layananhukum

Legalisasi Dokumen Internasional untuk Keperluan baik di Dalam Maupun Luar Negeri

 

Pertanyaan

Selamat pagi. Saya ingin bertanya terkait dengan permasalahan hukum yang tengah saya hadapi, saat ini saya sedang mengalami sebuah kasus perdata internasional yang cukup pelik. Saya dihadapkan pada kebutuhan untuk menggunakan dokumen dari luar negeri sebagai bukti di pengadilan Indonesia, sekaligus mempersiapkan dokumen dari Indonesia untuk keperluan hukum di negara lain. Terus terang, saya masih gamang membedakan antara prosedur legalisasi konvensional dengan sistem Apostille yang katanya baru. Mohon pencerahan dan gambaran utuhnya, Pak, bagaimana sebetulnya alur legalisasi yang benar dan sah saat ini, baik untuk dokumen yang akan masuk maupun keluar dari Indonesia? Apa saja dasar hukumnya yang paling mutakhir? Dan yang terpenting, bagaimana implikasinya di pengadilan, terutama jika kami harus melakukan pemanggilan terhadap pihak Tergugat yang berada di luar negeri? Kami butuh pemahaman yang komprehensif, dari A sampai Z, agar tidak salah langkah. Terima Kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Dalam lalu lintas hukum global yang semakin intensif, legalisasi dokumen internasional kerap dipandang sebagai sekadar formalitas birokratis—sebuah prosedur administratif yang melelahkan dan memakan biaya. Namun, pandangan ini menyederhanakan sebuah proses yang sejatinya merupakan arena dialektika antara dua kekuatan fundamental yaitu kedaulatan negara (state sovereignty) yang bersifat teritorial dan tuntutan globalisasi yang tak mengenal batas.

    Setiap stempel, tanda tangan, dan sertifikat yang dibubuhkan pada selembar dokumen lintas negara adalah manifestasi dari tegangan ini. Di satu sisi, negara domestik berusaha “menjinakkan” dokumen asing, membuatnya dapat dikenali dan diterima dalam tatanan hukum nasionalnya. Di sisi lain, dengan menerima dokumen tersebut, sistem hukum domestik secara sadar membuka diri terhadap realitas dan produk hukum dari yurisdiksi lain.

    Secara praktis, prosedur legalisasi, terutama sebelum era reformasi, identik dengan jalur birokrasi yang berliku, mahal, dan memakan waktu. Individu yang hendak menikah atau melangsungkan perkawinan dengan warga negara asing, pelajar yang akan menempuh pendidikan di luar negeri, hingga korporasi multinasional (multinational company (MNC)) yang melakukan transaksi lintas batas, semuanya dihadapkan pada rantai verifikasi yang panjang, mulai dari notaris, kementerian, hingga perwakilan diplomatik. Frustrasi inilah yang menjadi katalisator utama bagi reformasi hukum di bidang ini.  

    Secara akademis, legalisasi adalah jembatan prosedural yang menghidupkan adagium hukum perdata internasional locus regit actumhukum dari tempat di mana suatu perbuatan hukum dilakukan akan menentukan bentuk dari perbuatan tersebut. Legalisasi memungkinkan suatu akta kelahiran yang dibuat di Paris atau putusan pengadilan yang diketuk di Singapura untuk memiliki akibat hukum di hadapan otoritas Indonesia, dengan cara memverifikasi keaslian formal dari dokumen tersebut.  

    Secara filosofis, legalisasi adalah cerminan dari tingkat “kepercayaan” antar sistem hukum. Sistem legalisasi konvensional, pada hakikatnya, adalah sebuah arsitektur yang dibangun di atas fondasi ketidakpercayaan. Suatu negara tidak serta-merta mengakui keabsahan stempel notaris atau panitera dari negara lain; ia menuntut pejabat diplomatiknya sendiri untuk menjamin keaslian tanda tangan pejabat asing tersebut.


    Aksesi Indonesia ke The Convention of 5 October 1961 Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents, atau yang lebih dikenal dengan “the Apostille Convention” atau Konvensi Apostille, adalah perjanjian internasional yang dirancang oleh Konferensi Den Haag tentang Hukum Perdata Internasional (HCCH), yang mulai menandai pergeseran paradigma menuju sebuah sistem kepercayaan kolektif yang didasarkan pada perjanjian multilateral, di mana negara-negara anggota sepakat untuk saling percaya pada sertifikat tunggal yang diterbitkan oleh otoritas yang ditunjuk.  

    Akhirnya, dari perspektif yang lebih radikal, seluruh bangunan legalisasi yang berpusat pada negara ini patut dipertanyakan di era digital. Jika masa depan otentikasi tidak lagi terletak pada rantai stempel basah, melainkan pada blockchain dan identitas digital terdesentralisasi yang tidak dapat diubah, maka peran negara sebagai penjamin keaslian tunggal akan mengalami disrupsi fundamental. Legalisasi, dalam bentuknya saat ini, mungkin merupakan babak akhir dari sebuah era otentikasi yang dimonopoli oleh negara.  

    Perkembangan rezim legalisasi di Indonesia—dari warisan Kolonial Hindia Belanda melalui Staatsblad 1909 Nomor 291 tentang Ketentuan mengenai Legalisasi Tanda Tangan, yang kaku menuju adopsi Konvensi Apostille yang pro-bisnis—bukanlah sekadar penyesuaian teknis-yuridis. Ini adalah barometer yang mengukur postur global Indonesia. Langkah ini merupakan pilihan kebijakan yang disengaja untuk menyelaraskan infrastruktur hukum-administratifnya dengan ambisi ekonomi yang lebih besar, terutama dalam rangka mendukung kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB). Prosedur legalisasi yang rumit dan lamban merupakan penghambat nyata bagi investasi dan mobilitas global. Dengan meratifikasi Konvensi Apostille melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengesahan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi Terhadap Dokumen Publik Asing), Indonesia secara tegas menyatakan bahwa hukum harus berfungsi sebagai fasilitator, bukan penghambat, dalam kancah ekonomi global.  

    Definisi dan Tujuan Mendasar

    Legalisasi, dalam esensinya, adalah sebuah tindakan pengesahan formal yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang terhadap suatu dokumen publik. Penting untuk dipahami bahwa objek dari legalisasi bukanlah kebenaran materiil atau isi dari dokumen tersebut, melainkan otentisitas formalnya.

    Secara spesifik, legalisasi bertujuan untuk mengesahkan atau memverifikasi keaslian tanda tangan pejabat yang menandatangani dokumen, kapasitas atau jabatan dari pejabat tersebut, dan keaslian cap atau segel resmi yang tertera pada dokumen. Dengan kata lain, legalisasi menjawab pertanyaan, “Apakah dokumen ini benar-benar dikeluarkan oleh otoritas yang semestinya di negara asalnya?bukan, “Apakah isi dari dokumen ini benar secara substansial?

    Tujuan fundamental dari proses ini adalah untuk menjembatani jurang kedaulatan antarnegara, sehingga sebuah dokumen yang diterbitkan di bawah yurisdiksi Negara A dapat diterima dan diakui untuk tujuan hukum di Negara B. Tanpa mekanisme legalisasi, sebuah akta kelahiran, ijazah, putusan pengadilan, atau akta notaris dari luar negeri hanya akan menjadi selembar kertas tanpa kekuatan hukum di hadapan institusi pemerintah atau pengadilan di Indonesia begitu pun sebaliknya.

    Legalisasi memberikan kepastian hukum mengenai asal-usul dan keabsahan formal dokumen, yang merupakan prasyarat sebelum dokumen tersebut dapat digunakan dalam berbagai keperluan, baik administratif (seperti pendaftaran perkawinan, izin tinggal, atau pendaftaran sekolah) maupun litigasi (sebagai alat bukti di pengadilan).  

    Dasar Hukum dan Evolusi

    Kerangka hukum yang mengatur legalisasi di Indonesia telah mengalami evolusi signifikan, dari peraturan warisan zaman kolonial hingga harmonisasi dengan standar internasional modern.

    Era Kolonial dan Awal Kemerdekaan

    Selama lebih dari satu abad, landasan hukum utama untuk legalisasi di Indonesia adalah Staatsblad 1909 Nomor 291 tentang Ketentuan mengenai Legalisasi Tanda Tangan. Peraturan peninggalan pemerintah Hindia Belanda ini meletakkan dasar bagi prosedur legalisasi yang sangat formalistis dan berjenjang, yang pada praktiknya terus digunakan bahkan jauh setelah kemerdekaan Indonesia. Pendekatan ini mencerminkan pandangan hukum pada masanya yang sangat menekankan pada formalitas dan otentikasi berlapis sebagai wujud kedaulatan negara.  

    Era Modern (Pra-Apostille)

    Prinsip-prinsip dari Staatsblad tersebut kemudian diserap dan diperkuat dalam kerangka hukum administrasi pemerintahan modern. Landasan yuridis utama bagi kewenangan pemerintah untuk melakukan legalisasi ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut “UU tentang Administrasi Pemerintahan”), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

    Secara spesifik, Pasal 73 ayat (1) dan (2) UU tentang Administrasi Pemerintahan menjadi dasar hukumnya. Pasal tersebut menyatakan:

    (1)      Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat melakukan legalisasi terhadap salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang telah sesuai dengan aslinya.

    (2)     Legalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Dokumen yang berbentuk tertulis di atas kertas dan/atau Dokumen Elektronik.

    Ketentuan ini secara eksplisit memberikan kewenangan kepada badan dan pejabat pemerintah untuk melakukan legalisasi, yang didefinisikan sebagai pernyataan mengenai keabsahan suatu salinan dokumen yang dinyatakan sesuai dengan aslinya. Meskipun UU tentang Administrasi Pemerintahan menyediakan payung hukum umum, rincian teknis mengenai prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan-peraturan setingkat menteri, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.  

    Prinsip Par In Parem Non Habet Imperium dalam Konteks Dokumen

    Kebutuhan akan adanya prosedur legalisasi berakar kuat pada salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional, yaitu par in parem non habet imperium. Prinsip ini menyatakan bahwa satu negara yang berdaulat tidak memiliki yurisdiksi atau wewenang untuk memerintah negara berdaulat lainnya. Dalam konteks dokumen, hal ini berarti bahwa sebuah pengadilan di Indonesia tidak dapat secara otomatis mengakui atau memerintahkan keabsahan atas tindakan resmi yang dilakukan oleh pejabat di negara lain, seperti notaris, panitera pengadilan, atau pejabat catatan sipil.

    Legalisasi, terutama melalui jalur diplomatik atau konsuler, adalah protokol yang disepakati secara resiprokal untuk mengatasi kebuntuan kedaulatan ini. Melalui proses ini, perwakilan diplomatik suatu negara (misalnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin) bertindak sebagai “penjamin” bagi sistem hukum negaranya sendiri. Dengan melegalisasi tanda tangan pejabat Jerman, diplomat Indonesia tersebut pada dasarnya menyatakan kepada otoritas di Indonesia, “Saya, sebagai perwakilan resmi Negara Republik Indonesia, telah memverifikasi bahwa tanda tangan dan jabatan pejabat ini adalah sah menurut hukum Jerman.” Dengan demikian, legalisasi menjadi jembatan formal yang memungkinkan pengakuan lintas yurisdiksi tanpa melanggar prinsip kedaulatan masing-masing negara.

    Dua Jalan Legalisasi di Indonesia: Konvensional vs. Apostille

    Sejak aksesi Indonesia ke Konvensi Apostille, lanskap legalisasi dokumen internasional di Indonesia terbagi menjadi dua jalur yang berbeda dan berjalan secara paralel. Pemilihan jalur yang tepat bergantung sepenuhnya pada satu faktor krusial yaitu negara tujuan di mana dokumen akan digunakan. Kesalahan dalam memilih jalur akan mengakibatkan dokumen ditolak, membuang waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Hal ini menciptakan sebuah realitas hukum baru di mana pemahaman mendalam mengenai kedua sistem ini menjadi prasyarat esensial bagi siapa pun yang berurusan dengan dokumen lintas negara.

    Jalur Konvensional – Prosedur Multi-Lapis untuk Negara Non-Anggota Konvensi

    Jalur konvensional adalah prosedur legalisasi tradisional yang telah berlaku selama puluhan tahun. Prosedur ini tetap wajib ditempuh apabila dokumen yang berasal dari Indonesia akan digunakan di negara yang bukan merupakan anggota Konvensi Den Haag 1961 (Konvensi Apostille), atau sebaliknya, jika dokumen dari negara non-anggota tersebut akan digunakan di Indonesia.  


    Logika yang mendasari jalur ini adalah “rantai otentikasi” (chain of authentication). Setiap pejabat dalam rantai tersebut memverifikasi keaslian tanda tangan dan jabatan pejabat pada level di bawahnya, menciptakan sebuah jejak verifikasi yang dapat ditelusuri hingga ke sumbernya.

    Alur Prosedur (Dokumen Indonesia untuk Luar Negeri)

    Untuk dokumen yang diterbitkan di Indonesia dan akan digunakan di negara non-anggota Konvensi Apostille, alur prosedurnya secara umum adalah sebagai berikut:

    1)       Penerbitan Dokumen

    Dokumen diterbitkan oleh instansi yang berwenang, misalnya akta notaris oleh Notaris, putusan pengadilan oleh Panitera Pengadilan, atau ijazah oleh universitas.

    2)      Legalisasi oleh Kementerian Hukum Republik Indonesia

    Tanda tangan pejabat publik atau notaris pada dokumen tersebut harus dilegalisasi terlebih dahulu oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kemenkum RI. Tahap ini bertujuan untuk memverifikasi bahwa pejabat atau notaris yang menandatangani dokumen tersebut memang terdaftar dan berwenang.  

    3)      Legalisasi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu)

    Setelah dilegalisasi oleh Kemenkumham, dokumen tersebut kemudian dibawa ke Kemenlu. Pejabat di Kemenlu akan melegalisasi tanda tangan pejabat Kemenkumham. Tahap ini mengonfirmasi keabsahan stempel dan tanda tangan dari Kemenkum di mata dunia internasional.  

    4)      Legalisasi Akhir oleh Perwakilan Negara Tujuan

    Tahap terakhir adalah membawa dokumen yang telah dilegalisasi oleh Kemenlu ke Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal negara tujuan yang berada di Indonesia. Pejabat konsuler dari negara tersebut akan melegalisasi tanda tangan pejabat Kemenlu. Baru setelah tahap ini, dokumen tersebut dianggap sah dan dapat digunakan di negara tujuan.  

    Dasar Hukum Kunci

    Prosedur di tingkat Kemenlu diatur secara spesifik dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022 tentang Tata Cara Legalisasi Dokumen pada Kementerian Luar Negeri (selanjutnya disebut “Permenlu 14/2022”). Peraturan ini mencabut dan menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Permenlu Nomor 13 Tahun 2019.  

    Pasal kunci dalam adalah Pasal 5 Permenlu 14/2022, yang menegaskan logika rantai otentikasi:  

    (1)      Legalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan terhadap Dokumen yang terlebih dahulu dilegalisasi oleh:

    a.     Pejabat yang Ditunjuk oleh Menteri yang Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; atau

    b.     Pejabat yang Ditunjuk pada Perwakilan atau Pejabat yang Ditunjuk pada Perwakilan Negara Asing untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b.

    Pasal ini secara jelas menetapkan bahwa Kemenlu hanya akan melakukan legalisasi jika dokumen tersebut telah melalui tahap legalisasi sebelumnya di Kemenkumham (untuk dokumen dari Indonesia) atau di perwakilan negara asing (untuk dokumen asing tertentu). Prosedur ini panjang, memakan waktu setidaknya 7-14 hari kerja, dan melibatkan biaya di setiap tahapannya.  

    Revolusi Apostille – Penyederhanaan Satu Pintu

    Menyadari bahwa prosedur konvensional menjadi penghambat dalam iklim global yang menuntut kecepatan dan efisiensi, Indonesia mengambil langkah strategis dengan mengaksesi Konvensi Apostille. Langkah ini merupakan sebuah revolusi dalam layanan publik di bidang legalisasi, memangkas rantai birokrasi menjadi satu pintu tunggal.  

    Latar Belakang Reformasi

    Aksesi ini didorong oleh beberapa faktor utama:

    -        Peningkatan Kemudahan Berusaha (EODB)

    Prosedur yang rumit menjadi salah satu kendala dalam peringkat EODB Indonesia. Penyederhanaan legalisasi diharapkan dapat menarik lebih banyak investasi asing dengan memberikan kepastian dan kecepatan dalam pengurusan dokumen legal.  

    -        Efisiensi Pelayanan Publik

    Pemerintah bertujuan untuk mendebirokratisasi layanan, mengurangi waktu dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pelaku usaha.  

    -        Kebutuhan Mobilitas Global

    Semakin banyak Warga Negara Indonesia yang belajar, bekerja, atau menikah di luar negeri, sehingga kebutuhan akan pengakuan dokumen yang cepat dan mudah menjadi semakin mendesak.  

    Dasar Hukum Pengesahan dan Pelaksanaan

    Langkah fundamental Indonesia untuk bergabung dengan rezim Apostille diwujudkan melalui:

    1)       Pengesahan Konvensi

    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengesahan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi Terhadap Dokumen Publik Asing), yang selanjutnya disebut dengan “Perpres 2/2021”.   Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Perpres 2/2021 secara tegas menyatakan:

    “Mengesahkan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi terhadap Dokumen Publik Asing), yang telah diadopsi dalam The Hague Conference on Private International Law (Konferensi Den Haag tentang Hukum Perdata Internasional) pada tanggal 5 Oktober 1961 di Den Haag, Belanda...”.  

    Penting untuk dicatat, saat meratifikasi, Indonesia membuat pernyataan (declaration) terhadap Pasal 1 Konvensi, yang mengecualikan dokumen yang diterbitkan oleh kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dari ruang lingkup Apostille. Dokumen-dokumen ini tetap harus melalui jalur legalisasi konvensional.  

    2)      Penunjukan Otoritas Kompeten

    Konvensi mengamanatkan setiap negara anggota untuk menunjuk Competent Authority (Otoritas Kompeten) yang berwenang menerbitkan Sertifikat Apostille. Di Indonesia, otoritas ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang kini disebut dengan Menteri Hukum Republik Indonesia, yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).  

    3)      Peraturan Pelaksana

    Prosedur teknis layanan Apostille diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022 tentang Layanan Legalisasi Apostille pada Dokumen Publik (selanjutnya disebut “Permenkumham 6/2022”). Peraturan ini menjadi landasan bagi penyelenggaraan layanan Apostille yang kini dapat diakses secara daring, mulai dari pengajuan permohonan, verifikasi, hingga pembayaran, yang secara drastis memangkas waktu proses menjadi sekitar 1-3 hari kerja.  

    Jenis Dokumen yang Dapat Di-Apostille

    Tidak semua dokumen publik dapat melalui jalur Apostille. Kemenkumham telah menerbitkan daftar spesifik melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.AH.03.01 TAHUN 2022 tentang Daftar Jenis Dokumen Layanan Legalisasi Apostille pada Dokumen Publik. Dokumen-dokumen yang termasuk dalam daftar ini antara lain:  

    -         Dokumen dari Mahkamah Agung

    Salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan salinan penetapan pengadilan.

    -         Dokumen Administratif

    Akta kelahiran, akta kematian, akta perkawinan, dan akta perceraian yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

    -         Dokumen Pendidikan

    Ijazah dan transkrip nilai dari berbagai jenjang pendidikan.

    -         Dokumen Notaris

    Akta-akta yang dibuat oleh Notaris.

    -         Dokumen dari Penerjemah Tersumpah

    Hasil terjemahan dokumen oleh penerjemah yang telah disumpah.

    -         Dokumen Lainnya

    Seperti surat keterangan belum pernah menikah dari KUA, sertifikat kompetensi, dan berbagai dokumen lain yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga pemerintah yang tercantum dalam lampiran keputusan tersebut.  

    Untuk dokumen yang tidak tercantum dalam daftar ini, berlaku prosedur legalisasi konvensional.  

    Keberadaan dua sistem yang berjalan secara simultan ini menciptakan sebuah “jebakan yurisdiksional” (jurisdictional trap) bagi para pihak yang tidak cermat. Meskipun Apostille menawarkan penyederhanaan yang luar biasa, ia bukanlah pengganti universal untuk sistem lama. Keduanya bersifat eksklusif satu sama lain tergantung pada negara tujuan.


    Seseorang yang hendak menggunakan dokumen di negara anggota Konvensi Apostille namun keliru menempuh jalur legalisasi konvensional akan membuang waktu dan biaya yang tidak perlu. Sebaliknya, dan yang lebih fatal, seseorang yang memproses dokumen dengan Sertifikat Apostille untuk digunakan di negara non-anggota akan mendapati dokumennya tidak diakui dan tidak memiliki kekuatan hukum.

    Konsekuensinya, langkah pertama yang paling fundamental dan tidak dapat ditawar dalam setiap proses legalisasi dokumen internasional saat ini adalah melakukan uji tuntas (due diligence) untuk memastikan status keanggotaan negara tujuan dalam Konvensi Apostille.

    Proses legalisasi atau Apostille bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah gerbang pembuka agar dokumen asing dapat diterima dalam sistem peradilan Indonesia. Memahami implikasinya dalam hukum acara perdata adalah krusial, karena kegagalan memenuhi persyaratan formal dapat berakibat fatal terhadap suatu gugatan atau pembelaan.

    Kekuatan Pembuktian Dokumen Asing di Pengadilan

    Berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, yang merujuk pada Herzien Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura serta Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan Madura, alat bukti surat merupakan alat bukti utama. Namun, agar sebuah dokumen asing dapat diterima sebagai alat bukti surat yang sah, ia harus memenuhi serangkaian syarat, baik formil maupun materiil.

    Legalisasi sebagai Prasyarat Formal

    Legalisasi atau Apostille berfungsi untuk memenuhi syarat formil pertama, yaitu membuktikan otentisitas asal-usul dokumen (authenticity of origin). Proses ini memberikan jaminan kepada majelis hakim bahwa dokumen tersebut bukanlah produk pemalsuan, dan benar-benar diterbitkan serta ditandatangani oleh pejabat yang berwenang di negara asalnya. Tanpa legalisasi atau Apostille, sebuah dokumen asing pada dasarnya tidak memiliki nilai pembuktian formal dan akan ditolak oleh pengadilan sebagai alat bukti. Ia hanya akan dianggap sebagai “akta di bawah tangan” yang kebenarannya harus dibuktikan lebih lanjut, atau bahkan tidak dipertimbangkan sama sekali.  

    Melampaui Otentisitas: Penilaian Relevansi dan Kebenaran Materiil

    Penting untuk ditekankan bahwa legalisasi atau Apostille tidak secara otomatis membuktikan kebenaran isi (substansi) dari dokumen tersebut. Setelah sebuah dokumen asing berhasil melewati gerbang formalitas melalui legalisasi, hakim akan tetap menjalankan kewenangannya untuk menilai kekuatan pembuktiannya secara materiil. Hakim akan mempertimbangkan:  

    1.        Apakah isi dokumen tersebut relevan dan memiliki hubungan langsung dengan pokok sengketa yang sedang diperiksa?; dan

    2.       Apakah fakta-fakta yang tertuang dalam dokumen tersebut didukung oleh alat-alat bukti lain, seperti keterangan saksi atau pengakuan para pihak?

    Dengan demikian, legalisasi hanya memastikan dokumen tersebut “layak masuk” ke dalam arena pembuktian di persidangan. Pihak yang menyodorkan dokumen tersebut masih memikul beban untuk meyakinkan hakim akan kebenaran isinya.  

    Dokumen Elektronik dan UU ITE

    Perkembangan teknologi melahirkan dokumen elektronik dan sertifikat e-Apostille. Dalam konteks hukum Indonesia, hal ini bersinggungan langsung dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut dengan “UU ITE”), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

    Sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyatakan:

    “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”

    Ayat (2) selanjutnya menegaskan bahwa alat bukti elektronik ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, sebuah dokumen publik asing dalam format elektronik yang telah dibubuhi Sertifikat e-Apostille akan dianggap sebagai alat bukti elektronik yang sah di pengadilan Indonesia, asalkan keutuhan dan keasliannya dapat dijamin dan diverifikasi melalui sistem yang tersedia, seperti e-Register yang diamanatkan oleh Konvensi Apostille.  

    Studi Kasus Yurisprudensi Kunci – Keabsahan Surat Kuasa dari Luar Negeri

    Salah satu area paling kritis di mana legalisasi dokumen berperan adalah dalam hal surat kuasa khusus yang dibuat di luar negeri untuk digunakan dalam proses peradilan di Indonesia. Yurisprudensi Mahkamah Agung telah secara konsisten menegaskan pentingnya legalisasi dalam konteks ini. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3038 K/Pdt/1981: Peletakan Fondasi sebuah putusan yang menjadi tonggak sejarah (landmark ruling) dalam hal ini adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3038 K/Pdt/1981, tertanggal 18 September 1986.  

    -        Konteks Perkara: Sengketa ini melibatkan PT Djasta (Tergugat/Pemohon Kasasi) melawan GEBR. HOESCH & CO KG, sebuah perusahaan dari Jerman Barat (Penggugat/Termohon Kasasi), terkait sengketa merek dagang “Dianamt”;  

    -        Eksepsi Tergugat: Salah satu eksepsi (tangkisan) utama yang diajukan oleh PT Djasta adalah mengenai keabsahan surat kuasa yang diberikan oleh perusahaan Jerman tersebut kepada kuasa hukumnya di Indonesia. PT Djasta berargumen bahwa surat kuasa tersebut cacat formil.

    -        Pertimbangan Hukum Hakim (Ratio Decidendi): Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya, menolak eksepsi tersebut. Mahkamah Agung menguatkan pertimbangan judex facti (pengadilan tingkat bawah) yang menyatakan bahwa surat kuasa Penggugat “telah dilegalisir oleh KBRI setempat sehingga harus dianggap sah”. Putusan ini secara definitif menetapkan sebuah kaidah hukum: legalisasi oleh perwakilan diplomatik Republik Indonesia (Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal) di negara tempat surat kuasa dibuat adalah syarat mutlak (mandatory) agar surat kuasa tersebut memiliki keabsahan formil untuk digunakan di pengadilan Indonesia.

    Prinsip yang diletakkan oleh Putusan MA No. 3038 K/Pdt/1981 ini kemudian dikodifikasikan dan ditegaskan kembali untuk menjadi pedoman bagi seluruh hakim di Indonesia melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Rumusan Kamar Perdata, Sub-kamar Perdata Umum, Bagian I huruf f, secara eksplisit disebutkan:  

    Surat kuasa yang di buat di Luar Negeri harus dilegalisasi oleh perwakilan RI yaitu Kedutaan atau Konsulat Jenderal di tempat surat kuasa tersebut di buat.”

    Kombinasi antara yurisprudensi yang kokoh dan pedoman SEMA ini menciptakan sebuah norma hukum acara yang tidak dapat ditawar lagi.


    Adanya Konvensi Apostille menciptakan sebuah dinamika baru yang seringkali disalahpahami. Muncul anggapan bahwa Sertifikat Apostille yang melekat pada surat kuasa secara otomatis menjadikan surat kuasa tersebut sah dan sempurna. Anggapan ini keliru dan berbahaya. Keabsahan surat kuasa dari luar negeri harus melewati “uji validitas dua lapis” (two-layer validity test).

    Otentikasi Asal-Usul (Hukum Internasional/Apostille)

    Lapis pertama adalah pembuktian keaslian formal dokumen itu sendiri. Sertifikat Apostille berfungsi untuk menggantikan peran legalisasi oleh kedutaan. Ia mengonfirmasi bahwa tanda tangan pada surat kuasa (misalnya, tanda tangan direktur perusahaan di New York) dan tanda tangan pejabat yang mengesahkannya (misalnya, notaris publik di New York) adalah asli dan sah menurut hukum New York. Dengan adanya Apostille, syarat yang ditetapkan oleh Putusan MA 3038 K/Pdt/1981 (yaitu pembuktian keaslian dari sumber asing) telah terpenuhi.  

    Kepatuhan pada Hukum Acara Domestik (Hukum Indonesia)

    Lapis kedua adalah pengujian terhadap isi atau substansi dari surat kuasa itu sendiri. Meskipun asal-usulnya telah terotentikasi, konten surat kuasa tersebut harus tetap tunduk dan patuh pada persyaratan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 123 HIR dan berbagai SEMA, seperti SEMA Nomor 6 Tahun 1994. Persyaratan ini antara lain :  

    -         Menyebutkan secara spesifik kewenangan untuk beracara di pengadilan;

    -         Menyebutkan identitas para pihak (pemberi dan penerima kuasa) secara jelas dan lengkap;

    -         Menyebutkan identitas pihak lawan;

    -         Menyebutkan pengadilan negeri yang berwenang (kompetensi relatif);

    -         Merinci pokok sengketa secara ringkas dan konkret.

    Apabila surat kuasa yang telah di-Apostille tersebut ternyata isinya tidak memenuhi salah satu syarat kumulatif di atas, maka surat kuasa tersebut tetap akan dianggap cacat formil oleh pengadilan Indonesia. Akibatnya, kuasa hukum tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), dan gugatan dapat dimentahkan melalui eksepsi dengan putusan niet-ontvankelijke verklaard (gugatan tidak dapat diterima). Dengan demikian, Apostille hanya menyederhanakan lapis pertama, namun sama sekali tidak menghilangkan kewajiban untuk mematuhi hukum acara Indonesia pada lapis kedua.  


    Untuk memberikan gambaran praktis mengenai bagaimana dokumen dan subjek hukum asing ditangani dalam sistem peradilan Indonesia, analisis terhadap putusan-putusan konkret di wilayah yurisdiksi tertentu menjadi sangat relevan. Wilayah Kalimantan Barat, dengan kedekatannya pada perbatasan internasional dan aktivitas ekonomi yang melibatkan pihak asing, menyediakan beberapa contoh kasus yang menarik.

    Perkara Pidana Lintas Batas – Kasus Tambang Emas Ilegal Yu Hao

    Kasus yang melibatkan Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok, Yu Hao, atas tuduhan penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, menjadi salah satu perkara paling menonjol di Kalimantan Barat yang perjalanannya mencakup ketiga tingkatan peradilan. Meskipun tidak secara langsung berfokus pada legalisasi dokumen, kasus ini memberikan ilustrasi nyata tentang bagaimana sistem peradilan pidana Indonesia beroperasi ketika dihadapkan pada terdakwa asing dan bukti-bukti yang berdimensi internasional.

    1.        Tingkat Pertama di Pengadilan Negeri Ketapang (vide Putusan Pengadilan Negeri Ketapang Nomor 332/Pid.Sus/2024/PN Ktp., tertanggal 10 Oktober 2024)

    Yu Hao ditangkap oleh tim gabungan dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM dan Mabes Polri pada Mei 2024 atas dugaan melakukan kegiatan penambangan tanpa izin dengan barang bukti signifikan berupa ratusan kilogram material yang diduga mengandung emas. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Ketapang, berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum dan bukti-bukti yang diajukan, majelis hakim menyatakan Yu Hao terbukti bersalah dan menjatuhkan vonis pidana.  

    2.       Tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Pontianak (vide Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 464/PID.SUS/2024/PT PTK., tertanggal 13 Januari 2025)

    Atas putusan PN Ketapang, terdakwa Yu Hao mengajukan banding. Dalam sebuah putusan yang mengejutkan publik dan aparat penegak hukum, Pengadilan Tinggi Pontianak mengabulkan permohonan banding tersebut. Majelis hakim tingkat banding membatalkan putusan PN Ketapang dan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Yu Hao, dengan perintah untuk membebaskannya dari tahanan. Pertimbangan hukum PT Pontianak kemungkinan besar berpusat pada penilaian ulang terhadap alat bukti atau unsur-unsur tindak pidana yang dianggap tidak terpenuhi secara meyakinkan. Putusan ini sempat memicu respons dari berbagai pihak, termasuk Komisi Yudisial.  

    3.       Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung (vide Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5691 K/PID.SUS/2025., tertanggal 13 Juni 2025)

    Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak menerima putusan bebas tersebut, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Ketapang mengajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 2025, Mahkamah Agung RI mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh penuntut umum. Dalam putusannya, majelis hakim agung yang dipimpin oleh Yohanes Priyana., S.H., M.H., membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak. Amar putusan MA menyatakan bahwa Yu Hao terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa izin dan menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan, denda Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Putusan MA ini menegaskan bahwa PT Pontianak telah salah dalam menerapkan hukum atau melampaui kewenangannya dalam menilai fakta di tingkat banding. Setelah putusan kasasi ini berkekuatan hukum tetap, Yu Hao dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Pontianak untuk menjalani hukumannya.  

    Kasus ini menunjukkan dinamika penegakan hukum terhadap WNA, di mana putusan dapat berbalik arah secara drastis di setiap tingkatan peradilan, dan Mahkamah Agung memegang peranan sebagai penjaga terakhir penerapan hukum (judex juris).


    Spektrum Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Pontianak

    Di ranah perdata, Pengadilan Negeri Pontianak telah menangani berbagai perkara yang melibatkan unsur asing, di mana keabsahan dokumen yang dilegalisasi menjadi kunci.

    -        Perkawinan Campuran dan Perceraian

    Dalam sebuah putusan gugatan perceraian, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 130/Pdt.G/2021/PN Ptk., tertanggal 25 Agustus 2021., PN Pontianak mengadili perkara antara seorang Penggugat WNA Tiongkok dengan Tergugat Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di Pontianak. Dalam pertimbangannya, majelis hakim secara eksplisit merujuk pada bukti surat P-1, yaitu Akta Perkawinan Nomor 28/2017 yang dikeluarkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil Kabupaten Mempawah. Dengan diterimanya akta perkawinan ini sebagai bukti yang sah, pengadilan menetapkan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat adalah sah menurut hukum Indonesia. Keabsahan dokumen ini menjadi dasar bagi pengadilan untuk menyatakan dirinya berwenang mengadili perkara (kompetensi absolut dan relatif) dan untuk selanjutnya memeriksa pokok perkara perceraian itu sendiri. Ini adalah contoh langsung bagaimana sebuah dokumen sipil yang melibatkan WNA dan telah dicatatkan secara resmi (sebuah bentuk otentikasi domestik) menjadi fondasi dalam proses peradilan;

    -        Penetapan Perkawinan Beda Agama

    PN Pontianak juga tercatat pernah mengesahkan permohonan perkawinan beda agama, seperti dalam Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 12/Pdt.P/2022/PN.Ptk., tertanggal 20 Januari 2022 antara mempelai pria beragama Islam dan mempelai wanita beragama Kristen. Meskipun UU Perkawinan tidak secara eksplisit mengatur perkawinan beda agama, hakim menggunakan diskresinya berdasarkan asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum) untuk memberikan solusi hukum bagi para pemohon. Dalam kasus seperti ini, dokumen-dokumen identitas para pihak, termasuk yang mungkin berasal dari luar negeri jika salah satunya WNA, harus diajukan dan dinilai keabsahannya oleh hakim sebelum penetapan dapat diberikan.

    -        Permohonan Ganti Nama WNA

    Contoh lain yang relevan adalah Putusan PN Pontianak Nomor 19/Pdt.P/2020/PN Ptk., tertanggal 23 Januari 2020, dalam perkara ini, seorang pemohon mengajukan permohonan untuk mengganti namanya. Majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut dengan mendasarkan pertimbangannya pada bukti surat berupa “Surat Warga Negara Asing (Lembaran Negara 1917 No. 130) Tjatatan Sipil di Pontianak No. 214 / 1970”. Putusan ini menunjukkan bagaimana pengadilan mengakui dan memberikan kekuatan hukum pada dokumen kependudukan historis yang diterbitkan oleh otoritas sipil, bahkan yang berasal dari era peraturan lama, sebagai dasar untuk perubahan status sipil seorang WNA. Hal ini menggarisbawahi pentingnya otentikasi dan penyimpanan dokumen identitas yang sah bagi WNA yang tinggal di Indonesia.

    Kasus-kasus di atas, baik pidana maupun perdata, dari wilayah hukum Kalimantan Barat, secara konkret menunjukkan bahwa interaksi dengan subjek dan dokumen hukum asing bukanlah hal yang langka. Keberhasilan atau kegagalan suatu proses hukum seringkali bergantung pada pemenuhan syarat-syarat formal, termasuk keabsahan dokumen dan kepatuhan terhadap prosedur hukum acara yang berlaku.


    Surat Rogatori dan Bantuan Hukum Lintas Negara

    Ketika sebuah proses peradilan di Indonesia melibatkan pihak atau bukti yang berada di luar negeri, pengadilan tidak dapat secara langsung menjangkau mereka. Di sinilah mekanisme bantuan hukum internasional, yang dikenal sebagai Surat Rogatori, memegang peranan vital. Memahami prosedur ini, serta perbedaannya dengan legalisasi, adalah kunci untuk menjalankan litigasi lintas batas secara efektif.

    Definisi dan Fungsi

    Surat Rogatori (rogatory letter atau letter of request) adalah sebuah permintaan resmi yang diajukan oleh pengadilan di suatu negara (Negara Peminta) kepada pengadilan atau otoritas yang berwenang di negara lain (Negara Diminta) untuk melaksanakan suatu tindakan yudisial. Tindakan ini paling umum mencakup:  

    1.        Penyampaian Dokumen Peradilan (Service of Process)

    Seperti menyampaikan surat panggilan sidang (relaas panggilan), pemberitahuan isi putusan, atau memori kasasi kepada seorang pihak yang berdomisili di luar negeri.  

    2.       Pengambilan Alat Bukti (Taking of Evidence)

    Seperti melakukan pemeriksaan terhadap saksi atau saksi ahli yang berada di luar negeri.  

    Surat Rogatori adalah instrumen yang didasarkan pada prinsip kesopanan internasional (international comity) dan resiprositas, yang memungkinkan sistem peradilan dari negara-negara yang berbeda untuk saling membantu demi tegaknya keadilan.

    Dasar Hukum dan Prosedur di Indonesia

    Di Indonesia, karena belum meratifikasi konvensi khusus mengenai penyampaian dokumen atau pengambilan bukti di luar negeri (seperti Konvensi Pelayanan Den Haag), prosedur Surat Rogatori diatur secara internal melalui kerja sama antarlembaga. Landasan operasional utamanya adalah Nota Kesepahaman (MoU) antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia tentang Penanganan Bantuan Teknis Hukum dalam Perkara Perdata Lintas Negara. Versi terbaru dari MoU ini adalah Nomor PRJ/HK/00001/04/2023/22 - 02/KMA/NK/IV/2023.  

    Berdasarkan MoU tersebut, alur prosedur untuk permintaan dari pengadilan Indonesia ke luar negeri adalah sebagai berikut :  

    1.       Pengajuan oleh Pengadilan Tingkat Pertama

    Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang memeriksa perkara mengajukan permohonan bantuan teknis hukum (Surat Rogatori) secara resmi kepada Ketua Mahkamah Agung.

    2.       Verifikasi dan Penerusan oleh Mahkamah Agung

    Kepaniteraan Mahkamah Agung akan memeriksa kelengkapan dokumen permohonan. Dokumen ini harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan, termasuk penerjemahan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa resmi negara tersebut. Jika lengkap, MA akan meneruskan permohonan tersebut ke Kementerian Luar Negeri.  

    3.       Transmisi melalui Jalur Diplomatik oleh Kemenlu

    Kemenlu, melalui direktorat terkait (misalnya Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional atau Direktorat Perlindungan WNI), akan mengirimkan Surat Rogatori tersebut ke Perwakilan RI (Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal) di negara tujuan.

    4.       Penerusan ke Otoritas Lokal

    Perwakilan RI kemudian meneruskan permintaan tersebut kepada kementerian luar negeri atau otoritas yudisial yang berwenang di negara tujuan untuk dilaksanakan sesuai dengan hukum acara setempat.

    Digitalisasi Proses

    Menyadari bahwa prosedur ini bisa sangat lambat, Mahkamah Agung telah mengambil langkah-langkah untuk melakukan digitalisasi. Terhitung mulai 1 Maret 2024, pengiriman berkas ke Perwakilan RI di luar negeri dilakukan secara terpusat oleh Kepaniteraan MA, dan pengadilan tingkat pertama diwajibkan untuk mengirimkan dokumen permohonan dalam bentuk elektronik (softcopy) selain dokumen fisik. Selain itu, untuk pembayaran biaya yang mungkin timbul (seperti biaya juru sita di negara tujuan), MA telah mengembangkan sistem rekening virtual (Virtual Account) melalui aplikasi Direktori Putusan untuk mempermudah dan mempercepat proses pembayaran.  


    Panggilan Lintas Batas: Perbedaan Krusial antara Tergugat dan Penggugat di Luar Negeri

    Dalam konteks litigasi perdata, implikasi dari keberadaan pihak di luar negeri sangat berbeda tergantung pada apakah pihak tersebut adalah Penggugat atau Tergugat.

    Apabila Tergugat Berada di Luar Negeri

    1)        Isu hukum yang paling fundamental adalah memastikan panggilan sidang (relaas panggilan) dilakukan secara sah dan patut (panggilan yang sah dan patut). Ini adalah perwujudan dari asas audi et alteram partem (dengarkan juga pihak lain), yang merupakan pilar utama dari peradilan yang adil. Tergugat harus diberi kesempatan yang layak untuk mengetahui adanya gugatan dan untuk membela diri;

    2)       Penggugat harus secara aktif meminta kepada majelis hakim agar pemanggilan Tergugat dilakukan melalui mekanisme Surat Rogatori. Pengadilan harus memberikan tenggang waktu yang sangat cukup antara tanggal panggilan dan hari sidang, di mana Mahkamah Agung seringkali merekomendasikan minimal 4 bulan untuk mengakomodasi panjangnya alur birokrasi internasional. Seluruh dokumen panggilan dan lampiran gugatan wajib diterjemahkan ke dalam bahasa yang dipersyaratkan oleh negara tujuan;

    3)       Jika prosedur pemanggilan melalui Surat Rogatori tidak dilaksanakan dengan benar, maka panggilan tersebut dianggap cacat hukum. Segala putusan yang dijatuhkan, terutama putusan tanpa kehadiran Tergugat (verstek), menjadi sangat rentan untuk dibatalkan di tingkat banding atau kasasi, atau bahkan dapat dianggap batal demi hukum karena melanggar hak-hak dasar Tergugat.

    Apabila Penggugat Berada di Luar Negeri

    1)        Isu hukum yang utama adalah keabsahan perwakilan hukum (validity of legal representation). Karena Penggugat adalah pihak yang berinisiatif memulai perkara, pengadilan harus memastikan bahwa advokat yang hadir di persidangan benar-benar memiliki wewenang yang sah untuk bertindak atas nama Penggugat yang berdomisili di luar negeri;

    2)       Penggugat wajib memberikan Surat Kuasa Khusus kepada advokatnya di Indonesia. Sebagaimana telah dibahas secara mendalam di Bagian III, surat kuasa ini harus memenuhi dua lapis pengujian:

    a.     isinya harus sesuai dengan syarat surat kuasa khusus menurut hukum acara Indonesia, dan

    b.     otentisitasnya harus dibuktikan melalui legalisasi oleh Perwakilan RI atau melalui Sertifikat Apostille jika dibuat di negara anggota Konvensi.  

    3)       Jika surat kuasa khusus tersebut dinilai cacat formil—baik karena isinya tidak lengkap maupun karena tidak dilegalisasi/di-Apostille—maka advokat yang bersangkutan dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mewakili Penggugat. Pihak Tergugat dapat mengajukan eksepsi mengenai surat kuasa tidak sah, dan jika eksepsi ini diterima oleh hakim, maka gugatan akan langsung dinyatakan tidak dapat diterima (niet-ontvankelijke verklaard) tanpa perlu memeriksa pokok perkaranya.  

    Secara konseptual, Surat Rogatori dan Legalisasi adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu kedaulatan yudisial. Keduanya adalah mekanisme yang dirancang untuk mengatasi masalah fundamental yang sama: bagaimana membuat suatu tindakan atau dokumen hukum dapat berlaku efektif melintasi batas-batas kedaulatan negara. Pengadilan Indonesia tidak dapat secara langsung memerintahkan seorang warga di Jerman untuk hadir di sidang; keterbatasan kedaulatan ini dijembatani oleh Surat Rogatori, yang merupakan sebuah permintaan bantuan yudisial.

    Demikian pula, pengadilan Indonesia tidak dapat secara otomatis menerima keaslian akta notaris dari Jerman; keterbatasan kedaulatan ini dijembatani oleh Legalisasi atau Apostille, yang merupakan sebuah sertifikasi keaslian formal. Yang satu adalah alat untuk proses yudisial, sementara yang lain adalah alat untuk dokumen yudisial. Keduanya bekerja secara komplementer untuk memungkinkan terselenggaranya peradilan lintas negara.

    Kesimpulan: Harmonisasi dalam Disonansi Hukum Internasional

    Analisis komprehensif terhadap rezim legalisasi dokumen internasional di Indonesia menyingkap sebuah lanskap hukum yang dinamis, penuh dengan kemajuan sekaligus tantangan. Aksesi Indonesia ke Konvensi Apostille melalui Perpres No. 2 Tahun 2021 tidak dapat dimungkiri merupakan sebuah lompatan kuantum menuju efisiensi, debirokratisasi, dan penyelarasan dengan praktik terbaik global. Langkah ini secara fundamental mengubah prosedur yang sebelumnya kaku dan berbelit menjadi sebuah layanan satu pintu yang cepat dan terjangkau, sebuah kebijakan yang secara langsung mendukung iklim investasi dan mobilitas warga negara di panggung dunia.

    Namun, simplifikasi ini tidak serta-merta menciptakan sebuah sistem yang monolitik dan bebas dari kerumitan. Realitasnya, Indonesia kini mengoperasikan sebuah sistem ganda (dual-track system). Di satu sisi, jalur Apostille yang modern dan efisien berlaku untuk lebih dari 120 negara anggota konvensi. Di sisi lain, jalur konvensional yang multi-lapis dan memakan waktu tetap menjadi satu-satunya pilihan untuk negara-negara di luar lingkaran Konvensi Apostille. Koeksistensi dua sistem ini melahirkan “jebakan yurisdiksional” yang menuntut kehati-hatian ekstra dari para praktisi, pelaku usaha, dan masyarakat umum. Kesalahan dalam mengidentifikasi jalur yang benar dapat berakibat fatal, menjadikan dokumen tidak bernilai di negara tujuan.


    Lebih jauh, dalam konteks peradilan, penyederhanaan melalui Apostille hanya menyentuh lapisan terluar dari validitas dokumen. Sebagaimana ditegaskan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung yang konsisten sejak Putusan No. 3038 K/Pdt/1981, sebuah dokumen atau surat kuasa dari luar negeri harus melewati “uji validitas dua lapis”.

    Apostille atau legalisasi konvensional hanya memenuhi lapis pertama, yaitu otentikasi asal-usul. Lapis kedua, yaitu kepatuhan terhadap substansi dan formalitas yang disyaratkan oleh hukum acara perdata Indonesia (HIR/RBg dan SEMA), tetap menjadi benteng yang tidak dapat ditembus. Kegagalan pada lapis kedua ini akan menggugurkan nilai hukum dokumen tersebut di mata pengadilan.

    Harmonisasi yang dicapai melalui adopsi standar internasional ternyata masih berhadapan dengan disonansi yang tercipta dari kekhususan hukum domestik. Mekanisme bantuan hukum lintas negara melalui Surat Rogatori, meskipun telah didukung oleh MoU antara Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri serta inisiatif digitalisasi, tetap merupakan proses yang kompleks dan memakan waktu, yang menuntut perencanaan cermat dari para pihak yang berperkara.

    Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi praktis dapat dirumuskan:

    -         Bagi Praktisi Hukum

    Prioritaskan uji tuntas (due diligence) untuk menentukan status keanggotaan negara tujuan dalam Konvensi Apostille sebagai langkah awal. Terapkan secara disiplin “uji validitas dua lapis” dalam mempersiapkan surat kuasa dari luar negeri, dengan memastikan kepatuhan penuh terhadap hukum acara Indonesia. Alokasikan waktu yang sangat memadai untuk proses Surat Rogatori dalam strategi litigasi.

    -         Bagi Pelaku Usaha

    Pahami bahwa proses legalisasi dokumen adalah bagian integral dari manajemen risiko dalam transaksi lintas batas, penanaman modal, dan ketenagakerjaan asing. Mengintegrasikan pemahaman ini ke dalam prosedur operasional standar dapat mencegah penundaan dan kerugian finansial yang signifikan.

    -         Bagi Masyarakat Umum

    Untuk keperluan pribadi seperti perkawinan, pendidikan, atau status sipil lainnya, selalu verifikasi persyaratan legalisasi spesifik yang diminta oleh otoritas di negara tujuan sebelum memulai proses di Indonesia untuk menghindari kesalahan prosedur.

    Pada akhirnya, reformasi hukum yang telah dilakukan Indonesia adalah sebuah langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, tantangan implementasi tetap ada, terutama dalam hal sosialisasi yang berkelanjutan dan masif kepada seluruh aparat pemerintah, lembaga peradilan, dan publik agar terdapat pemahaman yang seragam mengenai fungsi dan batas-batas Sertifikat Apostille.


    Ke depan, seiring dengan kemajuan teknologi, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan evolusi lebih lanjut di mana otentikasi digital terdesentralisasi mulai melengkapi, atau bahkan menantang, sistem legalisasi yang masih berpusat pada kedaulatan negara. Perjalanan menuju harmonisasi hukum dalam dunia yang terglobalisasi adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini.  atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.