Pertanyaan
Selamat malam bang, bisakah abang jelaskan secara menyeluruh bagaimana Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), yang pada awalnya dirancang sebagai instrumen
pembangunan, justru menjadi sumber utama konflik agraria dan ketidakpastian
hukum karena mengabaikan hak masyarakat? Bagaimana dinamika peraturan
perundang-undangan dari rezim lama hingga era UU Cipta Kerja mencoba
mengatasi kekacauan ini; serta apa implikasinya bagi perlindungan hukum,
kesejahteraan masyarakat, dan kewenangan pemerintah daerah?
Jawaban
Definisi dan Latar Belakang Historis TGHK: Dari Instrumen Pembangunan ke Sumber Sengketa
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) merupakan salah satu instrumen kebijakan
paling fundamental dan sekaligus paling kontroversial dalam sejarah
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Secara historis, kebijakan ini
lahir dari rahim rezim Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan ekonomi
berbasis eksploitasi sumber daya alam.
Landasan awal TGHK dapat ditelusuri pada
Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
680/Kpts/Um/8/81 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan. Kebijakan ini dirancang sebagai kerangka kerja perencanaan tata guna
lahan hutan di tingkat provinsi, yang pada praktiknya menjadi instrumen
utama pemerintah pusat untuk mengalokasikan konsesi Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) secara masif, sejalan dengan semangat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
Proses pembentukan TGHK pada masanya bersifat sentralistik dan birokratis.
Meskipun dinamakan “kesepakatan”, proses ini pada dasarnya adalah konsensus
antar-instansi pemerintah di tingkat daerah—seperti kepala dinas sektoral
dan gubernur—yang kemudian hasilnya disahkan oleh pemerintah pusat di
Jakarta. Sebagai contoh, sejarah kawasan hutan di Provinsi Riau diawali
dengan penerbitan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni
1986 mengenai Tata Guna Hutan Kesepakatan. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya partisipasi publik yang bermakna,
terutama dari masyarakat lokal dan adat yang telah lama mendiami dan
mengelola wilayah tersebut.
Akibatnya, istilah “Kesepakatan” dalam TGHK menjadi sebuah anomali jika
ditinjau dari perspektif tata kelola pemerintahan yang partisipatif.
Konsensus yang terjadi adalah murni sebuah pakta birokratis yang dirancang
untuk efisiensi administratif dalam pemberian izin skala besar, bukan untuk
mencapai legitimasi sosial.
Ketiadaan pelibatan masyarakat inilah yang menjadi benih dari konflik
tenurial berkepanjangan yang meletus di berbagai daerah, di mana masyarakat
adat dan lokal tiba-tiba menemukan wilayah kelola mereka telah ditetapkan
sebagai kawasan hutan negara dan dialokasikan kepada pihak ketiga. Dengan
demikian, TGHK yang pada awalnya adalah instrumen pembangunan, secara
inheren telah menjadi sumber utama ketidakadilan dan sengketa agraria.
Kedudukan TGHK dalam Sistem Penataan Ruang Nasional: Hegemoni Sektoral Kehutanan
Bahwa pada periode 1970-an hingga awal 1980-an, sebelum Indonesia memiliki
undang-undang penataan ruang yang komprehensif, TGHK secara
de facto berfungsi sebagai satu-satunya instrumen penataan ruang
berskala nasional untuk wilayah di luar permukiman. Sektor kehutanan, dengan
kapasitas planologi yang kuat, mendominasi proses perencanaan pemanfaatan
lahan di seluruh nusantara.
Namun, lahirnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, yang kemudian digantikan oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
(selanjutnya disebut “UU tentang Penataan Ruang”), memperkenalkan sistem perencanaan terpadu yang seharusnya
mengintegrasikan berbagai kepentingan sektoral.
Kehadiran rezim penataan ruang yang baru ini justru menciptakan friksi
fundamental dengan peta-peta TGHK yang telah ada. UU tentang Penataan Ruang
mengklasifikasikan ruang berdasarkan fungsi (kawasan lindung dan kawasan
budidaya), sementara TGHK mengklasifikasikannya berdasarkan status hukum
kehutanan (Hutan Produksi, Hutan Lindung, Hutan Konservasi). Ketidaksesuaian
antara kedua peta ini melahirkan disharmoni tata ruang yang sistemik,
terutama di luar Jawa. Untuk mengatasi tumpang tindih ini, diperkenalkan
konsep “Padu Serasi”, yaitu sebuah proses untuk menyelaraskan atau
mengharmonisasikan peta TGHK dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP).
Namun, proses “Padu Serasi” ini bukanlah sebuah penyelarasan teknis yang
netral, melainkan sebuah arena negosiasi politik yang mencerminkan
ketidakseimbangan kekuasaan. Proses ini terbukti jauh lebih sulit
diimplementasikan di wilayah-wilayah yang memiliki banyak konsesi HPH,
seperti di Kalimantan. Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa hasil akhir
dari “Padu Serasi” sering kali tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip
perencanaan ruang yang objektif, melainkan oleh kekuatan lobi dan pengaruh
politik dari para pemegang konsesi dan Kementerian Kehutanan.
Akibatnya, alih-alih TGHK yang menyesuaikan diri dengan RTRWP yang lebih
komprehensif, yang terjadi justru sebaliknya yaitu RTRWP dipaksa untuk
mengakomodasi dan melegitimasi alokasi-alokasi yang sudah ada dalam peta
TGHK. Ini menunjukkan bagaimana tata ruang di Indonesia secara historis
telah tunduk pada kepentingan ekonomi-politik yang kuat dan berakar di
sektor kehutanan.
Analisis Kritis UU tentang Kehutanan, UU tentang Penataan Ruang, dan UU tentang Pokok Agraria
Pengaturan kawasan hutan di Indonesia berdiri di atas tiga pilar hukum
utama yang secara filosofis dan yuridis seringkali tidak sejalan,
menciptakan sebuah labirin regulasi yang kompleks. Ketiga pilar tersebut
adalah:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”)
yaitu sebagai lex generalis hukum pertanahan, UUPA meletakkan dasar
bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep “hak menguasai negara” ini bukanlah
hak kepemilikan, melainkan wewenang untuk mengatur. UUPA juga secara
eksplisit mengakui keberadaan hak-hak adat, seperti hak ulayat, sebagai
dasar hukum agraria nasional;
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(sebagaimana telah diubah, selanjutnya disebut “UU tentang
Kehutanan”)
yaitu undang-undang ini bersifat lex specialis untuk sektor
kehutanan. Ia memperkenalkan konsep “Kawasan Hutan” sebagai sebuah status
hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui serangkaian proses yang
disebut pengukuhan. Proses pengukuhan ini terdiri dari empat tahap yaitu
penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan.
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Kehutanan
(sebagaimana telah diubah, selanjutnya disebut “UU tentang Penataan
Ruang”)
yaitu undang-undang ini bertujuan menciptakan sistem perencanaan ruang yang
terintegrasi dan komprehensif, dengan hierarki rencana yang jelas (RTRWN,
RTRWP, RTRWK/Kota). UU ini mengklasifikasikan ruang berdasarkan fungsi
biofisiknya menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya, yang seharusnya
menjadi acuan bagi semua sektor, termasuk kehutanan.
Ketegangan fundamental muncul dari cara pandang yang berbeda. UUPA berpusat
pada tanah (land-centric) dan mengakui pluralisme hak. UU tentang
Kehutanan berpusat pada negara (state-centric) dan berbasis zona
(zone-based), di mana status “Kawasan Hutan” menjadi superior.
Sementara itu, UU tentang Penataan Ruang berbasis fungsi
(function-based) dan bertujuan mengintegrasikan keduanya.
TGHK, sebagai produk murni dari sektor kehutanan, beroperasi sepenuhnya
dalam logika UU tentang Kehutanan, sering kali mengabaikan hak-hak yang
diakui UUPA dan bertabrakan dengan visi terpadu UU tentang Penataan
Ruang.
Pada titik inilah konsep “Kawasan Hutan” dapat dipandang sebagai sebuah
fiksi hukum yang justru menciptakan, alih-alih menyelesaikan, konflik. UU
tentang Kehutanan mendefinisikan Kawasan Hutan sebagai wilayah yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap.
Penetapan ini seringkali hanya didasarkan pada peta indikatif seperti TGHK
melalui sebuah Surat Keputusan (SK) Menteri, tanpa melalui proses verifikasi
lapangan yang memadai untuk menyelesaikan hak-hak pihak ketiga yang telah
ada sebelumnya, sebagaimana diamanatkan oleh UUPA.
Bahkan, definisi Kawasan Hutan Negara dalam peraturan pelaksana secara
eksplisit menyatakan bahwa status tersebut berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah. Namun, praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Akibatnya, tercipta sebuah situasi di mana sebidang tanah yang secara sah
dimiliki oleh masyarakat berdasarkan UUPA (misalnya dengan Sertipikat Hak
Milik), secara bersamaan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara oleh
Kementerian Kehutanan. Konflik yang terjadi bukanlah sekadar tumpang tindih
fisik di lapangan, melainkan benturan yang diciptakan oleh dua sistem hukum
yang kontradiktif dan beroperasi secara paralel terhadap objek yang sama.
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah: Dinamika dalam Pengukuhan dan Pengelolaan
Dinamika pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
pengelolaan hutan telah mengalami pasang surut yang signifikan. Secara
historis, terutama pada era Orde Baru, pemerintah pusat melalui Kementerian
Kehutanan memegang otoritas absolut dalam menunjuk dan mengalokasikan
kawasan hutan. Era reformasi dan desentralisasi, yang ditandai dengan
lahirnya undang-undang pemerintahan daerah, memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah daerah dalam penataan ruang melalui penyusunan RTRW.
Meskipun demikian, kewenangan final untuk melakukan pengukuhan kawasan
hutan—proses yang memberikan kepastian hukum atas status hutan—tetap berada
di tangan pemerintah pusat. Dualisme kewenangan ini (pemerintah daerah untuk
tata ruang, pemerintah pusat untuk status kawasan hutan) menciptakan
“wilayah abu-abu” yang luas dan menjadi lahan subur bagi ketidakpastian
hukum dan konflik. Pemerintah daerah dapat mengalokasikan suatu wilayah
untuk pembangunan non-kehutanan dalam RTRW-nya, namun wilayah tersebut
mungkin masih berstatus Kawasan Hutan di mata pemerintah pusat.
Lahirnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja
(selanjutnya disebut “UU tentang Cipta Kerja”) beserta peraturan pelaksananya, seperti
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan
(selanjutnya disebut “PP 23/2021”), menandai sebuah pergeseran pendulum kembali ke arah sentralisasi yang
kuat. Hampir seluruh kewenangan strategis, termasuk perizinan berusaha di
bidang kehutanan, perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan, kini
ditarik kembali ke pemerintah pusat.
Langkah ini, meskipun dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum dan
menyederhanakan investasi, berisiko mengorbankan aspirasi lokal dan kontrol
demokratis atas pemanfaatan sumber daya alam di daerah.
Implementasi di Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi dengan tutupan hutan
yang luas, memiliki serangkaian peraturan daerah yang merefleksikan upaya
implementasi kebijakan kehutanan nasional di tingkat lokal.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Kehutanan
(selanjutnya disebut “Perda Kalbar 8/2019”) adalah contoh utama dari kerangka hukum di era pra-UU tentang Cipta
Kerja. Perda ini menegaskan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam mengelola
Hutan Lindung dan Hutan Produksi, serta mengatur mekanisme teknis seperti
tata hutan dan pemberdayaan masyarakat melalui skema perhutanan sosial yang
dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Selain itu, terdapat
peraturan turunan seperti
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 33 Tahun 2022 tentang
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
yang menunjukkan fokus daerah pada aspek-aspek spesifik pengelolaan hutan.
Di tingkat kabupaten, implementasi kebijakan tercermin dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW). Sebagai contoh,
Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ketapang Tahun 2015-2035
(selanjutnya disebut “Perda RTRW Ketapang 3/2015”) secara rinci mengalokasikan ruang untuk berbagai peruntukan, termasuk
kawasan lindung, kawasan hutan produksi, pertanian, perkebunan, dan
pertambangan. Perda ini merupakan wujud pelaksanaan kewenangan pemerintah
kabupaten dalam merencanakan pembangunan wilayahnya.
Namun, pasca-berlakunya UU tentang Cipta Kerja, otonomi yang tercermin
dalam peraturan-peraturan daerah ini menghadapi tantangan serius.
Sentralisasi perizinan dan kewenangan perubahan fungsi hutan ke pemerintah
pusat menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai relevansi dan kekuatan hukum
dari rencana-rencana yang telah disusun oleh daerah. Keputusan yang dibuat
di Jakarta berpotensi besar bertentangan dengan alokasi ruang yang telah
ditetapkan dalam Perda RTRW kabupaten/kota, seperti di Ketapang, yang dapat
memicu babak baru konflik tata ruang antara pusat dan daerah.
Dampak dan Implikasi TGHK: Konflik Tenurial dan Ketidakpastian Hukum
Masalah paling fundamental yang diwariskan oleh TGHK adalah tumpang tindih
status lahan secara masif, di mana klaim kawasan hutan oleh negara
berbenturan langsung dengan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh
masyarakat. Secara yuridis, benturan ini terjadi karena proses penunjukan
kawasan hutan seringkali mengabaikan prinsip dasar bahwa Kawasan Hutan
Negara hanya dapat ditetapkan pada tanah yang tidak dibebani hak.
Praktiknya, penunjukan yang hanya berbasis peta skala besar tanpa verifikasi
lapangan telah memasukkan jutaan hektar tanah milik, tanah adat, dan
desa-desa definitif ke dalam klaim kawasan hutan negara.
Dari perspektif hukum administrasi, Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan
tentang penunjukan kawasan hutan, terutama yang didasarkan pada TGHK yang
belum menyelesaikan seluruh tahapan pengukuhan, merupakan sebuah tindakan
administrasi negara. Tindakan ini secara hukum tidak dapat secara sepihak
menghapuskan atau meniadakan hak-hak perdata atas tanah (seperti Hak Milik)
yang diakui oleh UUPA, yang kedudukannya sebagai undang-undang lebih tinggi
daripada SK Menteri.
Proses penunjukan yang cacat prosedur ini, yang mengabaikan keberadaan
hak-hak pihak ketiga, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengandung
cacat administrasi (cacat yuridis).
Lebih jauh, kegagalan negara selama berpuluh-puluh tahun untuk
menyelesaikan proses pengukuhan kawasan hutan secara tuntas dapat dianggap
sebagai bentuk kelalaian hukum (legal negligence). UU Kehutanan
mengamanatkan proses empat tahap (penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan
penetapan) untuk memberikan kepastian hukum. Namun, selama ini pemerintah
cenderung hanya mengandalkan tahap pertama (penunjukan) sebagai dasar untuk
mengklaim dan mengontrol wilayah, sementara tahap-tahap selanjutnya yang
memerlukan verifikasi lapangan, partisipasi publik, dan penyelesaian hak,
seringkali tidak dilaksanakan.
Penundaan ini bukanlah sekadar keterlambatan prosedural, melainkan sebuah
omisi strategis. Dengan mempertahankan status quo “ditunjuk tetapi belum
ditetapkan”, negara mempertahankan fleksibilitas maksimal untuk mengelola
sumber daya tanpa harus menanggung beban hukum dan finansial dari
penyelesaian klaim-klaim masyarakat. Praktik ini secara sistemik
melanggengkan ketidakpastian hukum dan merampas hak warga negara atas
jaminan hukum yang adil.
TGHK, Kesejahteraan Masyarakat, dan Kriminalisasi
Amanat konstitusi dan UU tentang Kehutanan secara tegas menyatakan bahwa
pengelolaan hutan ditujukan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Namun,
implementasi kebijakan penunjukan kawasan hutan berbasis TGHK justru
seringkali menghasilkan dampak yang berkebalikan. Bagi jutaan masyarakat
adat dan lokal yang hidupnya bergantung pada hutan, penetapan sepihak
wilayah mereka sebagai kawasan hutan negara berarti kehilangan akses
terhadap sumber-sumber penghidupan, marjinalisasi ekonomi, dan pengabaian
terhadap sistem pengelolaan sumber daya yang telah mereka praktikkan secara
turun-temurun.
Dampak yang paling merusak adalah terjadinya kriminalisasi. Melalui
kekuatan hukum, praktik-praktik tradisional masyarakat dalam memanfaatkan
hutan—yang sebelumnya merupakan hak—diubah statusnya menjadi tindakan
ilegal. Seorang petani yang menggarap ladang warisan leluhurnya dapat
seketika dicap sebagai “perambah ilegal” hanya karena selembar SK Menteri
yang diterbitkan di Jakarta telah menetapkan tanahnya sebagai kawasan hutan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH), meskipun ditujukan untuk
memberantas kejahatan kehutanan terorganisasi, dalam praktiknya seringkali
digunakan secara tidak proporsional untuk menjerat masyarakat kecil,
sementara korporasi besar yang melakukan perusakan dalam skala masif justru
mendapatkan impunitas atau penyelesaian administratif. Fenomena ini
menunjukkan bagaimana instrumen hukum, yang seharusnya melindungi, justru
menjadi alat penindasan yang menjauhkan masyarakat dari sumber
kesejahteraannya.
Peran Peradilan dalam Mengoreksi Kebijakan
Di tengah kebuntuan kebijakan eksekutif, lembaga yudikatif telah memainkan
peran penting dalam mengoreksi dan menafsirkan ulang regulasi kehutanan yang
problematik. Terdapat dua korpus yurisprudensi utama yang sangat
relevan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 35/PUU-X/2012
merupakan sebuah putusan monumental (landmark decision) dalam sejarah
hukum kehutanan Indonesia. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa frasa
“hutan negara” dalam definisi “Hutan adat” pada
Pasal 1 Angka 6 UU tentang Kehutanan adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, definisi Hutan Adat
diubah dari “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” menjadi “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Ratio decidendi
atau pertimbangan hukum utama hakim konstitusi didasarkan pada pengakuan
hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagaimana dijamin dalam Pasal
18B ayat (2) UUD NRI 1945.
MK berargumen bahwa masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya telah
ada jauh sebelum negara Indonesia terbentuk,
sehingga negara memiliki kewajiban untuk mengakui dan menghormati hak-hak
tersebut, bukan justru menghapuskannya dengan mengklaim hutan adat sebagai
hutan negara. Putusan ini secara fundamental mengoreksi paradigma
state-centric dalam UU tentang Kehutanan dan menegaskan bahwa hutan
adat bukanlah milik negara, melainkan merupakan bagian dari
hutan hak yang kepemilikan dan pengelolaannya berada pada masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
Implikasinya sangat besar, karena putusan ini memberikan landasan
konstitusional yang kokoh bagi masyarakat adat untuk menuntut pengakuan dan
pengembalian wilayah adat mereka dari klaim sepihak negara.
Yurisprudensi Mahkamah Agung: Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik vs. SK Penunjukan Hutan
Mahkamah Agung (MA) telah berulang kali dihadapkan pada sengketa kompleks
di mana dua produk hukum yang sah—Sertipikat Hak Milik (SHM) yang
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan SK Penunjukan Kawasan
Hutan oleh Menteri Kehutanan—berlaku di atas objek tanah yang sama. Dalam
menghadapi benturan legalitas ini, MA telah membentuk serangkaian
yurisprudensi yang berfungsi sebagai benteng pertahanan hukum bagi hak-hak
perdata atas tanah.
Kaidah hukum fundamental yang dikembangkan oleh MA adalah pembedaan tegas
antara proses “penunjukan” dan “penetapan” kawasan hutan. MA secara
konsisten berpendapat bahwa status “penunjukan” kawasan hutan, yang
seringkali hanya didasarkan pada peta TGHK, belum bersifat final dan
definitif secara hukum. Untuk memberikan kepastian hukum yang mengikat,
proses pengukuhan kawasan hutan harus dilaksanakan secara utuh sesuai empat
tahapan yang diamanatkan undang-undang:
1.
Penunjukan Kawasan Hutan;
2.
Penataan Batas Kawasan Hutan;
3.
Pemetaan Kawasan Hutan;
4.
Penetapan Kawasan Hutan.
Sebuah SK Penunjukan hanyalah tahap awal dan tidak serta-merta memiliki
kekuatan hukum untuk membatalkan atau mengalahkan bukti kepemilikan yang sah
seperti SHM, terutama jika tahap krusial seperti penataan batas partisipatif
di lapangan dan penetapan definitif belum pernah dilakukan. Berikut adalah
contoh konkret dari putusan pengadilan yang merefleksikan prinsip
tersebut:
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3267 K/Pdt/2012,
tertanggal 20 November 2013
Seluruh perkara ini berakar pada
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni
1986. Ini adalah SK tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau yang
merupakan produk langsung dari kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Kasus ini secara gamblang menunjukkan bagaimana sebuah SK Penunjukan dari
era TGHK menjadi dasar hukum untuk menggugat perbuatan perusakan dan alih
fungsi hutan puluhan tahun kemudian. Ini adalah bukti nyata bagaimana
warisan TGHK terus menimbulkan sengketa hukum hingga saat ini.
Dalam putusan ini, pihak yang digugat bukan hanya perusahaan (PT Panahatan
sebagai Tergugat I), tetapi juga Kementerian Kehutanan di berbagai tingkatan
(Tergugat II, III, dan IV). Penggugat (Yayasan Riau Madani) secara eksplisit
mendalilkan bahwa instansi pemerintah tersebut
“telah lalai melaksanakan kewajibannya” untuk mengawasi dan
melindungi areal yang telah ditunjuknya sebagai kawasan hutan, sehingga
terjadi perusakan. Ini secara sempurna mengilustrasikan argumen dalam
artikel mengenai kelalaian hukum (legal negligence) negara dalam
mengamankan kawasan yang telah diklaimnya.
Salah satu alasan mengapa gugatan ini dinyatakan tidak dapat diterima di
pengadilan tingkat pertama (judex facti) adalah karena dianggap kabur
(Obscuur Libel). Pertimbangan hakim menyatakan gugatan kabur karena
“kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT Rangau) belum di tata batas dan
tidak ada tanda batas permanen”. Fakta ini adalah inti dari masalah TGHK. Penunjukan hanya dilakukan di
atas peta tanpa pernah ditindaklanjuti dengan penataan batas yang jelas di
lapangan. Putusan ini menjadi bukti yurisprudensi bahwa ketiadaan tata batas
definitif menciptakan ketidakpastian hukum yang fatal, bahkan dapat
menggagalkan upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
Selanjutnya, kasus ini secara spesifik membahas alih fungsi kawasan hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 737 hektar. Ini sangat relevan dengan
konteks kekinian di mana ekspansi perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi
pemicu utama konflik tenurial dan deforestasi di dalam kawasan hutan yang
statusnya belum jelas.
Putusan ini adalah contoh sempurna yang menunjukkan bagaimana sebuah
kebijakan tata ruang dari masa lalu (TGHK) terus menciptakan dampak
berantai: ketidakpastian status lahan →
kelalaian pengawasan oleh negara
→
perusakan dan alih fungsi oleh korporasi
→
kesulitan penegakan hukum karena batas yang tidak jelas.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134 K/TUN/2007,
tertanggal 19 Juli 2007
Putusan ini adalah contoh konkret di mana Mahkamah Agung membatalkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan yang merugikan hak pihak ketiga yang telah
mengelola lahan.
Gugatan diajukan terhadap Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
S.419/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004 yang pada intinya memerintahkan
penghentian seluruh kegiatan perkebunan di kawasan hutan Register 40 Padang
Lawas. Penggugat berargumen bahwa mereka telah mengelola lahan tersebut
berdasarkan hak-hak yang sah, termasuk yang berasal dari Hak Milik Adat,
jauh sebelum adanya klaim dari Kementerian Kehutanan.
Majelis Hakim mempertimbangkan dalil-dalil Penggugat, termasuk argumen
bahwa sejak tahun 1998, tanah-tanah dengan Hak Milik Adat di lokasi tersebut
sudah dalam keadaan tidak berhutan dan hanya berupa padang ilalang. Hakim
memandang bahwa penerbitan surat keputusan oleh Menteri Kehutanan yang
secara sepihak menghentikan kegiatan dan menyatakan wilayah tersebut sebagai
kawasan hutan tanpa penyelesaian hak-hak yang telah ada sebelumnya adalah
tindakan yang tidak sah. MA melihat adanya kesalahan administratif negara di
mana terjadi tumpang tindih klaim, dan beban dari kesalahan ini tidak
seharusnya ditimpakan kepada masyarakat atau badan hukum yang telah
memperoleh haknya dan melakukan investasi secara sah.
Mahkamah Agung dalam putusannya menguatkan putusan pengadilan di tingkat
bawah dan memutuskan: “Menyatakan batal atau tidak sah Surat Tergugat
No.S.419/Menhut-II/2004 tentang Permohonan untuk Mengelola Perkebunan di
dalam Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas Propinsi Sumatera Utara.”
Putusan ini secara tegas menunjukkan bagaimana lembaga yudikatif dapat
mengoreksi tindakan administratif pemerintah yang dianggap melanggar hukum
dan merugikan hak-hak warga negara. Yurisprudensi-yurisprudensi seperti ini
menjadi pilar penting dalam memberikan perlindungan hukum dan kepastian bagi
pemilik tanah dalam menghadapi klaim kawasan hutan yang seringkali
didasarkan pada data dan proses yang tidak lengkap dari era TGHK.
Perubahan Paradigma dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksananya
Lahirnya UU Cipta Kerja menandai perubahan paradigma paling signifikan
dalam tata kelola kehutanan sejak era reformasi. Undang-undang ini mengubah
sejumlah pasal krusial dalam UU Kehutanan dan UU PPPH, dengan tujuan utama
untuk menyederhanakan perizinan, meningkatkan investasi, dan menciptakan
lapangan kerja. Perubahan ini kemudian dioperasionalkan melalui serangkaian
peraturan pelaksana, terutama PP 23/2021 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata
Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan
(selanjutnya disebut “PP 24/2021”).
Salah satu perubahan paling mendasar adalah penghapusan kewajiban untuk
mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah
Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau, sebagaimana sebelumnya diamanatkan dalam
Pasal 18 ayat (2) UU tentang Kehutanan. Ketentuan ini diganti dengan konsep “kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan” yang lebih fleksibel dan penetapannya didasarkan pada kajian biogeofisik,
daya dukung lingkungan, dan karakteristik DAS oleh Pemerintah Pusat.
Meskipun argumennya adalah untuk memberikan fleksibilitas sesuai kondisi
geografis, penghapusan ambang batas kuantitatif ini dikhawatirkan dapat
melemahkan salah satu benteng pertahanan ekologis dan membuka ruang bagi
konversi hutan yang lebih masif untuk kepentingan pembangunan. Perubahan ini, bersama dengan sentralisasi kewenangan, menunjukkan
pergeseran dari pendekatan konservasi yang kaku menuju pendekatan yang lebih
pragmatis dan berorientasi pada kemudahan berusaha.
Mekanisme Penyelesaian “Keterlanjuran”: Analisis Pasal 110A dan 110B UU tentang Cipta Kerja
Salah satu terobosan paling kontroversial sekaligus pragmatis dalam UU
tentang Cipta Kerja adalah pengenalan mekanisme penyelesaian “keterlanjuran”
melalui Pasal 110A dan
Pasal 110B UU tentang Cipta Kerja. Ketentuan ini, yang diatur lebih lanjut dalam PP 24/2021, menyediakan
landasan hukum untuk menyelesaikan status kegiatan usaha (seperti perkebunan
kelapa sawit, pertambangan) yang telah terbangun di dalam kawasan hutan
namun tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan. Alih-alih menempuh jalur
pidana yang terbukti tidak efektif dan menimbulkan gejolak sosial-ekonomi,
pendekatan baru ini mengedepankan sanksi administratif.
Pelaku usaha yang memenuhi kriteria tertentu diberi kesempatan untuk
menyelesaikan pelanggarannya dengan membayar denda administratif dan/atau
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk dapat melanjutkan
kegiatannya. Pendekatan ini dapat dilihat sebagai upaya negara untuk menertibkan
kekacauan tata ruang yang telah berlangsung puluhan tahun. Di satu sisi, ia
menawarkan jalan keluar yang realistis, memberikan kepastian hukum bagi
investor, dan berpotensi menghasilkan pendapatan signifikan bagi negara. Di
sisi lain, kebijakan ini menuai kritik tajam karena dianggap sebagai bentuk
“pemutihan” atau pengampunan terhadap kejahatan lingkungan masa lalu,
terutama yang dilakukan oleh korporasi besar. Muncul kekhawatiran bahwa
mekanisme ini tidak cukup adil dan tidak memberikan efek jera yang
memadai.
Kebijakan “keterlanjuran” ini, pada dasarnya, merupakan pengakuan implisit
dari negara atas kegagalan sistemik di masa lalu. Eksistensi jutaan hektar
perkebunan yang secara teknis ilegal di dalam kawasan hutan adalah bukti
nyata bahwa kerangka hukum sebelumnya, yang diwarisi dari era TGHK, tidak
mampu diimplementasikan, tidak memiliki legitimasi di lapangan, dan telah
menciptakan realitas yang tidak dapat dikelola.
Pasal 110A dan 110B bukanlah sekadar instrumen pengampunan, melainkan
sebuah upaya realisme hukum, di mana peraturan perundang-undangan dipaksa
untuk menyesuaikan diri dengan kekacauan faktual yang turut diciptakan oleh
kebijakan negara yang ambigu dan tidak konsisten selama beberapa dekade.
Perbandingan Kerangka Hukum Pengelolaan Kawasan Hutan Sebelum dan Sesudah
UU Cipta Kerja
Fitur |
Rezim Pra-UU Cipta Kerja |
Rezim Pasca-UU Cipta Kerja |
Dasar Hukum Utama |
UU 41/1999 (versi asli); PP terkait (misal: PP 44/2004, PP
104/2015) |
UU 41/1999 (diubah oleh UU 11/2020); PP 23/2021; PP 24/2021 |
Kewenangan Perizinan |
Terbagi antara Pusat dan Daerah (tergantung jenis izin dan
lokasi) |
Sentralisasi di Pemerintah Pusat (melalui sistem Perizinan
Berusaha) |
Kewajiban Luas Minimum Kawasan Hutan |
Wajib mempertahankan minimal 30% dari luas DAS dan/atau Pulau |
Dihapuskan; diganti dengan konsep “kecukupan luas” berdasarkan
kajian teknis Pemerintah Pusat |
Pendekatan Penyelesaian “Keterlanjuran” |
Dominan pendekatan pidana (melalui UU P3H) |
Dominan pendekatan administratif (denda/PNBP) melalui Pasal 110A
& 110B |
Perubahan Fungsi/Peruntukan |
Mekanisme Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH) dan Pelepasan Kawasan
Hutan |
TMKH pada Hutan Produksi dihapus, diganti dengan Pelepasan Kawasan
Hutan dengan kewajiban membayar PNBP |
Peran Pemerintah Daerah |
Peran signifikan dalam penerbitan rekomendasi dan beberapa izin,
serta penyusunan RTRW sebagai acuan |
Peran berkurang signifikan, lebih sebagai pelaksana kebijakan pusat
dan pemberi persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang |
Sentralisasi kewenangan yang diusung oleh UU Cipta Kerja membawa implikasi
langsung terhadap peran dan posisi pemerintah daerah dalam pengelolaan
kehutanan. Di Kalimantan Barat, kerangka hukum seperti
Perda Kalbar 8/2019 yang memberikan mandat kepada pemerintah
provinsi untuk mengelola hutan dan memberdayakan masyarakat kini menghadapi
realitas baru. Kewenangan untuk menerbitkan perizinan berusaha, yang
merupakan instrumen paling kuat dalam mengarahkan pemanfaatan ruang, kini
sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.
Hal ini berpotensi menciptakan diskoneksi antara kebijakan yang dirumuskan
di Jakarta dengan kondisi riil dan aspirasi masyarakat di Kalimantan Barat.
Rencana-rencana yang telah disusun secara partisipatif di tingkat daerah,
baik melalui Musrenbang maupun konsultasi publik untuk penyusunan RTRW,
dapat dengan mudah dikesampingkan oleh keputusan investasi yang diambil oleh
pemerintah pusat.
Akuntabilitas pemerintah daerah kepada konstituennya terkait pengelolaan
sumber daya alam menjadi berkurang, karena mereka tidak lagi memiliki
kewenangan final. Tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah daerah
seperti di Kalimantan Barat dapat menavigasi kerangka hukum yang baru ini,
memastikan bahwa kepentingan lokal tetap terakomodasi, dan mencegah agar
keputusan-keputusan dari pusat tidak menimbulkan gelombang konflik agraria
dan kerusakan lingkungan yang baru.
Evolusi, Problematika, dan Arah Baru Pengaturan Kawasan Hutan
Analisis komprehensif terhadap Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan
evolusi rezim hukum kehutanan di Indonesia menunjukkan sebuah perjalanan
panjang yang sarat dengan problematika. TGHK lahir sebagai instrumen
pembangunan yang sentralistik dan sektoral, yang dalam praktiknya menjadi
sumber utama konflik tenurial dan ketidakpastian hukum akibat pengabaian
terhadap hak-hak masyarakat dan proses pengukuhan yang tidak tuntas.
Benturan antara kerangka hukum kehutanan yang state-centric dengan
UUPA yang land-centric dan UU Penataan Ruang yang integratif
menciptakan sebuah kekacauan regulasi yang sistemik. Lembaga yudikatif,
melalui putusan-putusan penting seperti Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012,
telah berupaya mengoreksi ketidakadilan ini dengan menegaskan kembali
hak-hak konstitusional masyarakat adat.
Kini, era UU Cipta Kerja membawa sebuah paradigma baru yang berfokus pada
penyederhanaan, sentralisasi, dan penyelesaian pragmatis atas masalah
“keterlanjuran” di masa lalu. Meskipun menawarkan solusi atas kebuntuan
hukum, rezim baru ini juga membawa risiko tersendiri, terutama terkait
pelemahan pengawasan lingkungan dan marginalisasi peran pemerintah daerah.
Arah baru pengaturan kawasan hutan di Indonesia bergerak menuju kepastian
hukum untuk investasi, namun pertanyaan krusial tetap ada yaitu apakah
kepastian ini akan diimbangi dengan keadilan sosial dan kelestarian
ekologis?
Berdasarkan hal-hal yang telah dijabarkan, kami masih yakin dan percaya
dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan yang bersifat yuridis dan
praktis untuk menavigasi tantangan dalam pengaturan kawasan hutan di masa
depan:
1.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu memprioritaskan pembahasan dan
pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.
Undang-undang ini krusial untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan
prosedur yang jelas bagi implementasi Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012,
sehingga pengakuan hutan adat dapat dipercepat dan tidak lagi terhambat oleh
ego sektoral atau ketiadaan peraturan pelaksana yang memadai;
2.
Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia, harus mempercepat proses pengukuhan kawasan hutan dengan
mandat yang tegas. Proses ini wajib menyertakan mekanisme penyelesaian
hak-hak pihak ketiga yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan
sebelum tahap penetapan kawasan hutan definitive;
3.
Mendorong terwujudnya kebijakan
Satu Peta (One Map Policy) yang benar-benar terintegrasi dan
mengikat secara hukum, untuk menghilangkan tumpang tindih antara peta
kawasan hutan, peta RTRW, dan peta hak atas tanah yang diterbitkan oleh
BPN;
4.
Mahkamah Agung diharapkan dapat terus
menguatkan dan mensosialisasikan yurisprudensi yang melindungi
hak-hak perdata dan administrasi atas tanah dari klaim kawasan hutan yang
proses pengukuhannya belum tuntas. Konsistensi putusan peradilan sangat
penting untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan menjadi rambu
bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya;
5.
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti di Kalimantan Barat, harus
mengambil langkah proaktif dalam kerangka UU tentang Cipta Kerja. Meskipun
kewenangan perizinan telah tersentralisasi, pemerintah daerah masih memiliki
peran dalam penataan ruang. Oleh karena itu, direkomendasikan agar daerah
secara sistematis melakukan inventarisasi dan pemetaan wilayah-wilayah
kelola rakyat dan tanah adat. Data spasial yang kuat ini dapat menjadi alat negosiasi yang efektif
dalam proses Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR)
dengan pemerintah pusat, untuk memastikan bahwa investasi yang masuk tidak
menimbulkan konflik baru dan sejalan dengan rencana pembangunan daerah.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.