layananhukum

Begini Aturan mengenai TGHK yang Wajib Kamu Pahami

 

Pertanyaan

Selamat malam bang, bisakah abang jelaskan secara menyeluruh bagaimana Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), yang pada awalnya dirancang sebagai instrumen pembangunan, justru menjadi sumber utama konflik agraria dan ketidakpastian hukum karena mengabaikan hak masyarakat? Bagaimana dinamika peraturan perundang-undangan dari rezim lama hingga era UU Cipta Kerja mencoba mengatasi kekacauan ini; serta apa implikasinya bagi perlindungan hukum, kesejahteraan masyarakat, dan kewenangan pemerintah daerah?

Jawaban

    Definisi dan Latar Belakang Historis TGHK: Dari Instrumen Pembangunan ke Sumber Sengketa

    Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) merupakan salah satu instrumen kebijakan paling fundamental dan sekaligus paling kontroversial dalam sejarah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Secara historis, kebijakan ini lahir dari rahim rezim Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam.

    Landasan awal TGHK dapat ditelusuri pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 680/Kpts/Um/8/81 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan. Kebijakan ini dirancang sebagai kerangka kerja perencanaan tata guna lahan hutan di tingkat provinsi, yang pada praktiknya menjadi instrumen utama pemerintah pusat untuk mengalokasikan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) secara masif, sejalan dengan semangat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.

    Proses pembentukan TGHK pada masanya bersifat sentralistik dan birokratis. Meskipun dinamakan “kesepakatan”, proses ini pada dasarnya adalah konsensus antar-instansi pemerintah di tingkat daerah—seperti kepala dinas sektoral dan gubernur—yang kemudian hasilnya disahkan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Sebagai contoh, sejarah kawasan hutan di Provinsi Riau diawali dengan penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 mengenai Tata Guna Hutan Kesepakatan. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya partisipasi publik yang bermakna, terutama dari masyarakat lokal dan adat yang telah lama mendiami dan mengelola wilayah tersebut.  

    Akibatnya, istilah “Kesepakatan” dalam TGHK menjadi sebuah anomali jika ditinjau dari perspektif tata kelola pemerintahan yang partisipatif. Konsensus yang terjadi adalah murni sebuah pakta birokratis yang dirancang untuk efisiensi administratif dalam pemberian izin skala besar, bukan untuk mencapai legitimasi sosial.


    Ketiadaan pelibatan masyarakat inilah yang menjadi benih dari konflik tenurial berkepanjangan yang meletus di berbagai daerah, di mana masyarakat adat dan lokal tiba-tiba menemukan wilayah kelola mereka telah ditetapkan sebagai kawasan hutan negara dan dialokasikan kepada pihak ketiga. Dengan demikian, TGHK yang pada awalnya adalah instrumen pembangunan, secara inheren telah menjadi sumber utama ketidakadilan dan sengketa agraria.  

    Kedudukan TGHK dalam Sistem Penataan Ruang Nasional: Hegemoni Sektoral Kehutanan

    Bahwa pada periode 1970-an hingga awal 1980-an, sebelum Indonesia memiliki undang-undang penataan ruang yang komprehensif, TGHK secara de facto berfungsi sebagai satu-satunya instrumen penataan ruang berskala nasional untuk wilayah di luar permukiman. Sektor kehutanan, dengan kapasitas planologi yang kuat, mendominasi proses perencanaan pemanfaatan lahan di seluruh nusantara.

    Namun, lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut “UU tentang Penataan Ruang”), memperkenalkan sistem perencanaan terpadu yang seharusnya mengintegrasikan berbagai kepentingan sektoral.  

    Kehadiran rezim penataan ruang yang baru ini justru menciptakan friksi fundamental dengan peta-peta TGHK yang telah ada. UU tentang Penataan Ruang mengklasifikasikan ruang berdasarkan fungsi (kawasan lindung dan kawasan budidaya), sementara TGHK mengklasifikasikannya berdasarkan status hukum kehutanan (Hutan Produksi, Hutan Lindung, Hutan Konservasi). Ketidaksesuaian antara kedua peta ini melahirkan disharmoni tata ruang yang sistemik, terutama di luar Jawa. Untuk mengatasi tumpang tindih ini, diperkenalkan konsep “Padu Serasi”, yaitu sebuah proses untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan peta TGHK dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).  

    Namun, proses “Padu Serasi” ini bukanlah sebuah penyelarasan teknis yang netral, melainkan sebuah arena negosiasi politik yang mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan. Proses ini terbukti jauh lebih sulit diimplementasikan di wilayah-wilayah yang memiliki banyak konsesi HPH, seperti di Kalimantan. Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa hasil akhir dari “Padu Serasi” sering kali tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip perencanaan ruang yang objektif, melainkan oleh kekuatan lobi dan pengaruh politik dari para pemegang konsesi dan Kementerian Kehutanan.

    Akibatnya, alih-alih TGHK yang menyesuaikan diri dengan RTRWP yang lebih komprehensif, yang terjadi justru sebaliknya yaitu RTRWP dipaksa untuk mengakomodasi dan melegitimasi alokasi-alokasi yang sudah ada dalam peta TGHK. Ini menunjukkan bagaimana tata ruang di Indonesia secara historis telah tunduk pada kepentingan ekonomi-politik yang kuat dan berakar di sektor kehutanan.  

    Analisis Kritis UU tentang Kehutanan, UU tentang Penataan Ruang, dan UU tentang Pokok Agraria

    Pengaturan kawasan hutan di Indonesia berdiri di atas tiga pilar hukum utama yang secara filosofis dan yuridis seringkali tidak sejalan, menciptakan sebuah labirin regulasi yang kompleks. Ketiga pilar tersebut adalah:

    1.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”) yaitu sebagai lex generalis hukum pertanahan, UUPA meletakkan dasar bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep “hak menguasai negara” ini bukanlah hak kepemilikan, melainkan wewenang untuk mengatur. UUPA juga secara eksplisit mengakui keberadaan hak-hak adat, seperti hak ulayat, sebagai dasar hukum agraria nasional;

    2.       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagaimana telah diubah, selanjutnya disebut “UU tentang Kehutanan”) yaitu undang-undang ini bersifat lex specialis untuk sektor kehutanan. Ia memperkenalkan konsep “Kawasan Hutan” sebagai sebuah status hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui serangkaian proses yang disebut pengukuhan. Proses pengukuhan ini terdiri dari empat tahap yaitu penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan.  

    3.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Kehutanan (sebagaimana telah diubah, selanjutnya disebut “UU tentang Penataan Ruang”) yaitu undang-undang ini bertujuan menciptakan sistem perencanaan ruang yang terintegrasi dan komprehensif, dengan hierarki rencana yang jelas (RTRWN, RTRWP, RTRWK/Kota). UU ini mengklasifikasikan ruang berdasarkan fungsi biofisiknya menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya, yang seharusnya menjadi acuan bagi semua sektor, termasuk kehutanan.  

    Ketegangan fundamental muncul dari cara pandang yang berbeda. UUPA berpusat pada tanah (land-centric) dan mengakui pluralisme hak. UU tentang Kehutanan berpusat pada negara (state-centric) dan berbasis zona (zone-based), di mana status “Kawasan Hutan” menjadi superior. Sementara itu, UU tentang Penataan Ruang berbasis fungsi (function-based) dan bertujuan mengintegrasikan keduanya.


    TGHK, sebagai produk murni dari sektor kehutanan, beroperasi sepenuhnya dalam logika UU tentang Kehutanan, sering kali mengabaikan hak-hak yang diakui UUPA dan bertabrakan dengan visi terpadu UU tentang Penataan Ruang.

    Pada titik inilah konsep “Kawasan Hutan” dapat dipandang sebagai sebuah fiksi hukum yang justru menciptakan, alih-alih menyelesaikan, konflik. UU tentang Kehutanan mendefinisikan Kawasan Hutan sebagai wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Penetapan ini seringkali hanya didasarkan pada peta indikatif seperti TGHK melalui sebuah Surat Keputusan (SK) Menteri, tanpa melalui proses verifikasi lapangan yang memadai untuk menyelesaikan hak-hak pihak ketiga yang telah ada sebelumnya, sebagaimana diamanatkan oleh UUPA.

    Bahkan, definisi Kawasan Hutan Negara dalam peraturan pelaksana secara eksplisit menyatakan bahwa status tersebut berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Namun, praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. Akibatnya, tercipta sebuah situasi di mana sebidang tanah yang secara sah dimiliki oleh masyarakat berdasarkan UUPA (misalnya dengan Sertipikat Hak Milik), secara bersamaan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara oleh Kementerian Kehutanan. Konflik yang terjadi bukanlah sekadar tumpang tindih fisik di lapangan, melainkan benturan yang diciptakan oleh dua sistem hukum yang kontradiktif dan beroperasi secara paralel terhadap objek yang sama.  

    Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah: Dinamika dalam Pengukuhan dan Pengelolaan

    Dinamika pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan telah mengalami pasang surut yang signifikan. Secara historis, terutama pada era Orde Baru, pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan memegang otoritas absolut dalam menunjuk dan mengalokasikan kawasan hutan. Era reformasi dan desentralisasi, yang ditandai dengan lahirnya undang-undang pemerintahan daerah, memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penataan ruang melalui penyusunan RTRW.  

    Meskipun demikian, kewenangan final untuk melakukan pengukuhan kawasan hutan—proses yang memberikan kepastian hukum atas status hutan—tetap berada di tangan pemerintah pusat. Dualisme kewenangan ini (pemerintah daerah untuk tata ruang, pemerintah pusat untuk status kawasan hutan) menciptakan “wilayah abu-abu” yang luas dan menjadi lahan subur bagi ketidakpastian hukum dan konflik. Pemerintah daerah dapat mengalokasikan suatu wilayah untuk pembangunan non-kehutanan dalam RTRW-nya, namun wilayah tersebut mungkin masih berstatus Kawasan Hutan di mata pemerintah pusat.  

    Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU tentang Cipta Kerja”) beserta peraturan pelaksananya, seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (selanjutnya disebut “PP 23/2021”), menandai sebuah pergeseran pendulum kembali ke arah sentralisasi yang kuat. Hampir seluruh kewenangan strategis, termasuk perizinan berusaha di bidang kehutanan, perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan, kini ditarik kembali ke pemerintah pusat.


    Langkah ini, meskipun dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum dan menyederhanakan investasi, berisiko mengorbankan aspirasi lokal dan kontrol demokratis atas pemanfaatan sumber daya alam di daerah.  

    Implementasi di Provinsi Kalimantan Barat

    Provinsi Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi dengan tutupan hutan yang luas, memiliki serangkaian peraturan daerah yang merefleksikan upaya implementasi kebijakan kehutanan nasional di tingkat lokal. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Kehutanan (selanjutnya disebut “Perda Kalbar 8/2019”) adalah contoh utama dari kerangka hukum di era pra-UU tentang Cipta Kerja. Perda ini menegaskan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam mengelola Hutan Lindung dan Hutan Produksi, serta mengatur mekanisme teknis seperti tata hutan dan pemberdayaan masyarakat melalui skema perhutanan sosial yang dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Selain itu, terdapat peraturan turunan seperti Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 33 Tahun 2022 tentang Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu yang menunjukkan fokus daerah pada aspek-aspek spesifik pengelolaan hutan.  

    Di tingkat kabupaten, implementasi kebijakan tercermin dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sebagai contoh, Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ketapang Tahun 2015-2035 (selanjutnya disebut “Perda RTRW Ketapang 3/2015”) secara rinci mengalokasikan ruang untuk berbagai peruntukan, termasuk kawasan lindung, kawasan hutan produksi, pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Perda ini merupakan wujud pelaksanaan kewenangan pemerintah kabupaten dalam merencanakan pembangunan wilayahnya.  

    Namun, pasca-berlakunya UU tentang Cipta Kerja, otonomi yang tercermin dalam peraturan-peraturan daerah ini menghadapi tantangan serius. Sentralisasi perizinan dan kewenangan perubahan fungsi hutan ke pemerintah pusat menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai relevansi dan kekuatan hukum dari rencana-rencana yang telah disusun oleh daerah. Keputusan yang dibuat di Jakarta berpotensi besar bertentangan dengan alokasi ruang yang telah ditetapkan dalam Perda RTRW kabupaten/kota, seperti di Ketapang, yang dapat memicu babak baru konflik tata ruang antara pusat dan daerah.

    Dampak dan Implikasi TGHK: Konflik Tenurial dan Ketidakpastian Hukum

    Masalah paling fundamental yang diwariskan oleh TGHK adalah tumpang tindih status lahan secara masif, di mana klaim kawasan hutan oleh negara berbenturan langsung dengan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Secara yuridis, benturan ini terjadi karena proses penunjukan kawasan hutan seringkali mengabaikan prinsip dasar bahwa Kawasan Hutan Negara hanya dapat ditetapkan pada tanah yang tidak dibebani hak. Praktiknya, penunjukan yang hanya berbasis peta skala besar tanpa verifikasi lapangan telah memasukkan jutaan hektar tanah milik, tanah adat, dan desa-desa definitif ke dalam klaim kawasan hutan negara.  


    Dari perspektif hukum administrasi, Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan, terutama yang didasarkan pada TGHK yang belum menyelesaikan seluruh tahapan pengukuhan, merupakan sebuah tindakan administrasi negara. Tindakan ini secara hukum tidak dapat secara sepihak menghapuskan atau meniadakan hak-hak perdata atas tanah (seperti Hak Milik) yang diakui oleh UUPA, yang kedudukannya sebagai undang-undang lebih tinggi daripada SK Menteri.

    Proses penunjukan yang cacat prosedur ini, yang mengabaikan keberadaan hak-hak pihak ketiga, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengandung cacat administrasi (cacat yuridis).  

    Lebih jauh, kegagalan negara selama berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikan proses pengukuhan kawasan hutan secara tuntas dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian hukum (legal negligence). UU Kehutanan mengamanatkan proses empat tahap (penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan) untuk memberikan kepastian hukum. Namun, selama ini pemerintah cenderung hanya mengandalkan tahap pertama (penunjukan) sebagai dasar untuk mengklaim dan mengontrol wilayah, sementara tahap-tahap selanjutnya yang memerlukan verifikasi lapangan, partisipasi publik, dan penyelesaian hak, seringkali tidak dilaksanakan.

    Penundaan ini bukanlah sekadar keterlambatan prosedural, melainkan sebuah omisi strategis. Dengan mempertahankan status quo “ditunjuk tetapi belum ditetapkan”, negara mempertahankan fleksibilitas maksimal untuk mengelola sumber daya tanpa harus menanggung beban hukum dan finansial dari penyelesaian klaim-klaim masyarakat. Praktik ini secara sistemik melanggengkan ketidakpastian hukum dan merampas hak warga negara atas jaminan hukum yang adil.  

    TGHK, Kesejahteraan Masyarakat, dan Kriminalisasi

    Amanat konstitusi dan UU tentang Kehutanan secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan hutan ditujukan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Namun, implementasi kebijakan penunjukan kawasan hutan berbasis TGHK justru seringkali menghasilkan dampak yang berkebalikan. Bagi jutaan masyarakat adat dan lokal yang hidupnya bergantung pada hutan, penetapan sepihak wilayah mereka sebagai kawasan hutan negara berarti kehilangan akses terhadap sumber-sumber penghidupan, marjinalisasi ekonomi, dan pengabaian terhadap sistem pengelolaan sumber daya yang telah mereka praktikkan secara turun-temurun.  

    Dampak yang paling merusak adalah terjadinya kriminalisasi. Melalui kekuatan hukum, praktik-praktik tradisional masyarakat dalam memanfaatkan hutan—yang sebelumnya merupakan hak—diubah statusnya menjadi tindakan ilegal. Seorang petani yang menggarap ladang warisan leluhurnya dapat seketika dicap sebagai “perambah ilegal” hanya karena selembar SK Menteri yang diterbitkan di Jakarta telah menetapkan tanahnya sebagai kawasan hutan.

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH), meskipun ditujukan untuk memberantas kejahatan kehutanan terorganisasi, dalam praktiknya seringkali digunakan secara tidak proporsional untuk menjerat masyarakat kecil, sementara korporasi besar yang melakukan perusakan dalam skala masif justru mendapatkan impunitas atau penyelesaian administratif. Fenomena ini menunjukkan bagaimana instrumen hukum, yang seharusnya melindungi, justru menjadi alat penindasan yang menjauhkan masyarakat dari sumber kesejahteraannya.  

    Peran Peradilan dalam Mengoreksi Kebijakan

    Di tengah kebuntuan kebijakan eksekutif, lembaga yudikatif telah memainkan peran penting dalam mengoreksi dan menafsirkan ulang regulasi kehutanan yang problematik. Terdapat dua korpus yurisprudensi utama yang sangat relevan.

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 35/PUU-X/2012 merupakan sebuah putusan monumental (landmark decision) dalam sejarah hukum kehutanan Indonesia. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa frasa “hutan negara” dalam definisi “Hutan adat” pada Pasal 1 Angka 6 UU tentang Kehutanan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, definisi Hutan Adat diubah dari “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” menjadi “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.  

    Ratio decidendi atau pertimbangan hukum utama hakim konstitusi didasarkan pada pengakuan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagaimana dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. MK berargumen bahwa masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya telah ada jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, sehingga negara memiliki kewajiban untuk mengakui dan menghormati hak-hak tersebut, bukan justru menghapuskannya dengan mengklaim hutan adat sebagai hutan negara. Putusan ini secara fundamental mengoreksi paradigma state-centric dalam UU tentang Kehutanan dan menegaskan bahwa hutan adat bukanlah milik negara, melainkan merupakan bagian dari hutan hak yang kepemilikan dan pengelolaannya berada pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

    Implikasinya sangat besar, karena putusan ini memberikan landasan konstitusional yang kokoh bagi masyarakat adat untuk menuntut pengakuan dan pengembalian wilayah adat mereka dari klaim sepihak negara.  

    Yurisprudensi Mahkamah Agung: Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik vs. SK Penunjukan Hutan

    Mahkamah Agung (MA) telah berulang kali dihadapkan pada sengketa kompleks di mana dua produk hukum yang sah—Sertipikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan SK Penunjukan Kawasan Hutan oleh Menteri Kehutanan—berlaku di atas objek tanah yang sama. Dalam menghadapi benturan legalitas ini, MA telah membentuk serangkaian yurisprudensi yang berfungsi sebagai benteng pertahanan hukum bagi hak-hak perdata atas tanah.


    Kaidah hukum fundamental yang dikembangkan oleh MA adalah pembedaan tegas antara proses “penunjukan” dan “penetapan” kawasan hutan. MA secara konsisten berpendapat bahwa status “penunjukan” kawasan hutan, yang seringkali hanya didasarkan pada peta TGHK, belum bersifat final dan definitif secara hukum. Untuk memberikan kepastian hukum yang mengikat, proses pengukuhan kawasan hutan harus dilaksanakan secara utuh sesuai empat tahapan yang diamanatkan undang-undang:  

    1.        Penunjukan Kawasan Hutan;

    2.       Penataan Batas Kawasan Hutan;

    3.      Pemetaan Kawasan Hutan;

    4.       Penetapan Kawasan Hutan.

    Sebuah SK Penunjukan hanyalah tahap awal dan tidak serta-merta memiliki kekuatan hukum untuk membatalkan atau mengalahkan bukti kepemilikan yang sah seperti SHM, terutama jika tahap krusial seperti penataan batas partisipatif di lapangan dan penetapan definitif belum pernah dilakukan. Berikut adalah contoh konkret dari putusan pengadilan yang merefleksikan prinsip tersebut:

    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3267 K/Pdt/2012, tertanggal 20 November 2013

    Seluruh perkara ini berakar pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986. Ini adalah SK tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau yang merupakan produk langsung dari kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Kasus ini secara gamblang menunjukkan bagaimana sebuah SK Penunjukan dari era TGHK menjadi dasar hukum untuk menggugat perbuatan perusakan dan alih fungsi hutan puluhan tahun kemudian. Ini adalah bukti nyata bagaimana warisan TGHK terus menimbulkan sengketa hukum hingga saat ini.

    Dalam putusan ini, pihak yang digugat bukan hanya perusahaan (PT Panahatan sebagai Tergugat I), tetapi juga Kementerian Kehutanan di berbagai tingkatan (Tergugat II, III, dan IV). Penggugat (Yayasan Riau Madani) secara eksplisit mendalilkan bahwa instansi pemerintah tersebut “telah lalai melaksanakan kewajibannya” untuk mengawasi dan melindungi areal yang telah ditunjuknya sebagai kawasan hutan, sehingga terjadi perusakan. Ini secara sempurna mengilustrasikan argumen dalam artikel mengenai kelalaian hukum (legal negligence) negara dalam mengamankan kawasan yang telah diklaimnya.

    Salah satu alasan mengapa gugatan ini dinyatakan tidak dapat diterima di pengadilan tingkat pertama (judex facti) adalah karena dianggap kabur (Obscuur Libel). Pertimbangan hakim menyatakan gugatan kabur karena kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT Rangau) belum di tata batas dan tidak ada tanda batas permanen. Fakta ini adalah inti dari masalah TGHK. Penunjukan hanya dilakukan di atas peta tanpa pernah ditindaklanjuti dengan penataan batas yang jelas di lapangan. Putusan ini menjadi bukti yurisprudensi bahwa ketiadaan tata batas definitif menciptakan ketidakpastian hukum yang fatal, bahkan dapat menggagalkan upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri.

    Selanjutnya, kasus ini secara spesifik membahas alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 737 hektar. Ini sangat relevan dengan konteks kekinian di mana ekspansi perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi pemicu utama konflik tenurial dan deforestasi di dalam kawasan hutan yang statusnya belum jelas.  

    Putusan ini adalah contoh sempurna yang menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan tata ruang dari masa lalu (TGHK) terus menciptakan dampak berantai: ketidakpastian status lahan kelalaian pengawasan oleh negara perusakan dan alih fungsi oleh korporasi kesulitan penegakan hukum karena batas yang tidak jelas.

    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134 K/TUN/2007, tertanggal 19 Juli 2007

    Putusan ini adalah contoh konkret di mana Mahkamah Agung membatalkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang merugikan hak pihak ketiga yang telah mengelola lahan.

    Gugatan diajukan terhadap Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor S.419/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004 yang pada intinya memerintahkan penghentian seluruh kegiatan perkebunan di kawasan hutan Register 40 Padang Lawas. Penggugat berargumen bahwa mereka telah mengelola lahan tersebut berdasarkan hak-hak yang sah, termasuk yang berasal dari Hak Milik Adat, jauh sebelum adanya klaim dari Kementerian Kehutanan.  

    Majelis Hakim mempertimbangkan dalil-dalil Penggugat, termasuk argumen bahwa sejak tahun 1998, tanah-tanah dengan Hak Milik Adat di lokasi tersebut sudah dalam keadaan tidak berhutan dan hanya berupa padang ilalang. Hakim memandang bahwa penerbitan surat keputusan oleh Menteri Kehutanan yang secara sepihak menghentikan kegiatan dan menyatakan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan tanpa penyelesaian hak-hak yang telah ada sebelumnya adalah tindakan yang tidak sah. MA melihat adanya kesalahan administratif negara di mana terjadi tumpang tindih klaim, dan beban dari kesalahan ini tidak seharusnya ditimpakan kepada masyarakat atau badan hukum yang telah memperoleh haknya dan melakukan investasi secara sah.  


    Mahkamah Agung dalam putusannya menguatkan putusan pengadilan di tingkat bawah dan memutuskan: “Menyatakan batal atau tidak sah Surat Tergugat No.S.419/Menhut-II/2004 tentang Permohonan untuk Mengelola Perkebunan di dalam Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas Propinsi Sumatera Utara.”  

    Putusan ini secara tegas menunjukkan bagaimana lembaga yudikatif dapat mengoreksi tindakan administratif pemerintah yang dianggap melanggar hukum dan merugikan hak-hak warga negara. Yurisprudensi-yurisprudensi seperti ini menjadi pilar penting dalam memberikan perlindungan hukum dan kepastian bagi pemilik tanah dalam menghadapi klaim kawasan hutan yang seringkali didasarkan pada data dan proses yang tidak lengkap dari era TGHK.

    Perubahan Paradigma dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksananya

    Lahirnya UU Cipta Kerja menandai perubahan paradigma paling signifikan dalam tata kelola kehutanan sejak era reformasi. Undang-undang ini mengubah sejumlah pasal krusial dalam UU Kehutanan dan UU PPPH, dengan tujuan utama untuk menyederhanakan perizinan, meningkatkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja. Perubahan ini kemudian dioperasionalkan melalui serangkaian peraturan pelaksana, terutama  PP 23/2021 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan (selanjutnya disebut “PP 24/2021”).  

    Salah satu perubahan paling mendasar adalah penghapusan kewajiban untuk mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau, sebagaimana sebelumnya diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (2) UU tentang Kehutanan. Ketentuan ini diganti dengan konsep “kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan” yang lebih fleksibel dan penetapannya didasarkan pada kajian biogeofisik, daya dukung lingkungan, dan karakteristik DAS oleh Pemerintah Pusat.

    Meskipun argumennya adalah untuk memberikan fleksibilitas sesuai kondisi geografis, penghapusan ambang batas kuantitatif ini dikhawatirkan dapat melemahkan salah satu benteng pertahanan ekologis dan membuka ruang bagi konversi hutan yang lebih masif untuk kepentingan pembangunan. Perubahan ini, bersama dengan sentralisasi kewenangan, menunjukkan pergeseran dari pendekatan konservasi yang kaku menuju pendekatan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada kemudahan berusaha.  

    Mekanisme Penyelesaian “Keterlanjuran”: Analisis Pasal 110A dan 110B UU tentang Cipta Kerja

    Salah satu terobosan paling kontroversial sekaligus pragmatis dalam UU tentang Cipta Kerja adalah pengenalan mekanisme penyelesaian “keterlanjuran” melalui Pasal 110A dan Pasal 110B UU tentang Cipta Kerja. Ketentuan ini, yang diatur lebih lanjut dalam PP 24/2021, menyediakan landasan hukum untuk menyelesaikan status kegiatan usaha (seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan) yang telah terbangun di dalam kawasan hutan namun tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan. Alih-alih menempuh jalur pidana yang terbukti tidak efektif dan menimbulkan gejolak sosial-ekonomi, pendekatan baru ini mengedepankan sanksi administratif.  

    Pelaku usaha yang memenuhi kriteria tertentu diberi kesempatan untuk menyelesaikan pelanggarannya dengan membayar denda administratif dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk dapat melanjutkan kegiatannya. Pendekatan ini dapat dilihat sebagai upaya negara untuk menertibkan kekacauan tata ruang yang telah berlangsung puluhan tahun. Di satu sisi, ia menawarkan jalan keluar yang realistis, memberikan kepastian hukum bagi investor, dan berpotensi menghasilkan pendapatan signifikan bagi negara. Di sisi lain, kebijakan ini menuai kritik tajam karena dianggap sebagai bentuk “pemutihan” atau pengampunan terhadap kejahatan lingkungan masa lalu, terutama yang dilakukan oleh korporasi besar. Muncul kekhawatiran bahwa mekanisme ini tidak cukup adil dan tidak memberikan efek jera yang memadai.

    Kebijakan “keterlanjuran” ini, pada dasarnya, merupakan pengakuan implisit dari negara atas kegagalan sistemik di masa lalu. Eksistensi jutaan hektar perkebunan yang secara teknis ilegal di dalam kawasan hutan adalah bukti nyata bahwa kerangka hukum sebelumnya, yang diwarisi dari era TGHK, tidak mampu diimplementasikan, tidak memiliki legitimasi di lapangan, dan telah menciptakan realitas yang tidak dapat dikelola.


    Pasal 110A dan 110B bukanlah sekadar instrumen pengampunan, melainkan sebuah upaya realisme hukum, di mana peraturan perundang-undangan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kekacauan faktual yang turut diciptakan oleh kebijakan negara yang ambigu dan tidak konsisten selama beberapa dekade.

    Perbandingan Kerangka Hukum Pengelolaan Kawasan Hutan Sebelum dan Sesudah UU Cipta Kerja

    Fitur

    Rezim Pra-UU Cipta Kerja

    Rezim Pasca-UU Cipta Kerja

    Dasar Hukum Utama

    UU 41/1999 (versi asli); PP terkait (misal: PP 44/2004, PP 104/2015)

    UU 41/1999 (diubah oleh UU 11/2020); PP 23/2021; PP 24/2021

    Kewenangan Perizinan

    Terbagi antara Pusat dan Daerah (tergantung jenis izin dan lokasi)

    Sentralisasi di Pemerintah Pusat (melalui sistem Perizinan Berusaha)

    Kewajiban Luas Minimum Kawasan Hutan

    Wajib mempertahankan minimal 30% dari luas DAS dan/atau Pulau

    Dihapuskan; diganti dengan konsep “kecukupan luas” berdasarkan kajian teknis Pemerintah Pusat

    Pendekatan Penyelesaian “Keterlanjuran”

    Dominan pendekatan pidana (melalui UU P3H)

    Dominan pendekatan administratif (denda/PNBP) melalui Pasal 110A & 110B

    Perubahan Fungsi/Peruntukan

    Mekanisme Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH) dan Pelepasan Kawasan Hutan

    TMKH pada Hutan Produksi dihapus, diganti dengan Pelepasan Kawasan Hutan dengan kewajiban membayar PNBP

    Peran Pemerintah Daerah

    Peran signifikan dalam penerbitan rekomendasi dan beberapa izin, serta penyusunan RTRW sebagai acuan

    Peran berkurang signifikan, lebih sebagai pelaksana kebijakan pusat dan pemberi persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang

    Sentralisasi kewenangan yang diusung oleh UU Cipta Kerja membawa implikasi langsung terhadap peran dan posisi pemerintah daerah dalam pengelolaan kehutanan. Di Kalimantan Barat, kerangka hukum seperti Perda Kalbar 8/2019 yang memberikan mandat kepada pemerintah provinsi untuk mengelola hutan dan memberdayakan masyarakat kini menghadapi realitas baru. Kewenangan untuk menerbitkan perizinan berusaha, yang merupakan instrumen paling kuat dalam mengarahkan pemanfaatan ruang, kini sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.  

    Hal ini berpotensi menciptakan diskoneksi antara kebijakan yang dirumuskan di Jakarta dengan kondisi riil dan aspirasi masyarakat di Kalimantan Barat. Rencana-rencana yang telah disusun secara partisipatif di tingkat daerah, baik melalui Musrenbang maupun konsultasi publik untuk penyusunan RTRW, dapat dengan mudah dikesampingkan oleh keputusan investasi yang diambil oleh pemerintah pusat.

    Akuntabilitas pemerintah daerah kepada konstituennya terkait pengelolaan sumber daya alam menjadi berkurang, karena mereka tidak lagi memiliki kewenangan final. Tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah daerah seperti di Kalimantan Barat dapat menavigasi kerangka hukum yang baru ini, memastikan bahwa kepentingan lokal tetap terakomodasi, dan mencegah agar keputusan-keputusan dari pusat tidak menimbulkan gelombang konflik agraria dan kerusakan lingkungan yang baru.

    Evolusi, Problematika, dan Arah Baru Pengaturan Kawasan Hutan

    Analisis komprehensif terhadap Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan evolusi rezim hukum kehutanan di Indonesia menunjukkan sebuah perjalanan panjang yang sarat dengan problematika. TGHK lahir sebagai instrumen pembangunan yang sentralistik dan sektoral, yang dalam praktiknya menjadi sumber utama konflik tenurial dan ketidakpastian hukum akibat pengabaian terhadap hak-hak masyarakat dan proses pengukuhan yang tidak tuntas.

    Benturan antara kerangka hukum kehutanan yang state-centric dengan UUPA yang land-centric dan UU Penataan Ruang yang integratif menciptakan sebuah kekacauan regulasi yang sistemik. Lembaga yudikatif, melalui putusan-putusan penting seperti Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, telah berupaya mengoreksi ketidakadilan ini dengan menegaskan kembali hak-hak konstitusional masyarakat adat.

    Kini, era UU Cipta Kerja membawa sebuah paradigma baru yang berfokus pada penyederhanaan, sentralisasi, dan penyelesaian pragmatis atas masalah “keterlanjuran” di masa lalu. Meskipun menawarkan solusi atas kebuntuan hukum, rezim baru ini juga membawa risiko tersendiri, terutama terkait pelemahan pengawasan lingkungan dan marginalisasi peran pemerintah daerah. Arah baru pengaturan kawasan hutan di Indonesia bergerak menuju kepastian hukum untuk investasi, namun pertanyaan krusial tetap ada yaitu apakah kepastian ini akan diimbangi dengan keadilan sosial dan kelestarian ekologis?


    Berdasarkan hal-hal yang telah dijabarkan, kami masih yakin dan percaya dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan yang bersifat yuridis dan praktis untuk menavigasi tantangan dalam pengaturan kawasan hutan di masa depan:

    1.        Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu memprioritaskan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat. Undang-undang ini krusial untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan prosedur yang jelas bagi implementasi Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, sehingga pengakuan hutan adat dapat dipercepat dan tidak lagi terhambat oleh ego sektoral atau ketiadaan peraturan pelaksana yang memadai;

    2.       Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, harus mempercepat proses pengukuhan kawasan hutan dengan mandat yang tegas. Proses ini wajib menyertakan mekanisme penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan sebelum tahap penetapan kawasan hutan definitive;

    3.      Mendorong terwujudnya kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang benar-benar terintegrasi dan mengikat secara hukum, untuk menghilangkan tumpang tindih antara peta kawasan hutan, peta RTRW, dan peta hak atas tanah yang diterbitkan oleh BPN;

    4.       Mahkamah Agung diharapkan dapat terus menguatkan dan mensosialisasikan yurisprudensi yang melindungi hak-hak perdata dan administrasi atas tanah dari klaim kawasan hutan yang proses pengukuhannya belum tuntas. Konsistensi putusan peradilan sangat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan menjadi rambu bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya;

    5.       Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti di Kalimantan Barat, harus mengambil langkah proaktif dalam kerangka UU tentang Cipta Kerja. Meskipun kewenangan perizinan telah tersentralisasi, pemerintah daerah masih memiliki peran dalam penataan ruang. Oleh karena itu, direkomendasikan agar daerah secara sistematis melakukan inventarisasi dan pemetaan wilayah-wilayah kelola rakyat dan tanah adat. Data spasial yang kuat ini dapat menjadi alat negosiasi yang efektif dalam proses Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dengan pemerintah pusat, untuk memastikan bahwa investasi yang masuk tidak menimbulkan konflik baru dan sejalan dengan rencana pembangunan daerah.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.