Pertanyaan
Selamat pagi. Saya ingin bertanya terkait dengan permasalahan hukum yang
tengah saya hadapi, saat ini saya sedang mengalami sebuah kasus perdata
internasional yang cukup pelik. Saya dihadapkan pada kebutuhan untuk
menggunakan dokumen dari luar negeri sebagai bukti di pengadilan Indonesia,
sekaligus mempersiapkan dokumen dari Indonesia untuk keperluan hukum di
negara lain. Terus terang, saya masih gamang membedakan antara prosedur
legalisasi konvensional dengan sistem Apostille yang katanya baru.
Mohon pencerahan dan gambaran utuhnya, Pak, bagaimana sebetulnya alur
legalisasi yang benar dan sah saat ini, baik untuk dokumen yang akan masuk
maupun keluar dari Indonesia? Apa saja dasar hukumnya yang paling mutakhir?
Dan yang terpenting, bagaimana implikasinya di pengadilan, terutama jika
kami harus melakukan pemanggilan terhadap pihak Tergugat yang berada di luar
negeri? Kami butuh pemahaman yang komprehensif, dari A sampai Z, agar tidak
salah langkah. Terima Kasih.
Jawaban
Pengantar
Dalam lalu lintas hukum global yang semakin intensif, legalisasi dokumen
internasional kerap dipandang sebagai sekadar formalitas birokratis—sebuah
prosedur administratif yang melelahkan dan memakan biaya. Namun, pandangan
ini menyederhanakan sebuah proses yang sejatinya merupakan arena dialektika
antara dua kekuatan fundamental yaitu
kedaulatan negara (state sovereignty) yang bersifat teritorial
dan tuntutan globalisasi yang tak mengenal batas.
Setiap stempel, tanda tangan, dan sertifikat yang dibubuhkan pada selembar
dokumen lintas negara adalah manifestasi dari tegangan ini. Di satu sisi,
negara domestik berusaha “menjinakkan” dokumen asing, membuatnya dapat
dikenali dan diterima dalam tatanan hukum nasionalnya. Di sisi lain, dengan
menerima dokumen tersebut, sistem hukum domestik secara sadar membuka diri
terhadap realitas dan produk hukum dari yurisdiksi lain.
Secara praktis, prosedur legalisasi, terutama sebelum era reformasi,
identik dengan jalur birokrasi yang berliku, mahal, dan memakan waktu.
Individu yang hendak menikah atau melangsungkan perkawinan dengan warga
negara asing, pelajar yang akan menempuh pendidikan di luar negeri, hingga
korporasi multinasional (multinational company (MNC)) yang melakukan
transaksi lintas batas, semuanya dihadapkan pada rantai verifikasi yang
panjang, mulai dari notaris, kementerian, hingga perwakilan diplomatik.
Frustrasi inilah yang menjadi katalisator utama bagi reformasi hukum di
bidang ini.
Secara akademis, legalisasi adalah jembatan prosedural yang menghidupkan
adagium hukum perdata internasional locus regit actum—hukum dari tempat di mana suatu perbuatan hukum dilakukan akan menentukan
bentuk dari perbuatan tersebut. Legalisasi memungkinkan suatu akta kelahiran yang dibuat di Paris atau
putusan pengadilan yang diketuk di Singapura untuk memiliki akibat hukum di
hadapan otoritas Indonesia, dengan cara memverifikasi keaslian formal dari
dokumen tersebut.
Secara filosofis, legalisasi adalah cerminan dari tingkat “kepercayaan”
antar sistem hukum. Sistem legalisasi konvensional, pada hakikatnya, adalah
sebuah arsitektur yang dibangun di atas fondasi ketidakpercayaan. Suatu
negara tidak serta-merta mengakui keabsahan stempel notaris atau panitera
dari negara lain; ia menuntut pejabat diplomatiknya sendiri untuk menjamin
keaslian tanda tangan pejabat asing tersebut.
Aksesi Indonesia ke
The Convention of 5 October 1961 Abolishing the Requirement of
Legalisation for Foreign Public Documents, atau yang lebih dikenal dengan “the Apostille Convention” atau
Konvensi Apostille, adalah perjanjian internasional yang dirancang
oleh Konferensi Den Haag tentang Hukum Perdata Internasional (HCCH), yang
mulai menandai pergeseran paradigma menuju sebuah sistem kepercayaan
kolektif yang didasarkan pada perjanjian multilateral, di mana negara-negara
anggota sepakat untuk saling percaya pada sertifikat tunggal yang
diterbitkan oleh otoritas yang ditunjuk.
Akhirnya, dari perspektif yang lebih radikal, seluruh bangunan legalisasi
yang berpusat pada negara ini patut dipertanyakan di era digital. Jika masa
depan otentikasi tidak lagi terletak pada rantai stempel basah, melainkan
pada blockchain dan identitas digital terdesentralisasi yang tidak
dapat diubah, maka
peran negara sebagai penjamin keaslian tunggal akan mengalami disrupsi
fundamental.
Legalisasi, dalam bentuknya saat ini, mungkin merupakan babak akhir dari
sebuah era otentikasi yang dimonopoli oleh negara.
Perkembangan rezim legalisasi di Indonesia—dari warisan Kolonial Hindia
Belanda melalui
Staatsblad 1909 Nomor 291 tentang Ketentuan mengenai Legalisasi Tanda
Tangan, yang kaku menuju adopsi Konvensi Apostille yang pro-bisnis—bukanlah sekadar
penyesuaian teknis-yuridis. Ini adalah barometer yang mengukur postur global
Indonesia. Langkah ini merupakan pilihan kebijakan yang disengaja untuk
menyelaraskan infrastruktur hukum-administratifnya dengan ambisi ekonomi
yang lebih besar, terutama dalam rangka mendukung kemudahan berusaha atau
Ease of Doing Business (EODB). Prosedur legalisasi yang rumit dan
lamban merupakan penghambat nyata bagi investasi dan mobilitas global.
Dengan meratifikasi Konvensi Apostille melalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang
Pengesahan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for
Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi
Terhadap Dokumen Publik Asing), Indonesia secara tegas menyatakan bahwa hukum harus berfungsi sebagai
fasilitator, bukan penghambat, dalam kancah ekonomi global.
Definisi dan Tujuan Mendasar
Legalisasi, dalam esensinya, adalah sebuah tindakan pengesahan formal yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang terhadap suatu dokumen publik. Penting
untuk dipahami bahwa objek dari legalisasi bukanlah kebenaran materiil atau
isi dari dokumen tersebut, melainkan otentisitas formalnya.
Secara spesifik, legalisasi bertujuan untuk mengesahkan atau memverifikasi
keaslian tanda tangan pejabat yang menandatangani dokumen, kapasitas atau
jabatan dari pejabat tersebut, dan keaslian cap atau segel resmi yang
tertera pada dokumen. Dengan kata lain, legalisasi menjawab pertanyaan, “Apakah dokumen ini benar-benar dikeluarkan oleh otoritas yang semestinya
di negara asalnya?” bukan, “Apakah isi dari dokumen ini benar secara substansial?”
Tujuan fundamental dari proses ini adalah untuk menjembatani jurang
kedaulatan antarnegara, sehingga sebuah dokumen yang diterbitkan di bawah
yurisdiksi Negara A dapat diterima dan diakui untuk tujuan hukum di Negara
B. Tanpa mekanisme legalisasi, sebuah akta kelahiran, ijazah, putusan
pengadilan, atau akta notaris dari luar negeri hanya akan menjadi selembar
kertas tanpa kekuatan hukum di hadapan institusi pemerintah atau pengadilan
di Indonesia begitu pun sebaliknya.
Legalisasi memberikan kepastian hukum mengenai asal-usul dan keabsahan
formal dokumen, yang merupakan prasyarat sebelum dokumen tersebut dapat
digunakan dalam berbagai keperluan, baik administratif (seperti pendaftaran
perkawinan, izin tinggal, atau pendaftaran sekolah) maupun litigasi (sebagai
alat bukti di pengadilan).
Dasar Hukum dan Evolusi
Kerangka hukum yang mengatur legalisasi di Indonesia telah mengalami
evolusi signifikan, dari peraturan warisan zaman kolonial hingga harmonisasi
dengan standar internasional modern.
Era Kolonial dan Awal Kemerdekaan
Selama lebih dari satu abad, landasan hukum utama untuk legalisasi di
Indonesia adalah
Staatsblad 1909 Nomor 291 tentang Ketentuan mengenai Legalisasi Tanda
Tangan. Peraturan peninggalan pemerintah Hindia Belanda ini meletakkan dasar bagi
prosedur legalisasi yang sangat formalistis dan berjenjang, yang pada
praktiknya terus digunakan bahkan jauh setelah kemerdekaan Indonesia.
Pendekatan ini mencerminkan pandangan hukum pada masanya yang sangat
menekankan pada formalitas dan otentikasi berlapis sebagai wujud kedaulatan
negara.
Era Modern (Pra-Apostille)
Prinsip-prinsip dari Staatsblad tersebut kemudian diserap dan
diperkuat dalam kerangka hukum administrasi pemerintahan modern. Landasan
yuridis utama bagi kewenangan pemerintah untuk melakukan legalisasi
ditemukan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan
(selanjutnya disebut “UU tentang Administrasi Pemerintahan”),
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja.
Secara spesifik,
Pasal 73 ayat (1) dan (2) UU tentang Administrasi Pemerintahan
menjadi dasar hukumnya. Pasal tersebut menyatakan:
(1)
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat melakukan legalisasi terhadap
salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang telah sesuai
dengan aslinya.
(2)
Legalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Dokumen
yang berbentuk tertulis di atas kertas dan/atau Dokumen Elektronik.
Ketentuan ini secara eksplisit memberikan kewenangan kepada badan dan
pejabat pemerintah untuk melakukan legalisasi, yang didefinisikan sebagai
pernyataan mengenai keabsahan suatu salinan dokumen yang dinyatakan
sesuai dengan aslinya. Meskipun UU tentang Administrasi Pemerintahan menyediakan payung hukum
umum, rincian teknis mengenai prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dalam peraturan-peraturan setingkat menteri, yang akan dibahas pada bagian
selanjutnya.
Prinsip Par In Parem Non Habet Imperium dalam Konteks Dokumen
Kebutuhan akan adanya prosedur legalisasi berakar kuat pada salah satu
prinsip fundamental dalam hukum internasional, yaitu
par in parem non habet imperium. Prinsip ini menyatakan bahwa
satu negara yang berdaulat tidak memiliki yurisdiksi atau wewenang untuk
memerintah negara berdaulat lainnya. Dalam konteks dokumen, hal ini berarti bahwa sebuah
pengadilan di Indonesia tidak dapat secara otomatis mengakui atau
memerintahkan keabsahan atas tindakan resmi yang dilakukan oleh pejabat
di negara lain, seperti notaris, panitera pengadilan, atau pejabat catatan sipil.
Legalisasi, terutama melalui jalur diplomatik atau konsuler, adalah
protokol yang disepakati secara resiprokal untuk mengatasi kebuntuan
kedaulatan ini. Melalui proses ini, perwakilan diplomatik suatu negara
(misalnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin) bertindak sebagai
“penjamin” bagi sistem hukum negaranya sendiri. Dengan melegalisasi tanda
tangan pejabat Jerman, diplomat Indonesia tersebut pada dasarnya menyatakan
kepada otoritas di Indonesia, “Saya, sebagai perwakilan resmi Negara Republik Indonesia, telah
memverifikasi bahwa tanda tangan dan jabatan pejabat ini adalah sah
menurut hukum Jerman.” Dengan demikian, legalisasi menjadi jembatan formal yang memungkinkan
pengakuan lintas yurisdiksi tanpa melanggar prinsip kedaulatan masing-masing
negara.
Dua Jalan Legalisasi di Indonesia: Konvensional vs. Apostille
Sejak aksesi Indonesia ke Konvensi Apostille, lanskap legalisasi dokumen
internasional di Indonesia terbagi menjadi dua jalur yang berbeda dan
berjalan secara paralel. Pemilihan jalur yang tepat bergantung sepenuhnya
pada satu faktor krusial yaitu
negara tujuan di mana dokumen akan digunakan. Kesalahan dalam memilih
jalur akan mengakibatkan dokumen ditolak, membuang waktu, biaya, dan tenaga
yang tidak sedikit. Hal ini menciptakan sebuah realitas hukum baru di mana
pemahaman mendalam mengenai kedua sistem ini menjadi prasyarat esensial bagi
siapa pun yang berurusan dengan dokumen lintas negara.
Jalur Konvensional – Prosedur Multi-Lapis untuk Negara Non-Anggota Konvensi
Jalur konvensional adalah prosedur legalisasi tradisional yang telah
berlaku selama puluhan tahun. Prosedur ini tetap wajib ditempuh apabila
dokumen yang berasal dari Indonesia akan digunakan di negara yang bukan
merupakan anggota Konvensi Den Haag 1961 (Konvensi Apostille), atau
sebaliknya, jika dokumen dari negara non-anggota tersebut akan digunakan di
Indonesia.
Logika yang mendasari jalur ini adalah “rantai otentikasi” (chain of authentication). Setiap pejabat dalam rantai tersebut memverifikasi keaslian tanda tangan
dan jabatan pejabat pada level di bawahnya, menciptakan sebuah jejak
verifikasi yang dapat ditelusuri hingga ke sumbernya.
Alur Prosedur (Dokumen Indonesia untuk Luar Negeri)
Untuk dokumen yang diterbitkan di Indonesia dan akan digunakan di negara
non-anggota Konvensi Apostille, alur prosedurnya secara umum adalah sebagai
berikut:
1)
Penerbitan Dokumen
Dokumen diterbitkan oleh instansi yang berwenang, misalnya akta notaris
oleh Notaris, putusan pengadilan oleh Panitera Pengadilan, atau ijazah oleh
universitas.
2)
Legalisasi oleh Kementerian Hukum Republik Indonesia
Tanda tangan pejabat publik atau notaris pada dokumen tersebut harus
dilegalisasi terlebih dahulu oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum (Ditjen AHU) Kemenkum RI. Tahap ini bertujuan untuk memverifikasi bahwa
pejabat atau notaris yang menandatangani dokumen tersebut memang terdaftar
dan berwenang.
3)
Legalisasi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu)
Setelah dilegalisasi oleh Kemenkumham, dokumen tersebut kemudian dibawa ke
Kemenlu. Pejabat di Kemenlu akan melegalisasi tanda tangan pejabat
Kemenkumham. Tahap ini mengonfirmasi keabsahan stempel dan tanda tangan dari
Kemenkum di mata dunia internasional.
4)
Legalisasi Akhir oleh Perwakilan Negara Tujuan
Tahap terakhir adalah membawa dokumen yang telah dilegalisasi oleh Kemenlu
ke Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal negara tujuan yang berada di
Indonesia. Pejabat konsuler dari negara tersebut akan melegalisasi tanda
tangan pejabat Kemenlu. Baru setelah tahap ini, dokumen tersebut dianggap
sah dan dapat digunakan di negara tujuan.
Dasar Hukum Kunci
Prosedur di tingkat Kemenlu diatur secara spesifik dalam
Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022
tentang Tata Cara Legalisasi Dokumen pada Kementerian Luar Negeri
(selanjutnya disebut “Permenlu 14/2022”). Peraturan ini mencabut dan menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu
Permenlu Nomor 13 Tahun 2019.
Pasal kunci dalam adalah Pasal 5 Permenlu 14/2022, yang menegaskan logika rantai otentikasi:
(1)
Legalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan terhadap
Dokumen yang terlebih dahulu dilegalisasi oleh:
a.
Pejabat yang Ditunjuk oleh Menteri yang Menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk Dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; atau
b.
Pejabat yang Ditunjuk pada Perwakilan atau Pejabat yang Ditunjuk pada
Perwakilan Negara Asing untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf b.
Pasal ini secara jelas menetapkan bahwa
Kemenlu hanya akan melakukan legalisasi jika dokumen tersebut telah
melalui tahap legalisasi sebelumnya di Kemenkumham (untuk dokumen dari
Indonesia) atau di perwakilan negara asing (untuk dokumen asing
tertentu). Prosedur ini panjang, memakan waktu setidaknya 7-14 hari kerja, dan
melibatkan biaya di setiap tahapannya.
Revolusi Apostille – Penyederhanaan Satu Pintu
Menyadari bahwa prosedur konvensional menjadi penghambat dalam iklim global
yang menuntut kecepatan dan efisiensi, Indonesia mengambil langkah strategis
dengan mengaksesi Konvensi Apostille. Langkah ini merupakan sebuah revolusi
dalam layanan publik di bidang legalisasi, memangkas rantai birokrasi
menjadi satu pintu tunggal.
Latar Belakang Reformasi
Aksesi ini didorong oleh beberapa faktor utama:
-
Peningkatan Kemudahan Berusaha (EODB)
Prosedur yang rumit menjadi salah satu kendala dalam peringkat EODB
Indonesia. Penyederhanaan legalisasi diharapkan dapat menarik lebih banyak
investasi asing dengan memberikan kepastian dan kecepatan dalam pengurusan
dokumen legal.
-
Efisiensi Pelayanan Publik
Pemerintah bertujuan untuk mendebirokratisasi layanan, mengurangi waktu dan
biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pelaku usaha.
-
Kebutuhan Mobilitas Global
Semakin banyak Warga Negara Indonesia yang belajar, bekerja, atau menikah
di luar negeri, sehingga kebutuhan akan pengakuan dokumen yang cepat dan
mudah menjadi semakin mendesak.
Dasar Hukum Pengesahan dan Pelaksanaan
Langkah fundamental Indonesia untuk bergabung dengan rezim Apostille
diwujudkan melalui:
1)
Pengesahan Konvensi
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang
Pengesahan Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for
Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi
Terhadap Dokumen Publik Asing), yang selanjutnya disebut dengan “Perpres 2/2021”. Sebagaimana
dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Perpres 2/2021 secara tegas
menyatakan:
“Mengesahkan
Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public
Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi terhadap Dokumen
Publik Asing), yang telah diadopsi dalam
The Hague Conference on Private International Law (Konferensi Den Haag
tentang Hukum Perdata Internasional)
pada tanggal 5 Oktober 1961 di Den Haag, Belanda...”.
Penting untuk dicatat, saat meratifikasi, Indonesia membuat pernyataan
(declaration) terhadap Pasal 1 Konvensi, yang mengecualikan dokumen
yang diterbitkan oleh kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dari ruang
lingkup Apostille. Dokumen-dokumen ini tetap harus melalui jalur legalisasi
konvensional.
2)
Penunjukan Otoritas Kompeten
Konvensi mengamanatkan setiap negara anggota untuk menunjuk
Competent Authority (Otoritas Kompeten) yang berwenang menerbitkan
Sertifikat Apostille. Di Indonesia, otoritas ini adalah Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang kini disebut dengan Menteri Hukum
Republik Indonesia, yang pelaksanaannya didelegasikan kepada
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).
3)
Peraturan Pelaksana
Prosedur teknis layanan Apostille diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2022 tentang Layanan Legalisasi Apostille pada Dokumen Publik
(selanjutnya disebut “Permenkumham 6/2022”). Peraturan ini menjadi landasan bagi penyelenggaraan layanan
Apostille yang kini dapat diakses secara daring, mulai dari pengajuan
permohonan, verifikasi, hingga pembayaran, yang secara drastis memangkas
waktu proses menjadi sekitar 1-3 hari kerja.
Jenis Dokumen yang Dapat Di-Apostille
Tidak semua dokumen publik dapat melalui jalur Apostille. Kemenkumham telah
menerbitkan daftar spesifik melalui
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.HH-01.AH.03.01 TAHUN 2022 tentang Daftar Jenis Dokumen Layanan
Legalisasi Apostille pada Dokumen Publik. Dokumen-dokumen yang termasuk dalam daftar ini antara lain:
-
Dokumen dari Mahkamah Agung
Salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan salinan
penetapan pengadilan.
-
Dokumen Administratif
Akta kelahiran, akta kematian, akta perkawinan, dan akta perceraian yang
dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
-
Dokumen Pendidikan
Ijazah dan transkrip nilai dari berbagai jenjang pendidikan.
-
Dokumen Notaris
Akta-akta yang dibuat oleh Notaris.
-
Dokumen dari Penerjemah Tersumpah
Hasil terjemahan dokumen oleh penerjemah yang telah disumpah.
-
Dokumen Lainnya
Seperti surat keterangan belum pernah menikah dari KUA, sertifikat
kompetensi, dan berbagai dokumen lain yang diterbitkan oleh
kementerian/lembaga pemerintah yang tercantum dalam lampiran keputusan
tersebut.
Untuk dokumen yang tidak tercantum dalam daftar ini, berlaku prosedur
legalisasi konvensional.
Keberadaan dua sistem yang berjalan secara simultan ini menciptakan sebuah
“jebakan yurisdiksional” (jurisdictional trap) bagi para pihak yang
tidak cermat. Meskipun Apostille menawarkan penyederhanaan yang luar biasa,
ia bukanlah pengganti universal untuk sistem lama.
Keduanya bersifat eksklusif satu sama lain tergantung pada negara
tujuan.
Seseorang yang hendak menggunakan dokumen di negara anggota Konvensi
Apostille namun keliru menempuh jalur legalisasi konvensional akan membuang
waktu dan biaya yang tidak perlu. Sebaliknya, dan yang lebih fatal,
seseorang yang memproses dokumen dengan Sertifikat Apostille untuk digunakan
di negara non-anggota akan mendapati dokumennya tidak diakui dan tidak
memiliki kekuatan hukum.
Konsekuensinya, langkah pertama yang paling fundamental dan tidak dapat
ditawar dalam setiap proses legalisasi dokumen internasional saat ini adalah
melakukan uji tuntas (due diligence) untuk memastikan status
keanggotaan negara tujuan dalam Konvensi Apostille.
Proses legalisasi atau Apostille bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah
gerbang pembuka agar dokumen asing dapat diterima dalam sistem peradilan
Indonesia. Memahami implikasinya dalam hukum acara perdata adalah krusial,
karena kegagalan memenuhi persyaratan formal dapat berakibat fatal terhadap
suatu gugatan atau pembelaan.
Kekuatan Pembuktian Dokumen Asing di Pengadilan
Berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, yang merujuk
pada Herzien Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura serta
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan
Madura, alat bukti surat merupakan alat bukti utama. Namun, agar sebuah
dokumen asing dapat diterima sebagai alat bukti surat yang sah, ia harus
memenuhi serangkaian syarat, baik formil maupun materiil.
Legalisasi sebagai Prasyarat Formal
Legalisasi atau Apostille berfungsi untuk memenuhi
syarat formil pertama, yaitu membuktikan
otentisitas asal-usul dokumen (authenticity of origin). Proses
ini memberikan jaminan kepada majelis hakim bahwa dokumen tersebut bukanlah
produk pemalsuan, dan benar-benar diterbitkan serta ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang di negara asalnya. Tanpa legalisasi atau Apostille,
sebuah dokumen asing pada dasarnya tidak memiliki nilai pembuktian formal
dan akan ditolak oleh pengadilan sebagai alat bukti. Ia hanya akan dianggap
sebagai “akta di bawah tangan” yang kebenarannya harus dibuktikan lebih
lanjut, atau bahkan tidak dipertimbangkan sama sekali.
Melampaui Otentisitas: Penilaian Relevansi dan Kebenaran Materiil
Penting untuk ditekankan bahwa legalisasi atau Apostille
tidak secara otomatis membuktikan kebenaran isi (substansi) dari dokumen
tersebut. Setelah sebuah dokumen asing berhasil melewati gerbang formalitas melalui
legalisasi, hakim akan tetap menjalankan kewenangannya untuk menilai
kekuatan pembuktiannya secara materiil. Hakim akan mempertimbangkan:
1.
Apakah isi dokumen tersebut relevan dan memiliki hubungan langsung dengan
pokok sengketa yang sedang diperiksa?; dan
2.
Apakah fakta-fakta yang tertuang dalam dokumen tersebut didukung oleh
alat-alat bukti lain, seperti keterangan saksi atau pengakuan para
pihak?
Dengan demikian,
legalisasi hanya memastikan dokumen tersebut “layak masuk” ke dalam arena
pembuktian di persidangan.
Pihak yang menyodorkan dokumen tersebut masih memikul beban untuk
meyakinkan hakim akan kebenaran isinya.
Dokumen Elektronik dan UU ITE
Perkembangan teknologi melahirkan dokumen elektronik dan sertifikat
e-Apostille. Dalam konteks hukum Indonesia, hal ini bersinggungan langsung
dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
(yang selanjutnya disebut dengan “UU ITE”), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 yang
terakhir diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyatakan:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.”
Ayat (2)
selanjutnya menegaskan bahwa
alat bukti elektronik ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, sebuah dokumen publik asing dalam format elektronik yang
telah dibubuhi Sertifikat e-Apostille akan dianggap sebagai alat bukti
elektronik yang sah di pengadilan Indonesia,
asalkan keutuhan dan keasliannya dapat dijamin dan diverifikasi melalui
sistem yang tersedia, seperti e-Register yang diamanatkan oleh Konvensi Apostille.
Studi Kasus Yurisprudensi Kunci – Keabsahan Surat Kuasa dari Luar Negeri
Salah satu area paling kritis di mana legalisasi dokumen berperan adalah
dalam hal surat kuasa khusus yang dibuat di luar negeri untuk digunakan
dalam proses peradilan di Indonesia. Yurisprudensi Mahkamah Agung telah
secara konsisten menegaskan pentingnya legalisasi dalam konteks ini.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3038 K/Pdt/1981: Peletakan Fondasi
sebuah putusan yang menjadi tonggak sejarah (landmark ruling) dalam
hal ini adalah
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3038 K/Pdt/1981,
tertanggal 18 September 1986.
-
Konteks Perkara: Sengketa ini melibatkan PT Djasta (Tergugat/Pemohon Kasasi) melawan GEBR.
HOESCH & CO KG, sebuah perusahaan dari Jerman Barat (Penggugat/Termohon
Kasasi), terkait sengketa merek dagang “Dianamt”;
-
Eksepsi Tergugat: Salah satu eksepsi (tangkisan) utama yang diajukan oleh PT Djasta adalah
mengenai keabsahan surat kuasa yang diberikan oleh perusahaan Jerman
tersebut kepada kuasa hukumnya di Indonesia. PT Djasta berargumen bahwa
surat kuasa tersebut cacat formil.
- Pertimbangan Hukum Hakim (Ratio Decidendi): Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya, menolak eksepsi tersebut. Mahkamah Agung menguatkan pertimbangan judex facti (pengadilan tingkat bawah) yang menyatakan bahwa surat kuasa Penggugat “telah dilegalisir oleh KBRI setempat sehingga harus dianggap sah”. Putusan ini secara definitif menetapkan sebuah kaidah hukum: legalisasi oleh perwakilan diplomatik Republik Indonesia (Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal) di negara tempat surat kuasa dibuat adalah syarat mutlak (mandatory) agar surat kuasa tersebut memiliki keabsahan formil untuk digunakan di pengadilan Indonesia.
Prinsip yang diletakkan oleh Putusan MA No. 3038 K/Pdt/1981 ini kemudian
dikodifikasikan dan ditegaskan kembali untuk menjadi pedoman bagi seluruh
hakim di Indonesia melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan. Dalam Rumusan Kamar Perdata, Sub-kamar Perdata Umum, Bagian I huruf f,
secara eksplisit disebutkan:
“Surat kuasa yang di buat di Luar Negeri harus dilegalisasi oleh
perwakilan RI yaitu Kedutaan atau Konsulat Jenderal di tempat surat
kuasa tersebut di buat.”
Kombinasi antara yurisprudensi yang kokoh dan pedoman SEMA ini menciptakan
sebuah norma hukum acara yang tidak dapat ditawar lagi.
Adanya Konvensi Apostille menciptakan sebuah dinamika baru yang seringkali
disalahpahami. Muncul anggapan bahwa Sertifikat Apostille yang melekat pada
surat kuasa secara otomatis menjadikan surat kuasa tersebut sah dan
sempurna. Anggapan ini keliru dan berbahaya. Keabsahan surat kuasa dari luar
negeri harus melewati “uji validitas dua lapis” (two-layer validity test).
Otentikasi Asal-Usul (Hukum Internasional/Apostille)
Lapis pertama adalah pembuktian keaslian formal dokumen itu sendiri.
Sertifikat Apostille berfungsi untuk menggantikan peran legalisasi oleh
kedutaan. Ia mengonfirmasi bahwa tanda tangan pada surat kuasa (misalnya,
tanda tangan direktur perusahaan di New York) dan tanda tangan pejabat yang
mengesahkannya (misalnya, notaris publik di New York) adalah asli dan sah
menurut hukum New York. Dengan adanya Apostille, syarat yang ditetapkan oleh
Putusan MA 3038 K/Pdt/1981 (yaitu pembuktian keaslian dari sumber asing)
telah terpenuhi.
Kepatuhan pada Hukum Acara Domestik (Hukum Indonesia)
Lapis kedua adalah pengujian terhadap isi atau substansi dari surat
kuasa itu sendiri. Meskipun asal-usulnya telah terotentikasi, konten surat
kuasa tersebut harus tetap tunduk dan patuh pada persyaratan
surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 123 HIR dan
berbagai SEMA, seperti SEMA Nomor 6 Tahun 1994. Persyaratan ini
antara lain :
-
Menyebutkan secara spesifik kewenangan untuk beracara di pengadilan;
-
Menyebutkan identitas para pihak (pemberi dan penerima kuasa) secara jelas
dan lengkap;
-
Menyebutkan identitas pihak lawan;
-
Menyebutkan pengadilan negeri yang berwenang (kompetensi relatif);
-
Merinci pokok sengketa secara ringkas dan konkret.
Apabila surat kuasa yang telah di-Apostille tersebut ternyata isinya tidak
memenuhi salah satu syarat kumulatif di atas, maka surat kuasa tersebut
tetap akan dianggap cacat formil oleh pengadilan Indonesia. Akibatnya, kuasa
hukum tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), dan gugatan
dapat dimentahkan melalui eksepsi dengan putusan
niet-ontvankelijke verklaard (gugatan tidak dapat diterima). Dengan
demikian, Apostille hanya menyederhanakan lapis pertama, namun sama sekali
tidak menghilangkan kewajiban untuk mematuhi hukum acara Indonesia pada
lapis kedua.
Untuk memberikan gambaran praktis mengenai bagaimana dokumen dan subjek
hukum asing ditangani dalam sistem peradilan Indonesia, analisis terhadap
putusan-putusan konkret di wilayah yurisdiksi tertentu menjadi sangat
relevan. Wilayah Kalimantan Barat, dengan kedekatannya pada perbatasan
internasional dan aktivitas ekonomi yang melibatkan pihak asing, menyediakan
beberapa contoh kasus yang menarik.
Perkara Pidana Lintas Batas – Kasus Tambang Emas Ilegal Yu Hao
Kasus yang melibatkan Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok, Yu Hao, atas
tuduhan penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, menjadi salah satu
perkara paling menonjol di Kalimantan Barat yang perjalanannya mencakup
ketiga tingkatan peradilan. Meskipun tidak secara langsung berfokus pada
legalisasi dokumen,
kasus ini memberikan ilustrasi nyata tentang bagaimana sistem peradilan
pidana Indonesia beroperasi ketika dihadapkan pada terdakwa asing dan
bukti-bukti yang berdimensi internasional.
1.
Tingkat Pertama di Pengadilan Negeri Ketapang (vide Putusan
Pengadilan Negeri Ketapang Nomor 332/Pid.Sus/2024/PN Ktp., tertanggal 10
Oktober 2024)
Yu Hao ditangkap oleh tim gabungan dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM dan
Mabes Polri pada Mei 2024 atas dugaan melakukan kegiatan penambangan tanpa
izin dengan barang bukti signifikan berupa ratusan kilogram material yang
diduga mengandung emas. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Ketapang,
berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum dan bukti-bukti yang diajukan,
majelis hakim menyatakan Yu Hao terbukti bersalah dan menjatuhkan vonis
pidana.
2.
Tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Pontianak (vide Putusan
Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 464/PID.SUS/2024/PT PTK., tertanggal 13
Januari 2025)
Atas putusan PN Ketapang, terdakwa Yu Hao mengajukan banding. Dalam sebuah
putusan yang mengejutkan publik dan aparat penegak hukum, Pengadilan Tinggi
Pontianak mengabulkan permohonan banding tersebut. Majelis hakim tingkat
banding membatalkan putusan PN Ketapang dan menjatuhkan putusan bebas
(vrijspraak) terhadap Yu Hao, dengan perintah untuk membebaskannya
dari tahanan. Pertimbangan hukum PT Pontianak
kemungkinan besar berpusat pada penilaian ulang terhadap alat bukti atau
unsur-unsur tindak pidana yang dianggap tidak terpenuhi secara meyakinkan.
Putusan ini sempat memicu respons dari berbagai pihak, termasuk Komisi
Yudisial.
3.
Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung (vide Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 5691 K/PID.SUS/2025., tertanggal 13 Juni
2025)
Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak menerima putusan bebas tersebut,
Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Ketapang mengajukan upaya hukum
luar biasa berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 2025, Mahkamah Agung
RI mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh penuntut umum.
Dalam putusannya, majelis hakim agung yang dipimpin oleh Yohanes Priyana.,
S.H., M.H., membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak. Amar
putusan MA menyatakan bahwa Yu Hao terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa izin dan menjatuhkan
pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan, denda
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan. Putusan MA ini menegaskan bahwa PT Pontianak telah salah dalam menerapkan
hukum atau melampaui kewenangannya dalam menilai fakta di tingkat banding.
Setelah putusan kasasi ini berkekuatan hukum tetap, Yu Hao dieksekusi ke
Lembaga Pemasyarakatan Pontianak untuk menjalani hukumannya.
Kasus ini menunjukkan dinamika penegakan hukum terhadap WNA, di mana
putusan dapat berbalik arah secara drastis di setiap tingkatan peradilan,
dan Mahkamah Agung memegang peranan sebagai penjaga terakhir penerapan hukum
(judex juris).
Spektrum Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Pontianak
Di ranah perdata, Pengadilan Negeri Pontianak telah menangani berbagai
perkara yang melibatkan unsur asing, di mana keabsahan dokumen yang
dilegalisasi menjadi kunci.
-
Perkawinan Campuran dan Perceraian
Dalam sebuah putusan gugatan perceraian, sebagaimana
Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 130/Pdt.G/2021/PN Ptk.,
tertanggal 25 Agustus 2021.,
PN Pontianak mengadili perkara antara seorang Penggugat WNA Tiongkok dengan
Tergugat Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di Pontianak. Dalam
pertimbangannya, majelis hakim secara eksplisit merujuk pada bukti surat
P-1, yaitu
Akta Perkawinan Nomor 28/2017 yang dikeluarkan oleh Pejabat Pencatatan
Sipil Kabupaten Mempawah. Dengan diterimanya akta perkawinan ini sebagai bukti yang sah, pengadilan
menetapkan bahwa
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat adalah sah menurut hukum
Indonesia. Keabsahan dokumen ini menjadi dasar bagi pengadilan untuk menyatakan
dirinya berwenang mengadili perkara (kompetensi absolut dan relatif)
dan untuk selanjutnya memeriksa pokok perkara perceraian itu sendiri. Ini
adalah contoh langsung bagaimana sebuah dokumen sipil yang melibatkan WNA
dan telah dicatatkan secara resmi (sebuah bentuk otentikasi domestik)
menjadi fondasi dalam proses peradilan;
-
Penetapan Perkawinan Beda Agama
PN Pontianak juga tercatat pernah mengesahkan permohonan perkawinan beda
agama, seperti dalam
Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 12/Pdt.P/2022/PN.Ptk., tertanggal 20 Januari 2022 antara mempelai pria beragama Islam dan mempelai
wanita beragama Kristen. Meskipun UU Perkawinan tidak secara eksplisit
mengatur perkawinan beda agama, hakim menggunakan diskresinya berdasarkan
asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum) untuk memberikan
solusi hukum bagi para pemohon. Dalam kasus seperti ini, dokumen-dokumen
identitas para pihak, termasuk yang mungkin berasal dari luar negeri jika
salah satunya WNA, harus diajukan dan dinilai keabsahannya oleh hakim
sebelum penetapan dapat diberikan.
-
Permohonan Ganti Nama WNA
Contoh lain yang relevan adalah
Putusan PN Pontianak Nomor 19/Pdt.P/2020/PN Ptk., tertanggal 23
Januari 2020, dalam perkara ini, seorang pemohon mengajukan permohonan untuk
mengganti namanya. Majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut dengan
mendasarkan pertimbangannya pada bukti surat berupa
“Surat Warga Negara Asing (Lembaran Negara 1917 No. 130) Tjatatan Sipil
di Pontianak No. 214 / 1970”. Putusan ini menunjukkan bagaimana pengadilan mengakui dan memberikan
kekuatan hukum pada dokumen kependudukan historis yang diterbitkan oleh
otoritas sipil, bahkan yang berasal dari era peraturan lama, sebagai dasar
untuk perubahan status sipil seorang WNA. Hal ini menggarisbawahi pentingnya
otentikasi dan penyimpanan dokumen identitas yang sah bagi WNA yang tinggal
di Indonesia.
Kasus-kasus di atas, baik pidana maupun perdata, dari wilayah hukum
Kalimantan Barat, secara konkret menunjukkan bahwa interaksi dengan subjek
dan dokumen hukum asing bukanlah hal yang langka. Keberhasilan atau
kegagalan suatu proses hukum seringkali bergantung pada pemenuhan
syarat-syarat formal, termasuk keabsahan dokumen dan kepatuhan terhadap
prosedur hukum acara yang berlaku.
Surat Rogatori dan Bantuan Hukum Lintas Negara
Ketika sebuah proses peradilan di Indonesia melibatkan pihak atau bukti
yang berada di luar negeri, pengadilan tidak dapat secara langsung
menjangkau mereka. Di sinilah mekanisme bantuan hukum internasional, yang
dikenal sebagai Surat Rogatori, memegang peranan vital. Memahami
prosedur ini, serta perbedaannya dengan legalisasi, adalah kunci untuk
menjalankan litigasi lintas batas secara efektif.
Definisi dan Fungsi
Surat Rogatori (rogatory letter atau letter of request)
adalah sebuah permintaan resmi yang diajukan oleh pengadilan di suatu negara
(Negara Peminta) kepada pengadilan atau otoritas yang berwenang di negara
lain (Negara Diminta) untuk melaksanakan suatu tindakan yudisial. Tindakan
ini paling umum mencakup:
1.
Penyampaian Dokumen Peradilan (Service of Process)
Seperti menyampaikan surat panggilan sidang (relaas panggilan),
pemberitahuan isi putusan, atau memori kasasi kepada seorang pihak yang
berdomisili di luar negeri.
2.
Pengambilan Alat Bukti (Taking of Evidence)
Seperti melakukan pemeriksaan terhadap saksi atau saksi ahli yang berada di
luar negeri.
Surat Rogatori adalah instrumen yang didasarkan pada prinsip kesopanan
internasional (international comity) dan resiprositas, yang
memungkinkan sistem peradilan dari negara-negara yang berbeda untuk saling
membantu demi tegaknya keadilan.
Dasar Hukum dan Prosedur di Indonesia
Di Indonesia, karena belum meratifikasi konvensi khusus mengenai
penyampaian dokumen atau pengambilan bukti di luar negeri (seperti Konvensi
Pelayanan Den Haag), prosedur Surat Rogatori diatur secara internal melalui
kerja sama antarlembaga. Landasan operasional utamanya adalah
Nota Kesepahaman (MoU) antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia tentang Penanganan Bantuan
Teknis Hukum dalam Perkara Perdata Lintas Negara. Versi terbaru dari MoU ini adalah
Nomor PRJ/HK/00001/04/2023/22 - 02/KMA/NK/IV/2023.
Berdasarkan MoU tersebut, alur prosedur untuk permintaan dari pengadilan
Indonesia ke luar negeri adalah sebagai berikut :
1.
Pengajuan oleh Pengadilan Tingkat Pertama
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang memeriksa perkara mengajukan
permohonan bantuan teknis hukum (Surat Rogatori) secara resmi kepada Ketua
Mahkamah Agung.
2.
Verifikasi dan Penerusan oleh Mahkamah Agung
Kepaniteraan Mahkamah Agung akan memeriksa kelengkapan dokumen permohonan.
Dokumen ini harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan,
termasuk penerjemahan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa resmi negara
tersebut. Jika lengkap, MA akan meneruskan permohonan tersebut ke
Kementerian Luar Negeri.
3.
Transmisi melalui Jalur Diplomatik oleh Kemenlu
Kemenlu, melalui direktorat terkait (misalnya Direktorat Hukum dan
Perjanjian Internasional atau Direktorat Perlindungan WNI), akan mengirimkan
Surat Rogatori tersebut ke Perwakilan RI (Kedutaan Besar atau Konsulat
Jenderal) di negara tujuan.
4.
Penerusan ke Otoritas Lokal
Perwakilan RI kemudian meneruskan permintaan tersebut kepada kementerian
luar negeri atau otoritas yudisial yang berwenang di negara tujuan untuk
dilaksanakan sesuai dengan hukum acara setempat.
Digitalisasi Proses
Menyadari bahwa prosedur ini bisa sangat lambat, Mahkamah Agung telah
mengambil langkah-langkah untuk melakukan digitalisasi. Terhitung mulai 1
Maret 2024, pengiriman berkas ke Perwakilan RI di luar negeri dilakukan
secara terpusat oleh Kepaniteraan MA, dan pengadilan tingkat pertama
diwajibkan untuk mengirimkan dokumen permohonan dalam bentuk elektronik
(softcopy) selain dokumen fisik. Selain itu, untuk pembayaran biaya
yang mungkin timbul (seperti biaya juru sita di negara tujuan), MA telah
mengembangkan sistem rekening virtual (Virtual Account) melalui
aplikasi Direktori Putusan untuk mempermudah dan mempercepat proses
pembayaran.
Panggilan Lintas Batas: Perbedaan Krusial antara Tergugat dan Penggugat di Luar Negeri
Dalam konteks litigasi perdata, implikasi dari keberadaan pihak di luar
negeri sangat berbeda tergantung pada apakah pihak tersebut adalah Penggugat
atau Tergugat.
Apabila Tergugat Berada di Luar Negeri
1)
Isu hukum yang paling fundamental adalah memastikan
panggilan sidang (relaas panggilan) dilakukan secara sah dan
patut
(panggilan yang sah dan patut). Ini adalah perwujudan dari asas
audi et alteram partem (dengarkan juga pihak lain), yang merupakan
pilar utama dari peradilan yang adil. Tergugat harus diberi kesempatan yang
layak untuk mengetahui adanya gugatan dan untuk membela diri;
2)
Penggugat harus secara aktif meminta kepada majelis hakim agar pemanggilan
Tergugat dilakukan melalui mekanisme Surat Rogatori. Pengadilan harus
memberikan tenggang waktu yang sangat cukup antara tanggal panggilan dan
hari sidang, di mana Mahkamah Agung seringkali merekomendasikan minimal 4
bulan untuk mengakomodasi panjangnya alur birokrasi internasional. Seluruh
dokumen panggilan dan lampiran gugatan wajib diterjemahkan ke dalam bahasa
yang dipersyaratkan oleh negara tujuan;
3)
Jika prosedur pemanggilan melalui Surat Rogatori tidak dilaksanakan dengan
benar, maka panggilan tersebut dianggap cacat hukum. Segala putusan yang
dijatuhkan, terutama putusan tanpa kehadiran Tergugat (verstek),
menjadi sangat rentan untuk dibatalkan di tingkat banding atau kasasi, atau
bahkan dapat dianggap batal demi hukum karena melanggar hak-hak dasar
Tergugat.
Apabila Penggugat Berada di Luar Negeri
1)
Isu hukum yang utama adalah keabsahan perwakilan hukum (validity of legal representation). Karena Penggugat adalah pihak yang berinisiatif memulai perkara,
pengadilan harus memastikan bahwa advokat yang hadir di persidangan
benar-benar memiliki wewenang yang sah untuk bertindak atas nama Penggugat
yang berdomisili di luar negeri;
2)
Penggugat wajib memberikan Surat Kuasa Khusus kepada advokatnya di
Indonesia. Sebagaimana telah dibahas secara mendalam di Bagian III, surat
kuasa ini harus memenuhi dua lapis pengujian:
a.
isinya harus sesuai dengan syarat surat kuasa khusus menurut hukum acara
Indonesia, dan
b.
otentisitasnya harus dibuktikan melalui
legalisasi oleh Perwakilan RI atau melalui Sertifikat Apostille jika
dibuat di negara anggota Konvensi.
3)
Jika surat kuasa khusus tersebut dinilai cacat formil—baik karena isinya
tidak lengkap maupun karena tidak dilegalisasi/di-Apostille—maka advokat
yang bersangkutan dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mewakili Penggugat. Pihak Tergugat dapat mengajukan eksepsi
mengenai surat kuasa tidak sah, dan jika eksepsi ini diterima oleh hakim,
maka gugatan akan langsung dinyatakan tidak dapat diterima (niet-ontvankelijke verklaard) tanpa perlu memeriksa pokok perkaranya.
Secara konseptual, Surat Rogatori dan Legalisasi adalah dua sisi dari mata
uang yang sama, yaitu kedaulatan yudisial. Keduanya adalah mekanisme yang
dirancang untuk mengatasi masalah fundamental yang sama: bagaimana membuat
suatu tindakan atau dokumen hukum dapat berlaku efektif melintasi
batas-batas kedaulatan negara. Pengadilan Indonesia tidak dapat secara
langsung memerintahkan seorang warga di Jerman untuk hadir di sidang;
keterbatasan kedaulatan ini dijembatani oleh Surat Rogatori, yang
merupakan sebuah permintaan bantuan yudisial.
Demikian pula, pengadilan Indonesia tidak dapat secara otomatis menerima
keaslian akta notaris dari Jerman; keterbatasan kedaulatan ini dijembatani
oleh Legalisasi atau Apostille, yang merupakan sebuah
sertifikasi keaslian formal. Yang satu adalah alat untuk
proses yudisial, sementara yang lain adalah alat untuk
dokumen yudisial. Keduanya bekerja secara komplementer untuk
memungkinkan terselenggaranya peradilan lintas negara.
Kesimpulan: Harmonisasi dalam Disonansi Hukum Internasional
Analisis komprehensif terhadap rezim legalisasi dokumen internasional di
Indonesia menyingkap sebuah lanskap hukum yang dinamis, penuh dengan
kemajuan sekaligus tantangan. Aksesi Indonesia ke Konvensi Apostille melalui
Perpres No. 2 Tahun 2021 tidak dapat dimungkiri merupakan sebuah lompatan
kuantum menuju efisiensi, debirokratisasi, dan penyelarasan dengan praktik
terbaik global. Langkah ini secara fundamental mengubah prosedur yang
sebelumnya kaku dan berbelit menjadi sebuah layanan satu pintu yang cepat
dan terjangkau, sebuah kebijakan yang secara langsung mendukung iklim
investasi dan mobilitas warga negara di panggung dunia.
Namun, simplifikasi ini tidak serta-merta menciptakan sebuah sistem yang
monolitik dan bebas dari kerumitan. Realitasnya, Indonesia kini
mengoperasikan sebuah sistem ganda (dual-track system). Di satu sisi,
jalur Apostille yang modern dan efisien berlaku untuk lebih dari 120 negara
anggota konvensi. Di sisi lain, jalur konvensional yang multi-lapis dan
memakan waktu tetap menjadi satu-satunya pilihan untuk negara-negara di luar
lingkaran Konvensi Apostille. Koeksistensi dua sistem ini melahirkan
“jebakan yurisdiksional” yang menuntut kehati-hatian ekstra dari para
praktisi, pelaku usaha, dan masyarakat umum. Kesalahan dalam
mengidentifikasi jalur yang benar dapat berakibat fatal, menjadikan dokumen
tidak bernilai di negara tujuan.
Lebih jauh, dalam konteks peradilan, penyederhanaan melalui Apostille hanya
menyentuh lapisan terluar dari validitas dokumen. Sebagaimana ditegaskan
oleh yurisprudensi Mahkamah Agung yang konsisten sejak Putusan No. 3038
K/Pdt/1981, sebuah dokumen atau surat kuasa dari luar negeri harus melewati
“uji validitas dua lapis”.
Apostille atau legalisasi konvensional hanya memenuhi lapis pertama, yaitu
otentikasi asal-usul. Lapis kedua, yaitu kepatuhan terhadap substansi dan
formalitas yang disyaratkan oleh hukum acara perdata Indonesia (HIR/RBg dan
SEMA), tetap menjadi benteng yang tidak dapat ditembus. Kegagalan pada lapis
kedua ini akan menggugurkan nilai hukum dokumen tersebut di mata
pengadilan.
Harmonisasi yang dicapai melalui adopsi standar internasional ternyata
masih berhadapan dengan disonansi yang tercipta dari kekhususan hukum
domestik. Mekanisme bantuan hukum lintas negara melalui Surat Rogatori,
meskipun telah didukung oleh MoU antara Mahkamah Agung dan Kementerian Luar
Negeri serta inisiatif digitalisasi, tetap merupakan proses yang kompleks
dan memakan waktu, yang menuntut perencanaan cermat dari para pihak yang
berperkara.
Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi praktis dapat
dirumuskan:
-
Bagi Praktisi Hukum
Prioritaskan uji tuntas (due diligence) untuk menentukan status
keanggotaan negara tujuan dalam Konvensi Apostille sebagai langkah awal.
Terapkan secara disiplin “uji validitas dua lapis” dalam mempersiapkan surat
kuasa dari luar negeri, dengan memastikan kepatuhan penuh terhadap hukum
acara Indonesia. Alokasikan waktu yang sangat memadai untuk proses Surat
Rogatori dalam strategi litigasi.
-
Bagi Pelaku Usaha
Pahami bahwa proses legalisasi dokumen adalah bagian integral dari
manajemen risiko dalam transaksi lintas batas, penanaman modal, dan
ketenagakerjaan asing. Mengintegrasikan pemahaman ini ke dalam prosedur
operasional standar dapat mencegah penundaan dan kerugian finansial yang
signifikan.
-
Bagi Masyarakat Umum
Untuk keperluan pribadi seperti perkawinan, pendidikan, atau status sipil
lainnya, selalu verifikasi persyaratan legalisasi spesifik yang diminta oleh
otoritas di negara tujuan sebelum memulai proses di Indonesia untuk
menghindari kesalahan prosedur.
Pada akhirnya, reformasi hukum yang telah dilakukan Indonesia adalah sebuah
langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, tantangan implementasi tetap
ada, terutama dalam hal sosialisasi yang berkelanjutan dan masif kepada
seluruh aparat pemerintah, lembaga peradilan, dan publik agar terdapat
pemahaman yang seragam mengenai fungsi dan batas-batas Sertifikat Apostille.
Ke depan, seiring dengan kemajuan teknologi, bukan tidak mungkin kita akan
menyaksikan evolusi lebih lanjut di mana otentikasi digital
terdesentralisasi mulai melengkapi, atau bahkan menantang, sistem legalisasi
yang masih berpusat pada kedaulatan negara. Perjalanan menuju harmonisasi
hukum dalam dunia yang terglobalisasi adalah sebuah proses yang tidak pernah
berhenti.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.