Pengantar: Hak Cipta sebagai Pengakuan Martabat Intelektual
Hak cipta, dalam esensinya, bukanlah sekadar konstruksi hukum yang kaku
atau teknis administratif belaka. Ia merupakan ekspresi konkret dari
penghargaan masyarakat terhadap buah pikiran, imajinasi, dan jerih payah
intelektual seseorang. Lebih dari sekadar perlindungan terhadap bentuk fisik
suatu karya, hak cipta adalah pengakuan atas
martabat pencipta sebagai subjek yang mencipta dari dalam dirinya
sendiri.
Secara filosofis, fondasi dari hak cipta berakar kuat pada teori hak
alamiah, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke dan para pemikir pencerahan
lainnya. Dalam pandangan ini,
manusia memiliki hak milik atas hasil kerjanya, karena kerja adalah
perpanjangan dari eksistensinya sebagai makhluk rasional. Ketika seseorang mencurahkan tenaga, pikiran, dan imajinasinya ke dalam
suatu karya—entah tulisan, musik, atau visual—maka karya itu menjadi bagian
dari kepribadiannya.
Dengan demikian, hak cipta bukan hanya soal hukum kepemilikan,
melainkan bentuk pengakuan sosial terhadap nilai individual,
orisinalitas, dan identitas. Melanggar hak cipta, dalam kerangka ini, bukan hanya pelanggaran
hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap integritas pencipta sebagai
pribadi.
Dalam dunia yang kian terdigitalisasi—di mana reproduksi ulang karya
menjadi instan dan masif—perlindungan hak cipta menjadi semacam penegasan
etika yaitu bahwa sekalipun teknologi berkembang cepat,
penghormatan terhadap manusia sebagai subjek pencipta tetap tak boleh
diabaikan.
Saat membicarakan hak cipta dalam kerangka hukum Indonesia, filosofi ini
terwujud dalam dua pilar utama yang tak terpisahkan yaitu
hak moral (moral rights) dan
hak ekonomi (economic rights). Hak moral adalah hak yang
melekat abadi pada diri pencipta, seperti hak untuk diakui namanya dan hak
untuk menjaga integritas karyanya dari modifikasi yang merusak reputasinya.
Di sisi lain, hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk mendapatkan
manfaat finansial dari karyanya, seperti melalui penerbitan, penggandaan,
dan pendistribusian. Keduanya merupakan dua sisi dari satu koin yang sama,
yang secara teoretis menjamin perlindungan holistik bagi para insan kreatif.
Paradoks Sentral Hukum Hak Cipta Indonesia
Meskipun fondasi filosofisnya kokoh, lanskap perlindungan hak cipta di
Indonesia menghadirkan sebuah paradoks yang tajam dan mendalam. Di satu
sisi, Indonesia memiliki kerangka hukum yang secara teoretis sangat maju dan
komprehensif.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta
(selanjutnya disebut dengan “UU tentang Hak Cipta”) dan peraturan
pelaksananya,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang
Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik
(selanjutnya disebut dengan “PP 56/2021”), menciptakan sebuah arsitektur pengelolaan hak cipta yang detail dan
terstruktur, bahkan dapat dianggap sebagai salah satu yang paling ambisius
di kawasan Asia Tenggara. Namun, di sisi lain, realitas di lapangan—law in action—melukiskan gambaran yang jauh berbeda.
Implementasi dari rezim hukum ini terbukti sarat dengan disfungsi
kelembagaan, penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten, serta selubung
tebal intransparansi. Akibatnya, janji utama dari sistem ini, yaitu untuk
menyejahterakan pencipta lagu melalui pemenuhan hak ekonominya, seringkali
gagal terwujud secara memuaskan.
Paradoks ini berpusat pada sebuah ironi yaitu institusi yang dirancang
untuk menjadi jembatan antara pencipta dan hak ekonominya justru berpotensi
menjadi tembok birokrasi yang memisahkan keduanya. UU tentang Hak Cipta
secara tegas menganut prinsip deklaratif, di mana hak cipta timbul secara
otomatis sejak sebuah karya diwujudkan dalam bentuk nyata.
Ini adalah pendekatan yang sangat berpihak pada pencipta. Namun, untuk
mengelola hak ekonomi yang timbul dari penggunaan komersial, negara
membentuk sebuah sistem kolektif yang terpusat dan bersifat wajib melalui
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Tujuannya mulia yaitu
menyederhanakan dan mengefisienkan proses penarikan dan distribusi
royalti. Akan tetapi, sistem ini secara efektif menghalangi pencipta untuk
melisensikan atau menagih royalti secara langsung dari sebagian besar
pengguna komersial; mereka diwajibkan untuk melalui jalur LMK-LMKN. Sehingga
dalam beberapa kasus tidak heran apabila jalur wajib ini justru dipenuhi
masalah.
Secara regulasi, alur keuangan ini tampak jelas.
Pasal 14 PP 56/2021 menyebutkan bahwa royalti yang telah
dihimpun oleh LMKN akan digunakan untuk tiga hal yaitu didistribusikan kepada anggota LMK, dana operasional, dan
dana cadangan. Namun, di sinilah letak
masalah pertamanya. Sesuai amanat Pasal 91 ayat (1) UU tentang Hak Cipta, LMKN seharusnya hanya memotong 20% untuk dana operasional dan menyalurkan
80% sisanya ke LMK untuk didistribusikan kepada para kreator.
Kenyataannya, muncul potongan tambahan sebesar 20% dari total royalti yang
terkumpul untuk pengembangan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), sebuah
sistem yang ironisnya dinilai bertujuan untuk transparansi. Hal ini
menyebabkan terjadinya pemotongan ganda yang totalnya mencapai 40%, sebuah
praktik yang jelas tidak sesuai dengan semangat undang-undang dan sangat
memberatkan pencipta.
Masalah kedua
adalah transparansi. Pasal 17 PP 56/2021 secara tegas
mewajibkan LMKN untuk melaksanakan audit keuangan dan kinerja oleh akuntan
publik dan menyebarluaskan hasilnya kepada masyarakat. Akan tetapi,
kewajiban ini tidak dijalankan dengan baik. Peninjauan pada situs web resmi
LMKN menunjukkan bahwa laporan pendistribusian royalti tidak disajikan
secara rinci, dan data untuk periode 2021-2023 bahkan tidak tercantum.
Ketertutupan ini menciptakan iklim kecurigaan dan meruntuhkan kepercayaan
publik pada lembaga yang seharusnya menjadi penjaga amanah para seniman.
Puncaknya, efektivitas sistem ini dipertanyakan ketika musisi ternama
seperti Piyu, gitaris band Padi, mengungkapkan bahwa ia hanya menerima royalti sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per tahun untuk penggunaan banyak lagu hitsnya. Dengan demikian, solusi
yang ditawarkan berisiko menjadi bagian dari masalah itu sendiri, sebuah
contoh klasik di mana kebijakan yang berniat baik dapat menghasilkan
konsekuensi yang kontra-produktif.
Kami sangat mengharapkan tulisan ini akan membedah secara kritis paradoks
tersebut. Dimulai dengan analisis mendalam terhadap arsitektur hukum yang
berlaku, sehingga tulisan ini akan bergerak untuk memeriksa mesin
kelembagaan yang menjalankannya, yaitu LMK dan LMKN, beserta problematika
struktural yang melekat.
Arsitektur Hukum Perlindungan Hak Cipta Musik di Indonesia
Fondasi hukum perlindungan hak cipta musik di Indonesia dibangun di atas
dua pilar regulasi utama antara lain:
UU tentang Hak Cipta sebagai payung hukum utama dan
PP 56/2021 sebagai mesin operasionalnya. Kombinasi keduanya
menciptakan sebuah kerangka kerja yang secara normatif kuat, namun dalam
praktiknya memunculkan berbagai tantangan implementasi.
UU tentang Hak Cipta merupakan lompatan modernisasi dalam hukum kekayaan
intelektual Indonesia, menggantikan Undang-Undang sebelumnya dengan kerangka
yang lebih detail dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Inti dari UU tentang Hak Cipta adalah pengakuan terhadap hak eksklusif
pencipta. Pasal 1 ayat (1) UU tentang Hak Cipta mendefinisikan
Hak Cipta sebagai:
“hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata”.
Frasa kunci di sini adalah “otomatis” dan “prinsip deklaratif”, yang menegaskan bahwa
perlindungan hukum tidak mensyaratkan pendaftaran.
Pencatatan ciptaan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
hanyalah berfungsi sebagai alat bukti yang kuat di pengadilan, bukan
sebagai syarat lahirnya hak.
Pasal 4 UU tentang Hak Cipta
secara eksplisit menyebutkan “lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks”
sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi. Hak eksklusif ini, sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9, terbagi menjadi dua dimensi yang fundamental yaitu:
1.
Hak Moral
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU tentang Hak Cipta, hak moral adalah hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta dan
tidak dapat dialihkan selama ia masih hidup. Hak ini bersifat personal dan
melindungi integritas pribadi pencipta, mencakup hak untuk:
a.
Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan
dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;
b.
Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
c.
Mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d.
Mengubah judul dan anak judul ciptaan;
e.
Mempertahankan ciptaannya dari distorsi, mutilasi, modifikasi, atau hal
yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
Pelanggaran terhadap hak moral, seperti yang terjadi dalam kasus Haji Ukat di mana namanya tidak dicantumkan sebagai pencipta, merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat digugat.
2.
Hak Ekonomi
Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU tentang Hak Cipta, hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. Berbeda dengan hak moral, hak
ekonomi dapat dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian, melalui mekanisme
seperti pewarisan, hibah, atau perjanjian tertulis.
Hak ekonomi inilah yang menjadi inti dari isu royalti, yang mencakup
hak untuk melakukan penerbitan, penggandaan, penerjemahan, adaptasi,
distribusi, pertunjukan, pengumuman, komunikasi, dan penyewaan ciptaan.
Penggunaan Komersial dan Lisensi
Kunci dari perlindungan hak ekonomi terletak pada
Pasal 9 ayat (2) dan (3) UU tentang Hak Cipta.
Pasal 9 ayat (2) UU tentang Hak Cipta
menyatakan bahwa:
“Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta”.
Selanjutnya, Pasal 9 ayat (3) melarang,
“Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang
melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan”.
Ketentuan ini menjadi dasar dari sistem lisensi. Lisensi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 80 samai dengan
Pasal 86 UU tentang Hak Cipta, adalah izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta kepada pihak
lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya dengan syarat dan jangka
waktu tertentu.
Dalam konteks musik, ini berarti setiap orang perorangan atau badan yang
bersifat komersial—mulai dari stasiun radio, platform streaming, hingga kafe
dan restoran—secara hukum wajib memperoleh lisensi sebelum memutar lagu
untuk publik.
Ketentuan Pidana (The Criminal Backstop)
Untuk memberikan efek jera, UU tentang Hak Cipta dilengkapi dengan sanksi
pidana yang berat. Pasal 113 mengatur sanksi bagi pelanggaran hak ekonomi
secara umum, sementara Pasal 117 secara spesifik menargetkan pelanggaran
yang dilakukan dalam sarana perdagangan.
Pasal 117 ayat (1) UU tentang Hak Cipta, mengancam pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 1 miliar bagi siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak
melakukan pelanggaran hak ekonomi untuk penggunaan secara komersial. Ancaman
pidana ini menjadi “senjata pamungkas” dalam penegakan hukum, yang
relevansinya akan terlihat jelas dalam analisis Tulisan kami tentang kasus
Mie Gacoan di Bali.
Jika UU tentang Hak Cipta adalah cetak biru (blueprint)
arsitekturnya, maka PP 56/2021 adalah panduan teknis untuk membangun dan
mengoperasikan mesin pengelolaan royalti. Peraturan ini hadir untuk
mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti yang diamanatkan oleh UU tentang
Hak Cipta.
Kewajiban Pembayaran Royalti
PP 56/2021 mengubah konsep “izin” yang abstrak dalam
UU tentang Hak Cipta menjadi kewajiban konkret untuk “membayar
royalti”.
Pasal 3 ayat (1) PP 56/2021, menyatakan bahwa:
“Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau
musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar
Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait
melalui LMKN”.
Kewajiban ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar.
Untuk menghilangkan ambiguitas, kemudian
Pasal 3 ayat (2) PP 56/2021 menyediakan daftar definitif
berisi 14 bentuk layanan publik yang bersifat komersial dan wajib membayar
royalti. Daftar ini mencakup:
1)
Seminar dan konferensi komersial;
2)
Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;
3)
Konser music;
4)
Transportasi publik (pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut);
5)
Pameran dan bazar;
6)
Bioskop;
7)
Nada tunggu telepon;
8)
Bank dan kantor;
9)
Pertokoan;
10)
Pusat rekreasi;
11)
Lembaga penyiaran televisi;
12)
Lembaga penyiaran radio;
13)
Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
14)
Usaha karaoke
Daftar ini secara efektif menciptakan lingkungan “tanggung jawab mutlak”
atau strict liability bagi para pelaku usaha di sektor-sektor
tersebut.
Fakta bahwa sebuah kafe memutar musik untuk menciptakan suasana bagi
pelanggan sudah cukup untuk memicu kewajiban membayar royalti.
Tidak ada ruang untuk berdalih bahwa musik tersebut hanya “latar
belakang” atau “tidak sengaja didengar”.
Sentralisasi Melalui LMKN
Aspek paling krusial dari PP 56/2021 adalah penegasan peran sentral LMKN.
Peraturan ini mengamanatkan bahwa
pembayaran royalti dari 14 kategori pengguna komersial tersebut harus
dilakukan melalui LMKN. Ini adalah mekanisme “satu pintu” (one-gate policy) yang dirancang
untuk menyederhanakan proses bagi pengguna, yang tidak lagi perlu berurusan
dengan berbagai LMK yang berbeda.
Namun, arsitektur hukum ini, meskipun jelas, melahirkan sebuah dinamika
penegakan yang problematik. Regulasi telah menetapkan kewajiban yang tegas
dan jalur kepatuhan yang tunggal (membayar ke LMKN). Akan tetapi, narasi
yang muncul dari berbagai studi kasus dan laporan yang ada bukanlah tentang
kemudahan kepatuhan, melainkan tentang konflik dan litigasi. Kasus-kasus
seperti penetapan tersangka Direktur Mie Gacoan dan vonis pidana bagi pemilik karaoke Ivan Kuncoro
sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 3234/Pid.Sus/2019/PN Sby.,
tertanggal 9 April 2020, menunjukkan bahwa penegakan hukum seringkali baru bergerak setelah ada
pengaduan dan proses hukum—baik perdata maupun pidana—telah dimulai. Sistem
ini cenderung bersifat reaktif, bergantung pada LMK untuk bertindak sebagai
“polisi” yang memburu pelanggar, alih-alih proaktif dalam membangun sistem
administrasi yang ramah pengguna yang memudahkan pelaku usaha untuk
menghitung dan membayar kewajiban mereka secara rutin.
Kegagalan membangun infrastruktur kepatuhan yang efisien ini secara
inheren mendorong ekosistem ke dalam model yang adverserial, di mana hak
hanya dapat ditegakkan melalui pertarungan hukum yang mahal dan memakan
waktu, bukan melalui model kooperatif berbasis kepatuhan
administratif.
Mesin Institusional: LMK, LMKN, dan Problematika Struktural
Di jantung sistem pengelolaan royalti musik Indonesia terdapat dua jenis
entitas yang seringkali tumpang tindih dalam persepsi publik namun memiliki
fungsi dan wewenang yang berbeda secara fundamental yaitu
Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Struktur dualistik ini,
yang dirancang untuk efisiensi, justru menjadi sumber kebingungan dan
inefisiensi sistemik.
Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)
LMK adalah institusi yang menjadi fondasi dari sistem kolektif. Berdasarkan
Pasal 1 Angka 22 UU tentang Hak Cipta, LMK didefinisikan sebagai
institusi berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta,
pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait untuk mengelola hak
ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Secara esensial, LMK adalah agen yang mewakili kepentingan para
anggotanya (para pencipta dan pemilik hak terkait).
Untuk dapat beroperasi, sebuah LMK harus mendapatkan izin operasional dari
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia setelah memenuhi serangkaian
persyaratan, termasuk berbentuk badan hukum nirlaba dan memiliki jumlah
anggota minimum (misalnya, 200 pencipta untuk LMK bidang lagu/musik). Saat
ini, terdapat beberapa LMK yang telah mendapatkan izin resmi dan aktif
beroperasi di Indonesia, yang dapat dikelompokkan menjadi LMK Hak Cipta
(mewakili pencipta/penulis lagu) dan LMK Hak Terkait (mewakili pelaku
pertunjukan/penyanyi dan produser fonogram/label rekaman). LMK yang
terdaftar secara resmi antara lain:
LMK Hak Cipta (mewakili Pencipta/Penulis Lagu):
1.
Karya Cipta Indonesia (KCI);
2.
Wahana Musik Indonesia (WAMI)
3.
Royalti Anugrah Indonesia (RAI)
LMK Hak Terkait (mewakili Pelaku Pertunjukan/Penyanyi dan Produser
Fonogram/Label Rekaman):
1.
Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI);
2.
Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman
Indonesia (PAPPRI);
3.
Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI);
4.
Anugrah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI);
5.
Performer's Rights Society of Indonesia (PRISINDO).
Penting untuk dicatat bahwa dalam kasus Mie Gacoan, pelapornya adalah
SELMI, sebuah LMK Hak Terkait yang mewakili kepentingan para produser
rekaman atau label musik yang karyanya (fonogram) diputar di gerai-gerai
tersebut.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)
Di sinilah letak salah satu sumber kerumitan hukum yang paling fundamental.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagai hukum payung, sesungguhnya tidak pernah menggunakan akronim “LMKN”.
Pasal 88 UU tentang Hak Cipta mengamanatkan pembentukan sebuah
“Lembaga Manajemen Kolektif”, yang merujuk pada sebuah konsep institusi yang
merepresentasikan kepentingan pencipta dan pemilik hak terkait. Amanat ini
memang bersifat konseptual, memberikan ruang bagi pembentukan sebuah badan
koordinator untuk mengelola royalti di tingkat nasional.
Namun, konkretisasi dari konsep ini menjadi sebuah institusi yang bernama
“Lembaga Manajemen Kolektif Nasional” atau LMKN baru muncul dalam
peraturan pelaksana, yaitu Pasal 1 Angka 11 PP 56/2021. Peraturan Pemerintah inilah yang kemudian mendefinisikan LMKN sebagai
lembaga yang dibentuk oleh Menteri, dipimpin oleh Komisioner yang diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri sebagaimana yang diatur lebih spesifik
melalui
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun
2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik
(selanjutnya disebut “Permenkumham 9/2022”). Peraturan ini secara eksplisit mencabut dan menggantikan peraturan
sebelumnya, yaitu
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau
Musik.
Permenkumham 9/2022 memberikan
kewenangan yang sangat signifikan kepada Menteri dalam struktur tata
kelola LMKN, yang menegaskan kontrol eksekutif atas lembaga ini.
Kita dapat melihat secara jelas dan langsung beberapa Pasal-Pasal Kunci
dalam Permenkumham 9/2022 sebagai berikut:
-
Kewenangan Menteri dalam proses pengangkatan bersifat final dan menentukan.
Pasal 8 ayat (7) Permenkumham 9/2022 secara tegas menyatakan,
“Pengangkatan komisioner LMKN... ditetapkan oleh Menteri”.;
-
Prosesnya melibatkan kombinasi usulan dari bawah dan penunjukan dari atas.
Perwakilan dari LMK ditentukan berdasarkan kesepakatan antar-LMK itu sendiri
(vide Pasal 7 ayat (4) Permenkumham 9/2022), namun perwakilan dari unsur pemerintah ditunjuk langsung oleh Menteri
(vide Pasal 7 ayat (3) Permenkumham 9/2022). Bahkan dalam pemilihan ketua, jika musyawarah mufakat tidak tercapai,
Menteri memiliki wewenang untuk memilihnya (vide Pasal 8 ayat (4) Permenkumham 9/2022). Ini
menunjukkan adanya kontrol negara yang kuat dalam komposisi kepemimpinan
LMKN;
-
Kemudian juga terkait Pemberhentian Komisioner, Menteri memegang
kewenangan penuh untuk memberhentikan dan menunjuk pengganti komisioner.
Kita dapat melihat beberapa ketentuan Pasal 14 dan
Pasal 15 Permenkumham 9/2022
mengatur bahwa Menteri dapat menetapkan pengganti ketua atau anggota
komisioner antarwaktu jika terjadi hal-hal seperti meninggal dunia,
mengundurkan diri, tidak dapat melaksanakan tugas, melanggar kode etik, atau
diberhentikan karena alasan lain. Kemudian,
Pasal 16 Permenkumham 9/2022 merinci alasan-alasan yang dapat
menyebabkan berakhirnya keanggotaan seorang komisioner, yang
pemberhentiannya pada akhirnya ditetapkan melalui keputusan Menteri;
-
Selanjutnya, mengenai Masa Jabatan Komisioner, kita dapat melihat
kembali ketentuan Pasal 8 ayat (5) dan ayat (6)
Permenkumham 9/2022 yang menetapkan bahwa
masa jabatan Komisioner LMKN adalah paling lama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Kejelasan kewenangan Menteri dalam Permenkumham 9/2022 ini sekaligus
menyingkap sebuah disharmoni regulasi yang fundamental. UU Hak Cipta,
sebagai hukum tertinggi di bidang ini, mengonsepkan Lembaga Manajemen
Kolektif (LMK) sebagai institusi privat berbentuk badan hukum nirlaba yang
didirikan oleh dan untuk para kreator. Namun, peraturan pelaksana di
bawahnya, yaitu PP 56/2021 dan
Permenkumham 9/2022,
justru melahirkan LMKN sebagai sebuah entitas hibrida yang unik yang
mana sebuah state-auxiliary body atau lembaga negara tambahan.
Di satu sisi,
LMKN bertindak di ranah hukum privat dengan mengelola hak ekonomi milik
perorangan. Di sisi lain,
struktur organisasi, akuntabilitas, serta proses pengangkatan dan
pemberhentian pimpinannya berada di bawah kendali langsung pemerintah
(Menteri).
Pergeseran dari konsep di UU ke institusi di PP dan Permenkumham ini sangat
krusial namun juga sangat problematis dan menuai debat akademis. Sehingga
tidak mengherankan kemudian hal ini menciptakan ambiguitas identitas yang
fatal yaitu apakah LMKN adalah perwakilan para seniman atau
perpanjangan tangan regulator pemerintah? Karakter ganda inilah yang
menjadi akar dari banyak disfungsi, karena lembaga ini
terjebak antara mandat untuk melayani kreator dan
struktur birokratis yang membuatnya lebih akuntabel kepada pemerintah
yang membentuknya.
Hierarki Kewenangan: Pembagian Kerja “Menarik” vs. “Mendistribusi”
Kebingungan yang meluas di kalangan pengguna dan bahkan sebagian pemangku
kepentingan seringkali berasal dari ketidakpahaman mengenai pembagian kerja
yang rigid antara LMK dan LMKN. Secara sederhana, perbedaan fundamentalnya
sering diringkas sebagai berikut:
LMKN menarik dan menghimpun,
sedangkan LMK mendistribusikan.
Namun, pembagian kerja ini bukanlah sekadar kesepakatan praktis, melainkan
sebuah hierarki kewenangan yang diatur secara eksplisit dan berlapis dalam
peraturan perundang-undangan.
Frasa “LMKN menarik dan menghimpun, LMK mendistribusikan” memiliki dasar
hukum yang kuat dan dapat dilacak melalui beberapa pasal kunci:
Wewenang Menarik dan Menghimpun oleh LMKN
Pasal 12 ayat (1) PP 56/2021,
pasal ini secara tegas memberikan mandat penarikan royalti secara eksklusif
kepada LMKN. Bunyinya:
“LMKN melakukan penarikan Royalti dari Orang yang melakukan Penggunaan
Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat
komersial untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang
telah menjadi anggota dari suatu LMK.”
Kemudian disebutkan juga sebagaimana ketentuan
Pasal 13 PP 56/2021, menyatakan bahwa:
(1)
LMKN menghimpun Royalti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2)
Dalam melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LMKN
melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak
masing-masing LMK sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan
keadilan.
(3)
Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti ditetapkan oleh LMKN
dan disahkan oleh Menteri.
Selanjutnya, sebagaimana ketentuan
Pasal 6 ayat (2) Permenkumham 9/2022, menyatakan bahwa:
“LMKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan
Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.”
Kemudian, Pasal 19 Permenkumham 9/2022, pasal ini mengatur aspek teknis penghimpunan dana dengan menyatakan:
“Setiap Royalti yang ditarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
dihimpun di rekening LMKN dan dapat diketahui oleh seluruh
LMK.”
Wewenang Mendistribusikan oleh LMK
Untuk kewenangan “Mendistribusikan oleh LMK” dapat kita temui dalam
beberapa ketentuan berikut ini:
Pasal 14 ayat (3) PP 56/2021,
disebutkan bahwa setelah dana terhimpun oleh LMKN, pasal ini mengatur alur
distribusinya ke LMK. Bunyinya:
“Royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didistribusikan kepada
Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait melalui LMK..”
Pasal 20 ayat (1) Permenkumham 9/2022, Peraturan ini kembali mempertegas bahwa LMK adalah saluran distribusi akhir
ke para kreator. Bunyinya:
“Pendistribusian Royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a
dilaksanakan melalui LMK.”
Pembagian kerja ini dirancang dan diharapkan mampu untuk menciptakan
efisiensi dan kepastian hukum. Tujuannya adalah untuk mencegah “tagihan ganda” (double billing) yang dikeluhkan oleh asosiasi
pengusaha seperti PHRI, di mana sebelum era sentralisasi, pengguna bisa didatangi oleh beberapa
LMK berbeda untuk satu jenis penggunaan musik. Dengan adanya satu pintu
penarikan (LMKN), pengguna seharusnya hanya perlu berurusan dengan satu
entitas saja yaitu LMKN, begitu kira-kira harapannya.
Namun, dalam praktiknya, hierarki yang kaku ini justru melahirkan
serangkaian disfungsi yang bersifat structural, antara lain:
1.
Menciptakan Ketergantungan Absolut
Struktur ini membuat LMK, sebagai representasi privat para kreator,
sepenuhnya bergantung pada kinerja LMKN, sebuah lembaga bentukan pemerintah.
Efektivitas LMK dalam menyejahterakan anggotanya tidak lagi ditentukan oleh
kemampuannya sendiri dalam bernegosiasi atau menagih, melainkan oleh
kemampuan LMKN untuk menarik dan mentransfer dana. Ketika LMKN berkinerja
buruk—baik karena inefisiensi, kurangnya transparansi, atau ketidakmampuan
memaksa kepatuhan pengguna—maka seluruh sistem distribusi akan lumpuh, dan
LMK tidak memiliki alternatif lain;
2.
Memperpanjang Rantai Birokrasi
Alih-alih memotong jalur, sistem ini justru menambah satu lapisan birokrasi
yang signifikan. Dana dari pengguna tidak langsung mengalir ke LMK,
melainkan harus “menginap” terlebih dahulu di rekening terpusat LMKN sebelum
dialokasikan dan didistribusikan kembali. Proses ini tidak hanya berpotensi
memperlambat aliran dana ke pencipta, tetapi juga menimbulkan pertanyaan
baru mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana selama berada
di tangan LMKN; dan
3.
Fungsi Pengawasan yang Problematik
Selain pembagian kerja di atas, LMKN juga diberi fungsi pengawasan terhadap
LMK, termasuk memberikan rekomendasi sanksi pencabutan izin operasional
kepada Menteri. Hal ini menciptakan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang.
LMKN, yang kinerjanya sendiri banyak dikritik, justru memiliki wewenang
untuk mengawasi dan merekomendasikan sanksi bagi LMK yang menjadi
“klien”-nya dalam sistem distribusi. Ini berpotensi menciptakan konflik
kepentingan dan menghambat LMK untuk dapat secara efektif mengkritik atau
menuntut akuntabilitas dari LMKN.
Secara keseluruhan, pembagian wewenang yang diatur secara rigid ini,
meskipun memiliki dasar hukum yang jelas, telah mengubah
LMK dari entitas pengelola yang otonom menjadi sekadar saluran distribusi
pasif. Hal ini
secara fundamental melemahkan posisi tawar para kreator dan
menempatkan nasib hak ekonomi mereka di tangan sebuah lembaga sentral
yang kinerjanya hingga kini masih jauh dari memuaskan.
Evaluasi Kinerja LMKN: Janji vs. Realita
Sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas, pembentukan LMKN diharapkan
dapat menjadi solusi satu pintu ternyata tidak serta-merta menyelesaikan
masalah. Sebaliknya, sentralisasi ini justru memunculkan serangkaian masalah
baru yang berpusat pada kinerja LMKN itu sendiri.
1.
Masalah Transparansi
Salah satu kritik paling tajam yang dialamatkan kepada LMKN adalah
kurangnya transparansi. Pasal 17 PP 56/2021 mewajibkan LMKN
untuk menyediakan sistem informasi yang dapat diakses publik mengenai
pengelolaan royalti. Namun, berdasarkan pantauan kami, menunjukkan bahwa
situs web resmi LMKN seringkali tidak menyediakan data yang rinci dan
mutakhir mengenai jumlah royalti yang terkumpul dan
yang “akan” dan yang “telah” didistribusikan. Ketertutupan ini
melahirkan kecurigaan dan merusak kepercayaan para pemangku kepentingan,
terutama para pencipta yang haknya dikelola oleh lembaga tersebut;
2.
Masalah Efektivitas
Ukuran keberhasilan utama LMKN adalah
kemampuannya untuk menyejahterakan para pencipta. Namun, fakta di
lapangan menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Kasus gitaris band Padi,
Piyu, yang mengaku hanya menerima royalti sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per tahun untuk penggunaan banyak lagu hitsnya, menjadi tamparan keras
bagi efektivitas sistem ini. Angka yang sangat kecil ini, yang dialami oleh
seorang musisi papan atas, menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan
LMKN dalam menarik dan mendistribusikan royalti secara efisien dan adil;
3.
Masalah Akuntabilitas
Masalah akuntabilitas muncul terkait
besaran potongan biaya operasional. UU tentang Hak Cipta menetapkan
batas maksimal potongan biaya operasional. Namun, laporan mengindikasikan
bahwa dengan adanya biaya tambahan untuk pengembangan Sistem Informasi Lagu
dan Musik (SILM), total potongan bisa mencapai 40% dari royalti yang
terkumpul. Angka yang sangat tinggi ini menimbulkan pertanyaan fundamental
yaitu
apakah lembaga ini lebih banyak melayani keberlangsungan dirinya sendiri
daripada melayani para konstituennya, yaitu para pencipta?
Secara keseluruhan,
upaya untuk menyederhanakan sistem dengan menciptakan LMKN telah secara
tidak sengaja menciptakan sebuah titik kegagalan tunggal (single point of failure). Sebelum 2014, masalahnya adalah ketidaknyamanan karena harus berurusan
dengan banyak LMK. Kini, masalahnya bergeser menjadi lebih fundamental yaitu
sebuah badan kolektor tunggal yang terpusat, yang ketika gagal berfungsi
secara transparan dan akuntabel, maka seluruh sistem akan ikut gagal.
Sentralisasi ini mengurangi daya tawar dan mekanisme kontrol dari para
pencipta, karena mereka tidak lagi memiliki pilihan selain bergantung pada
satu lembaga bentukan pemerintah yang kinerjanya sulit diawasi.
Penetapan Tersangka Direktur Mie Gacoan Bali
Kasus yang menjerat manajemen Mie Gacoan di Bali tidak dapat dipandang
sebagai insiden hukum yang terisolasi. Ini adalah titik kulminasi dari
strategi penegakan hukum yang lebih agresif oleh para pemegang hak melalui
LMK, yang secara sadar memilih jalur pidana untuk menciptakan efek jera yang
maksimal.
Pada pertengahan tahun 2025, industri kuliner dan musik Indonesia
dikejutkan oleh langkah tegas Polda Bali yang menetapkan I Gusti Ayu Sasih
Ira, Direktur PT Mitra Bali Sukses (pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di
Bali), sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran hak cipta musik.
Kasus ini menjadi preseden penting karena menargetkan pelaku usaha di sektor
makanan dan minuman (F&B), sebuah sektor yang masif namun seringkali
abai terhadap kewajiban royalti. Proses hukum ini tidak terjadi secara
tiba-tiba. Rangkaian peristiwanya adalah sebagai berikut:
Kasus bermula dari pengaduan masyarakat yang masuk pada tanggal 26 Agustus
2024. Setelah melalui tahap penyelidikan, kasus ini ditingkatkan ke tahap
penyidikan dengan diterbitkannya Laporan Polisi pada tanggal 20 Januari
2025. Kemudian, pada Juli 2025, Polda Bali secara resmi mengumumkan
penetapan I Gusti Ayu Sasih Ira sebagai tersangka.
Pelapor dalam kasus ini adalah Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI),
salah satu LMK yang mewakili kepentingan hak terkait (pelaku pertunjukan dan
produser fonogram). Manajer Lisensi SELMI, Vanny Irawan, secara resmi
melaporkan bahwa sejumlah gerai Mie Gacoan di Bali telah menggunakan musik
dan lagu secara komersial tanpa memiliki lisensi dan tanpa membayar royalti.
Langkah ini menunjukkan bahwa mekanisme penegakan hukum melalui delik aduan
yang diajukan oleh LMK benar-benar berfungsi dalam praktik. Kerugian yang
ditimbulkan ditaksir mencapai miliaran rupiah, dihitung berdasarkan tarif
yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Tersangka dijerat dengan
Pasal 117 ayat (2) UU tentang Hak Cipta tentang penggunaan
ciptaan secara komersial tanpa izin, yang membawa ancaman hukuman hingga 4
tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Aspek yang paling menarik dari kasus
ini adalah penentuan subjek hukum yang bertanggung jawab. Pihak kepolisian
menyatakan bahwa berdasarkan hasil penyidikan, tanggung jawab hukum
dibebankan kepada direktur perusahaan (“tanggung jawab ada di direktur”).
Keputusan ini mengirimkan sinyal kuat bahwa pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam kasus hak cipta dapat menyasar hingga ke level pimpinan
puncak, bukan hanya manajer operasional di tingkat gerai.
Sehingga, Kasus Mie Gacoan berpotensi menjadi landmark case yang
menciptakan efek jera yang signifikan, khususnya bagi industri F&B,
perhotelan, dan ritel. Selama bertahun-tahun, pemutaran musik di
tempat-tempat ini sering dianggap sebagai hal sepele. Penetapan tersangka
terhadap direktur sebuah merek besar seperti Mie Gacoan menunjukkan bahwa
era permisif telah berakhir dan penegakan hukum pidana menjadi ancaman yang
nyata. Sebagai dampak langsung, dilaporkan bahwa 17 gerai Mie Gacoan di Bali
berhenti memutar musik setelah penetapan tersangka tersebut.
Sebelum kasus Mie Gacoan, sistem peradilan pidana Indonesia telah
menghasilkan sebuah preseden penting dalam kasus pelanggaran hak cipta oleh
usaha karaoke, misalnya di Surabaya.
Ada pun yang berhasil kami teliti adalah
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 3234/Pid.Sus/2019/PN Sby.,
tertanggal 9 April 2020. Terdakwa, Ivan Kuncoro, adalah direktur yang mengelola usaha Karaoke Rasa
Sayang. Ia didakwa telah menggunakan dan menggandakan fonogram (video klip
dan lagu) secara komersial di rumah karaokenya sejak tahun 2016 tanpa
memiliki lisensi dari pemegang hak terkait, dalam hal ini PT Asosiasi
Industri Rekaman Indonesia (ASIRINDO).
Pihak ASIRINDO telah melayangkan somasi yang diabaikan oleh terdakwa,
sehingga kasus ini dilaporkan ke Polda Jawa Timur. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Surabaya menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak cipta. Amar putusan
menjatuhkan vonis pidana penjara selama 6 (enam) bulan, lebih ringan dari
tuntutan jaksa selama 10 bulan.
Adapun pertimbangan hukum utama (ratio decidendi) majelis hakim
adalah bahwa seluruh unsur dalam dakwaan, yaitu
Pasal 117 ayat (2) juncto Pasal 24 ayat (2) huruf d UU tentang Hak
Cipta, telah terpenuhi. Terdakwa, sebagai pengelola usaha, dengan sengaja
menyediakan layanan publik bersifat komersial yang memungkinkan pelanggan
mengakses dan menggunakan fonogram yang dilindungi hak cipta tanpa adanya
izin lisensi dari produser fonogram selaku pemilik hak terkait.
Putusan ini mengukuhkan sebuah prinsip hukum penting yaitu
penyediaan layanan karaoke dengan menggunakan lagu-lagu berhak cipta
tanpa lisensi yang sah bukanlah sekadar sengketa perdata mengenai
pembayaran, melainkan merupakan sebuah tindak pidana yang dapat dijatuhi
sanksi kurungan badan.
Putusan Kasus Haji Ukat Sukatma vs. PT Indosiar
Berbeda dengan dua kasus sebelumnya yang menempuh jalur pidana, kasus ini
memberikan wawasan penting mengenai penyelesaian sengketa hak cipta melalui
jalur perdata di Pengadilan Niaga hingga tingkat kasasi di Mahkamah
Agung.
Putusan kunci dalam kasus ini adalah
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 913 K/Pdt.Sus-HKI/2022,
tertanggal 31 Agustus 2022, yang mana Putusan ini membatalkan putusan tingkat pertama di Pengadilan
Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
26/Pdt.Sus.Hak.Cipta/2021/PN.Jkt.Pst, tertanggal 9 Desember 2021, yang mana sebelumnya, Haji Ukat kalah melawan PT Indosiar, sebagaimana
dalam amar putusannya:
MENGADILI
DALAM PROVISI
-
Menolak provisi PenggugaT
DALAM EKSEPSI
-
Menolak eksepsi Tergugat dan Turut Tergugat untuk seluruhnhya
DALAM POKOK PERKARA
-
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
-
Menghukum Penggugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara
ini sebesar Rp. 2.010.000.- (Dua juta sepuluh ribu rupiah);
Penggugat, Haji Ukat Sukatma, adalah seorang pencipta lagu dangdut.
Tergugat, PT Indosiar Visual Mandiri Tbk, adalah lembaga penyiaran televisi.
Sengketa muncul ketika Indosiar, setelah menayangkan acara musik yang
menampilkan lagu-lagu ciptaan Haji Ukat, kemudian mengunggah ulang konten
siaran tersebut ke kanal YouTube resmi mereka.
Haji Ukat menggugat atas dasar pelanggaran hak ekonomi dan hak moral.
Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya mengabulkan permohonan Haji Ukat,
menyatakan Indosiar telah melakukan perbuatan melawan hukum, dan menghukum
Indosiar untuk membayar ganti rugi materiil dan imateriil sebesar total
Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Dalam Pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
putusan ini sangat mencerahkan dan menetapkan beberapa prinsip penting,
sebagai berikut:
1.
Pelanggaran Hak Ekonomi (Distinction of Rights)
MA secara brilian membedakan antara hak penyiaran (broadcasting rights) dan hak komunikasi kepada publik secara on-demand melalui internet
(making available rights). MA berpendapat bahwa perjanjian lisensi
yang dimiliki Indosiar dengan Haji Ukat (jika ada)
hanya mencakup hak untuk menyiarkan di frekuensi televisi konvensional. Mengunggah konten ke YouTube, yang merupakan platform digital berbasis
internet dan dapat diakses kapan saja oleh publik, adalah bentuk
“pengumuman” dan “penggandaan” yang terpisah dan berada di
luar cakupan lisensi penyiaran. Oleh karena itu,
tindakan tersebut memerlukan izin baru yang terpisah dari pencipta.
2.
Pelanggaran Hak Moral
MA juga menemukan adanya pelanggaran hak moral yang nyata. Pada beberapa
konten video di YouTube,
Indosiar salah mencantumkan nama pencipta lagu “Pengemis Cinta”, di mana
nama Jhonny Iskandar yang dicantumkan, bukan Haji Ukat sebagai pencipta
asli. Kegagalan untuk mencantumkan nama pencipta yang benar adalah pelanggaran
langsung terhadap hak moral yang dijamin oleh
Pasal 5 UU tentang Hak Cipta.
3.
Penentuan Ganti Rugi
Meskipun tuntutan awal penggugat mencapai Rp23,7 miliar, MA hanya
mengabulkan ganti rugi sebesar Rp50 juta. Dasar pertimbangan MA adalah
penggugat tidak mampu membuktikan secara rinci dan konkret besaran
keuntungan ekonomi yang diperoleh Indosiar secara spesifik dari 145 konten
video yang disengketakan. Karena pembuktian kerugian riil sulit dilakukan,
MA menggunakan kewenangannya untuk menetapkan ganti rugi berdasarkan asas
kepatutan dan keadilan (ex aequo et bono).
Komparasi Yurisprudensi Pelanggaran Hak Cipta Musik
Aspek Perbandingan |
Kasus Mie Gacoan Bali (Pidana) |
Kasus Ivan Kuncoro (Pidana) |
Kasus Haji Ukat Sukatma (Perdata) |
Nomor Perkara |
Laporan Polisi tertanggal 20 Januari 2025 (Polda Bali) |
Putusan PN Surabaya No. 3234/Pid.Sus/2019/PN Sby |
Putusan MA No. 913 K/Pdt.Sus-HKI/2022 |
Para Pihak |
Pelapor: LMK SELMI; Tersangka: I Gusti Ayu Sasih Ira (Direktur PT
Mitra Bali Sukses) |
Pelapor: PT Asirindo; Terdakwa: Ivan Kuncoro (Pemilik Karaoke Rasa
Sayang) |
Penggugat: Haji Ukat Sukatma (Pencipta); Tergugat: PT Indosiar
Visual Mandiri Tbk |
Objek Sengketa |
Penggunaan musik (fonogram) secara komersial di 17 gerai restoran
tanpa lisensi/royalti. |
Penggunaan musik (fonogram) secara komersial di rumah karaoke tanpa
lisensi/royalti. |
Pengunggahan ulang siaran TV berisi lagu ke platform YouTube tanpa
izin & kesalahan pencantuman nama pencipta. |
Jalur Hukum |
Pidana (Delik Aduan) |
Pidana (Delik Aduan) |
Perdata (Gugatan di Pengadilan Niaga) |
Dasar Hukum Utama |
Pasal 117 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (2) huruf d UU Hak Cipta |
Pasal 117 ayat (2) jo. Pasal 24 ayat (2) huruf d UU Hak Cipta |
Pasal 9 ayat (2) (Hak Ekonomi) & Pasal 5 ayat (1) (Hak Moral)
UU Hak Cipta |
Putusan / Status |
Proses penyidikan, penetapan tersangka. |
Vonis pidana penjara 6 bulan. |
Dihukum membayar ganti rugi Rp50 juta. |
Prinsip Hukum Kunci |
Penggunaan musik komersial tanpa lisensi adalah tindak pidana.
Tanggung jawab pidana melekat pada direksi perusahaan. |
Mengoperasikan usaha karaoke tanpa lisensi fonogram adalah tindak
pidana. |
Lisensi penyiaran TV tidak mencakup lisensi platform digital
(YouTube). Kesalahan pencantuman nama adalah pelanggaran hak
moral. |
Kritik Radikal dan Arah Reformasi Rezim Hak Cipta Indonesia
Analisis terhadap regulasi dan yurisprudensi menunjukkan bahwa rezim hak
cipta musik Indonesia berada dalam kondisi krisis. Krisis ini bukan sekadar
masalah teknis atau administratif, melainkan sebuah kegagalan sistemik yang
berakar pada desain kelembagaan yang keliru, implementasi yang tidak
efektif, dan defisit kepercayaan yang akut di antara para pemangku
kepentingan. Bagian ini akan mengartikulasikan kritik radikal terhadap
sistem yang ada dan mengusulkan arah reformasi yang fundamental.
Sistem manajemen kolektif yang dipimpin oleh LMKN, yang seharusnya menjadi
solusi, justru telah menjadi bagian dari masalah. Kegagalannya dapat
didiagnosis dari berbagai gejala yang muncul, baik dari suara para kreator
maupun dari data objektif kinerja institusional.
Suara Kekecewaan Kreator
Kekecewaan para musisi menjadi bukti paling sahih dari kegagalan sistem.
Kasus Satriyo Yudi Wahono atau Piyu, gitaris band Padi sekaligus Ketua Umum
Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), adalah mikrokosmos yang
merefleksikan masalah makro. Piyu mengungkapkan bahwa ia hanya menerima
royalti sebesar Rp125 ribu hingga Rp300 ribu per tahun, sebuah angka yang
absurd bagi seorang komposer dengan puluhan lagu hits yang diputar secara
komersial di seluruh negeri.
Kritik tajam juga dilontarkan oleh musisi Ahmad Dhani, yang secara sinis
mempertanyakan kompetensi dan integritas LMKN dengan ucapan, “Memang kalian enggak mampu atau ada yang nyopet?”. Suara-suara ini bukan sekadar keluhan individual, melainkan representasi
dari frustrasi kolektif para pencipta yang merasa hak ekonomi mereka tidak
terpenuhi oleh lembaga yang semestinya melindungi mereka.
Kekecewaan para kreator didukung oleh bukti-bukti kegagalan institusional
yang nyata:
-
LMKN gagal memenuhi amanat Pasal 17 PP 56/2021 untuk
menyelenggarakan audit dan mengumumkan hasilnya secara transparan kepada
publik. Penelusuran terhadap situs web resmi LMKN menunjukkan minimnya
laporan keuangan yang rinci dan dapat diakses publik, terutama terkait
alokasi dan distribusi royalti kepada masing-masing LMK dan pencipta.
Bahkan, Kantor
Staf Presiden (KSP) secara terbuka mengakui
adanya ketidakpuasan publik yang signifikan terkait masalah transparansi dan
akuntabilitas LMKN;
-
Jantung dari sistem distribusi royalti yang adil dan akurat adalah Sistem
Informasi Lagu dan Musik (SILM). PP 56/2021 mengamanatkan pembangunan SILM
dalam waktu dua tahun. Namun, hingga kini, SILM belum beroperasi secara
optimal, menyebabkan proses distribusi royalti masih dilakukan secara manual
dan tidak akurat, yang pada akhirnya merugikan pencipta;
-
Ironisnya, lembaga yang bertugas menegakkan kepatuhan justru mengakui
kegagalannya sendiri.
Ketua Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)
Dharma Oratmangun mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 100 event
organizer (EO) atau penyelenggara acara tak mau membayar royalti sesuai
dengan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang (UU) Hak Cipta,
walaupun sudah dilayangkan somasi. Hal itu disampaikan Dharma dalam sidang uji materi
Perkara Nomor 28 PUU/XXIII/2025, soal UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, yang dilayangkan oleh Nazril Ilham
(Ariel) bersama 28 musisi lainnya, di Gedung MK dan disiarkan langsung lewat
kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI. Akibatnya, potensi pendapatan royalti
yang seharusnya bisa mencapai triliunan rupiah hanya terhimpun sekitar
seratusan miliar rupiah. Ini adalah pengakuan atas ketidakberdayaan sistem
yang ada.
Kegagalan yang berlapis ini menunjukkan bahwa model sentralisasi melalui
LMKN tidak hanya gagal mencapai tujuannya, tetapi juga menciptakan masalah
baru yang lebih kompleks. Alih-alih menjadi solusi, ia menjadi pusat dari
ketidakpercayaan dan inefisiensi.
Pemberontakan Kreator: Gugatan Uji Materi UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi
Sebagai respons terhadap kegagalan sistemik ini, para musisi tidak lagi
diam. Mereka menempuh jalur konstitusional untuk menantang fondasi hukum
dari rezim royalti yang dianggap merugikan.
Beberapa kelompok musisi, terutama yang tergabung dalam aliansi Vibrasi
Suara Indonesia (VISI)—melibatkan 29 musisi ternama seperti Ariel NOAH,
Armand Maulana, Raisa, dan Bunga Citra Lestari—serta Aliansi Pencinta Musik
Indonesia (APMI), telah mengajukan permohonan uji materi terhadap beberapa
pasal dalam UU tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini secara fundamental menantang arsitektur sistem kolektif yang
dimandatkan oleh negara. Poin-poin utamanya antara lain:
1.
Menentang Monopoli Kolektif (Tantangan terhadap vide Pasal 87 UU tentang Hak Cipta)
Para pemohon menggugat ketentuan yang secara efektif mewajibkan pencipta
untuk menjadi anggota LMK agar dapat menarik imbalan royalti. Mereka
berargumen bahwa ini melanggar hak kebebasan berkontrak dan hak untuk
mengelola properti intelektualnya sendiri. Mereka menuntut agar pencipta
diberikan opsi untuk melakukan lisensi secara langsung (direct licensing) kepada pengguna, tanpa harus melalui LMK/LMKN.
2.
Memperjelas Subjek Hukum Pembayar Royalti (Tantangan terhadap vide Pasal 23 UU tentang Cipta Kerja)
Para pemohon meminta MK untuk memberikan penafsiran yang tegas bahwa frasa
"setiap orang" yang wajib membayar royalti untuk sebuah pertunjukan
komersial adalah penyelenggara acara (promotor/EO), bukan pelaku pertunjukan
(penyanyi/musisi). Ini bertujuan untuk mengakhiri praktik di mana penyanyi
justru dituntut atau dibebani kewajiban membayar royalti atas lagu yang
mereka bawakan.
3.
Menolak Kriminalisasi Pelaku Pertunjukan (Tantangan terhadap vide Pasal 113 UU tentang Hak Cipta)
Para pemohon meminta pembatalan pasal yang berpotensi mengkriminalisasi
penyanyi yang membawakan lagu tanpa izin. Mereka berpendapat bahwa ancaman
pidana ini menciptakan iklim ketakutan (chilling effect) yang
menghambat kreativitas dan pelaksanaan pertunjukan musik.
Ini adalah sebuah tantangan radikal terhadap seluruh model pengelolaan
royalti yang dibangun oleh PP 56/2021. Jika MK mengabulkan permohonan ini,
terutama terkait legalitas direct licensing dan pembatasan peran
LMK/LMKN, maka putusan tersebut berpotensi membongkar sistem sentralisasi
yang ada dan mengembalikan otonomi pengelolaan hak ekonomi kepada para
pencipta. Ini akan menjadi sebuah revolusi dalam tata kelola royalti musik
di Indonesia.
Rekomendasi Menuju Model Hibrida dan Tata Kelola Berbasis Teknologi
Kegagalan sistem yang ada dan pemberontakan dari para kreator menjadi
katalisator yang memaksa kita untuk memikirkan ulang secara fundamental.
Inovasi, baik dalam bentuk model bisnis (direct licensing) maupun
teknologi (blockchain), muncul dari bawah sebagai respons rasional
terhadap kegagalan institusional. Reformasi yang berhasil harus merangkul,
bukan menekan, energi inovatif ini.
Rekomendasi 1 (Regulasi - Mengadopsi Model Hibrida)
Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, harus
merevisi PP 56/2021 untuk secara resmi mengakui dan mengatur
sebuah model hibrida. Dalam model ini, manajemen kolektif melalui LMK/LMKN
dan direct licensing dapat berjalan secara paralel dan saling
melengkapi. Kunci agar model ini berfungsi adalah pembentukan pusat data
lisensi nasional (national licensing clearing house) yang
terintegrasi dengan SILM.
Setiap transaksi lisensi, baik yang dilakukan secara kolektif maupun secara
langsung, wajib dicatatkan dalam pusat data ini. Dengan demikian, pengguna
dapat memverifikasi status lisensi sebuah lagu sebelum menggunakannya, dan
masalah penagihan ganda dapat dieliminasi secara sistematis.
Rekomendasi 2 (Institusional - Mentransformasi Peran LMKN)
Peran LMKN harus diubah secara drastis. Alih-alih bertindak sebagai
pemungut royalti monopolistik, LMKN harus ditransformasikan menjadi
regulator, fasilitator, dan pengawas data. Tugas-tugas barunya meliputi:
1.
Mengelola dan memastikan integritas SILM dan pusat data lisensi
nasional;
2.
Melakukan audit kinerja dan keuangan secara berkala dan transparan terhadap
semua LMK, serta memverifikasi laporan transaksi
direct licensing yang masuk ke pusat data;
3.
Menjadi lembaga mediasi sengketa utama antara pemegang hak, LMK, dan
pengguna; dan
4.
Menerbitkan lisensi dan mengelola royalti hanya untuk karya-karya yang
tidak teridentifikasi atau tidak diklaim pemiliknya (orphan works),
di mana dana yang terkumpul setelah periode tertentu dapat digunakan untuk
dana cadangan atau pengembangan ekosistem musik.
Rekomendasi 3 (Teknologi - Eksplorasi Blockchain untuk Kepercayaan)
Sebagai solusi jangka panjang yang radikal untuk mengatasi akar masalah
defisit kepercayaan, Indonesia harus mulai serius mengeksplorasi penerapan
teknologi blockchain dalam manajemen hak cipta.
-
Blockchain dapat menciptakan sebuah buku besar digital (distributed ledger) yang bersifat desentralisasi, transparan, dan tidak dapat diubah
(immutable). Setiap informasi mengenai kepemilikan hak cipta
(pencipta, pemegang hak, persentase kepemilikan) dan setiap transaksi
lisensi dapat dicatat secara permanen dan dapat diverifikasi oleh semua
pihak dalam jaringan, menghilangkan kebutuhan untuk percaya pada satu
lembaga sentral.
-
Di atas jaringan blockchain, dapat dibangun smart contracts (kontrak
pintar). Ini adalah program komputer yang secara otomatis mengeksekusi
perjanjian. Misalnya, sebuah smart contract dapat diprogram untuk
secara otomatis dan instan mendistribusikan pembayaran royalti dari pengguna
(misalnya, platform streaming atau EO) ke dompet digital semua pihak yang
berhak (pencipta, penyanyi, produser, penerbit) sesuai dengan persentase
yang telah disepakati, setiap kali sebuah lagu diputar atau digunakan. Ini
akan memotong birokrasi, menghilangkan perantara yang lamban dan tidak
transparan, serta memberikan keadilan dan kecepatan remunerasi bagi para
kreator.
Rekomendasi 4 (Praktis - Panduan bagi Pemangku Kepentingan)
Sambil menunggu reformasi fundamental, para pemangku kepentingan dapat
mengambil langkah-langkah praktis:
1.
Saat ini, demi kepastian hukum dan untuk menghindari sanksi pidana yang
berat, langkah paling aman adalah mematuhi kewajiban membayar royalti ke
LMKN sesuai PP 56/2021. Namun, kepatuhan ini harus kritis yaitu
dokumentasikan semua bukti pembayaran, tuntut transparansi data penggunaan
lagu dari LMKN, dan secara aktif mendukung asosiasi industri (seperti PHRI)
dalam melobi pemerintah untuk menciptakan sistem yang lebih adil, sederhana,
dan transparan.
2.
Langkah pertama adalah melakukan perlindungan preventif dengan mendaftarkan
karya cipta ke DJKI untuk memiliki bukti kepemilikan yang kuat. Bergabunglah
dengan LMK yang memiliki rekam jejak transparansi dan tata kelola yang baik,
serta awasi secara aktif laporan royalti yang diterima. Terakhir, dukung
secara kolektif inisiatif reformasi seperti gugatan di MK untuk
memperjuangkan hak mengelola karya secara lebih mandiri dan adil.
Pada akhirnya, jalan menuju ekosistem musik yang sehat di Indonesia tidak
terletak pada penguatan kontrol sentralistik yang telah terbukti gagal,
melainkan pada pembangunan sistem yang terdesentralisasi, transparan, dan
berbasis kepercayaan yang didukung oleh teknologi dan regulasi yang
adaptif.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.