dihargai.
Syarat dan Prosedur yang Harus Dipenuhi Pelaku Bisnis dalam Kegiatan Ekspor dan Impor
Melakukan kegiatan ekspor dan impor di Indonesia melibatkan serangkaian
persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku bisnis. Kepatuhan
terhadap ketentuan ini adalah kunci untuk memastikan kelancaran arus barang
dan menghindari hambatan hukum atau finansial.
Sebelum memulai kegiatan ekspor atau impor, perusahaan harus memenuhi
persyaratan dasar sebagai berikut:
1)
Badan Hukum
Perusahaan harus berbentuk badan hukum yang diakui di Indonesia, seperti
Commanditaire Vennotschap (CV), Firma, Perseroan Terbatas (PT), Persero
(Perusahaan Perseroan), Perum (Perusahaan Umum), Perjan (Perusahaan
Jawatan), atau Koperasi.
2)
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Setiap perusahaan wajib memiliki NPWP. NPWP adalah identitas wajib pajak
yang digunakan dalam setiap transaksi perpajakan dan kepabeanan.
3)
Izin Usaha
Perusahaan harus memiliki salah satu izin usaha yang relevan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, seperti:
-
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Dinas Perdagangan;
-
Surat Izin Industri dari Dinas Perindustrian; dan
-
Izin Usaha Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing
(PMA) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
4)
Nomor Induk Berusaha (NIB)
NIB juga menjadi salah satu syarat penting yang berfungsi sebagai identitas
pelaku usaha dan berlaku sebagai legalitas dasar untuk memulai kegiatan
usaha.
5)
Nomor Identitas Kepabeanan (NIK)
Semua pengguna jasa kepabeanan, termasuk importir dan eksportir, wajib
melakukan registrasi kepabeanan untuk mendapatkan NIK, sebagaimana ketentuan
Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan. NIK adalah nomor identitas bersifat pribadi yang diberikan DJBC untuk
akses kepabeanan secara manual maupun elektronik. Proses pendaftaran NIK
umumnya memerlukan dokumen-dokumen legalitas perusahaan seperti akta
pendirian, NPWP perusahaan dan direksi, domisili perusahaan, SIUP/Izin
Industri/Izin PMDN/PMA, dan referensi bank.
Prosedur Kepabeanan Ekspor
Prosedur ekspor barang di Indonesia diatur secara detail untuk memastikan
pengawasan dan pemungutan bea keluar yang tepat. Ada pun sebagai
berikut:
-
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan kepada Kantor Pabean pemuatan
dengan menggunakan PEB, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-22/BC/2024 tentang
Pemberitahuan Pabean Ekspor. PEB disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui Sistem Komputer
Pelayanan (SKP), sebagaimana ketentuan
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor
PER-22/BC/2024;
-
Waktu Penyampaian PEB
PEB dapat disampaikan paling cepat 7 (tujuh) hari sebelum tanggal perkiraan
ekspor dan paling lambat sebelum barang ekspor masuk Kawasan Pabean;
-
Dokumen Pelengkap Pabean
PEB harus disertai dengan dokumen pelengkap pabean, meliputi
Invoice dan Packing List, Bukti Bayar PNBP (Penerimaan Negara
Bukan Pajak), Bukti Bayar Bea Keluar (dalam hal barang ekspor dikenai Bea
Keluar), dan dokumen dari instansi teknis terkait (dalam hal barang ekspor
terkena ketentuan larangan dan/atau pembatasan);
-
Pembayaran Bea Keluar
Jika barang ekspor dikenai Bea Keluar, pembayaran dilakukan paling lambat
pada saat PEB didaftarkan ke Kantor Pabean;
-
Pemeriksaan
Setelah PEB didaftarkan, dapat dilakukan pemeriksaan fisik barang ekspor
dan penelitian dokumen. Setelah disetujui, barang dapat dimuat ke sarana
pengangkut;
-
Ekspor Barang Kiriman
Untuk barang kiriman dengan berat kotor tidak melebihi 30 kg atau diekspor
oleh non-badan usaha, Penyelenggara Pos dapat menyampaikan
Consignment Note (CN) sebagai pemberitahuan pabean ekspor,
sebagaimana ketentuan
Pasal 43 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor
dan Ekspor Barang Kiriman.
Prosedur Kepabeanan Impor
Proses impor juga memiliki tahapan yang terstruktur untuk memastikan barang
yang masuk sesuai dengan ketentuan.
1)
Pengumpulan Dokumen
Tahap awal melibatkan pengumpulan dokumen penting seperti perjanjian dengan
pemasok luar negeri dan dokumen impor asli. Semua dokumen yang disiapkan
harus divalidasi dan disahkan oleh Bea Cukai.
2)
Pembayaran Bea Masuk dan Pajak Impor
Importir wajib melakukan pembayaran Bea Masuk dan Pajak Impor sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Tarif yang dikenakan akan dinilai berdasarkan
nilai impor dan variasi jenis barang yang akan diimpor. Pembayaran dilakukan
melalui bank yang bekerja sama dengan pemerintah.
3)
Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
Setelah pembayaran, importir harus memberitahukan impor barang yang sedang
berjalan. Untuk itu, importir diharuskan memiliki Nomor Induk Kepabeanan
(NIK), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dan dokumen pelengkap pabean
(invoice, packing list, airway bill,
delivery order, dan dokumen lain yang telah disyaratkan).
4)
Jalur Pelayanan Impor:
Berdasarkan sistem komputer pelayanan, Bea Cukai mengkategorikan pengeluaran
barang impor ke dalam beberapa jalur:
-
Jalur Merah
Melibatkan verifikasi dokumen dan pemeriksaan fisik barang sebelum Surat
Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) diterbitkan. Jalur ini diterapkan
untuk importir baru, importir berisiko tinggi, barang impor sementara,
barang impor yang terkena pemeriksaan acak, komoditas berisiko tinggi, atau
barang dari negara berisiko tinggi.
-
Jalur Kuning
Jalur ini telah dihapus per
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-02/BC/2022.
-
Jalur Hijau
Verifikasi dokumen dilakukan setelah SPPB diterbitkan, tanpa pemeriksaan
fisik barang. Jalur ini diperuntukkan bagi importir yang memiliki profil
risiko rendah.
-
Jalur MITA (Mitra Utama) dan AEO (Authorized Economic Operator)
Jalur ini menyediakan pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor
dengan penerbitan SPPB secara langsung tanpa pemeriksaan fisik dan dokumen.
Status MITA dan AEO diberikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada
importir yang menunjukkan kualitas tinggi dalam kepatuhan.
-
Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB)
SPPB adalah sebuah surat izin resmi yang disetujui oleh Bea Cukai mengenai
proses impor yang sedang berjalan. Dengan surat ini, barang impor yang telah
disetujui dapat masuk ke wilayah pabean.
Ketentuan Khusus Barang Kiriman
Impor dan ekspor barang kiriman memiliki ketentuan khusus yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2025
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun
2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan
Ekspor Barang Kiriman.
1)
Impor Barang Kiriman:
-
Nilai FOB ≤ USD 3.00
Dibebaskan bea masuk, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau PPN dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta dibebaskan Pajak
Penghasilan (PPh), sebagaimana ketentuan
Pasal 29 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2025.
-
Nilai FOB > USD 3.00 hingga USD 1,500.00
Dikenakan bea masuk 7,5%, dikenakan PPN/PPnBM, dan dibebaskan PPh (kecuali
untuk komoditas tertentu seperti kosmetik, besi/baja, jam tangan yang
dikenakan PPh 5%), sebagaimana ketentuan
Pasal 29 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2025.
-
Barang Kiriman Jemaah Haji/Hadiah Perlombaan
Diberikan pembebasan bea masuk dengan ketentuan khusus, seperti jumlah
pengiriman maksimal dan nilai pabean tertentu, sebagaimana ketentuan
Pasal 29A dan
Pasal 29C Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2025.
-
Penyelesaian Impor Barang Kiriman
Importir badan usaha melakukan self-assessment (perhitungan sendiri
besaran pungutan), sementara importir perorangan diterapkan dengan
official assessment (penerapan oleh petugas Bea Cukai dan/atau sistem
komputer pelayanan).
Efisiensi versus kepatuhan dalam prosedur kepabeanan adalah pertimbangan
strategis yang penting. Jalur pelayanan yang berbeda yang ditawarkan oleh
Bea Cukai, dengan implikasi yang berbeda terhadap kecepatan dan intensitas
pemeriksaan, menyoroti pentingnya kepatuhan. Bisnis dengan rekam jejak
kepatuhan yang kuat, seperti yang memenuhi syarat untuk status MITA/AEO,
akan mendapatkan keuntungan dari proses bea cukai yang dipercepat. Hal ini
mencerminkan sistem yang dibangun atas dasar kepercayaan, di mana kepatuhan
dihargai dengan efisiensi operasional. Sebaliknya, mereka yang memiliki
profil risiko lebih tinggi akan menghadapi pemeriksaan yang lebih ketat,
yang dapat menyebabkan penundaan dan peningkatan biaya.
Pergeseran menuju platform digital seperti Sistem Komputer Pelayanan (SKP)
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses
kepabeanan. Namun, ini juga memperkenalkan tantangan baru bagi bisnis
terkait akurasi data, integrasi sistem, dan keamanan siber. Keberhasilan
operasi ekspor-impor suatu bisnis semakin terkait erat tidak hanya dengan
permintaan pasar atau kualitas produk, tetapi juga dengan kesiapan teknologi
dan kemampuannya untuk mempertahankan riwayat kepatuhan yang sempurna dengan
Bea Cukai. Ini menyiratkan perlunya investasi dalam infrastruktur TI dan
pelatihan bagi personel yang terlibat dalam deklarasi pabean, memastikan
bahwa bisnis dapat memanfaatkan sepenuhnya manfaat dari sistem yang
terdigitalisasi.
Bagaimana Putusan Pengadilan Memengaruhi Interpretasi dan Penerapan Aturan Bea dan Cukai bagi Bisnis?
Putusan pengadilan, khususnya dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
(MARI), memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk interpretasi
dan penerapan aturan Bea dan Cukai bagi bisnis. Putusan ini tidak hanya
menyelesaikan sengketa individual, tetapi juga menjadi yurisprudensi yang
memberikan kepastian hukum, memengaruhi praktik Bea Cukai, dan memandu
strategi kepatuhan bisnis di masa depan. Sengketa kepabeanan dan cukai yang
mencapai tingkat MA umumnya berkaitan dengan isu-isu kompleks seperti
penetapan tarif, nilai pabean, pengenaan sanksi administrasi, atau
penafsiran ketentuan undang-undang yang ambigu.
Mahkamah Agung memiliki direktori putusan yang dapat diakses, termasuk yang
berkaitan dengan “Bea dan Cukai”, yang mencakup berbagai jenis kasus seperti
pidana khusus, pajak, dan tata usaha negara. Ada pun kami mengumpulkan
terhadap putusan-putusan berikut ini semata-mata untuk memberikan gambaran
tentang bagaimana pengadilan menafsirkan dan menerapkan undang-undang
tentang kepabeanan dan cukai dalam konteks bisnis.
Kasus Tarif dan/atau Nilai Pabean (Contoh: PT Supertone)
Ada pun permasalahan hukumnya sebagai berikut:
Sengketa ini berpusat pada penetapan tarif dan/atau nilai pabean barang
impor. Dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 283 B/PK/PJK/2021, tertanggal 3 Maret 2021, Direktur Jenderal Bea dan Cukai mengajukan
Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan banding
PT. SUPERTONE terkait penetapan tarif dan/atau nilai pabean barang impor
“Coaxial”. Kasus ini menyoroti kewenangan Direktur Jenderal untuk menetapkan
kembali tarif dan nilai pabean berdasarkan
Pasal 17 UU tentang Kepabeanan.
Kemudian, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali dari
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Ini berarti putusan Pengadilan Pajak yang
memenangkan PT. SUPERTONE dikuatkan. Putusan ini menegaskan bahwa penetapan
kembali tarif dan/atau nilai pabean oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai
harus sesuai dengan prosedur yang berlaku dan dapat dibatalkan jika terdapat
cacat hukum atau tidak didahului penetapan pejabat Bea Cukai yang sesuai.
Pengadilan Pajak sebelumnya berpendapat bahwa penerbitan Surat Penetapan
Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) tanpa didahului penetapan dari
Pejabat Bea dan Cukai adalah cacat hukum.
Sehingga, implikasi terhadap bisnis, dan pelaku usaha yang ada, putusan ini
menunjukkan pentingnya
bagi importir untuk memastikan keakuratan pemberitahuan pabean dan
kesiapan dalam menghadapi potensi sengketa tarif atau nilai pabean.
Kemenangan importir dalam kasus ini menegaskan bahwa Bea Cukai harus
mengikuti prosedur yang benar dalam penetapan kembali
dan bahwa sistem self-assessment yang dianut UU tentang Kepabeanan
menuntut pengawasan yang cermat pada tahap post-clearance melalui
mekanisme audit kepabeanan. Ini memberikan
kepastian hukum bahwa penetapan Bea Cukai tidak bersifat mutlak dan
dapat digugat jika tidak sesuai prosedur atau substansi. Bisnis perlu
memahami bahwa kewenangan penetapan kembali oleh Direktur Jenderal Bea dan
Cukai tidak harus selalu dalam bentuk tertulis, namun harus tetap didasarkan
pada prosedur yang benar dan data yang akurat.
Kasus Bea Keluar (Contoh: PT Freeport Indonesia)
Sengketa ini terkait pengenaan bea keluar atas ekspor konsentrat tembaga.
Dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5021 B/PK/PJK/2020, tertanggal 14 Desember 2020, Direktur Jenderal Bea dan Cukai mengajukan
Peninjauan Kembali terhadap PT Freeport Indonesia. Isu utama adalah
perbedaan penetapan tarif bea keluar dan hasil pengujian kadar konsentrat
yang berujung pada tagihan bea keluar.
Adapun pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
Peninjauan Kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan membatalkan putusan
Pengadilan Pajak yang sebelumnya memenangkan PT Freeport Indonesia. MA
kemudian menolak banding PT Freeport Indonesia. Putusan ini menunjukkan
bahwa meskipun ada perbedaan dalam pengujian kadar konsentrat dalam batas
toleransi, hal tersebut dapat berujung pada tagihan bea keluar. Kasus ini
juga mencerminkan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara
dari sektor pertambangan dan memastikan kepatuhan terhadap kebijakan
hilirisasi.
Kasus ini menggarisbawahi bahwa perbedaan data, bahkan yang dianggap minor
atau dalam batas toleransi teknis, dapat memiliki implikasi finansial
signifikan dalam perhitungan bea keluar. Bisnis yang bergerak di sektor
ekspor komoditas dengan perhitungan bea keluar yang kompleks harus memiliki
sistem pencatatan dan verifikasi data yang sangat akurat, serta memahami
secara mendalam metodologi perhitungan yang digunakan oleh Bea Cukai. Ini
juga menunjukkan bahwa pemerintah dapat mengambil tindakan tegas untuk
mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor sumber daya alam.
Berikut adalah ringkasan putusan Mahkamah Agung terpilih dalam bentuk
tabel:
Nomor Putusan |
Tanggal Putusan |
Pihak Terlibat |
Isu Hukum Pokok |
Putusan MA |
Implikasi Bisnis |
283 B/PK/PJK/2021 |
3 Maret 2021 |
Direktur Jenderal Bea dan Cukai vs PT. SUPERTONE |
Penetapan tarif dan/atau nilai pabean barang impor (Coaxial) yang
digugat oleh importir. |
Menolak PK Dirjen Bea Cukai. Menguatkan putusan Pengadilan Pajak
yang mengabulkan banding PT. SUPERTONE. |
Menekankan pentingnya prosedur Bea Cukai dalam penetapan kembali
tarif/nilai pabean. Memberikan kepastian bahwa penetapan Bea Cukai
dapat dibatalkan jika cacat hukum atau prosedur. |
5021 B/PK/PJK/2020 |
14 Desember 2020 |
Direktur Jenderal Bea dan Cukai vs PT FREEPORT INDONESIA |
Pengenaan bea keluar atas ekspor konsentrat tembaga, terkait
perbedaan hasil pengujian kadar. |
Mengabulkan PK Dirjen Bea Cukai. Membatalkan putusan Pengadilan
Pajak. Menolak banding PT Freeport Indonesia. |
Menunjukkan bahwa perbedaan data (misal: kadar barang) sekecil
apapun dapat memicu tagihan bea keluar. Pentingnya akurasi data dan
pemahaman metodologi perhitungan Bea Cukai. |
Tabel ini secara ringkas menyajikan informasi kunci dari putusan Mahkamah
Agung yang relevan, memungkinkan pembaca untuk dengan cepat memahami inti
sengketa, hasil putusan, dan yang terpenting, dampak praktisnya bagi
operasional bisnis. Ini adalah alat yang berharga untuk mengkomunikasikan
preseden hukum yang kompleks secara efisien.
Kasus-kasus di Mahkamah Agung menunjukkan bahwa sengketa seringkali
berpusat pada perbedaan interpretasi data, seperti tarif, nilai pabean, atau
kadar barang, atau pada prosedur penetapan. Bagi bisnis, ini berarti bahwa
kepatuhan tidak hanya diukur dari pembayaran pajak atau bea, tetapi juga
dari kualitas dokumentasi dan sistem internal yang mendukung keakuratan
data. Setiap detail dalam faktur, packing list, atau hasil uji
laboratorium dapat menjadi kunci dalam sengketa hukum. Selain itu, kemampuan
untuk mengajukan keberatan dan banding yang kuat, didukung oleh analisis
hukum yang tajam, adalah esensial.
Keterlibatan dalam sengketa kepabeanan dan cukai dapat memakan waktu dan
biaya yang signifikan. Oleh karena itu, investasi dalam konsultan hukum yang
berpengalaman di bidang kepabeanan dan cukai sejak awal, yaitu saat
perencanaan transaksi dan bukan hanya saat terjadi sengketa, menjadi sangat
strategis. Ini bukan hanya tentang reaktif terhadap masalah, tetapi proaktif
dalam mitigasi risiko hukum, memastikan bahwa setiap langkah bisnis sejalan
dengan interpretasi hukum terbaru dan praktik terbaik yang diakui
pengadilan. Pendekatan ini membantu bisnis untuk mengelola risiko hukum
secara efektif dan menjaga kelangsungan operasional.
Penutup: Kepatuhan dan Mitigasi Risiko dalam Bisnis Ekspor Impor
Mengelola bisnis ekspor dan impor di Indonesia memerlukan pemahaman
mendalam tentang lanskap hukum kepabeanan dan cukai yang dinamis. Dari dasar
hukum yang kokoh hingga kewenangan luas Bea Cukai, serta prosedur
operasional yang detail, setiap aspek membutuhkan perhatian cermat. Putusan
pengadilan menunjukkan bahwa kepatuhan tidak hanya tentang memenuhi
persyaratan awal, tetapi juga tentang menjaga akurasi data, transparansi,
dan kesiapan untuk menghadapi sengketa.
Kepatuhan terhadap aturan Bea dan Cukai bukan sekadar kewajiban, melainkan
investasi strategis. Perusahaan yang patuh cenderung mendapatkan fasilitas
pelayanan yang lebih cepat dan efisien, seperti jalur hijau, Mitra Utama
(MITA), atau Authorized Economic Operator (AEO), yang pada gilirannya
mengurangi biaya operasional dan meminimalkan risiko sanksi atau sengketa
hukum. Sebaliknya, ketidakpatuhan dapat berujung pada penundaan, denda,
bahkan penyitaan barang, yang secara signifikan merugikan bisnis.
Untuk mitigasi risiko dan optimalisasi operasional, pelaku bisnis
disarankan untuk:
-
Pembaruan Informasi
Selalu ikuti perkembangan peraturan terbaru dari Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai dan Kementerian Keuangan. Sumber informasi resmi seperti JDIH
Kementerian Keuangan dapat menjadi panduan utama.
-
Audit Internal
Lakukan audit kepabeanan dan cukai secara berkala untuk mengidentifikasi
potensi risiko dan ketidakpatuhan sebelum menjadi masalah yang lebih
besar.
-
Profesional Hukum
Libatkan konsultan hukum yang berpengalaman di bidang kepabeanan dan cukai
untuk mendapatkan nasihat yang tepat, membantu dalam penyusunan dokumen, dan
representasi dalam sengketa.
-
Digitalisasi
Manfaatkan sistem digital Bea Cukai secara optimal dan pastikan integrasi
data yang akurat antara sistem internal perusahaan dengan sistem Bea Cukai
untuk mempercepat proses dan mengurangi kesalahan.
Dengan pemahaman yang komprehensif dan strategi kepatuhan yang proaktif,
bisnis Anda dapat menavigasi kompleksitas aturan bea dan cukai, mengubah
tantangan menjadi peluang untuk pertumbuhan dan efisiensi yang
berkelanjutan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.