layananhukum

Begini Aturan Mengenai Kawasan Hutan dan Peran Negara Dalam Penetapannya

 

Pertanyaan

Selamat pagi bang, saya ada beberapa pertanyaan bang, saya bingung, kenapa pemerintah bisa tiba-tiba bilang tanah di kampung saya itu “kawasan hutan'“? Apa dasar hukumnya dan bagaimana prosesnya sampai bisa begitu? Kemudian, bagaimana cara pemerintah menentukan sebuah hutan itu boleh ditebang untuk perusahaan (Hutan Produksi) atau harus dilindungi (Hutan Lindung)? Apakah ada aturannya, atau bisa seenaknya saja demi proyek? Lalu, siapa sebenarnya yang berwenang mengurus hutan ini, pemerintah pusat di Jakarta atau pemerintah daerah (Gubernur/Bupati)? Dan kenapa sering sekali terjadi konflik antara kepentingan masyarakat dengan kebijakan pemerintah soal hutan? Karena pada akhirnya, semua aturan rumit soal kawasan hutan ini tujuannya untuk apa? Apakah benar-benar untuk melindungi lingkungan dan hak masyarakat, atau lebih untuk mempermudah investasi dan kepentingan ekonomi besar? Mohon Pencerahannya bang, terima kasih.

Jawaban

    Pengantar: Dilema Hutan antara Konservasi dan Pembangunan

    Hutan Indonesia, sebagai salah satu paru-paru dunia, menempati posisi sentral tidak hanya dalam konstelasi ekologis global, tetapi juga dalam kerangka yuridis dan sosio-ekonomi nasional. Landasan konstitusional penguasaan sumber daya alam, termasuk hutan, tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”, yang secara tegas menyatakan bahwa:

    Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

    Amanat ini meletakkan negara pada posisi unik sebagai pemegang mandat ganda. Di satu sisi, negara adalah pengemban amanat publik (public trustee) untuk kelestarian ekologis, yang bertugas menjaga sistem penyangga kehidupan bagi generasi kini dan mendatang; di sisi lain, negara adalah agen pembangunan yang bertugas mewujudkan kemakmuran rakyat, sebuah peran yang dalam lanskap kebijakan kontemporer seringkali diterjemahkan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan investasi.  

    Dualisme peran ini melahirkan sebuah dilema inheren yang menjadi jantung dari seluruh kebijakan kehutanan di Indonesia. Penetapan suatu wilayah sebagai “Kawasan Hutan” merupakan manifestasi paling fundamental dari pelaksanaan kewenangan negara tersebut.

    Dualisme peran ini melahirkan sebuah dilema inheren yang menjadi jantung dari seluruh kebijakan kehutanan di Indonesia. Penetapan suatu wilayah sebagai “Kawasan Hutan” merupakan manifestasi paling fundamental dari pelaksanaan kewenangan negara tersebut. Proses ini bukan sekadar tindakan administratif-teknis pemetaan dan penentuan batas, melainkan sebuah instrumen kebijakan yang sarat dengan implikasi hukum, ekonomi, sosial, ekologis, dan juga politis. Mengingat, Keputusan untuk menetapkan, mempertahankan, atau mengubah status dan fungsi kawasan hutan secara langsung menentukan nasib jutaan hektar lahan, penghidupan masyarakat yang bergantung padanya, serta keberlanjutan fungsi ekosistem yang vital.

    Keputusan fundamental semacam ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan merupakan produk hukum yang meskipun dilaksanakan oleh Eksekutif, sejatinya adalah hasil dari proses tawar-menawar politik (political bargain) di ranah legislatif. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai representasi partai-partai politik dengan beragam platform dan kepentingan, menjadi arena di mana visi konservasi, tuntutan keadilan sosial, dan agenda pembangunan ekonomi dinegosiasikan. Oleh karena itu, setiap pasal dalam undang-undang kehutanan pada hakikatnya adalah kristalisasi dari kompromi politik, yang seringkali lebih mencerminkan keseimbangan kekuatan antar-fraksi daripada konsensus murni berbasis data ilmiah atau aspirasi masyarakat di tingkat tapak.

    Terbitnya serangkaian reformasi peraturan perundang-undangan melalui pendekatan omnibus law telah secara signifikan mengubah arsitektur hukum kehutanan nasional. Perubahan ini, yang kini terkristalisasi dalam produk hukum turunan, secara eksplisit ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi, meningkatkan ekosistem investasi, dan menciptakan lapangan kerja.

    Namun, pergeseran paradigma ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai keseimbangan baru antara tujuan ekonomi dan mandat konservasi serta keadilan sosial yang telah lama menjadi fondasi filosofis pengelolaan hutan.

    Artikel ini akan mengupas secara komprehensif, sistematis, dan kritis mengenai arsitektur hukum yang mengatur penetapan kawasan hutan di Indonesia. Kami akan menjawab pertanyaan Anda dan pertanyaan sentral yaitu Bagaimana kerangka hukum kehutanan Indonesia, khususnya pasca-reformasi omnibus law, mengatur dan melembagakan proses penetapan kawasan hutan untuk menavigasi dilema antara konservasi ekologis, keadilan sosial—termasuk pengakuan hak masyarakat adat—dan percepatan pembangunan ekonomi?


    Untuk menjawabnya, artikel ini akan membedah landasan filosofis dan yuridis penguasaan hutan oleh negara, menelusuri evolusi dan hierarki kerangka regulasi, menguraikan mekanisme teknis pengukuhan kawasan hutan, menganalisis pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta merefleksikan implementasi dan tantangannya melalui studi kasus di Provinsi Kalimantan Barat, sebelum diakhiri dengan analisis kritis dan rekomendasi arah reformasi hukum kehutanan ke depannya.

    Landasan Filosofis dan Yuridis Penguasaan Hutan oleh Negara

    Kewenangan negara untuk menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan berakar pada konsep konstitusional “Hak Menguasai dari Negara” (HMN). Konsep ini merupakan pilar utama dalam hukum sumber daya alam Indonesia, yang memberikan legitimasi bagi negara untuk melakukan intervensi demi kepentingan publik.

    Konsep awal yang menyerupai HMN dapat ditelusuri ke masa kolonial Hindia Belanda (Nederlandsch-Indië), khususnya melalui sistem hukum agraria kolonial. Pemerintah kolonial mengklaim tanah sebagai domein van de staat atau yang dikenal dengan domeinverklaring,[1] yaitu pernyataan bahwa tanah yang tidak dibuktikan kepemilikannya secara sah dianggap sebagai milik negara kolonial dan digunakan sebagai dasar penguasaan negara atas tanah-tanah adat. Ini tertuang dalam Agrarische Wet 1870 yang kita tahu Bersama, bahwa Undang-Undang ini diperkenalkan atau diinisiasi oleh Engelbertus de Waal, seorang Menteri Koloni liberal dalam kabinet Van Bosse-Fock tahun 1868 hingga 1870, yang dibentuk di bawah kepemimpinan Thorbecke.

    Perlu diketahui bahwa Engelbertus adalah seorang politisi liberal, yang mana kala itu banyak politisi liberal mendominasi pemerintahan Belanda, mereka tidak setuju dengan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Jawa dan ingin membantu orang Jawa sambil tetap mempertahankan manfaat ekonomi koloni dengan mengizinkan lebih banyak inisiatif swasta terlibat dalam pembangunan.

    Undang-Undang Agraria 1870, menetapkan hak kepemilikan tanah di Jawa. Kepemilikan tanah oleh penduduk asli (pribumi) dijamin. Orang Jawa dapat memperoleh kepemilikan atas tanah desa mereka dan menyewakannya kepada orang Eropa. Orang Eropa dapat menyewa tanah yang belum digarap. Undang-undang ini memungkinkan berdirinya perusahaan-perusahaan swasta di Hindia Belanda. Para pengusaha datang ke Hindia Belanda dari negara-negara seperti Swiss, Jerman, Belgia, Prancis, Inggris Raya, serta Singapura, Tiongkok, dan Amerika Serikat.

    Kemudian, konsep “Hak Menguasai dari Negara” secara eksplisit muncul dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan “UUPA”. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat.

    HMN berbeda dari hak milik. Negara tidak memiliki hak milik atas tanah, melainkan fungsi publik untuk:

    -        mengatur peruntukan penggunaan tanah;

    -        menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan tanah;

    -        menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai tanah.[2]

    Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, secara tegas menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Konsep ini mencerminkan prinsip public trusteeship, di mana negara bertindak sebagai pengelola untuk kepentingan publik, bukan sebagai pemilik absolut.

    Dalam konteks hukum internasional, prinsip ini sejajar dengan konsep sovereignty over natural resources sebagaimana berkembang dalam Piagam PBB dan resolusi Majelis Umum PBB (misalnya, Resolusi 1803/XVII tentang “Permanent Sovereignty over Natural Resources”).[3]

    Sehingga, secara fundamental, HMN bukanlah konsep kepemilikan (eigendom) dalam pengertian hukum perdata. Sebaliknya, HMN adalah serangkaian kewenangan publik yang melekat pada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Kewenangan ini dalam konteks rezim kehutanan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kehutanan”, memberikan wewenang kepada pemerintah untuk:

    1.        Mengatur (regelen) dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan (vide Pasal 4 ayat (2) huruf a UU tentang Kehutanan);

    2.       Menetapkan (besturen) status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan (vide Pasal 4 ayat (2) huruf b UU tentang Kehutanan);

    3.      Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum (beheren) antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (vide Pasal 4 ayat (2) huruf c UU tentang Kehutanan);

    4.       Melakukan control (toezicht houden) terhadap pelaksanaan kebijakan dan pemanfaatan hutan oleh semua pihak.

    Dengan demikian, ketika negara menetapkan sebuah wilayah menjadi kawasan hutan, tindakan tersebut merupakan pelaksanaan kewenangan publik untuk mengatur dan mengurus, bukan klaim kepemilikan yang meniadakan hak-hak lain yang telah ada sebelumnya, seperti hak ulayat masyarakat hukum adat.

    Arah dan tujuan dari pelaksanaan HMN di sektor kehutanan dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Namun, analisis terhadap evolusi regulasi menunjukkan adanya pergeseran paradigma yang signifikan, terutama setelah era omnibus law.

    Paradigma Pra-UU Cipta Kerja: Keseimbangan Manfaat dan Kelestarian

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kehutanan”, meletakkan fondasi penyelenggaraan kehutanan pada asas “manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan” (vide Pasal 2 UU tentang Kehutanan).

    Tujuannya dirumuskan secara holistik, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan cara:  

    -        Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional (vide Pasal 3 huruf a UU tentang Kehutanan);

    -        Mengoptimalkan aneka fungsi hutan (konservasi, lindung, dan produksi) untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari (vide Pasal 3 UU tentang Kehutanan);

    -        Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) (vide Pasal 3 huruf c UU tentang Kehutanan); dan

    -        Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan (vide Pasal 3 huruf d UU tentang Kehutanan).

    Kerangka ini mencerminkan peran negara sebagai steward atau penjaga amanah yang bertugas menyeimbangkan berbagai kepentingan—ekologi, sosial, dan ekonomi—dalam satu tarikan napas kebijakan.

    Pergeseran Paradigma Pasca-UU Cipta Kerja: Negara sebagai Fasilitator Ekonomi

    Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”, secara fundamental mengubah orientasi kebijakan kehutanan.

    Tujuan utama yang melandasi UU tentang Cipta Kerja adalah “peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha,” “kemudahan berusaha,” dan “percepatan proyek strategis nasional” (vide Bagian Menimbang huruf a dan Penjelasan Umum UU Nomor 6 Tahun 2023).  

    Pergeseran ini bukan sekadar perubahan terminologi, melainkan sebuah realokasi prioritas kebijakan. Jika sebelumnya UU tentang Kehutanan menempatkan kelestarian dan keadilan sosial sebagai pilar utama, UU tentang Cipta Kerja secara eksplisit menempatkan kemudahan investasi sebagai motor penggerak utama. Konsekuensinya, peran negara bergeser dari steward yang menjaga keseimbangan menjadi fasilitator utama kegiatan ekonomi. Keputusan-keputusan terkait penetapan dan pemanfaatan kawasan hutan kini cenderung diukur dan dijustifikasi berdasarkan dampaknya terhadap iklim investasi, penciptaan lapangan kerja, dan kontribusinya terhadap proyek strategis nasional.


    Implikasi dari pergeseran ini sangat mendalam, karena berpotensi memarginalkan pertimbangan-pertimbangan ekologis dan sosial jangka panjang demi keuntungan ekonomi jangka pendek, padahal dalam rezim UU tentang Kehutanan saja masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan.

    Kerangka Regulasi Penetapan Kawasan Hutan: Evolusi dan Hierarki

    Arsitektur hukum yang mengatur penetapan kawasan hutan di Indonesia bersifat hierarkis dan kompleks, terdiri dari berbagai tingkatan peraturan yang saling terkait. Pemahaman terhadap kerangka ini menjadi kunci untuk membedah bagaimana kewenangan negara dioperasionalkan, terutama setelah adanya perubahan fundamental yang dibawa oleh UU tentang Cipta Kerja.


    Dasar dari seluruh pengaturan kehutanan modern di Indonesia adalah UU tentang Kehutanan. Undang-undang ini meletakkan pilar-pilar fundamental, antara lain:  

    1)        Memberikan pengertian yuridis untuk istilah-istilah kunci seperti “hutan”, “kawasan hutan”, “hutan negara”, “hutan hak”, dan “hutan adat” (vide Pasal 1 UU tentang Kehutanan);

    2)       Mengklasifikasikan hutan ke dalam tiga fungsi utama, yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi, yang masing-masing memiliki rezim pengelolaan yang berbeda (vide Pasal 6 UU tentang Kehutanan);

    3)       Menetapkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan hutan yang berorientasi pada kelestarian dan kemanfaatan bagi masyarakat (vide Pasal 2 UU tentang Kehutanan);

    4)       Mengatur lingkup pengurusan hutan yang meliputi perencanaan, pengelolaan, penelitian, dan pengawasan. (vide Pasal 10 ayat (2) UU tentang Kehutanan)

    Meskipun telah mengalami berbagai perubahan, UU tentang Kehutanan tetap menjadi rujukan utama dan sumber dari sebagian besar norma yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana.

    Era Transformasi Omnibus Law: Sentralisasi dan Kemudahan Berusaha

    Perubahan paling signifikan terhadap UU tentang Kehutanan datang melalui pendekatan omnibus law. Awalnya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian dicabut dan digantikan oleh UU tentang Cipta Kerja 2023. UU tentang Cipta Kerja 2023 tidak mengganti UU Kehutanan secara keseluruhan, melainkan mengubah, menghapus, dan menambahkan beberapa pasal krusial dengan tujuan utama menyederhanakan regulasi dan mempercepat investasi. Beberapa perubahan paling berdampak meliputi:  

    1)       Penghapusan Kewajiban Luas Hutan Minimal 30%

    Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) UU tentang Kehutanan yang mewajibkan pertahanan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS dan/atau pulau dihapus. Kewajiban ini digantikan dengan norma yang lebih fleksibel, di mana Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/ atau pulau. (vide Pasal 36 angka 2 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 18 tentang Kehutanan);

    2)       Penyederhanaan Perizinan Berusaha

    Konsep perizinan yang sebelumnya terfragmentasi (misalnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu/IUPHHK, Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan/IUPJL) diintegrasikan ke dalam satu payung “Perizinan Berusaha” yang berbasis risiko dan dapat mencakup berbagai kegiatan (multiusaha kehutanan) yang disebut dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 36 Angka 8 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 26 dan Pasal 28 UU tentang Kehutanan dan menambahkan ketentuan Pasal 29B UU tentang Kehutanan);  

    3)       Sentralisasi Kewenangan

    Sebagian besar kewenangan penerbitan perizinan berusaha di sektor kehutanan ditarik dari pemerintah daerah dan disentralisasikan di Pemerintah Pusat, yang diimplementasikan melalui sistem daring terintegrasi (Online Single Submission - OSS) berbasis pada risiko.  

    Amanat perubahan dalam UU tentang Cipta Kerja kemudian diterjemahkan ke dalam serangkaian peraturan pelaksana yang menjadi pedoman teknis dan operasional bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan. Tiga peraturan berikut menjadi yang paling vital:

    1.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (selanjutnya disebut PP 23/2021)

    Peraturan ini dapat dianggap sebagai “kitab suci” pelaksanaan UU tentang Cipta Kerja di sektor kehutanan. PP 23/2021 mengkonsolidasikan dan mencabut berbagai Peraturan Pemerintah sebelumnya, serta mengatur secara komprehensif seluruh siklus penyelenggaraan kehutanan, mulai dari perencanaan, pengukuhan kawasan hutan, perubahan peruntukan dan fungsi, penggunaan kawasan hutan, tata hutan, pemanfaatan hutan, perhutanan sosial, hingga perlindungan dan pengawasan; 

    2.       Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan (selanjutnya disebut Permen LHK 7/2021)

    Peraturan ini merupakan turunan langsung dari PP 23/2021 yang memberikan detail teknis mengenai prosedur perencanaan dan, yang terpenting, tahapan-tahapan dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Peraturan inilah yang menjadi panduan operasional bagi unit pelaksana teknis di lapangan dalam melakukan penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan;

    3.       Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi (selanjutnya disebut Permen LHK 8/2021)

    Setelah suatu kawasan ditetapkan status dan fungsinya, peraturan ini menjadi acuan utama dalam pengelolaannya. Permen LHK 8/2021 mengatur secara rinci tentang bagaimana tata hutan dilaksanakan, rencana pengelolaan disusun, serta jenis-jenis pemanfaatan apa saja yang diizinkan di dalam Hutan Lindung dan Hutan Produksi, termasuk mekanisme perizinan berusaha multiusaha.  

    Kombinasi dari hierarki regulasi ini—dari UU tentang Kehutanan yang telah dimodifikasi oleh UU tentang Cipta Kerja, hingga PP 23/2021 dan peraturan menteri teknisnya—membentuk sebuah kerangka kerja yang kompleks dan saling mengunci, yang mendefinisikan bagaimana negara menjalankan perannya dalam menetapkan dan mengelola kawasan hutan di Indonesia saat ini.


    Mekanisme Pengukuhan Kawasan Hutan: Sebuah Proses Multi-Tahap

    Pengukuhan Kawasan Hutan adalah proses yuridis dan teknis yang menjadi tulang punggung penetapan kawasan hutan di Indonesia. Proses ini merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan luas suatu wilayah sebagai Kawasan Hutan Tetap (vide Pasal 1 Angka 18 Permen LHK No. 7 Tahun 2021). Sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Angka 1 UU tentang Cipta Kerja sebagaimana telah mengubah ketentuan Pasal 15 UU tentang Kehutanan, yang kemudian dipertegas dalam Pasal 14 PP 23/2021. Adapun rincian teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Permen LHK 7/2021. Proses ini terdiri dari empat tahapan utama yang berurutan (vide Pasal 34 ayat (1) Permen LHK 7/2021), antara lain:

    Tahap 1: Penunjukan Kawasan Hutan (vide Pasal 15 ayat (1) huruf a UU tentang Kehutanan)

    Tahap ini merupakan langkah awal yang bersifat deklaratif, di mana negara secara resmi menetapkan peruntukan awal suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan (vide Pasal 1 angka 19 Permen LHK 7/2021). Perlu diketahui bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Menteri LHK RI) menetapkan suatu wilayah tertentu menjadi Kawasan Hutan Negara meliputi wilayah provinsi dan wilayah tertentu secara parsial. (vide Pasal 37 ayat (1) Permen LHK 7/2021). Khusus untuk wilayah provinsi dengan memperhatikan perubahan rencana tata ruang wilayah provinsi. Sedangkan wilayah tertentu secara parsial yang ditunjuk dapat berasal dari tanah negara yang tidak dibebani hak (clean and clear) maupun tanah yang telah dibebani hak yang diserahkan kepada negara (vide Pasal 37 ayat (3) Permen LHK 7/2021).

    Penunjukan ini dapat dilakukan berdasarkan usulan dari Gubernur atau Bupati/Wali Kota, atau atas inisiatif Menteri LHK sendiri berdasarkan analisis teknis yang mempertimbangkan kelayakan dan kesesuaian fungsi (vide Pasal 39 ayat (3), (4), dan (5) Permen LHK 7/2021).

    Produk hukum dari tahap ini adalah Keputusan Menteri LHK tentang Penunjukan Kawasan Hutan yang dilampiri dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan (vide Pasal 39 ayat (7) Permen Permen LHK 7/2021). Dokumen ini menjadi dasar hukum untuk memulai tahapan selanjutnya di lapangan.

    Tahap 2: Penataan Batas Kawasan Hutan

    Ini adalah tahap paling krusial, teknis, dan seringkali menjadi sumber sengketa di lapangan. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan, serta pembuatan berita acara tata batas (vide Pasal 1 Angka 20 Permen LHK 7/2021).

    Proses ini dikoordinasikan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan (vide Pasal 41 ayat (1) Permen LHK 7/2021) dan melibatkan serangkaian kegiatan teknis yang sistematis. Salah satu langkah terpenting adalah inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga, di mana klaim atau hak-hak yang sah dari masyarakat (misalnya sertipikat hak milik) diidentifikasi dan diselesaikan dengan cara mengeluarkan bidang tanah tersebut dari trayek batas (enclave) (vide Pasal 57 ayat (1) Permen LHK 7/2021). Setelah trayek batas final, dilakukan pemasangan pal batas definitif yang diberi nomor dan inisial fungsi hutan (misalnya HL untuk Hutan Lindung, HP untuk Hutan Produksi) (vide Pasal 60 ayat (1) dan Pasal 73 Permen LHK 7/2021).  

    Dokumen yuridis terpenting dari tahap ini adalah Berita Acara Tata Batas (BATB) yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas, beserta lampirannya berupa Peta Tata Batas Kawasan Hutan (vide Pasal 63 ayat (3) Permen LHK 7/2021).

    Tahap 3: Pemetaan Kawasan Hutan

    Tahap ini merupakan proses kartografis untuk merepresentasikan hasil penataan batas ke dalam format peta yang standar dan akurat secara geospasial (vide Pasal 1 Angka 21 Permen LHK 7/2021).  Mengolah data hasil pengukuran koordinat pal-pal batas di lapangan menjadi sebuah peta digital dan cetak yang memenuhi kaidah kartografi dan standar informasi geospasial nasional (vide Pasal 84 ayat (2) Permen LHK 7/2021).

    Peta Tata Batas Definitif dengan skala yang memadai (minimal 1:25.000), yang menjadi lampiran tak terpisahkan dari BATB (vide Pasal 62 Permen LHK 7/2021).

    Tahap 4: Penetapan Kawasan Hutan

    Ini adalah tahap final yang memberikan penegasan hukum tertinggi atas status suatu kawasan hutan. Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas, dan luas suatu Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan Tetap (vide Pasal 1 Angka 22 Permen LHK 7/2021).

    Menteri LHK menerbitkan keputusan yang secara resmi menetapkan suatu wilayah yang telah ditata batas secara temu gelang (membentuk poligon tertutup) sebagai Kawasan Hutan Tetap. Penetapan ini didasarkan pada BATB dan Peta Tata Batas yang telah disahkan pada tahap sebelumnya (vide Pasal 85 ayat (1) Permen LHK 7/2021).

    Produk hukum final adalah Keputusan Menteri LHK tentang Penetapan Kawasan Hutan, yang dilampiri Peta Penetapan Kawasan Hutan. Setelah ditetapkan, kawasan hutan tersebut akan diberi nomor register resmi oleh Menteri (vide Pasal 85 ayat (3) dan Pasal 86 ayat (8) Permen LHK 7/2021).

    Matriks Prosedur Pengukuhan Kawasan Hutan

    Tahapan

    Dasar Hukum Utama

    Deskripsi Kegiatan Utama

    Aktor Terlibat

    Output Yuridis/Teknis

    1. Penunjukan

    Permen LHK 7/2021

    Penetapan awal peruntukan suatu wilayah sebagai Kawasan Hutan secara deklaratif.

    Menteri LHK, Gubernur, Bupati/Wali Kota

    Keputusan Menteri & Peta Penunjukan Kawasan Hutan

    2. Penataan Batas

    Permen LHK 7/2021

    Proses teknis di lapangan: proyeksi batas, pemancangan patok, pengumuman, inventarisasi hak pihak ketiga, pemasangan pal batas definitif, pengukuran.

    Panitia Tata Batas (diketuai Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan), Masyarakat, Pihak Terkait

    Berita Acara Tata Batas (BATB) & Peta Tata Batas

    3. Pemetaan

    Permen LHK 7/2021

    Proses kartografis untuk memetakan hasil tata batas sesuai standar informasi geospasial.

    Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal terkait di KLHK

    Peta Tata Batas Definitif (lampiran BATB)

    4. Penetapan

    Permen LHK 7/2021

    Penegasan hukum final oleh Menteri terhadap kawasan yang telah ditata batas temu gelang menjadi Kawasan Hutan Tetap.

    Menteri LHK

    Keputusan Menteri & Peta Penetapan Kawasan Hutan

    Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021.

    Kualifikasi dan Kriteria Penetapan Fungsi Kawasan Hutan

    Setelah suatu wilayah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan, langkah krusial berikutnya adalah menentukan fungsi spesifik dari kawasan tersebut. Dengan dicabutnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang selanjutnya disebut dengan “PP 44/2004”, dasar hukum utama untuk penetapan fungsi kini adalah PP 23/2021 yang dirinci lebih lanjut dalam Permen LHK 7/2021. Penetapan fungsi ini tidak lagi murni berdasarkan sistem skoring, melainkan pada pemenuhan salah satu dari serangkaian kriteria biofisik dan tujuan pengelolaan.

    Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UU tentang Kehutanan, setiap jengkal Kawasan Hutan harus ditetapkan ke dalam salah satu dari tiga fungsi pokok, yang masing-masing memiliki rezim hukum dan tujuan pengelolaan yang berbeda:  

    1)       Hutan Konservasi

    Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang fungsi pokoknya adalah pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (vide Pasal 1 Angka 9 UU tentang Kehutanan);

    2)       Hutan Lindung

    Kawasan hutan yang fungsi pokoknya adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (vide Pasal 1 Angka 8 UU tentang Kehutanan); dan

    3)       Hutan Produksi

    Kawasan hutan yang fungsi pokoknya adalah untuk memproduksi hasil hutan, baik kayu maupun non-kayu (vide Pasal 1 angka 7 UU tentang Kehutanan).

    Selanjutnya, berdasarkan Pasal 31 PP 23/2021 dan Pasal 213 Permen LHK 7/2021, suatu kawasan hutan ditetapkan fungsinya apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

    Kriteria Hutan Lindung (HL)

    Suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai Hutan Lindung apabila memenuhi salah satu dari kriteria berikut:

    1.        Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 atau lebih;

    2.       Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih;

    3.      Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2.000 meter atau lebih di atas permukaan laut;

    4.       Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15%;

    5.       Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan

    6.      Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

    Kriteria Hutan Produksi

    Kawasan Hutan Produksi dibagi menjadi dua, yaitu Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, dengan kriteria:

    1.        Hutan Produksi Tetap (HP)

    Ditetapkan pada kawasan hutan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang setelah dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai kurang atau sama dengan 175, di luar kawasan lindung dan konservasi;

    2.       Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK)

    Ditetapkan pada kawasan hutan dengan kriteria:

    -         Mempunyai jumlah nilai (skor) kurang dari 124, di luar kawasan lindung dan konservasi; dan

    -         Kawasan hutan tersebut secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan Proyek Strategis Nasional lainnya.

    Metode skoring yang dirujuk dalam kriteria di atas, secara teknis masih mengacu pada metodologi yang telah lama digunakan, yang menilai tiga faktor biofisik utama. Proses perhitungan ini memberikan dasar yang lebih objektif dan ilmiah dalam pengambilan keputusan, mengurangi unsur subjektivitas, dan memastikan bahwa kawasan-kawasan yang secara ekologis vital dan rentan mendapatkan status perlindungan yang semestinya.


    Penetapan fungsi ini memiliki implikasi hukum yang sangat kuat. Setelah suatu kawasan ditetapkan fungsinya, segala bentuk pemanfaatan dan penggunaan di dalamnya harus tunduk pada rezim hukum yang sesuai dengan fungsi tersebut, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Permen LHK 8/2021.  

    Lantas bagaimana dengan Hutan Konservasi?

    Penetapan suatu wilayah sebagai Hutan Konservasi tidak menggunakan metode skoring kuantitatif seperti Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Sebaliknya, penetapannya didasarkan pada kriteria kualitatif yang menilai keunikan, kekhasan, dan nilai penting ekologis suatu kawasan.

    Dasar hukum utama yang mengatur kriteria ini juga berbeda yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang kemudian dirinci lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya, terutama Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Berikut adalah rincian kriteria untuk setiap jenis Hutan Konservasi:

    Kawasan Hutan Suaka Alam (KSA)

    KSA adalah kawasan dengan fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. KSA terbagi menjadi:

    a.       Cagar Alam (CA)

    Suatu wilayah dapat ditunjuk sebagai Cagar Alam apabila memenuhi kriteria :  

    -        Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;

    -        Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan maupun satwa liar, yang secara fisik masih asli dan belum terganggu;

    -        Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau keberadaannya terancam punah;

    -        Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;

    -        Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;

    -        Mempunyai ciri khas potensi dan dapat menjadi contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

    b.       Suaka Margasatwa (SM)

    Suatu wilayah dapat ditunjuk sebagai Suaka Margasatwa apabila memenuhi kriteria:  

    -         Merupakan tempat hidup dan berkembang biak dari satu atau beberapa jenis satwa langka dan/atau yang hampir punah;

    -         Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;

    -         Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu;

    -         Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat bagi jenis satwa yang bersangkutan.

    Kawasan Hutan Pelestarian Alam (KPA)

    KPA adalah kawasan dengan fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis, serta pemanfaatan lestari. KPA terbagi menjadi:

    a.       Taman Nasional (TN)

    Kriterianya meliputi:  

    -         Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik, masih utuh dan alami, serta gejala alam yang unik;

    -         Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

    -         Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

    -         Merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya.

    b.       Taman Hutan Raya (TAHURA)

    Kriterianya adalah:  

    -         Merupakan wilayah dengan ciri khas, baik asli maupun buatan, pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun sudah berubah;

    -         Memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam;

    -         Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa.

    c.       Taman Wisata Alam (TWA)

    Kriterianya meliputi:

    -         Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa, atau bentang alam serta formasi geologi yang unik;

    -         Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk pariwisata dan rekreasi alam;

    -         Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

    Taman Buru (TB)

    Berbeda dengan KSA dan KPA yang kriterianya diatur dalam peraturan pemerintah turunan UU Konservasi, kriteria untuk Taman Buru secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 31 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 dan Pasal 213 ayat (3) huruf a Permen LHK 7/ 2021, yaitu :  

    -        Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan.

    -        Terdapat satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa.

    Singkatnya, penetapan Hutan Konservasi didasarkan pada penilaian mendalam terhadap nilai-nilai intrinsik ekologis dan keunikan suatu kawasan, bukan sekadar perhitungan matematis faktor fisik seperti pada fungsi hutan lainnya.

    Pembagian Kewenangan: Dinamika Hubungan Pusat dan Daerah

    Pengaturan dan penetapan kawasan hutan melibatkan interaksi kewenangan yang kompleks antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Landasan utama pembagian kewenangan ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Pemda”. Kehutanan diklasifikasikan sebagai “Urusan Pemerintahan Konkuren”, yang berarti urusan tersebut dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah (vide Pasal 9 ayat (3) UU tentang Pemerintahan Daerah).

    Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), memegang kewenangan yang bersifat strategis dan nasional. Kewenangan ini meliputi:  

    1)       Menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK)

    Pemerintah Pusat berwenang menyusun dan menetapkan seluruh peraturan perundang-undangan (UU, PP, Permen) yang menjadi pedoman bagi penyelenggaraan urusan kehutanan di seluruh Indonesia (vide Pasal 16 ayat (1) huruf a UU tentang Pemerintahan Daerah);

    2)       Perencanaan Kehutanan Nasional

    Menyusun rencana kehutanan tingkat nasional yang menjadi acuan bagi perencanaan di tingkat provinsi;

    3)       Penetapan dan Perubahan Status Kawasan Hutan

    Kewenangan untuk melakukan seluruh tahapan pengukuhan kawasan hutan—mulai dari penunjukan hingga penetapan—serta mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan, secara absolut berada di tangan Pemerintah Pusat (Menteri LHK);

    4)       Pengelolaan Kawasan Konservasi

    Pengelolaan kawasan konservasi yang strategis seperti Taman Nasional (TN) dan Cagar Alam (CA) merupakan kewenangan penuh Pemerintah Pusat (vide Lampiran UU tentang Pemerintahan Daerah, Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan).

    5)       Penerbitan Perizinan Berusaha

    Pasca UU Cipta Kerja, kewenangan untuk menerbitkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk skala besar dan kegiatan yang dianggap strategis ditarik dan disentralisasikan di Pemerintah Pusat.

    Pemerintah Daerah Provinsi, melalui Dinas yang membidangi kehutanan, memiliki kewenangan yang lebih bersifat operasional dan implementatif di wilayahnya. Kewenangan tersebut antara lain :  

    1)       Pengelolaan Hutan

    Melaksanakan pengelolaan hutan di wilayahnya dalam lingkup Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), baik KPH Lindung (KPHL) maupun KPH Produksi (KPHP) (vide Lampiran UU tentang Pemerintahan Daerah, Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan);

    2)       Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura)

    Mengelola Tahura yang berada di wilayah provinsi (vide Lampiran UU tentang Pemerintahan Daerah, Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan);

    3)       Rehabilitasi Hutan dan Lahan

    Melaksanakan kegiatan rehabilitasi di luar kawasan hutan konservasi;

    4)       Pemberdayaan Masyarakat

    Melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan;

    5)       Pengawasan

    Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perizinan berusaha dan kegiatan kehutanan lainnya di wilayahnya.

    Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di bidang kehutanan sangat terbatas. Kewenangan yang tersisa hanyalah pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) yang berlokasi di wilayah kabupaten/kota tersebut. Seluruh urusan kehutanan lainnya telah ditarik ke tingkat provinsi dan pusat.  

    Analisis Dampak Sentralisasi Pasca-UU Cipta Kerja

    Salah satu perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU tentang Cipta Kerja adalah tren sentralisasi kewenangan, khususnya dalam hal perizinan. Penarikan kewenangan penerbitan PBPH ke Pemerintah Pusat melalui sistem OSS bertujuan untuk standardisasi, penyederhanaan, dan percepatan proses investasi. Namun, kebijakan ini menciptakan sebuah paradoks. Di satu sisi, proses perizinan menjadi lebih cepat secara administratif. Di sisi lain, hal ini berpotensi melemahkan mekanisme kontrol dan pengawasan di tingkat tapak.  

    Pemerintah Pusat, yang secara geografis dan institusional jauh dari lokasi hutan, kini menjadi pembuat keputusan utama terkait izin pemanfaatan. Sementara itu, Pemerintah Daerah Provinsi, yang memiliki aparat dan pemahaman lebih mendalam mengenai kondisi sosial-ekologis lokal, perannya tereduksi menjadi pengawas dengan kapasitas intervensi yang terbatas.

    Mereka tidak lagi memiliki kewenangan untuk menolak atau menyetujui izin secara langsung. Kondisi ini dapat menciptakan ketidaksesuaian antara izin yang diterbitkan secara terpusat dengan realitas di lapangan, serta melemahkan sistem checks and balances yang seharusnya berjalan antara level pemerintahan. Akibatnya, risiko terjadinya konflik sosial dan kerusakan lingkungan dapat meningkat karena keputusan yang kurang mempertimbangkan konteks lokal.

    Studi Kasus: Implementasi dan Tantangan di Provinsi Kalimantan Barat

    Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), dengan tutupan hutan yang luas dan dinamika sosial-ekonomi yang tinggi, menjadi laboratorium yang relevan untuk menguji implementasi dan tantangan dari kerangka regulasi kehutanan nasional. Analisis di tingkat provinsi ini menyoroti bagaimana kebijakan nasional berinteraksi dengan konteks lokal, mulai dari perencanaan tata ruang hingga konflik di tingkat tapak.

    Dokumen perencanaan ruang utama di tingkat provinsi adalah Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2024-2043. Perda ini menjadi instrumen hukum bagi Pemerintah Provinsi Kalbar untuk mengalokasikan ruang bagi berbagai kepentingan, termasuk penetapan pola ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya, yang di dalamnya mencakup kawasan hutan.  

    Salah satu tantangan utama bagi Perda RTRW ini adalah bagaimana mengintegrasikan komitmen nasional dan global terkait perubahan iklim, khususnya agenda Indonesia's Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Agenda ini menargetkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan untuk mencapai kondisi serapan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang lebih tinggi daripada pelepasannya pada tahun 2030. Pemerintah Provinsi Kalbar telah berkomitmen untuk mendukung agenda ini, salah satunya dengan mempertahankan tutupan hutan seluas 7,6 juta hektar. Sinkronisasi antara alokasi ruang dalam Perda RTRW dengan target FOLU Net Sink menjadi krusial untuk memastikan bahwa tujuan pembangunan daerah sejalan dengan agenda mitigasi perubahan iklim.  

    Tinjauan Kritis dari Masyarakat Sipil

    Proses penyusunan dan substansi Perda RTRW Kalbar tidak luput dari sorotan kritis organisasi masyarakat sipil. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar menyoroti proses pembahasan Raperda yang dinilai terkesan tergesa-gesa dan minim partisipasi publik yang bermakna, padahal regulasi ini akan berdampak hingga 20 tahun ke depan. Kritik ini menggarisbawahi adanya potensi defisit keadilan prosedural dalam pembentukan kebijakan strategis.  

    Secara substantif, muncul kekhawatiran bahwa Perda RTRW yang baru belum mampu menjawab tantangan mendasar terkait status desa-desa yang berada di dalam kawasan hutan. Tanpa adanya penyelesaian yang jelas dan adil terhadap tumpang tindih antara wilayah administrasi desa dengan kawasan hutan yang ditetapkan negara, konflik tenurial akan terus menjadi isu laten dalam implementasi tata ruang di Kalbar.  

    Implementasi Kebijakan Afirmatif dan Konflik Tenurial

    Di tengah tantangan tersebut, negara juga mengimplementasikan kebijakan afirmatif yang bertujuan memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat, seperti program Perhutanan Sosial dan pengakuan Hutan Adat. Di Kalbar, program-program ini berjalan, namun seringkali berhadapan dengan realitas kompleks di lapangan. Salah satu tantangan terbesar adalah konflik tenurial yang persisten, di mana klaim historis masyarakat adat atau lokal atas tanah dan hutan tumpang tindih dengan izin-izin pemanfaatan hutan (misalnya untuk Hutan Tanaman Industri atau perkebunan) yang telah diterbitkan oleh negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012, tertanggal 16 Mei 2013, yang menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara seharusnya menjadi terobosan, namun implementasinya di daerah masih menghadapi jalan panjang, terutama dalam proses pengakuan masyarakat hukum adat dan penetapan wilayah adatnya melalui peraturan daerah (vide Pasal 67 ayat (2) UU tentang Kehutanan).

    Peran Pemerintah Daerah dalam Kewenangan yang Tersisa

    Meskipun banyak kewenangan ditarik ke pusat, Pemerintah Provinsi Kalbar masih memiliki ruang untuk menjalankan perannya. Salah satu contohnya adalah melalui penerbitan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 33 Tahun 2022 tentang Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Peraturan ini menunjukkan upaya pemerintah daerah untuk memfasilitasi dan mendorong ekonomi masyarakat berbasis HHBK, yang sejalan dengan tujuan pemberdayaan masyarakat dan diversifikasi ekonomi dari sumber daya hutan yang lebih lestari. Ini adalah contoh bagaimana kewenangan yang tersisa di tingkat provinsi dapat dioptimalkan untuk mendukung pengelolaan hutan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.  

    Kerangka hukum kehutanan pasca-UU Cipta Kerja dirancang dengan premis utama untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Namun, efektivitasnya dalam memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi fungsi ekologis hutan dan hak-hak sosial masyarakat patut dipertanyakan secara kritis. Perlindungan hukum yang diharapkan idealnya mencakup tiga pilar: kepastian hukum (status dan batas kawasan yang jelas dan diakui), keadilan prosedural (proses penetapan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel), serta keadilan substantif (pengakuan hak-hak masyarakat dan jaminan kelestarian fungsi ekologis).

    Implikasi Penghapusan Ambang Batas 30%

    Penghapusan kewajiban mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS/pulau dalam UU Cipta Kerja merupakan salah satu perubahan paling fundamental dan kontroversial. Meskipun argumen pemerintah adalah bahwa ketentuan tersebut tidak relevan dengan kondisi di beberapa wilayah seperti Jawa dan digantikan dengan pendekatan yang lebih “ilmiah” berdasarkan kondisi biogeofisik, kebijakan ini secara efektif menghilangkan jaring pengaman (  

    safeguard) ekologis yang paling kuat dalam legislasi kehutanan.

    Kriteria baru yang diatur dalam Pasal 41 PP 23/2021, yang menyerahkan penetapan kecukupan luas hutan kepada Pemerintah Pusat berdasarkan kajian teknis, berpotensi membuka “kotak pandora”. Hal ini memungkinkan adanya justifikasi teknokratis untuk mengurangi luas kawasan hutan demi mengakomodasi proyek-proyek yang dianggap strategis secara nasional. Tanpa adanya ambang batas minimal yang jelas dan mengikat secara hukum dalam undang-undang, pilar perlindungan untuk keadilan substantif—khususnya jaminan kelestarian fungsi ekologis dalam skala lanskap—menjadi sangat rentan terhadap diskresi politik dan tekanan ekonomi.  

    Konflik Tenurial dan Dilema Pengakuan Hutan Adat

    Meskipun UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, seperti PP 23/2021, telah menyediakan bab khusus yang mengatur tentang Hutan Adat, implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan besar. Proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan penetapan wilayah adatnya seringkali berjalan lambat dan birokratis, yang mensyaratkan adanya Peraturan Daerah (vide Pasal 234 ayat (1) PP 23/ 2021). Di sisi lain, proses perizinan berusaha untuk investasi skala besar berjalan jauh lebih cepat melalui sistem terpusat.  

    Disharmoni ini menciptakan situasi di mana hak-hak tenurial masyarakat adat yang telah ada secara historis seringkali terabaikan atau tumpang tindih dengan izin-izin yang diterbitkan kemudian. Kebijakan percepatan investasi, dalam praktiknya, seringkali tidak memberikan ruang tunggu yang cukup bagi proses pengakuan hak-hak masyarakat. Akibatnya, pilar kepastian hukum dan keadilan substantif bagi masyarakat adat menjadi tergerus. Negara seolah berada dalam posisi dilematis antara mengakui hak konstitusional masyarakat adat dan memfasilitasi agenda investasi nasional.  

    Pelemahan Pengawasan dan Penegakan Hukum

    Laporan Analisis dan Evaluasi Hukum dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyoroti beberapa kelemahan serius dalam aspek pengawasan dan penegakan hukum pasca-reformasi regulasi.  

    Pertama, definisi “Pengawasan Kehutanan” dalam Pasal 1 Angka 74 PP 23/2021 dipersempit maknanya menjadi “serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan/atau pengawas Kehutanan untuk mengetahui, memastikan, dan menetapkan tingkat ketaatan pemegang Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah...”, dan tidak seluas lingkup pengawasan dalam UU Kehutanan yang mencakup seluruh aspek pengurusan hutan.  

    Kedua, beberapa instrumen penegakan hukum yang sebelumnya ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang P3H”, dihapus atau diubah oleh UU tentang Cipta Kerja, seperti ketentuan mengenai lembaga khusus dan majelis hakim ad hoc untuk kejahatan kehutanan.  

    Pelemahan instrumen pengawasan dan penegakan hukum ini, ditambah dengan sentralisasi kewenangan perizinan yang mengurangi peran kontrol pemerintah daerah, berisiko menciptakan lingkungan di mana pelanggaran lebih sulit dideteksi dan ditindak. Ketika pilar penegakan hukum melemah, efektivitas dari seluruh kerangka perlindungan hukum yang ada di atas kertas menjadi diragukan. Hal ini mengancam ketiga pilar perlindungan hukum sekaligus, karena tanpa penegakan yang kuat, kepastian hukum menjadi ilusi, prosedur dapat diabaikan, dan substansi perlindungan ekologis dan sosial tidak dapat dijamin.

    Penutup: Arah Reformasi Hukum Kehutanan Indonesia

    Analisis komprehensif terhadap kerangka regulasi mengenai penetapan kawasan hutan dan peran negara di dalamnya menunjukkan adanya sebuah pergeseran paradigma yang fundamental dalam hukum kehutanan Indonesia. Pasca reformasi omnibus law, orientasi kebijakan telah bergeser secara signifikan dari yang sebelumnya berupaya menyeimbangkan pilar ekologi, sosial, dan ekonomi, menjadi lebih dominan berpihak pada fasilitasi investasi dan percepatan pembangunan. Peran negara, yang secara konstitusional diamanatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kini lebih banyak diterjemahkan melalui lensa pertumbuhan ekonomi.

    Pergeseran ini membawa konsekuensi yang mendalam. Di satu sisi, penyederhanaan dan sentralisasi perizinan berpotensi meningkatkan efisiensi birokrasi dan menarik investasi. Namun di sisi lain, hal ini dicapai dengan mengorbankan beberapa jaring pengaman ekologis yang krusial, menciptakan paradoks dalam sistem pengawasan, serta memperumit penyelesaian konflik tenurial dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Perlindungan hukum yang diharapkan—yang mencakup kepastian, keadilan prosedural, dan keadilan substantif—menghadapi tantangan serius dalam implementasinya.

    Peran negara yang ideal bukanlah memilih secara biner antara konservasi dan ekonomi. Sebaliknya, peran tersebut adalah membangun sebuah arsitektur hukum dan kelembagaan yang mampu mengintegrasikan keduanya secara harmonis. Hal ini menuntut adanya instrumen hukum yang kokoh untuk melindungi kawasan dengan nilai ekologis dan sosial yang tinggi, mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan efektif, serta model-model pemanfaatan hutan yang secara inheren menyejahterakan masyarakat sekaligus menjaga kelestarian fungsi ekosistem.

    Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dirumuskan untuk arah reformasi hukum kehutanan Indonesia ke depan:

    1.       Revisi Legislatif yang Komprehensif

    Alih-alih melakukan perubahan parsial melalui mekanisme omnibus law, diperlukan sebuah revisi yang menyeluruh terhadap UU Kehutanan. Revisi ini harus secara fundamental menata ulang keseimbangan antara tujuan ekologis, sosial, dan ekonomi. Pertimbangan untuk mengembalikan jaring pengaman penting seperti ambang batas minimal luas kawasan hutan perlu dikaji secara serius untuk menjamin keberlanjutan ekologis jangka panjang.  

    2.       Harmonisasi Regulasi Vertikal dan Horizontal

    Pemerintah perlu segera melakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara PP 23/2021 dengan peraturan setingkat lainnya, terutama Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Ketidakselarasan antar peraturan ini menciptakan kebingungan dan ketidakpastian hukum di tingkat implementasi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan menghambat penyelesaian konflik agraria.  

    3.       Penguatan Kembali Peran Daerah dalam Pengawasan

    Kebijakan sentralisasi perizinan perlu dievaluasi ulang. Perlu dirancang sebuah mekanisme yang memperkuat kembali peran dan kapasitas pemerintah daerah, khususnya provinsi, dalam fungsi pengawasan, verifikasi lapangan, dan pemberian rekomendasi yang mengikat. Keterlibatan daerah yang lebih bermakna akan memastikan bahwa keputusan yang dibuat secara terpusat tetap selaras dengan realitas dan konteks sosial-ekologis lokal.

    4.       Akselerasi Pengakuan Hak Masyarakat sebagai Prioritas

    Proses pengakuan Hutan Adat dan percepatan alokasi areal untuk Perhutanan Sosial harus ditempatkan sebagai prioritas nasional yang setara, jika tidak lebih tinggi, dari alokasi untuk investasi skala besar. Ini bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga merupakan strategi pengelolaan hutan yang terbukti efektif, di mana masyarakat yang memiliki hak tenurial yang kuat cenderung menjadi penjaga hutan yang paling baik.

    Pada akhirnya, masa depan hutan Indonesia bergantung pada kemampuan negara untuk merancang dan mengimplementasikan sebuah kerangka hukum yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial dan bijaksana secara ekologis. Tanpa keseimbangan tersebut, kemakmuran yang dicita-citakan oleh konstitusi hanya akan menjadi fatamorgana di tengah lanskap hutan yang semakin terdegradasi.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Djambatan, 2005), 97–98.

    [2] Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), 14–16

    [3] Nico Schrijver, Sovereignty over Natural Resources: Balancing Rights and Duties (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 46.