layananhukum

Pidana Bagi Pelaku Usaha yang Memutar Lagu di Tempat Usahanya Pasca Kasus Mie Gacoan

 

Pertanyaan

Selamat sore bang, saya baru baca berita kalau direktur Mie Gacoan di Bali jadi tersangka. Katanya gara-gara putar lagu di restoran tapi tidak bayar royalti. Saya sebagai orang awam jadi bingung, kok bisa seserius itu sampai jadi kasus pidana? Sebenarnya aturannya bagaimana? Apakah semua tempat usaha seperti kafe atau toko kalau memutar lagu harus bayar? Kalau iya, bayarnya ke mana dan bagaimana hitungannya? Lalu, apa benar hukumannya bisa sampai penjara dan denda miliaran? Tolong jelaskan secara lengkap biar saya dan pengusaha lain tidak salah langkah, terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Musik dan suasana adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam industri jasa dan ritel modern. Alunan melodi yang dipilih dengan cermat bukan lagi sekadar latar, melainkan elemen strategis untuk menciptakan pengalaman pelanggan (customer experience), meningkatkan kenyamanan, dan pada akhirnya, mendorong transaksi.

    Namun, sebuah ironi kini mengemuka ketika senandung yang dahulu menjadi aset kini bertransformasi menjadi sumber risiko hukum pidana yang signifikan. Realitas pahit ini terungkap secara gamblang melalui penetapan tersangka terhadap I Gusti Ayu Sasih Ira, Direktur PT Mitra Bali Sukses, selaku operator waralaba populer Mie Gacoan di Bali, oleh Kepolisian Daerah Bali atas dugaan pelanggaran hak cipta.  

    Kasus ini, yang bermula dari laporan Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) atas pemutaran lagu-lagu komersial tanpa pembayaran royalti, berfungsi sebagai sebuah lonceng peringatan yang memekakkan telinga bagi seluruh ekosistem bisnis di Indonesia. Reaksi publik yang terbelah, sebagaimana tercermin dalam riuhnya perdebatan di media sosial, menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman yang fundamental antara norma hukum formal dan persepsi masyarakat awam. Banyak yang terkejut bahwa tindakan yang dianggap sepele—”hanya memutar lagu”—dapat berujung pada ancaman pidana penjara dan denda miliaran rupiah.  

    Peristiwa ini bukanlah sebuah anomali, melainkan kulminasi dari evolusi penegakan hukum hak cipta di Indonesia. Ia merupakan manifestasi logis dari kerangka hukum yang telah dibangun secara sistematis melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Hak Cipta” dan dipertegas oleh peraturan pelaksananya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang selanjutnya disebut dengan “PP 56/2021

    Penegakan hukum yang menargetkan subjek bisnis populer seperti Mie Gacoan dapat dilihat sebagai sebuah tindakan strategis untuk mengirimkan pesan yang jelas dan kuat yaitu era kelonggaran telah berakhir. Tujuannya bukan sekadar menghukum satu entitas, tetapi untuk memicu perubahan perilaku di seluruh industri melalui sebuah preseden yang memaksa setiap pelaku usaha untuk meninjau ulang kepatuhan mereka.

    Tulisan kami ini akan membedah secara komprehensif permasalahan pidana bagi pelaku usaha yang memutar lagu di tempat usahanya dengan menggunakan kasus Mie Gacoan sebagai studi kasus sentral. Analisis akan dilakukan melalui empat lensa yang saling melengkapi:

    1.        Praktis: Langkah konkret apa yang harus dilakukan pelaku usaha untuk memastikan kepatuhan hukum?

    2.       Akademis: Bagaimana doktrin hukum pidana, hak kekayaan intelektual, dan pertanggungjawaban korporasi diterapkan dalam konteks ini?

    3.      Filosofis: Di mana titik keseimbangan keadilan antara perlindungan hak ekonomi pencipta dan kelangsungan iklim usaha yang kondusif?

    4.       Kritis: Seberapa efektif dan adil sistem Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang ada saat ini dalam menjalankan mandatnya?

    Melalui analisis mendalam ini, diharapkan para pemangku kepentingan dapat memahami tidak hanya “apa” yang menjadi larangan, tetapi juga “mengapa” larangan itu ada, “bagaimana” ia ditegakkan, dan “apa” implikasinya bagi masa depan industri kreatif dan komersial di Indonesia.

    Anatomi Regulasi Hak Cipta Musik di Indonesia: Kerangka Hukum yang Tak Terbantahkan

    Untuk memahami mengapa pemutaran musik di tempat usaha dapat berujung pada sanksi pidana, esensial untuk membedah fondasi hukum yang mengaturnya. Kerangka regulasi di Indonesia, yang terdiri dari Undang-Undang tentang Hak Cipta sebagai payung hukum utama dan Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk teknis, telah menciptakan sebuah jaring hukum yang presisi dan sulit untuk dihindari.


    UU tentang Hak Cipta merupakan pilar utama yang memberikan perlindungan hukum bagi pencipta dan karya-karyanya. Beberapa ketentuan di dalamnya secara langsung relevan dengan kewajiban pelaku usaha.

    Definisi dan Hak Fundamental

    Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Hak Cipta”, beberapa definisi menjadi kunci:

    -        Hak Cipta

    Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.  

    -        Hak Ekonomi

    Hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.  

    -         Penggunaan Secara Komersial

    Pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.  

    -         Royalti

    Imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau produk Hak Terkait yang diterima oleh Pencipta atau pemilik Hak Terkait.  

    Hak Ekonomi dan Kewajiban Izin

    Inti dari permasalahan ini terletak pada hak ekonomi. Sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU tentang Hak Cipta, Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi eksklusif untuk melakukan, antara lain, “Pengumuman Ciptaan” (huruf g). Memutar lagu di restoran, kafe, atau toko secara yuridis diklasifikasikan sebagai bentuk “Pengumuman Ciptaan” kepada publik.  

    Kewajiban bagi pengguna diatur secara tegas dalam Pasal 9 ayat (2) UU tentang Hak Cipta, yang menyatakan bahwa:

    “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.”  

    Larangan ini diperkuat oleh Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta, yang menyatakan:

    “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”  

    Ketentuan ini secara eksplisit melarang penggunaan karya cipta untuk tujuan komersial—seperti menarik pelanggan atau menciptakan suasana di tempat usaha—tanpa memperoleh izin terlebih dahulu.

    Ancaman Sanksi Pidana

    Pelanggaran terhadap hak ekonomi tidak hanya berimplikasi pada gugatan perdata, tetapi juga diancam dengan sanksi pidana yang berat. Pasal 113 ayat (3) UU tentang Hak Cipta menjadi pasal yang menjerat Direktur Mie Gacoan Bali dan menjadi momok bagi pelaku usaha lainnya. Pasal tersebut menyatakan:  

    “Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”  

    Pasal ini secara spesifik mengkriminalisasi pelanggaran hak “Pengumuman Ciptaan” (Pasal 9 ayat (1) huruf g) untuk tujuan komersial, yang merupakan perbuatan inti dalam kasus pemutaran musik di tempat usaha.

    Apabila UU tentang Hak Cipta menyediakan dasar filosofis dan ancaman sanksi, PP 56/2021 menyediakan mekanisme praktis yang menutup celah bagi pelaku usaha untuk berkelit. Sebelum adanya PP ini, pelaku usaha seringkali beralasan bingung mengenai prosedur pembayaran dan kepada LMK mana royalti harus disetorkan. PP 56/2021 menihilkan argumen tersebut.

    Penegasan Lingkup Kewajiban

    Sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang selanjutnya disebut dengan “PP 56/2021”, secara eksplisit menyebutkan bentuk layanan publik bersifat komersial yang wajib membayar royalti, di antaranya:

    “b. restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;”  

    Penyebutan secara spesifik ini menghilangkan keraguan interpretatif dan menegaskan bahwa setiap restoran dan kafe, terlepas dari skala usahanya, tunduk pada kewajiban ini.

    Mekanisme Satu Pintu (One-Stop System)

    PP 56/2021 merevolusi mekanisme pembayaran royalti dengan menunjuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai satu-satunya gerbang untuk penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti. Sebagaimana ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 PP 56/2021, setiap orang yang ingin menggunakan lagu secara komersial harus mengajukan lisensi dan membayar royalti melalui LMKN. Sistem ini menyederhanakan proses dan menghilangkan alasan “kebingungan prosedural” yang sebelumnya sering digunakan sebagai dalih.  

    Tarif yang Terukur

    Sistem ini juga memberikan kepastian mengenai besaran biaya. Dalam kasus Mie Gacoan, perhitungan kerugian didasarkan pada tarif yang telah ditetapkan, yakni Rp 120.000,- per kursi per tahun untuk kategori restoran/kafe. Tarif ini, bersama dengan tarif untuk jenis usaha lain seperti hotel dan karaoke, diatur lebih lanjut oleh LMKN dan disahkan oleh Menteri, memberikan dasar yang jelas bagi penagihan.  

    Kombinasi antara UU tentang Hak Cipta dan PP 56/2021 ini diharapkan dapat menciptakan sebuah kerangka hukum yang solid. UU menyediakan ancaman pidana yang berat sebagai “tongkat” (stick), sementara PP menyediakan mekanisme pembayaran yang jelas dan terpusat, menutup celah pembelaan berbasis ketidaktahuan prosedural. Kasus Mie Gacoan adalah manifestasi pertama dari bekerjanya “jaring hukum” ini secara penuh, di mana penegak hukum kini dapat fokus pada penindakan pelanggaran substantif karena aspek proseduralnya telah dibuat gamblang.

    Pertanggungjawaban Pidana: Korporasi atau Pengurus?

    Ketika pelanggaran hak cipta dilakukan oleh sebuah badan usaha, pertanyaan krusial yang muncul adalah siapa yang harus bertanggung jawab secara pidana, apakah korporasi sebagai subjek hukum, atau pengurusnya sebagai individu? Kasus Mie Gacoan, di mana seorang direktur ditetapkan sebagai tersangka, menyoroti kompleksitas dan pilihan strategis dalam penegakan hukum pidana korporasi.

    Frasa “Setiap Orang” yang digunakan dalam Pasal 113 UU tentang Hak Cipta secara tradisional merujuk pada manusia perorangan (natuurlijk persoon). Namun, perkembangan hukum pidana modern telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana dan dimintai pertanggungjawaban. Meskipun UU tentang Hak Cipta saat ini tidak secara eksplisit mendefinisikan korporasi sebagai subjek pidana di semua pasalnya, beberapa doktrin dan peraturan lain membuka jalan untuk penjeratan korporasi.  

    Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi (yang selanjutnya disebut dengan “PERMA 13/2016) menjadi pedoman penting bagi hakim. PERMA ini menetapkan kriteria kapan korporasi dapat dinyatakan bersalah, antara lain jika korporasi:

    1)        Memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut;

    2)       Membiarkan terjadinya tindak pidana;

    3)       Tidak melakukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan untuk memastikan kepatuhan hukum.  

    Dalam konteks pemutaran musik ilegal, sebuah restoran atau kafe jelas mendapatkan manfaat (menciptakan suasana yang menarik pelanggan) dan dapat dianggap membiarkan pelanggaran terjadi jika tidak memiliki lisensi.

    Namun, UU tentang Hak Cipta sendiri memberikan landasan yang lebih eksplisit untuk menargetkan pengurus. Pasal 118 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan:

    “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 115, Pasal 116, dan Pasal 117 dilakukan oleh dan/atau atas nama badan hukum, pidana dijatuhkan terhadap badan hukum dan/atau pengurusnya.”

    Pasal ini secara tegas mengadopsi prinsip pertanggungjawaban ganda, yang memungkinkan penjatuhan pidana kepada badan hukum, pengurusnya, atau keduanya secara bersamaan. Ini memberikan diskresi kepada penuntut umum untuk memilih siapa yang akan didakwa berdasarkan bukti dan strategi penuntutan.

    Penetapan Direktur PT Mitra Bali Sukses sebagai tersangka merupakan pilihan taktis dari penegak hukum. Menghukum korporasi seringkali hanya berujung pada sanksi denda, yang bagi perusahaan besar dapat dianggap sebagai “biaya operasional” (cost of doing business) dan kurang memberikan efek jera. Sebaliknya, ancaman pidana penjara bagi seorang direktur, sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (3), menciptakan risiko personal yang tidak dapat dialihkan atau diasuransikan. Ini adalah sebuah langkah yang dirancang untuk memaksimalkan efek jera (deterrence).

    Secara teoretis, pembuktian kesalahan (mens rea) seorang direktur juga lebih sederhana daripada membuktikan “niat jahat kolektif” sebuah korporasi. Jaksa hanya perlu membuktikan bahwa direktur, dalam kapasitasnya, mengetahui atau secara wajar seharusnya mengetahui adanya pemutaran musik tanpa lisensi di gerai-gerai yang berada di bawah tanggung jawabnya, dan ia tidak mengambil tindakan yang patut untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran tersebut. Pembiaran ini dapat dianggap sebagai bentuk kesalahan yang memenuhi unsur pidana. Dengan demikian, penargetan pengurus menjadi jalur paling efisien untuk memaksa dewan direksi di seluruh Indonesia menempatkan isu kepatuhan hak cipta sebagai prioritas utama, sebuah hasil yang sulit dicapai jika sanksi hanya berupa denda korporasi.

    Yurisprudensi sebagai Kompas Penegakan Hukum

    Hukum tidak hanya hidup dalam teks undang-undang, tetapi juga dalam putusan-putusan pengadilan yang menafsirkannya. Analisis terhadap yurisprudensi menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia secara konsisten telah menegakkan hak ekonomi pencipta dan menghukum pelanggaran hak cipta untuk penggunaan komersial, membangun fondasi yang kokoh bagi penegakan hukum saat ini.

    Ada evolusi yang jelas dalam target penegakan hukum, bergerak dari pelaku hilir (pembajak) ke pelaku hulu (pengguna komersial), dan dari bisnis yang produk intinya adalah musik (karaoke) ke bisnis yang menggunakan musik sebagai layanan pelengkap (restoran).

    Fase Awal: Menjerat Pembajak dan Penjual Fisik

    Pada awalnya, penegakan hukum pidana hak cipta banyak berfokus pada pembajakan dan penjualan VCD/DVD bajakan. Putusan-putusan seperti Putusan Pengadilan Negeri Bondowoso Nomor 150/Pid.Sus/2015/PN Bdw., tertanggal 28 September 2015, menghukum penjual VCD bajakan karena mendistribusikan salinan ciptaan secara komersial tanpa izin. Putusan-putusan ini menetapkan prinsip dasar bahwa penjualan karya tanpa izin untuk keuntungan adalah tindak pidana.  

    Fase Kedua: Menargetkan Pengguna Komersial Inti

    Penegakan hukum kemudian bergeser ke bisnis di mana musik adalah produk utamanya.

    -         Kasus Karaoke

    Sengketa perdata antara Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI) melawan PT Vizta Pratama (Inul Vizta Karaoke Manado) menjadi tonggak penting yang perkaranya bergulir hingga tingkat Peninjauan Kembali. Awalnya, pada Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 01/HKI/Cipta/2012/PN.Niaga.Mks tertanggal 28 Maret 2013, Inul Vizta dihukum membayar royalti. Namun, putusan ini dibatalkan di tingkat kasasi melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 392 K/Pdt.Sus-HKI/2013 tertanggal 31 Maret 2015, yang menyatakan gugatan KCI tidak dapat diterima. Puncaknya, melalui upaya hukum luar biasa, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 122 PK/Pdt.Sus-HKI/2015 tertanggal 19 Oktober 2016, yang membatalkan putusan kasasi dan mengabulkan permohonan KCI.  Putusan akhir ini menegaskan bahwa penyediaan fasilitas karaoke di mana pelanggan menyanyikan lagu merupakan bentuk “pengumuman” dan “penggandaan” ciptaan secara komersial yang wajib membayar royalti;

    -         Kasus Konser

    Kasus perdata antara komposer Ari Sapta Hernawan (Ari Bias) melawan Agnes Monica Muljoto (Agnez Mo) juga relevan. Melalui Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2024/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 30 Januari 2025, pengadilan menghukum Agnez Mo untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar karena membawakan lagu “Bilang Saja” dalam tiga konser komersial tanpa izin langsung dari pencipta.  Putusan ini, yang saat ini sedang dalam proses kasasi di Mahkamah Agung, menunjukkan keseriusan pengadilan dalam melindungi hak ekonomi bahkan dari pelanggaran oleh sesama pelaku industri hiburan.

    Fase Ketiga: Menjangkau Pengguna Komersial Pelengkap

    Kasus Mie Gacoan menandai dimulainya fase ketiga, di mana prinsip-prinsip yang telah mapan dari fase sebelumnya kini diterapkan pada bisnis yang menggunakan musik sebagai ambience atau layanan pelengkap. Yurisprudensi pidana yang menjadi analogi paling kuat adalah kasus penggunaan perangkat lunak (software) bajakan yang menjerat Terdakwa ANGELA SITA REVUELTA SEPTIKARANI Binti SARPOMO, seorang manajer.


    Perkara ini diputus pertama kali oleh Pengadilan Negeri Bantul, yang dalam putusannya menyatakan Terdakwa terbukti bersalah dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 80.000.000. Putusan ini kemudian dikuatkan di tingkat banding melalui Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 56/PID.SUS/2020/PT YYK tertanggal 29 Desember 2020. Pertimbangan hukum hakim dalam kasus ini sangat relevan dan dapat dielaborasi sebagai berikut:

    1)        Unsur “Tanpa Hak”: Terbukti karena Terdakwa tidak dapat menunjukkan bukti lisensi yang sah untuk software yang digunakan.

    2)       Unsur “Penggunaan Komersial”: Terbukti karena software tersebut diinstal di komputer perusahaan dan digunakan untuk kegiatan operasional yang bertujuan mencari keuntungan.

    3)       Pertanggungjawaban Individu: Hakim membebankan tanggung jawab kepada Terdakwa sebagai manajer yang memiliki wewenang dan pengetahuan atas penggunaan software ilegal tersebut.

    Analogi dari kasus ini ke pemutaran musik di restoran sangatlah jelas. Mengganti “software” dengan “lagu” dan “lisensi software” dengan “lisensi musik dari LMKN” akan menghasilkan konstruksi hukum yang serupa. Yurisprudensi ini menunjukkan bahwa pengadilan siap untuk menghukum individu dalam posisi manajerial atas pelanggaran HKI yang dilakukan oleh perusahaan untuk kepentingan komersial.

    Pelaku usaha di sektor F&B dan ritel yang selama ini merasa kebal karena “hanya memutar musik latar” pada dasarnya telah salah membaca arah angin yudisial. Fondasi hukum telah dibangun selama bertahun-tahun, dan kini penegakan hukum hanya tinggal menerapkannya pada kategori bisnis baru.

    Penegakan hukum hak cipta musik tidak terjadi di ruang hampa. Ia melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan perspektif yang berbeda dan menghadapi tantangan implementasi yang kompleks. Konflik ini pada intinya bukan sekadar sengketa hukum, melainkan masalah tata kelola (governance).

    Suara Pelaku Usaha: Antara Kepatuhan dan Keberatan

    Asosiasi pengusaha seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menunjukkan sikap yang ambivalen. Di satu sisi, mereka mengakui prinsip perlindungan hak cipta. Sekjen PHRI bahkan menyatakan bahwa asosiasinya telah memiliki MoU dengan LMKN sejak 2016, menunjukkan adanya kesadaran di tingkat asosiasi.  


    Namun di sisi lain, mereka menyuarakan keprihatinan yang kuat, terutama mengenai momentum penegakan hukum yang agresif di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Mereka meminta kelonggaran dan sosialisasi yang lebih baik. APRINDO bahkan melontarkan ancaman untuk berhenti memutar musik sama sekali di gerai ritel, sebuah langkah yang menunjukkan adanya negosiasi daya tawar dan resistensi terhadap apa yang dianggap sebagai beban baru.  

    Suara Pemerintah dan LMKN: Penegakan Aturan demi Kreator

    Dari perspektif pemerintah dan LMKN, PP 56/2021 adalah instrumen untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pencipta lagu, yang karyanya selama ini dieksploitasi secara komersial tanpa imbalan yang layak. LMKN berargumen bahwa sistem satu pintu dan skema tarif yang jelas—seperti tarif per kursi untuk restoran atau tarif per meter persegi untuk ritel—justru memberikan kemudahan dan transparansi bagi pelaku usaha.  

    Akar Masalah: Krisis Kepercayaan pada LMK/LMKN

    Di balik perdebatan mengenai tarif dan sanksi, terdapat masalah yang lebih fundamental: krisis kepercayaan. Banyak pelaku usaha dan masyarakat umum yang skeptis apakah dana royalti yang dikumpulkan benar-benar sampai ke tangan pencipta lagu yang berhak. LMK dan LMKN seringkali dianggap sebagai “kotak hitam” yang mekanisme internalnya tidak transparan. Keraguan ini menjadi bahan bakar utama bagi resistensi untuk membayar. Meskipun PP 56/2021 mewajibkan LMKN untuk diaudit oleh akuntan publik setiap tahun , hasil audit tersebut belum cukup dipublikasikan secara luas untuk membangun legitimasi sosial. Tanpa kepercayaan, kepatuhan akan selalu bersifat koersif, mahal untuk ditegakkan, dan rentan terhadap konflik.  


    Dampak pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

    Narasi pemidanaan yang menyasar perusahaan besar seperti Mie Gacoan menimbulkan kekhawatiran di kalangan UMKM. Sebagaimana ketentuan Pasal 13 PP 56/2021, pemerintah menjanjikan “keringanan tarif Royalti” untuk usaha mikro. Namun, sosialisasi mengenai mekanisme dan besaran keringanan ini masih sangat minim. Akibatnya, banyak pemilik warung kopi atau kafe kecil yang merasa terancam oleh aturan yang sama yang menjerat korporasi besar, padahal kapasitas finansial dan pemahaman hukum mereka sangat terbatas. Tanpa adanya skema yang jelas, terjangkau, dan mudah diakses bagi UMKM, kebijakan ini berisiko menjadi kontraproduktif dan mematikan usaha kecil yang justru menjadi tulang punggung perekonomian.  

    Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

    Penetapan tersangka dalam kasus Mie Gacoan bukanlah insiden tunggal, melainkan sebuah penanda zaman yang tegas. Ia menggarisbawahi bahwa pemutaran musik untuk tujuan komersial di tempat usaha tanpa lisensi yang sah adalah pelanggaran hukum serius yang membawa risiko pidana nyata, tidak hanya bagi korporasi tetapi juga bagi pengurusnya secara pribadi. Era di mana kewajiban membayar royalti dapat diabaikan atau dianggap sebagai imbauan moral telah berakhir, digantikan oleh era penegakan hukum yang didukung oleh kerangka regulasi yang solid dan yurisprudensi yang konsisten.

    Kombinasi UU Hak Cipta dan PP 56/2021 telah menciptakan sistem yang secara yuridis kuat. Namun, kekuatan hukum ini belum diimbangi dengan legitimasi sosial yang memadai. Tantangan ke depan bukan lagi pada perumusan aturan, melainkan pada implementasi yang adil, transparan, dan mampu membangun kepercayaan di antara semua pemangku kepentingan.

    Rekomendasi Praktis untuk Pelaku Usaha (Checklist Kepatuhan)

    Untuk menavigasi lanskap hukum yang baru ini, pelaku usaha harus bersikap proaktif dan tidak lagi dapat berlindung di balik ketidaktahuan. Langkah-langkah berikut bersifat imperatif:

    1.       Audit Internal Sumber Musik

    Lakukan inventarisasi menyeluruh terhadap semua sumber musik yang diputar di seluruh lokasi usaha, baik yang berasal dari platform streaming (seperti Spotify, YouTube), radio, CD, maupun media lainnya.

    2.       Verifikasi Jenis Lisensi

    Pahami secara kritis bahwa langganan platform streaming untuk penggunaan pribadi (misalnya, Spotify Premium) secara eksplisit tidak mencakup izin untuk penggunaan komersial di tempat umum. Menggunakan akun pribadi untuk bisnis adalah pelanggaran.

    3.       Hubungi LMKN Secara Proaktif

    Jangan menunggu surat somasi. Kunjungi situs resmi LMKN atau hubungi mereka secara langsung untuk mendaftarkan usaha Anda. Minta penjelasan mengenai skema lisensi yang paling sesuai dengan model bisnis Anda (misalnya, berdasarkan jumlah kursi, luas area, atau jenis usaha).

    4.       Alokasikan Anggaran Royalti

    Masukkan biaya lisensi musik sebagai bagian dari anggaran operasional tahunan (operational expenditure). Anggap ini sebagai biaya kepatuhan yang sama pentingnya dengan pajak atau izin usaha lainnya.

    5.       Simpan Bukti Kepatuhan

    Dokumentasikan semua korespondensi, bukti pendaftaran, dan bukti pembayaran lisensi kepada LMKN. Dokumen-dokumen ini akan menjadi perisai hukum yang vital jika terjadi sengketa di kemudian hari.

    Rekomendasi Kebijakan

    Untuk menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan berkelanjutan, diperlukan perbaikan dari sisi regulator dan penegak hukum:

    -         Untuk Legislator (DPR)

    Pertimbangkan untuk melakukan amandemen terbatas pada UU Hak Cipta guna merumuskan ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurusnya secara lebih eksplisit dan detail, sehingga mengurangi ambiguitas dan memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi.

    -         Untuk Pemerintah (Kemenkumham) dan LMKN

    1.        Transparansi Radikal

    Bangun portal publik real-time atau laporan berkala yang mudah diakses, yang menunjukkan secara transparan berapa total royalti yang terkumpul dari setiap sektor usaha dan bagaimana dana tersebut didistribusikan kepada para pencipta. Langkah ini krusial untuk membangun kembali kepercayaan.

    2.       Edukasi Massif dan Inklusif

    Luncurkan kampanye edukasi nasional yang menyasar langsung pelaku usaha, terutama UMKM. Materi harus sederhana, praktis, dan disampaikan melalui kanal yang efektif.

    3.       Skema Khusus UMKM

    Segera realisasikan amanat PP 56/2021 mengenai keringanan bagi usaha mikro dengan menetapkan tarif yang sangat terjangkau dan prosedur pendaftaran yang disederhanakan secara drastis.

    -         Untuk Aparat Penegak Hukum dan Yudikatif

    1.        Konsistensi Penegakan

    Terapkan hukum secara konsisten untuk menciptakan efek jera yang merata dan kepastian hukum.

    2.       Pertimbangan Hakim yang Mendalam

    Dalam memutus perkara hak cipta, hakim diharapkan untuk menulis pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang komprehensif, menjelaskan secara gamblang bagaimana setiap unsur pasal dibuktikan, sehingga putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi yang berkualitas dan mendidik publik.

    Pada akhirnya, tujuan utama dari sistem hak cipta adalah untuk menumbuhkan kreativitas. Keseimbangan yang adil harus ditemukan, di mana hak ekonomi para kreator sebagai pilar ekonomi kreatif dihargai dan dilindungi, sementara pada saat yang sama, kepastian hukum bagi pelaku usaha untuk berinvestasi dan berinovasi tetap terjaga. Penghargaan terhadap karya cipta tidak boleh mematikan geliat usaha, dan sebaliknya, keuntungan komersial tidak boleh diraih dengan mengorbankan hak para seniman.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini.  atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.