Pertanyaan
Selamat pagi bang, mau nanya bang. Saya lagi ada tugas nih, disuruh cari
tahu soal jenis-jenis hutan di Indonesia. Tapi bukan cuma sebutin aja, harus
lengkap sama dasar hukumnya, kayak dari UU Kehutanan, UU Konservasi, sama
peraturan-peraturan lainnya. Terus, harus dijelasin juga fungsi dari
masing-masing jenis hutan itu (kayak Hutan Konservasi, Lindung, sama
Produksi) buat apa aja sih? Manfaatnya buat negara, masyarakat, pengusaha,
dan terutama buat Masyarakat Adat itu gimana? Sama kalau bisa, dijelasin
juga soal perlindungan hukumnya dan masalah-masalah yang sering muncul kayak
tumpang tindih lahan. Oh iya, satu lagi bang, soal Hutan Adat itu statusnya
gimana ya sekarang? Katanya ada putusan MK yang penting. Mohon pencerahannya
ya bang, kalau bisa penjelasannya yang runut dan gampang dimengerti tapi
tetap detail. Terima kasih banyak bang!
Jawaban
Pengantar
Hutan Indonesia adalah anugerah ekologis yang tak ternilai sekaligus amanah
konstitusional yang menuntut pengelolaan arif dan berkeadilan. Membentang
dari Sabang hingga Merauke, gugusan ekosistem ini bukan sekadar lanskap
hijau nan memesona—ia adalah mahakarya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
menyimpan kekayaan biodiversitas terbesar ketiga di dunia.
Lebih dari itu, hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru global yang
menyerap emisi karbon dunia, sekaligus menjadi sumber penghidupan,
spiritualitas, dan budaya bagi jutaan masyarakat adat dan lokal yang hidup
bersentuhan langsung dengannya. Hutan tidak hanya menyumbang jasa ekosistem
vital seperti penyediaan air, perlindungan tanah, dan penyangga iklim,
tetapi juga memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan
ketahanan pangan nasional.
Oleh karena itu, pengelolaannya tidak dapat dibiarkan berjalan secara
serampangan. Ia harus dilandasi dengan sistem hukum yang kuat, klasifikasi
tata ruang yang jelas, dan kebijakan kehutanan yang berpihak pada
keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial.
Di balik pesona alamiah ini, terbentang sebuah arsitektur hukum yang
kompleks, dirancang untuk mengatur, melindungi, dan memanfaatkannya secara
adil dan berkelanjutan. Fondasi utama dari arsitektur ini tertanam dalam
konstitusi negara.
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
(yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”) secara tegas menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Norma ini, secara inheren, menempatkan manusia dan kemakmurannya sebagai
pusat (antroposentris) dari pengelolaan sumber daya alam. Paradigma ini,
meskipun bertujuan mulia untuk kesejahteraan, seringkali menciptakan
ketegangan fundamental dengan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologis.
Seiring meningkatnya kesadaran global dan nasional akan krisis iklim dan
degradasi lingkungan, wacana mengenai Green Constitution atau
konstitusi hijau mulai mengemuka di Indonesia. Konsep ini mendorong
penafsiran dan implementasi konstitusi yang lebih berpihak pada kelestarian
lingkungan hidup, tidak hanya sebagai objek pemanfaatan, tetapi juga sebagai
subjek yang memiliki hak untuk lestari demi generasi kini dan mendatang.[1]
Prinsip pengelolaan hutan yang lestari—atau
sustainable forest management
(SFM)—diperkenalkan dalam kerangka hukum nasional[2], prinsip ini menjadi
jembatan filosofis yang mencoba mendamaikan mandat pembangunan ekonomi
dengan imperatif pelestarian ekologi. Seluruh bangunan hukum
kehutanan di Indonesia, dengan segala klasifikasi dan kualifikasinya, dapat
dipandang sebagai manifestasi dari upaya negara untuk menavigasi ketegangan
inheren antara dua kutub kepentingan ini
yaitu
eksploitasi untuk kemakmuran
dan konservasi untuk keberlanjutan.
Arsitektur Hukum Kehutanan: Dari UU Pokok hingga Era Omnibus Law
Struktur hukum yang mengatur sektor kehutanan di Indonesia bersifat
hierarkis dan berlapis, mencerminkan kompleksitas isu yang diaturnya. Batu
penjuru dari bangunan hukum ini adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
(selanjutnya disebut “UU tentang Kehutanan”). Undang-undang ini meletakkan dasar-dasar filosofis, prinsip, dan
kerangka kelembagaan bagi seluruh penyelenggaraan kehutanan di Indonesia.
UU tentang Kehutanan tidak berdiri sendiri. Ia didukung dan dilengkapi oleh
serangkaian peraturan perundang-undangan lain yang bersifat komplementer.
Salah satu yang paling krusial adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
(selanjutnya disebut “UU tentang KSDAE”). UU ini memberikan landasan hukum yang lebih spesifik dan rinci untuk
pengelolaan kawasan konservasi, perlindungan jenis flora dan fauna, serta
pemanfaatan jasa lingkungan.
Untuk menerjemahkan norma-norma umum dalam undang-undang ke dalam kebijakan
yang operasional, pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana. Dua di
antaranya yang paling signifikan pasca era Omnibus Law adalah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan
(selanjutnya disebut “PP 23/2021”) dan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan
dan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan
(selanjutnya disebut “Permen LHK 7/2021”). Kedua peraturan ini menjabarkan secara teknis bagaimana perencanaan,
pemanfaatan, dan perlindungan hutan harus dilaksanakan, termasuk prosedur
perizinan dan pengawasan.
Perubahan signifikan dalam arsitektur hukum ini terjadi dengan lahirnya UU tentang Cipta Kerja. Regulasi ini tidak hanya menyederhanakan beberapa prosedur,
tetapi
secara fundamental menggeser paradigma tata kelola kehutanan. Semangat untuk mempermudah investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi
telah mengubah beberapa ketentuan kunci yang sebelumnya dianggap sebagai
benteng perlindungan lingkungan.
Penghapusan kewajiban mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30% dan
penyederhanaan berbagai jenis izin menjadi satu
“Perizinan Berusaha”
adalah contoh nyata dari pergeseran ini. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur hukum kehutanan bukanlah realitas
yang statis, melainkan sebuah arena dinamis tempat pertarungan ideologi
antara pembangunan ekonomi dan kelestarian ekologis terus berlangsung.
Setiap perubahan regulasi, terutama yang berskala besar seperti UU tentang Cipta Kerja, merefleksikan paradigma mana yang sedang dominan dalam
konstelasi politik dan kebijakan nasional.
Dialog Antara Hukum Negara dan Hukum Adat
Hukum positif yang dibentuk oleh negara tidak lahir begitu saja tanpa alasan. Di seluruh Nusantara
ini, jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk, telah hidup dan berkembang
sistem-sistem hukum adat yang mengatur hubungan antara masyarakat dengan
alam, termasuk hutan. Adagium hukum Romawi kuno,
ubi societas, ibi ius—”di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”—menemukan relevansinya yang kuat dalam konteks ini.
Hukum adat, yang seringkali tidak tertulis namun ditaati secara
turun-temurun, merupakan living law yang terbukti efektif dalam
menjaga kelestarian hutan.
Sebagai contoh, sistem awiq-awiq yang diterapkan oleh masyarakat
adat di Bayan, Lombok, merupakan
seperangkat aturan adat yang secara tegas melindungi kawasan hutan.
Hutan ditempatkan pada posisi tertinggi dalam kosmologi mereka, dianggap
sebagai kawasan keramat yang harus dijaga keutuhannya. Sanksi adat yang
dijatuhkan atas pelanggaran awiq-awiq terbukti efektif dan ditaati
oleh seluruh anggota komunitas karena aturan tersebut lahir dari partisipasi
dan kesepakatan kolektif, bukan dipaksakan dari atas.
Contoh ini dan ribuan praktik serupa di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa pengakuan terhadap Hutan Adat dan peran hukum adat bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga merupakan strategi konservasi yang cerdas dan telah teruji oleh waktu. Dialog yang setara antara hukum negara dan hukum adat menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan tata kelola hutan yang tidak hanya lestari secara ekologis, tetapi juga berkeadilan secara sosial[3]
Hutan Konservasi: Benteng Terakhir Keanekaragaman Hayati
Dalam arsitektur hukum kehutanan Indonesia, Hutan Konservasi menempati
posisi sebagai benteng pertahanan terakhir bagi kekayaan hayati bangsa.
Secara yuridis,
Pasal 1 Angka 4 UU tentang Kehutanan mendefinisikannya
sebagai:
“kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya”.
Definisi ini menggarisbawahi dua elemen kunci
yaitu
“ciri khas tertentu”
dan “fungsi pokok pengawetan”.
“Ciri khas tertentu”
merujuk pada keunikan, kelangkaan, atau keterancaman ekosistem, flora, dan
fauna yang ada di dalamnya, yang menjadikannya tak tergantikan. Sementara
itu, “fungsi pokok pengawetan” menegaskan bahwa prioritas utama pengelolaan
kawasan ini adalah untuk melestarikan keanekaragaman
hayati tersebut dalam kondisi sealami mungkin, meminimalkan intervensi
manusia yang bersifat merusak.
Fungsi ini tidak hanya krusial bagi kepentingan nasional dalam menjaga
warisan alam, tetapi juga memiliki signifikansi global. Hutan Konservasi
berfungsi sebagai “bank genetik” alamiah, menyimpan potensi sumber daya
genetik yang mungkin vital untuk pengembangan obat-obatan, pangan, dan
bioteknologi di masa depan. Selain itu, kawasan ini berperan sebagai
laboratorium alam raksasa untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
pendidikan, serta menjadi penopang keseimbangan ekologis regional dan global
melalui perannya dalam siklus hidrologi dan penyerapan karbon.
Dengan demikian, penetapan Hutan Konservasi adalah wujud tanggung jawab
negara tidak hanya kepada warganya, tetapi juga kepada komunitas
internasional.
Kualifikasi dan Kriteria Penetapan
Penetapan suatu kawasan sebagai Hutan Konservasi bukanlah sebuah keputusan
administratif yang sembarangan. Prosesnya tunduk pada kriteria-kriteria ilmiah dan yuridis yang ketat
untuk memastikan bahwa hanya kawasan yang benar-benar memiliki nilai
konservasi tinggi yang mendapatkan status perlindungan tertinggi ini.
Landasan hukum untuk penetapan ini diatur dalam
Pasal 7 UU tentang Kehutanan dan dijabarkan lebih lanjut
secara sangat rinci dalam UU tentang KSDAE.
Berdasarkan UU tentang KSDAE, Hutan Konservasi dikualifikasikan lebih lanjut menjadi dua kategori
besar, yang masing-masing memiliki sub-kategori dengan tingkat perlindungan
dan tujuan pengelolaan yang berbeda:
1.
Kawasan Suaka Alam (KSA)
Kategori ini memiliki tingkat perlindungan paling ketat, di mana
proses-proses alamiah dibiarkan berjalan dengan intervensi manusia yang
minimal. Tujuannya adalah pengawetan murni. KSA terbagi menjadi:
-
Cagar Alam
yang didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 15 UU tentang KSDAE sebagai
kawasan yang memiliki kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem yang
perkembangannya dibiarkan berjalan secara alami. Di dalam Cagar Alam,
kegiatan manusia sangat dibatasi.
Kemudian,
Pasal 17 UU tentang KSDAE
menegaskan bahwa kegiatan yang diizinkan terbatas pada penelitian,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lain yang menunjang
budidaya, dengan syarat tidak mengubah keutuhan ekosistem.
-
Suaka Margasatwa
yang didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 16 UU tentang KSDAE sebagai
kawasan yang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan
jenis satwa. Berbeda dengan Cagar Alam, di Suaka Margasatwa, pembinaan
terhadap habitat dapat dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup satwa
target. Ini berarti intervensi pengelolaan yang bersifat suportif, seperti
pembuatan padang penggembalaan buatan atau penanaman pohon pakan,
dimungkinkan.
2.
Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Kategori ini memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu tidak hanya melindungi
dan mengawetkan, tetapi juga memungkinkan pemanfaatan secara lestari untuk
kepentingan yang lebih beragam. KPA dikelola dengan sistem zonasi (zona
inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dll.) untuk mengakomodasi berbagai
fungsi tersebut. KPA terbagi menjadi:
-
Taman Nasional
yang didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 19 UU tentang KSDAE sebagai
kawasan pelestarian alam dengan ekosistem asli yang dikelola melalui sistem
zonasi. Tujuannya sangat komprehensif, mencakup penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman
Nasional adalah model pengelolaan yang paling sering dijumpai dan menjadi
ikon konservasi Indonesia;
-
Taman Hutan Raya (Tahura)
yang didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 21 UU tentang KSDAE sebagai
kawasan untuk koleksi tumbuhan dan/atau satwa, baik yang alami maupun
buatan, dari jenis asli maupun bukan asli. Fungsinya lebih berorientasi pada
koleksi ex-situ untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan wisata;
-
Taman Wisata Alam
yang didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 22 UU tentang KSDAE sebagai
kawasan yang fungsi utamanya adalah untuk pariwisata alam dan rekreasi.
Fokusnya adalah pada pemanfaatan keindahan alam dan keunikan ekosistem untuk
kegiatan wisata tanpa merusak nilai-nilai konservasinya.
Dampak Ekonomi, Sosial, dan Perlindungan Hukum
Klasifikasi Hutan Konservasi membawa dampak yang signifikan bagi berbagai
pemangku kepentingan, mulai dari negara, masyarakat, hingga pelaku
usaha.
Bagi negara, Hutan Konservasi adalah aset strategis jangka panjang.
Manfaatnya yang bersifat jasa lingkungan—seperti menjaga stabilitas iklim,
menjadi sumber daya air yang vital bagi daerah hilir, dan mencegah
bencana—memiliki nilai ekonomi yang jauh melampaui pendapatan jangka pendek
dari eksploitasi. Dari sisi pendapatan langsung, kawasan ini menjadi sumber
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui sektor pariwisata.
Sebagai contoh, Taman Nasional Komodo berhasil meraup PNBP sebesar Rp 41,05
miliar pada tahun 2023 dari kunjungan wisatawan. Bagi masyarakat, terutama
yang tinggal di sekitar kawasan, Hutan Konservasi membuka peluang ekonomi
baru melalui pengembangan ekowisata yang terkendali, sebagaimana diatur
dalam Pasal 34 UU tentang KSDAE. Keterlibatan masyarakat sebagai
pemandu wisata, penyedia akomodasi, atau penjual kerajinan dapat
meningkatkan kesejahteraan, sekaligus menumbuhkan rasa kepemilikan dan
tanggung jawab untuk menjaga kelestarian kawasan. Selain itu, kawasan ini
juga berfungsi melestarikan nilai-nilai budaya dan spiritual yang melekat
pada bentang alam tertentu.
Untuk peluang bisnis di dalam Hutan Konservasi sangat terbatas dan diatur secara ketat. Investasi yang dimungkinkan umumnya terkait dengan penyelenggaraan pariwisata alam, seperti pembangunan resor ramah lingkungan, atau pemanfaatan jasa lingkungan lainnya seperti wisata alam; air dan energi air; panas matahari; angin; panas bumi; dan/atau karbon, berdasarkan rencana pengelolaan.
Namun, semua kegiatan ini harus dilakukan di dalam zona atau blok
pemanfaatan yang telah ditetapkan secara spesifik dalam rencana pengelolaan
kawasan. Syarat utamanya, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 34 UU tentang KSDAE, adalah kegiatan tersebut tidak boleh
menyebabkan perubahan bentang alam dan tidak boleh merusak keutuhan
ekosistem serta fungsi pokok kawasan. Ini menuntut model bisnis yang sangat
berkelanjutan dan berisiko rendah.
Sebagai kawasan dengan prioritas tertinggi, Hutan Konservasi dilindungi oleh perangkat hukum yang paling kuat. Pasal 19 dan Pasal 21 UU tentang KSDAE secara eksplisit melarang serangkaian kegiatan yang dapat mengubah keutuhan kawasan. Larangan ini mencakup tindakan seperti menebang, memotong, atau mengambil tumbuhan yang dilindungi; menangkap, melukai, atau membunuh satwa yang dilindungi; membawa masuk jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang bukan asli (invasif); serta melakukan kegiatan lain yang dapat merusak keutuhan zona inti.
Pelanggaran terhadap larangan-larangan ini diancam dengan sanksi pidana
yang sangat berat, yang diatur dalam
Pasal 40, Pasal 40A, dan
Pasal 40B UU tentang KSDAE (versi perubahan tahun 2024). Sanksi tersebut mencakup pidana penjara hingga puluhan tahun dan denda
miliaran rupiah, yang dirancang untuk memberikan efek jera yang maksimal
bagi para perusak kawasan konservasi.
Meskipun demikian, penegakan hukum di lapangan masih menghadapi tantangan
serius. Kasus-kasus perambahan untuk perkebunan atau pemukiman ilegal masih
sering terjadi, seperti yang terungkap dalam persidangan kasus perambahan di
Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Dangku yang diadili di Pengadilan
Negeri Tebo (Putusan PN TEBO Nomor 108/Pid.B/LH/2022/PN Mrt, tertanggal 31 Oktober
2022). Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun kerangka hukumnya sudah kuat,
ancaman faktual terhadap Hutan Konservasi tetap nyata dan membutuhkan
pengawasan serta penindakan yang konsisten dan tanpa kompromi.
Penetapan Hutan Konservasi dengan batasan-batasan yang kaku seringkali
menciptakan apa yang disebut sebagai “pulau-pulau konservasi” (conservation islands). Secara hukum, batas-batas kawasan seperti taman nasional ditetapkan
secara tegas, memisahkannya dari lanskap sekitarnya. Konsekuensinya,
masyarakat yang secara historis dan turun-temurun memanfaatkan sumber daya
di dalam area tersebut untuk kebutuhan subsisten—seperti mencari rotan,
madu, atau kayu bakar—secara tiba-tiba terstigma sebagai “perambah” ilegal.
Hak akses tradisional mereka terputus oleh hukum negara, yang seringkali
memicu konflik sosial berkepanjangan. Meskipun ada kompensasi berupa peluang
dalam ekowisata, manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut seringkali tidak
terdistribusi secara adil. Investor dari luar dengan modal besar cenderung
mendominasi, sementara masyarakat lokal hanya mendapatkan peran marginal
dengan pendapatan yang tidak seberapa.
Dari perspektif ekologis, model “pulau” ini juga memiliki kelemahan. Tanpa
adanya koridor ekologis yang menghubungkan satu kawasan konservasi dengan
yang lainnya, fragmentasi habitat menjadi tak terhindarkan. Hal ini sangat
berbahaya bagi kelangsungan hidup spesies satwa liar dengan daya jelajah
luas, seperti harimau atau gajah, yang membutuhkan wilayah luas untuk
mencari makan dan berkembang biak.
Populasi yang terisolasi dalam “pulau-pulau” ini rentan terhadap perkawinan
sedarah (inbreeding) dan kepunahan lokal. Dengan demikian, pendekatan
konservasi yang bersifat top-down dan eksklusif, meskipun memiliki
tujuan yang mulia, dapat secara tidak sengaja menciptakan masalah sosial
baru dan menjadi kurang efektif secara ekologis jika tidak diintegrasikan
dengan pengelolaan lanskap yang lebih luas dan pengakuan terhadap hak-hak
serta kearifan lokal masyarakat.
Hutan Lindung - Penjaga Keseimbangan Sistem Penyangga Kehidupan
Apabila
Hutan Konservasi adalah benteng keanekaragaman hayati, maka Hutan Lindung
adalah garda terdepan dalam menjaga stabilitas sistem penyangga kehidupan.
Secara yuridis, sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 8 UU tentang Kehutanan mendefinisikan Hutan Lindung sebagai:
“kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah”.
Definisi ini secara eksplisit menggarisbawahi fungsi ekologis vital yang
diemban oleh kawasan ini. Hutan Lindung tidak dinilai dari kekayaan flora
atau fauna spesifik yang dikandungnya, melainkan dari perannya dalam menjaga
proses-proses hidrologis dan geofisik yang krusial bagi keberlangsungan
hidup di wilayah yang lebih luas, terutama di daerah hilirnya.
Secara esensial, Hutan Lindung dapat dipandang sebagai “infrastruktur
alami” yang disediakan oleh alam. Fungsinya dalam menyerap air hujan,
melepaskannya secara perlahan ke sungai-sungai, menahan tanah dari bahaya
erosi dan longsor, serta menjaga kualitas dan kuantitas pasokan air tanah,
merupakan jasa lingkungan yang nilainya tak terhingga.
Keberadaan Hutan Lindung yang sehat secara langsung mengurangi risiko dan
biaya yang harus ditanggung negara dan masyarakat untuk penanggulangan
bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan kekeringan. Oleh karena
itu, perlindungan terhadap Hutan Lindung adalah investasi strategis untuk
ketahanan ekologis dan pembangunan berkelanjutan.
Kriteria Penetapan Berbasis Sains
Berbeda dengan Hutan Konservasi yang penetapannya seringkali didasarkan
pada keunikan hayati, penetapan Hutan Lindung didasarkan pada analisis
biofisik yang kuantitatif dan terukur. Landasan hukum dan teknis untuk
penetapan ini diatur secara rinci dalam
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
Penilaian skor tersebut didasarkan pada tiga faktor biofisik utama:
1.
Semakin curam suatu lereng, semakin besar potensinya untuk mengalami erosi
dan longsor, sehingga skornya semakin tinggi;
2.
Jenis tanah yang berbeda memiliki tingkat kohesi dan ketahanan yang berbeda
terhadap erosi air. Tanah yang lebih gembur dan peka akan mendapatkan skor
yang lebih tinggi;
3.
Wilayah dengan curah hujan yang sangat tinggi membutuhkan tutupan vegetasi
yang rapat untuk menahan laju air permukaan dan memaksimalkan infiltrasi.
Semakin tinggi curah hujan, semakin tinggi skornya.
Berdasarkan Keppres tersebut, suatu kawasan hutan wajib ditetapkan sebagai
Hutan Lindung apabila memenuhi salah satu kriteria, seperti memiliki total
skor dari ketiga faktor di atas yang melebihi 175, atau memiliki kelerengan
lebih dari 40%, atau berada di ketinggian di atas 2.000 meter di atas
permukaan laut.
Meskipun fungsi utamanya adalah perlindungan, hukum positif tidak menutup
sepenuhnya pintu pemanfaatan di dalam kawasan Hutan Lindung. Namun,
pemanfaatan tersebut bersifat sangat terbatas dan harus dilakukan dengan
syarat tidak mengganggu fungsi lindung yang melekat padanya.
Pasca-berlakunya UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai pemanfaatan ini diatur
dalam Pasal 26 ayat (1) UU tentang Kehutanan, yang mengizinkan tiga bentuk kegiatan utama:
1.
Pemanfaatan Kawasan,
kegiatan ini dapat berupa budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, atau
penangkaran satwa liar, selama tidak merusak tanah dan tegakan hutan yang
ada;
2.
Pemanfaatan Jasa Lingkungan, ini mencakup kegiatan seperti pemanfaatan untuk wisata alam, perlindungan
keanekaragaman hayati, atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon;
3.
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), masyarakat, termasuk Masyarakat Hukum Adat, diizinkan untuk memungut HHBK
seperti rotan, madu, getah, atau buah-buahan untuk kebutuhan subsisten
maupun komersial skala kecil.
Sebuah perubahan fundamental yang dibawa oleh UU Cipta Kerja adalah
sentralisasi perizinan.
Pasal 26 ayat (2) UU tentang Kehutanan menegaskan bahwa seluruh
kegiatan pemanfaatan di Hutan Lindung tersebut wajib dilakukan melalui
Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat.
Titik Rawan Konflik: Hutan Lindung vs. Pertambangan
Salah satu arena konflik kepentingan yang paling tajam dan persisten dalam
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia terjadi di kawasan Hutan Lindung.
Banyak wilayah yang ditetapkan sebagai Hutan Lindung karena kondisi
biofisiknya yang kritis, ternyata di bawah permukaannya menyimpan cadangan
mineral dan batubara yang melimpah. Hal ini menciptakan sebuah dilema
fundamental antara kepentingan konservasi fungsi hidrologis di permukaan dan
kepentingan eksploitasi ekonomi sumber daya di bawah tanah.
Menyadari risiko kerusakan masif yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas
pertambangan skala besar, pembentuk undang-undang secara tegas memasukkan
sebuah klausul pelarangan.
Pasal 38 ayat (4) UU tentang Kehutanan menyatakan:
“Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola
pertambangan terbuka (open pit mining)”.
Norma ini merupakan salah satu benteng hukum lingkungan yang paling penting
di Indonesia, yang secara spesifik melarang metode penambangan yang paling
merusak di kawasan yang fungsinya paling kritis untuk perlindungan tata
air.
Namun, ketegasan norma ini terus-menerus diuji di lapangan. Tekanan dari
sektor pertambangan untuk mengakses cadangan mineral di Hutan Lindung
sangatlah kuat. Larangan open pit mining ini adalah salah satu
benteng hukum lingkungan yang paling krusial, namun ia terus-menerus berada
di bawah ancaman. Tekanan ekonomi dari potensi cadangan mineral yang
terkubur di bawah Hutan Lindung menciptakan dorongan politik yang luar biasa
untuk mencari celah hukum. Pelaku usaha yang tidak dapat menambang secara
langsung karena terhalang oleh Pasal 38 ayat (4) tidak menyerah, melainkan
menempuh jalur-jalur alternatif yang lebih bersifat politis dan
administratif.
Strategi yang umum digunakan adalah melobi pemerintah untuk mengubah status
kawasan. Sebuah area Hutan Lindung diusulkan untuk diturunkan statusnya
menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK). Begitu statusnya berubah
menjadi HPK, jalan menuju pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan
non-kehutanan (termasuk pertambangan) menjadi jauh lebih mudah.
Strategi lainnya adalah dengan mengajukan permohonan Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan (dulu dikenal sebagai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan/IPPKH)
dengan membingkai proyek pertambangan sebagai “Proyek Strategis Nasional”
(PSN) yang dianggap memiliki kepentingan lebih tinggi. Semangat UU tentang Cipta Kerja yang berorientasi pada kemudahan investasi dan percepatan PSN
berpotensi memperlemah benteng hukum ini dengan menyederhanakan proses
perizinan dan memberikan prioritas pada proyek-proyek yang dianggap
strategis.
Dengan demikian, pertarungan hukum yang sesungguhnya seringkali tidak
terjadi pada interpretasi langsung atas Pasal 38 ayat (4), yang normanya
sudah sangat jelas.
Sebaliknya, pertarungan terjadi di “belakang layar”, yaitu dalam
proses-proses administratif dan politik yang berkaitan dengan perencanaan
tata ruang dan perubahan fungsi kawasan hutan. Proses ini jauh lebih
diskresioner dan rentan terhadap pengaruh politik, menjadikannya arena utama
di mana nasib Hutan Lindung dipertaruhkan antara kepentingan konservasi dan
eksploitasi.
Hutan Produksi - Motor Penggerak Ekonomi Berbasis Kelestarian
Hutan Produksi merupakan komponen ketiga dalam trifungsi kehutanan
Indonesia, yang secara eksplisit dialokasikan untuk menopang kegiatan
ekonomi. Pasal 1 Angka 9 UU tentang Kehutanan mendefinisikan Hutan
Produksi sebagai:
“kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan”.
Definisi ini menegaskan bahwa tujuan utama dari pengelolaan kawasan ini
adalah untuk menghasilkan komoditas, baik yang berupa hasil hutan kayu
(seperti kayu gelondongan untuk industri pengolahan) maupun hasil hutan
bukan kayu (seperti rotan, getah, damar, sagu, dan lainnya).
Secara yuridis, penetapan suatu kawasan sebagai Hutan Produksi memberikan
landasan legal bagi negara untuk memberikan hak pemanfaatan kepada pihak
ketiga, baik itu badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik swasta,
maupun koperasi. Kawasan ini menjadi tulang punggung bagi industri kehutanan
nasional dan merupakan sumber utama Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
dari sektor kehutanan.
Data dari Kementerian Keuangan dan KLHK secara konsisten menunjukkan bahwa
PNBP dari pemanfaatan sumber daya alam kehutanan, yang mayoritas berasal
dari Hutan Produksi, memberikan kontribusi triliunan rupiah setiap tahunnya
bagi kas negara.
Kualifikasi dan Intensitas Pemanfaatan
Tidak semua Hutan Produksi dapat diperlakukan sama. Untuk memastikan
prinsip kelestarian tetap terjaga, Hutan Produksi diklasifikasikan lebih
lanjut berdasarkan kondisi biofisik dan intensitas pemanfaatan yang
diizinkan. Sama seperti Hutan Lindung, kualifikasi ini juga ditentukan oleh
faktor-faktor seperti kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan. Berdasarkan
kriteria tersebut, Hutan Produksi terbagi menjadi tiga kualifikasi
utama:
1.
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Ini adalah kawasan Hutan Produksi yang terletak di daerah dengan topografi
agak curam hingga curam dan/atau memiliki jenis tanah yang peka terhadap
erosi. Karena kerentanannya, pemanfaatan di HPT sangat dibatasi. Eksploitasi
kayu hanya boleh dilakukan dengan sistem tebang pilih (Tebang Pilih Tanam
Indonesia/TPTI), di mana hanya pohon dengan diameter tertentu yang boleh
ditebang, dengan tetap mempertahankan tutupan hutan yang memadai untuk
mencegah erosi;
2.
Hutan Produksi Tetap (HP)
Kawasan ini umumnya berada di wilayah yang relatif datar atau landai dengan
kondisi tanah yang stabil. Di Hutan Produksi Tetap, intensitas pemanfaatan
bisa lebih tinggi. Selain sistem tebang pilih, sistem tebang habis dengan
penanaman kembali (Tebang Habis Permudaan Buatan/THPB) juga diizinkan,
terutama untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI);
3.
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK)
Ini adalah kualifikasi yang paling unik dan seringkali menjadi sumber
kontroversi. Pasal 1 Angka 11 PP 23/2021 mendefinisikan HPK
sebagai
“kawasan hutan produksi yang secara ruang dicadangkan untuk pembangunan
di luar kegiatan kehutanan”.
Keberadaan Hutan Produksi membawa dampak multidimensional bagi negara,
pelaku usaha, dan masyarakat.
Hutan Produksi adalah fondasi ekonomi sektor kehutanan. Bagi negara, ia
adalah sumber PNBP yang signifikan, yang berasal dari berbagai pungutan
seperti Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi
(DR).
Secara positif, kegiatan di Hutan Produksi membuka lapangan kerja yang
luas, mulai dari kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, hingga
pengolahan. Untuk memastikan manfaat ini dirasakan oleh masyarakat lokal,
Pasal 30 UU tentang Kehutanan secara eksplisit mewajibkan
pemegang izin untuk memberdayakan masyarakat setempat, salah satunya melalui
kewajiban bekerja sama dengan koperasi masyarakat.
Tantangan Pengelolaan: Kelestarian vs. Eksploitasi
Meskipun dialokasikan untuk produksi, pengelolaan Hutan Produksi tidak
boleh dilakukan secara sembarangan. Prinsip kelestarian menjadi koridor
utama yang harus ditaati.
Pasal 33 ayat (2) UU tentang Kehutanan menegaskan bahwa
pemanenan dan pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan
untuk beregenerasi.
Namun, dalam praktiknya, Hutan Produksi menghadapi tantangan yang sangat
besar. Praktik pembalakan liar (illegal logging) masih menjadi
masalah kronis yang merugikan negara miliaran rupiah dan merusak ekosistem
secara masif. Tantangan terbesar lainnya adalah tumpang tindih peruntukan
dan alih fungsi lahan, terutama di areal HPK. Kategori HPK ini secara
inheren menciptakan sebuah “zona abu-abu” legal yang secara sistematis
memfasilitasi deforestasi untuk kepentingan sektor lain. Secara definisi,
HPK masih berstatus “kawasan hutan”, namun peruntukannya sudah dicadangkan
untuk pembangunan non-kehutanan. Hal ini menciptakan ekspektasi dan tekanan
politik yang kuat dari berbagai pihak untuk segera melepaskan status
hutannya.
Data dari berbagai lembaga, termasuk Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),
secara konsisten menunjukkan bahwa sektor perkebunan, terutama kelapa sawit,
merupakan pemicu utama konflik agraria dan deforestasi di
Indonesia.
Mekanisme pelepasan kawasan hutan dari status HPK, terutama setelah UU
Cipta Kerja mengganti skema tukar menukar kawasan hutan dengan kewajiban
membayar PNBP, secara efektif mengubah proses yang seharusnya berbasis
pertimbangan konservasi menjadi sekadar transaksi
finansial.
Korporasi dengan modal besar dapat “membeli” hak untuk melakukan
deforestasi secara legal dengan membayar sejumlah PNBP kepada negara.
Akibatnya, HPK seringkali berfungsi bukan sebagai kategori hutan produksi
yang berkelanjutan, melainkan sebagai sebuah tahap transisi legal menuju
alih fungsi lahan permanen, yang menjadi episentrum dari konflik tenurial
dan degradasi lingkungan di Indonesia.
Hutan Adat - Restorasi Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat
Di luar tiga klasifikasi fungsional yang ditetapkan negara, terdapat satu
kualifikasi hutan yang memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang fundamental dan unik
adalah
Hutan Adat. Selama bertahun-tahun, eksistensi Hutan Adat berada dalam posisi yang
ambigu dan lemah di bawah hukum negara.
Definisi dalam UU tentang Kehutanan sebelum tahun 2013 menempatkan Hutan
Adat sebagai bagian dari Hutan Negara. Namun, sebuah revolusi hukum terjadi
pada tanggal 16 Mei 2013, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan amar
Putusan Nomor 35/PUU-X/2012.
Putusan ini secara dramatis dan fundamental mengubah lanskap hukum
kehutanan di Indonesia. Dalam pertimbangan hukumnya (ratio decidendi), MK menegaskan beberapa poin krusial. Pertama, MK mengakui bahwa
Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah
subjek hukum konstitusional penyandang hak, bukan sekadar objek kebijakan
pembangunan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, amar putusan MK menyatakan bahwa frasa
“hutan negara” dalam definisi Hutan Adat pada
Pasal 1 Angka 6 UU tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD
NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibatnya, definisi
Hutan Adat berubah menjadi
“hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Pengakuan Hutan Adat sebagai Hutan Hak membawa dampak dan manfaat yang
signifikan, baik bagi MHA itu sendiri maupun bagi negara secara
keseluruhan.
Putusan MK 35/PUU-X/2012 adalah sebuah tindakan restorasi hak-hak
konstitusional mereka yang selama ini terabaikan. Dengan pengakuan ini, MHA
memperoleh kedaulatan untuk mengelola, memanfaatkan, dan melindungi hutan
mereka sesuai dengan hukum adat dan kearifan lokal yang telah terbukti
berkelanjutan selama berabad-abad. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 37 UU tentang Kehutanan, MHA berhak memungut hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari.
Dari perspektif tata kelola pemerintahan, pengakuan Hutan Adat bukanlah
sebuah ancaman, melainkan sebuah solusi. Pertama, ia berpotensi menjadi
instrumen yang efektif untuk menyelesaikan konflik tenurial dan agraria yang
berkepanjangan, yang selama ini menguras energi dan sumber daya negara. Data
dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa konflik agraria
terus meningkat, dengan ratusan letusan konflik setiap tahunnya, banyak di
antaranya melibatkan MHA.
Jurang Implementasi: Tantangan Politik dan Birokrasi
Meskipun Putusan MK 35/PUU-X/2012 sangat progresif dan revolusioner di atas
kertas, implementasinya di lapangan menghadapi jurang yang dalam dan terjal.
Kemenangan di tingkat yudikatif tidak secara otomatis diterjemahkan menjadi
keadilan di tingkat tapak. Beberapa tantangan sistemik menjadi penghambat
utama:
-
Syarat Peraturan Daerah (Perda) sebagai Bottleneck
Hambatan terbesar adalah prosedur pengakuan itu sendiri. Untuk dapat
ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia
(KLHK
RI),
sebuah Hutan Adat harus terlebih dahulu didahului oleh pengakuan terhadap
eksistensi MHA yang bersangkutan melalui produk hukum daerah, umumnya berupa Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
-
Kesenjangan Data dan Lambatnya Progres
Akibat dari proses yang berbelit-belit ini, terjadi kesenjangan yang luar
biasa antara klaim wilayah adat di lapangan dengan pengakuan formal oleh
negara. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sebuah lembaga masyarakat
sipil, per Maret 2024 telah
memetakan dan meregistrasi 1.452 peta wilayah adat dengan luas total
mencapai 28,2 juta hektare.
-
Kerentanan Akibat Tumpang Tindih Lahan
Lambatnya pengakuan secara de jure ini menempatkan MHA dalam posisi
yang sangat rentan. Wilayah adat mereka yang secara de facto telah
dikelola secara turun-temurun, namun belum memiliki payung hukum berupa
Perda dan SK Menteri, seringkali tumpang tindih dengan izin-izin usaha
(pertambangan, perkebunan, konsesi hutan) yang telah diterbitkan oleh
pemerintah di atas wilayah mereka.
Putusan MK 35/PUU-X/2012, meskipun secara hukum sangat kuat, pada
praktiknya telah menggeser arena perjuangan MHA. Pertarungan tidak lagi
tentang apakah Hutan Adat itu ada dan diakui konstitusi, melainkan
bergeser ke arena politik lokal untuk mendapatkan
pengakuan formal melalui Perda. Ini adalah pergeseran dari medan
pertempuran yuridis-konstitusional di tingkat nasional ke medan pertempuran
politik-administratif di tingkat daerah.
Di arena baru ini, MHA seringkali harus berhadapan dengan kekuatan yang
tidak seimbang. Keputusan kepala daerah dan DPRD untuk menerbitkan Perda
sangat dipengaruhi oleh peta politik lokal, kontribusi ekonomi dari
perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi, dan lobi-lobi kepentingan yang
kuat.
Akibatnya, MHA yang wilayahnya kebetulan tumpang tindih dengan
konsesi-konsesi besar akan menghadapi perlawanan politik yang sengit untuk
menunda, mempersulit, atau bahkan menolak sama sekali penerbitan Perda
pengakuan. Ini menunjukkan bahwa kemenangan hukum yang gemilang di tingkat
pusat tidak serta-merta menjamin terwujudnya keadilan di tingkat lokal.
Potret Penegakan Hukum Melalui Lensa Yurisprudensi
Kualifikasi dan klasifikasi yuridis hutan yang telah diatur secara rinci
seringkali menjadi episentrum sengketa di dunia nyata. Putusan-putusan yang
lahir dari lembaga peradilan menjadi lensa penting untuk melihat bagaimana
hukum positif diuji, ditafsirkan, dan ditegakkan dalam menghadapi tekanan
ekonomi dan sosial yang kompleks. Analisis terhadap yurisprudensi dari
berbagai kamar peradilan—pidana, tata usaha negara, dan perdata—memberikan
potret yang jelas mengenai kekuatan, kelemahan, dan dinamika penegakan hukum
kehutanan di Indonesia.
Penegakan hukum pidana berfungsi sebagai garda terdepan yang bersifat
punitif (menghukum) untuk melindungi kawasan hutan dari kejahatan
terorganisir maupun perorangan. Beberapa putusan penting menjadi preseden
yang menunjukkan ketegasan sekaligus kompleksitas dalam penegakan hukum
pidana lingkungan.
Sebuah contoh monumental adalah
Putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor 673/Pid.Sus/2021/PN Btm., tertanggal 6 Maret 2022.
Dalam kasus ini, seorang Direktur Utama Perusahaan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah karena memberikan perintah untuk melakukan kegiatan
perataan lahan (land clearing) di dalam Kawasan Hutan Lindung Sei
Hulu Lanjai di Batam.
Berdasarkan bukti-bukti, termasuk keterangan ahli yang menunjukkan bahwa
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan telah melampaui baku mutu kerusakan,
Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana penjara yang berat, yaitu 7 tahun,
ditambah denda sebesar Rp 3 miliar. Putusan ini sangat penting karena
menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak hanya berhenti pada
operator di lapangan, tetapi dapat menjangkau hingga ke level pimpinan
korporasi yang memberikan perintah (intellectual dader), sebuah
langkah maju dalam penegakan hukum korporasi.
Kemudian, kompleksitas penegakan hukum di kawasan dengan tingkat perlindungan
tertinggi tecermin dalam kasus perambahan di
Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Dangku. Melalui
Putusan Pengadilan Negeri Tebo Nomor 108/Pid.B/LH/2022/PN Mrt, tertanggal 31 Oktober 2022, terdakwa terbukti bersalah telah
menggunakan dan menduduki kawasan hutan suaka margasatwa secara tidak sah
untuk dijadikan kebun. Terdakwa dijatuhi pidana penjara dan
denda.
Di tingkat Mahkamah Agung pernah
memberikan preseden yang sangat kuat dalam penerapan pertanggungjawaban
pidana korporasi melalui
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1494 K/Pid.Sus-LH/2021,
tertanggal 15 September 2021. Dalam putusan ini, korporasi
PT Laras Bumi Resources dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana
melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa memiliki Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri. Putusan ini tidak hanya
menghukum pengurusnya, tetapi juga korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Ini menjadi yurisprudensi vital yang memperkuat posisi jaksa untuk menuntut
korporasi sebagai pelaku kejahatan kehutanan, bukan hanya individu.
Apabila kamar pidana bersifat reaktif, maka kamar Tata Usaha Negara (TUN) memiliki
fungsi preventif yang krusial. Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) menjadi mekanisme bagi publik, baik individu maupun organisasi
lingkungan, untuk menguji keabsahan dan legalitas surat keputusan (izin)
yang diterbitkan oleh pejabat negara.
Sebuah kemenangan penting bagi masyarakat sipil dan kelestarian lingkungan
terjadi dalam sengketa melawan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang
diterbitkan untuk PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii,
Sulawesi Tenggara. Melalui
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 167/G/2023/PTUN.JKT,
tertanggal 12 September 2023, Majelis Hakim mengabulkan gugatan yang
diajukan oleh warga dan organisasi lingkungan hidup, dan menyatakan batal
surat keputusan IPPKH tersebut.
Pertimbangan utama hakim adalah bahwa penerbitan izin tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya
Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luasan tertentu.
Putusan ini kemudian diperkuat di tingkat banding dan kasasi oleh Mahkamah
Agung, menjadikannya yurisprudensi yang sangat kuat untuk melindungi
pulau-pulau kecil dari ancaman industri ekstraktif.
Selanjutnya, di jalur perdata membuka kemungkinan bagi negara (melalui gugatan
class action oleh KLHK
RI) atau masyarakat untuk menuntut ganti rugi materiil dan biaya pemulihan
lingkungan akibat kerusakan hutan. Namun, kemenangan di pengadilan perdata
seringkali hanyalah kemenangan di atas kertas, karena tahap eksekusi putusan
menjadi tantangan terbesar.
Ini dapat kita lihat dengan studi kasus terhadap implementasi
Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang Nomor 28/Pdt.G/2013/PN
Bkn
menjadi cerminan nyata dari masalah ini.
Analisis terhadap yurisprudensi ini menunjukkan sebuah pola yang
jelas
yaitu penegakan hukum lingkungan dan kehutanan di Indonesia bersifat reaktif
dan asimetris. Keberhasilan lebih sering diraih dalam ranah yang bersifat punitif
(menghukum pelaku melalui jalur pidana) atau preventif-prosedural
(membatalkan izin yang cacat administrasi melalui PTUN). Namun, sistem ini
menunjukkan kelemahan yang signifikan dalam ranah restoratif (memulihkan
lingkungan) dan kompensatoris (memastikan ganti rugi dibayar).
Lembaga penegak hukum seperti Gakkum KLHK
RI
dan Kejaksaan
RI, jika didukung bukti kuat dan kemauan politik, terbukti mampu menjerat
pelaku hingga ke tingkat korporasi. Demikian pula, masyarakat sipil yang
memiliki sumber daya dapat menggunakan jalur PTUN untuk menghentikan proyek
yang merusak sebelum kerusakan terjadi lebih parah. Akan tetapi, titik
terlemah dalam sistem peradilan kita adalah pada tahap eksekusi putusan
perdata. Lembaga eksekutor, dalam hal ini jurusita pengadilan, seringkali
tidak memiliki kapasitas, sumber daya, maupun kekuatan politik untuk
mengeksekusi putusan yang melawan aktor-aktor dengan kekuatan ekonomi dan
politik yang besar.
Akibatnya, tercipta sebuah “efek jera yang timpang”. Pelaku usaha mungkin
takut dipidana atau izinnya dicabut, tetapi mereka seringkali tidak terlalu
khawatir dengan kewajiban untuk membayar ganti rugi atau memulihkan
kerusakan lingkungan yang telah mereka timbulkan, karena mereka tahu bahwa
eksekusi putusan tersebut sangat sulit untuk diwujudkan. Hal ini menciptakan
insentif yang berbahaya: “rusak sekarang, bayar (atau tidak bayar)
nanti.”
Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Lestari
Klasifikasi fungsional hutan menjadi cerminan paling nyata dari upaya
negara untuk menyeimbangkan dialektika ini.
Hutan Konservasi diposisikan sebagai benteng terakhir keanekaragaman
hayati, dengan perlindungan hukum yang paling ketat.
Hutan Lindung berfungsi sebagai penjaga sistem penyangga kehidupan,
sebuah infrastruktur alami yang vital untuk mitigasi bencana dan ketahanan
air. Sementara itu, Hutan Produksi berperan sebagai motor penggerak
ekonomi, menyediakan bahan baku bagi industri dan menjadi sumber pendapatan
negara.
Di tengah-tengah klasifikasi fungsional yang dirancang oleh negara ini,
muncul kualifikasi Hutan Adat sebagai arena perebutan hak yang paling
fundamental. Pengakuannya sebagai Hutan Hak melalui yurisprudensi Mahkamah
Konstitusi menjadi tonggak penting bagi restorasi keadilan sosial dan
ekologis bagi Masyarakat Hukum Adat. Namun, jurang implementasi yang lebar
menunjukkan bahwa pertarungan untuk mewujudkan hak tersebut masih jauh dari
selesai. Setiap klasifikasi dan kualifikasi ini, dengan segala perangkat
hukum yang melekat padanya, memiliki dampak yang mendalam terhadap arah
pembangunan, lanskap bisnis, dan terutama, nasib jutaan rakyat yang hidupnya
bergantung pada hutan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Xavier Nugraha et al., “Strengthening Customary Forest Rights for Indigenous People in
Indonesia Green Constitution Framework,” Jurnal Kajian Pembaruan Hukum 3, no. 2 (2023).
[2]
S. Wahyuni, “Sustainable Forest Management in Indonesia’s Forest Law
(Policy and Institutional Framework),”
Jurnal Dinamika Hukum 14, no. 3 (2014): 475–489.
[3]
Lalu Harly, “Sustainable Forest Management from the Perspective of Customary Law
in Indonesia: A Case Study in the Bayan Community,” International Journal of Social Sciences and Humanities 1, no. 1
(2023).