layananhukum

Aturan Pengenaan Bea Keluar dan Masuk: Efektivitas, Kerugian Negara, dan Reformasi Radikal di Perbatasan Indonesia-Malaysia

 

    Pengantar

    Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) beroperasi dalam sebuah paradigma yang penuh dengan ketegangan inheren. Sebagai garda terdepan kedaulatan fiskal, DJBC mengemban mandat multifungsi yang seringkali bersifat kontradiktif yang mana kini, DJBC menjalankan tiga peran utama, yaitu sebagai:

    -        Trade Facilitator, yakni sebagai fasilitator perdagangan yang bertugas mendukung kelancaran arus barang legal dalam rangka menciptakan iklim perdagangan yang sehat dan kompetitif. Peran ini sejalan dengan fungsi DJBC dalam memberikan pelayanan dan fasilitas kepabeanan, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan pelaksana Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai, seperti pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk barang impor sementara sebagaimana ketentuan Pasal 10B ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kepabeanan”);

    -        Community Protector, yaitu sebagai pelindung masyarakat dari masuknya barang-barang ilegal, berbahaya, atau yang dilarang peredarannya. Fungsi ini merupakan amanat penting yang diemban DJBC untuk menjaga keamanan dan kesehatan masyarakat, serta melindungi industri dalam negeri dari persaingan tidak sehat. Hal ini tercermin dalam kewenangan DJBC untuk melakukan pengawasan dan penindakan, termasuk terhadap barang kena cukai yang peredarannya perlu diawasi atau dapat menimbulkan dampak negatif, sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cukai”).  

    -        Revenue Collector, yakni sebagai pemungut penerimaan negara melalui bea masuk, bea keluar, serta pajak dalam rangka impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peran ini merupakan inti dari fungsi fiskal DJBC, yang diatur secara fundamental dalam UU Kepabeanan, di mana barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean terutang bea masuk dan barang yang dikeluarkan dari daerah pabean terutang bea keluar, sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Kepabeanan.  

    Secara umum, tugas dan fungsi DJBC meliputi:

    1)        Melaksanakan pengawasan terhadap lalu lintas barang yang keluar dan masuk wilayah pabean, termasuk pengawasan pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean, sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU tentang Kepabeanan

    2)       Melakukan pengawasan terhadap barang-barang tertentu yang tunduk pada ketentuan khusus, seperti barang kena cukai yang diatur dalam UU Cukai.  

    3)       Memungut bea masuk dan bea keluar sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penetapan tarif dan nilai pabean berdasarkan sistem klasifikasi barang, sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU tentang Kepabeanan.  

    Salah satu unit vertikal DJBC yang memainkan peran penting dalam konteks pengawasan wilayah perbatasan adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Entikong, atau yang lebih dikenal dengan Bea Cukai Entikong. Instansi ini berada di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan berlokasi di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah pengawasan Bea Cukai Entikong mencakup tiga kabupaten, yakni Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Melawi, serta membentang sepanjang kurang lebih 150 km garis perbatasan darat Indonesia–Malaysia. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bea Cukai Entikong mengemban empat fungsi utama sebagai berikut:

    1)        Trade Facilitator

    Bea Cukai Entikong memberikan pelayanan dan fasilitas kepabeanan untuk mendukung kelancaran perdagangan lintas batas, serta menjalankan tugas-tugas dari instansi terkait guna menjaga stabilitas pasar dan perlindungan terhadap produk dalam negeri. Hal ini termasuk pelayanan ekspor impor barang kiriman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.  

    2)       Industrial Assistance

    Bea Cukai Entikong melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan industri domestik, termasuk melalui pemberian informasi, konsultasi, dan sosialisasi kepada pelaku usaha serta masyarakat, guna memastikan persaingan yang sehat antara produk lokal dan asing. Fungsi ini juga mencakup perlindungan industri dalam negeri dari persaingan tidak sehat, seperti penindakan terhadap penyelundupan pakaian bekas yang dapat merugikan industri tekstil lokal.  

    3)       Community Protector

    Dalam fungsi ini, Bea Cukai Entikong melakukan pengawasan dan penindakan terhadap potensi masuknya barang-barang terlarang atau berbahaya, sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat dan kepentingan nasional. Contoh konkret dari fungsi ini adalah penindakan terhadap penyelundupan narkotika dan barang ilegal lainnya di jalur perbatasan, sebagaimana diatur dalam kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk menghentikan, memeriksa, menahan, dan menyegel barang kena cukai dan/atau sarana pengangkut, sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Cukai.  

    4)       Revenue Collector

    Sesuai tugas pokok DJBC, Bea Cukai Entikong turut melakukan pemungutan bea masuk, bea keluar, dan pungutan lain dalam rangka impor/ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemungutan bea keluar, misalnya, diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.04/2022 tentang Pemungutan Bea Keluar.    

    Tesis sentral dari artikel ini adalah bahwa konflik laten di antara keempat peran tersebut menjadi nyata dan akut di wilayah perbatasan Indonesia yang luas dan berpori, khususnya di perbatasan darat dan laut Kalimantan Barat dengan Malaysia.

    Di sanalah kesenjangan antara mandat hukum yang idealistis dan realitas operasional yang penuh keterbatasan menjadi kerentanan kritis yang dieksploitasi, baik oleh jaringan kejahatan terorganisasi maupun oleh oknum internal, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian negara yang signifikan.  

    Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan garis perbatasan yang sangat panjang, menghadapi tantangan geografis yang luar biasa dalam pengawasan lalu lintas barang. Konteks ini menuntut DJBC untuk berevolusi melampaui fungsi konvensionalnya. Peran sebagai fasilitator perdagangan menuntut kecepatan, efisiensi, dan penyederhanaan prosedur untuk menciptakan iklim usaha yang kompetitif.

    Sebaliknya, peran sebagai pelindung masyarakat dan pemungut penerimaan negara menuntut ketelitian, kehati-hatian, dan pemeriksaan mendalam untuk mencegah masuknya barang berbahaya dan memastikan setiap kewajiban fiskal terpenuhi. Di pos perbatasan yang terpencil dengan sumber daya terbatas, petugas di lapangan seringkali dihadapkan pada pilihan sulit yaitu memprioritaskan kelancaran arus barang demi “fasilitasi” atau melakukan pemeriksaan ketat yang memakan waktu demi “pengawasan”.

    Titik trade-off inilah yang menjadi celah strategis. Korupsi dapat bermanifestasi dalam bentuk “fasilitasi” yang dipercepat dengan imbalan suap, sementara kesalahan administratif dapat terjadi ketika aturan perlindungan dan pemungutan yang kompleks salah diterapkan di bawah tekanan untuk mempercepat proses.  

    Oleh karena itu, kami dalam tulisan kami kali ini tidak dimaksudkan sebagai panduan umum, melainkan sebuah kajian kritis yang mendalam dan spesifik. Dengan menggunakan pendekatan multidimensional—praktis, akademis, filosofis, dan radikal—laporan ini akan membedah efektivitas pengenaan bea keluar dan masuk di jalur darat, laut, dan udara perbatasan Kalimantan Barat.

    Fokus utama adalah menelusuri akar kerugian negara, membedakan secara tajam antara kerugian yang timbul akibat tindak pidana korupsi yang disengaja dan yang bersumber dari kesalahan prosedural administratif, dengan didukung oleh analisis yurisprudensi dan putusan pengadilan yang konkret.

    Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerentanan sistemik dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental, dengan harapan dapat merumuskan rekomendasi reformasi yang tidak hanya menambal lubang, tetapi juga mengubah paradigma pengawasan perbatasan secara mendasar.

    Prinsip Fundamental dan Definisi Kunci dalam UU tentang Kepabeanan dan UU tentang Cukai

    Fondasi yuridis yang memberikan legitimasi bagi negara untuk menjalankan otoritas fiskalnya di perbatasan tertuang secara komprehensif dalam kerangka hukum kepabeanan dan cukai. Definisi-definisi kunci menjadi pilar utama yang menegaskan cakupan kewenangan negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kepabeanan”), Kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.  

    Dari definisi ini, lahir dua instrumen fiskal utama yaitu Bea Masuk, yaitu pungutan negara terhadap barang impor, dan Bea Keluar, yaitu pungutan negara terhadap barang ekspor. Prinsip dasar pengenaannya diatur secara tegas dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Kepabeanan, yang menyatakan bahwa terhadap barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean terutang bea masuk, dan terhadap barang yang dikeluarkan dari daerah pabean dapat dikenakan bea keluar.

    Untuk memastikan kepatuhan, negara diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pabean yang meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU tentang Kepabeanan. Selanjutnya, untuk standardisasi pemungutan, penetapan tarif didasarkan pada sistem klasifikasi barang yang diatur lebih lanjut oleh menteri, sesuai amanat Pasal 15 ayat (1) UU tentang Kepabeanan.  


    Salah satu aspek paling krusial dalam kerangka hukum ini adalah definisi Daerah Pabean itu sendiri. Menurut Pasal 1 Angka 2 UU tentang Kepabeanan, Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Definisi yang sangat ekspansif ini secara hukum menciptakan sebuah klaim yurisdiksi yang luar biasa luas. Namun, di sinilah letak kerentanan struktural pertama.

    Klaim yurisdiksi de jure yang mencakup ZEE dan landas kontinen ini berbenturan dengan realitas kapasitas pengawasan de facto di lapangan. Sumber daya DJBC, baik personel, kapal patroli, maupun teknologi pengawasan, secara inheren terbatas dan terkonsentrasi di titik-titik masuk resmi seperti pelabuhan dan pos lintas batas.

    Akibatnya, tercipta sebuah “kesenjangan penegakan” (enforcement gap) yang sangat besar antara wilayah yang secara hukum diklaim sebagai daerah pabean dan wilayah yang secara realistis mampu diawasi. Pelaku kejahatan, khususnya penyelundup, tidak beroperasi berdasarkan definisi hukum, melainkan justru beroperasi di dalam kesenjangan ini.

    Dengan demikian, kerangka hukum yang di atas kertas tampak komprehensif, pada praktiknya mengandung kelemahan fundamental saat dihadapkan pada realitas geografis, sebuah tema yang akan menjadi sentral dalam analisis studi kasus di Kalimantan Barat.

    Hierarki Peraturan Pelaksana: Dinamika Adaptasi dan Potensi Ketidakpastian Hukum

    Struktur peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai dirancang secara hierarkis untuk memungkinkan adaptasi terhadap dinamika ekonomi dan perdagangan. Di puncak hierarki terdapat undang-undang sebagai payung hukum utama, yaitu UU tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cukai”). Di bawahnya, terdapat peraturan pelaksana yang lebih teknis, seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor, yang kemudian diatur lebih detail lagi melalui serangkaian Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

    Rangkaian PMK ini sangat dinamis, mencerminkan upaya pemerintah untuk merespons kebutuhan kebijakan secara cepat. Contohnya termasuk Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2024 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, yang menggantikan peraturan sebelumnya untuk menyesuaikan tarif komoditas ekspor seperti CPO dan mineral logam. Contoh lain adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2024 yang memberikan insentif bea masuk 0% untuk kendaraan listrik, atau Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2025 yang menyempurnakan aturan barang kiriman.

    Namun, fleksibilitas dan kecepatan adaptasi regulasi ini ibarat pedang bermata dua. Frekuensi perubahan PMK yang tinggi, seperti PMK 4/2025 yang mengubah PMK 96/2023, atau PMK 38/2024 yang menggantikan PMK 39/2022, berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha dan petugas di lapangan.

    Setiap regulasi baru yang diterbitkan di pusat membutuhkan waktu untuk dapat tersosialisasi, dipahami, dan terintegrasi sepenuhnya ke dalam sistem teknologi informasi dan prosedur operasional di pos-pos perbatasan terpencil seperti Entikong.

    Selama periode jeda (time lag) ini, tercipta sebuah “kesenjangan pengetahuan” (knowledge gap). Di satu sisi, pelaku usaha yang belum terinformasi dapat secara tidak sengaja melakukan pelanggaran administratif. Di sisi lain, oknum petugas yang lebih dahulu memahami aturan baru dapat mengeksploitasi kebingungan ini untuk mencari keuntungan pribadi, misalnya dengan menafsirkan aturan secara salah demi mendapatkan pungutan liar (pungli).

    Dengan demikian, kelincahan regulasi yang dimaksudkan untuk menjadi solusi, jika tidak diimbangi dengan sosialisasi yang masif, pelatihan berkelanjutan, dan sistem informasi yang adaptif, justru secara paradoksal dapat meningkatkan risiko kerugian negara, baik melalui kesalahan administratif maupun praktik korupsi.  

    Kewenangan Diskresioner dan Penindakan DJBC: Antara Efektivitas dan Potensi Penyalahgunaan

    Untuk menegakkan kedaulatan fiskal, UU tentang Kepabeanan dan UU tentang Cukai memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pejabat Bea dan Cukai. Kewenangan ini bersifat diskresioner dan mencakup tindakan-tindakan represif yang krusial untuk efektivitas pengawasan dan penindakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Cukai, Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan, memeriksa, menahan, dan menyegel barang kena cukai dan/atau sarana pengangkutnya.

    Kewenangan ini diperkuat dengan hak untuk memeriksa pabrik dan tempat penyimpanan (vide Pasal 35 UU tentang Cukai) serta melakukan audit terhadap pembukuan perusahaan (vide Pasal 39 ayat (1) UU tentang Cukai). Di sisi kepabeanan, setiap pengguna jasa diwajibkan melakukan registrasi untuk mendapatkan Nomor Induk Kepabeanan (NIK) sebagai syarat pemenuhan kewajiban pabean, sesuai ketentuan Pasal 6A ayat (1) UU tentang Kepabeanan.  

    Kewenangan yang besar ini mutlak diperlukan untuk menghadapi pelaku kejahatan yang semakin canggih. Namun, kekuatan institusional yang besar ini juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang ketat.

    Di sinilah tidak mengherankan pernah terjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi sangat relevan dan mengkhawatirkan. BPK menemukan bahwa pengelolaan kegiatan audit di DJBC pada periode 2021-2023 belum sepenuhnya sesuai kriteria. Secara spesifik, Laporan Hasil Audit (LHA) yang diterbitkan DJBC tidak dapat dievaluasi, dan Kertas Kerja Audit (KKA) kepabeanan dan cukai tidak dapat digunakan sebagai rujukan untuk audit berikutnya karena dokumentasi yang tidak sesuai standar.  

    Masalah dokumentasi ini bukan sekadar kelalaian birokratis; ia adalah sebuah kegagalan sistemik yang melumpuhkan akuntabilitas. Temuan BPK menyebutkan bahwa dokumen pendukung dalam KKA seringkali tidak lengkap atau tidak ditatausahakan dengan baik, dan yang lebih krusial, “dasar pertimbangan” dalam penetapan tarif atau nilai pabean tidak didokumentasikan.

    Ketika dasar pertimbangan sebuah keputusan yang memiliki implikasi finansial langsung tidak tercatat, maka jejak audit (audit trail) menjadi terputus. Pengawas internal maupun auditor eksternal tidak mungkin dapat memverifikasi apakah sebuah keputusan penetapan tarif merupakan keputusan yang benar, sebuah kesalahan yang jujur, atau sebuah tindakan koruptif. Praktik ini, baik disengaja maupun tidak, secara efektif menciptakan perisai bagi penyalahgunaan wewenang.


    Dengan demikian, temuan BPK ini tidak hanya menunjuk pada kelemahan administratif, tetapi pada sebuah kerusakan fundamental dalam rantai akuntabilitas yang menjadi fasilitator langsung bagi praktik korupsi dan kerugian negara.  

    Tabel 1: Perbandingan Komparatif UU Kepabeanan dan UU Cukai

    Aspek Perbandingan

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU tentang Kepabeanan)

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU tentang Cukai)

    Tujuan Utama

    Mengawasi lalu lintas barang masuk/keluar daerah pabean serta memungut bea masuk dan bea keluar untuk melindungi industri dalam negeri, memfasilitasi perdagangan, dan mengamankan penerimaan negara.

    Mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu yang memiliki dampak negatif, mengawasi peredarannya, dan memungut pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

    Objek Pengenaan

    Barang impor (terutang bea masuk) dan barang ekspor (terutang bea keluar).

    Barang Kena Cukai (BKC), yaitu: etil alkohol/etanol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA), dan hasil tembakau (HT).

    Mekanisme Pelunasan

    Pembayaran bea masuk/bea keluar sesuai tarif dan nilai pabean yang ditetapkan.

    Pembayaran atau pelekatan pita cukai. Dapat diberikan penundaan pembayaran atau pembebasan cukai.

    Kewenangan Utama DJBC

    Pengawasan lalu lintas barang, pemeriksaan pabean (dokumen dan fisik), penetapan tarif dan nilai pabean, penindakan penyelundupan, dan penarikan bea masuk/keluar.

    Pengawasan produksi, peredaran, dan penjualan BKC; pemeriksaan pabrik, tempat penyimpanan, dan tempat penjualan eceran; penyegelan; audit cukai; penindakan pelanggaran cukai.

    Peraturan Pelaksana Utama

    Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor; PMK Nomor 38 Tahun 2024 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar; PMK Nomor 106/PMK.04/2022 tentang Pemungutan Bea Keluar; PMK Nomor 4 Tahun 2025 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman; PMK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

    Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai; PMK Nomor 68/PMK.04/2018 tentang Pelunasan Cukai; PMK Nomor 17 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penyelesaian Barang Kena Cukai dan Barang Lain yang Dirampas untuk Negara, yang Dikuasai Negara, dan yang Menjadi Milik Negara; Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-13/BC/2024 tentang Pedoman Pembatasan Permohonan Penyediaan Pita Cukai.

    Tabel perbandingan ini menegaskan perbedaan fundamental antara rezim hukum kepabeanan dan cukai. Meskipun keduanya berada di bawah naungan DJBC, pemahaman yang jernih atas perbedaan objek, tujuan, dan mekanisme ini sangat esensial.

    Hal ini memungkinkan analisis yang akurat untuk mengidentifikasi di mana titik rawan kerugian negara berada—apakah pada penyelundupan barang umum yang tunduk pada UU tentang Kepabeanan, atau pada peredaran barang kena cukai ilegal yang diatur oleh UU tentang Cukai. Pembedaan ini juga menjadi dasar untuk menerapkan pasal-pasal pidana dan merujuk pada putusan pengadilan yang relevan secara tepat.

    Jalur Darat: Realitas PLBN Modern vs. Dominasi “Jalan Tikus” dan Ketergantungan Ekonomi Informal

    Investasi pemerintah dalam membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang modern dan terintegrasi, seperti PLBN Entikong, merupakan langkah maju dalam standardisasi pelayanan dan pengawasan di titik-titik resmi. Tujuannya jelas yaitu menyederhanakan birokrasi, mendorong kepatuhan, dan pada akhirnya mengurangi pelanggaran. Namun, efektivitas infrastruktur megah ini secara signifikan tergerus oleh sebuah realitas lapangan yang jauh lebih kompleks yaitu dengan adanya dominasi jalur-jalur tidak resmi atau “jalan tikus” yang membentang di sepanjang perbatasan, serta ketergantungan ekonomi masyarakat lokal pada perdagangan lintas batas informal.  

    Fenomena ini bukanlah sekadar masalah penegakan hukum, melainkan sebuah gejala dari kegagalan integrasi ekonomi di wilayah perbatasan. Bagi banyak masyarakat di Kabupaten Sanggau dan sekitarnya, berdagang di Pasar Serikin, Sarawak, adalah tulang punggung ekonomi mereka. Mereka melintasi perbatasan, seringkali tanpa dokumen yang lengkap, bukan karena niat jahat, tetapi karena sistem informal menawarkan efisiensi, biaya rendah, dan aksesibilitas yang tidak dapat disaingi oleh sistem formal.

    Ketika seorang pedagang kecil dihadapkan pada pilihan antara menempuh perjalanan jauh ke PLBN, mengisi formulir yang rumit, dan membayar bea resmi, dengan pilihan menggunakan “jalan tikus” yang sudah dikenal turun-temurun untuk transaksi cepat, pilihan kedua menjadi pilihan ekonomi yang rasional.  

    Ekosistem informal yang masif inilah yang menciptakan kamuflase sempurna bagi jaringan kejahatan terorganisasi. Sindikat narkotika internasional dari Malaysia telah lama memanfaatkan perbatasan Kalimantan Barat sebagai jalur masuk utama. Mereka dapat dengan mudah berbaur di antara lalu lintas informal, menyembunyikan barang selundupan di antara barang dagangan biasa. Berbagai kasus penindakan oleh Bea Cukai Entikong menjadi bukti nyata.

    Penindakan terhadap 58 ball pakaian bekas, penggagalan penyelundupan 10 kg sabu yang disamarkan dalam kemasan beras Thailand, hingga penemuan mesin chainsaw dan senjata tajam di “jalan tikus” menunjukkan variasi dan volume barang ilegal yang melintas. Upaya penindakan yang dilakukan, meskipun seringkali berhasil berkat sinergi dengan TNI, Polri, dan BNN, pada dasarnya bersifat reaktif.

    Penegakan hukum seolah bermain “pukul tikus” (whack-a-mole) yaitu satu jalur ditutup, penyelundup akan mencari atau membuat jalur baru. Selama akar masalah—yaitu sistem formal yang tidak kompetitif dan ketiadaan alternatif ekonomi yang sah bagi masyarakat perbatasan—tidak ditangani, maka “jalan tikus” akan terus ada, dan PLBN modern hanya akan menjadi monumen di tengah lautan aktivitas ilegal yang tak tersentuh.

    Jalur Laut: Pengawasan di Jalur Sutra Maritim Modern yang Rentan terhadap Kejahatan Transnasional

    Perairan di sekitar Kalimantan Barat, yang merupakan bagian dari jalur pelayaran terpadat di dunia seperti Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, adalah arena yang jauh lebih menantang bagi pengawasan kepabeanan. Luasnya wilayah laut yang harus dipantau, ditambah dengan volume lalu lintas maritim yang sangat tinggi, menjadikannya medan yang subur bagi kejahatan transnasional terorganisir. Skala dan kecanggihan modus operandi di jalur laut jauh melampaui apa yang biasa ditemui di darat.


    Penyelundupan tidak lagi sebatas barang dalam karung, melainkan melibatkan kapal pengangkut khusus, penyembunyian canggih di dalam kontainer kargo (concealment container/cargo), dan strategi perlawanan aktif seperti sengaja mengandaskan kapal untuk menghilangkan barang bukti. Kasus penindakan 1,5 ton sabu di perairan Selat Philips, meskipun terjadi di dekat Batam, menjadi indikator skala ancaman yang dihadapi seluruh wilayah maritim barat Indonesia.

    Di Kalimantan Barat sendiri, penggagalan ekspor 14 kontainer yang diduga berisi Crude Palm Oil (CPO) ilegal dan penemuan kayu gaharu di jalur tikus perairan menunjukkan bahwa komoditas yang diselundupkan sangat beragam, dari narkotika hingga hasil alam bernilai tinggi.  

    Menghadapi ancaman lintas negara ini, kerja sama bilateral dengan Kastam Diraja Malaysia dan patroli terkoordinasi dengan TNI menjadi strategi kunci. Operasi bersama telah menunjukkan hasil, seperti penindakan terhadap puluhan juta batang rokok ilegal yang menyelamatkan potensi kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah. Namun, keberhasilan penindakan berskala besar ini secara paradoksal justru menggarisbawahi besarnya masalah. Sindikat kejahatan internasional beroperasi berdasarkan kalkulasi risiko.

    Mereka tidak akan mempertaruhkan pengiriman bernilai puluhan atau ratusan miliar rupiah kecuali jika mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap keberhasilan operasi, yang kemungkinan besar didasarkan pada puluhan atau ratusan pengiriman sebelumnya yang berhasil lolos tanpa terdeteksi. Dengan demikian, setiap penangkapan besar bukanlah tanda bahwa masalah telah teratasi, melainkan bukti nyata akan viabilitas dan frekuensi penggunaan rute penyelundupan tersebut.

    Ini mengindikasikan bahwa volume barang ilegal yang berhasil lolos kemungkinan jauh lebih besar daripada yang berhasil ditangkap, dan pengawasan yang ada, meskipun telah diperkuat, masih belum sepadan dengan skala ancaman yang sebenarnya.  

    Jalur Udara: Pertarungan Teknologi dan Kecerdikan di Pintu Masuk Formal

    Dibandingkan dengan jalur darat dan laut yang luas dan terbuka, pengawasan di jalur udara seperti Bandara Internasional Supadio di Pontianak tampak lebih terkonsentrasi dan terkendali. Titik masuk yang terbatas memungkinkan pengerahan teknologi canggih seperti mesin X-ray, sistem informasi kepabeanan, dan unit anjing pelacak (K9) untuk melakukan penyaringan yang ketat. Namun, lingkungan yang terkontrol ini justru memicu evolusi modus penyelundupan menjadi lebih canggih dan personal. Jalur udara menjadi arena pertarungan antara teknologi deteksi milik negara melawan kecerdikan manusia dalam menyembunyikan barang ilegal.  

    Rute penerbangan Kuching-Pontianak secara historis menjadi perhatian khusus. Modus operandi yang sering ditemukan adalah penyelundupan yang melekat pada individu, seperti hand carry, penyembunyian barang di dalam koper atau tas (concealment passenger baggage), disembunyikan di badan (strap on body), atau bahkan ditelan (on body swallow). Penggagalan penyelundupan 1 gram metamfetamin yang dibawa oleh seorang penumpang dari Malaysia adalah contoh mikro yang menunjukkan bahwa sekecil apa pun barang selundupan, pelaku akan terus mencari cara untuk menembus sistem.  

    Keberhasilan penindakan ini membuktikan bahwa kombinasi antara teknologi, unit K9, dan sinergi antar-instansi seperti dengan Karantina Pertanian cukup efektif untuk mendeteksi pelanggaran yang kasat mata atau yang sesuai dengan pola risiko yang telah dikenali. Namun, sistem ini memiliki keterbatasan fundamental yaitu ia bersifat defensif dan reaktif. Para penyelundup tahu akan ada mesin X-ray dan anjing pelacak. Mereka dapat meneliti cara pengemasan untuk meminimalisir deteksi bau atau citra pada pemindai, serta merekrut kurir yang tidak sesuai dengan profil tipikal. Hal ini menjadikan pertahanan yang murni berbasis teknologi sebagai sebuah perlombaan senjata yang tak berkesudahan.


    Oleh karena itu, efektivitas pengawasan di jalur udara tidak bisa lagi hanya bergantung pada kecanggihan alat. Langkah evolusi berikutnya harus bergeser ke arah intervensi yang proaktif dan berbasis intelijen. Ini melibatkan kemampuan untuk melakukan analisis risiko prediktif yaitu mengidentifikasi penumpang, kargo, atau pola penerbangan berisiko tinggi sebelum mereka tiba, berdasarkan analisis data dan informasi intelijen.

    Pengembangan aplikasi seperti KALOCI oleh Bea Cukai Pontianak untuk mempercepat layanan adalah langkah positif dalam digitalisasi, tetapi fokus masa depan harus pada integrasi intelijen untuk menciptakan lapisan pertahanan yang tidak dapat diprediksi oleh para pelaku kejahatan.  

    Anatomi Kerugian Negara: Membedah Korupsi Sistemik dan Kelalaian Administratif

    Kerugian negara dalam ranah kepabeanan dan cukai tidak bersumber dari satu penyebab tunggal. Ia lahir dari dua patologi yang berbeda namun seringkali saling terkait: tindak pidana korupsi yang disengaja dan sistemik, serta kesalahan prosedural administratif yang mungkin lahir dari kelalaian, ketidaktahuan, atau kelemahan sistem. Membedah kedua sumber kerugian ini adalah langkah krusial untuk merumuskan strategi penegakan hukum dan perbaikan tata kelola yang tepat sasaran.

    Tindak Pidana Korupsi: Modus, Jaringan, dan Penegakan Hukum

    Kerugian negara akibat korupsi di sektor kepabeanan merupakan pukulan telak tidak hanya bagi penerimaan negara, tetapi juga bagi keadilan ekonomi dan integritas institusi. Praktik ini menciptakan persaingan tidak sehat bagi pelaku usaha yang jujur dan menggerus kepercayaan publik. Yurisprudensi dari berbagai tingkat pengadilan telah memetakan dengan jelas modus-modus korupsi yang terjadi, yang dapat dikategorikan menjadi dua bentuk utama antara lain korupsi pasif melalui penyalahgunaan wewenang dan korupsi aktif melalui kolusi untuk menipu negara.

    Contoh paling gamblang dari korupsi tingkat tinggi yang bersifat pasif adalah kasus yang menjerat mantan Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6716 K/PID.SUS/2024, tertanggal 24 Oktober 2024, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi terdakwa dan menguatkan vonis 12 tahun penjara. Andhi Pramono terbukti menerima gratifikasi senilai total Rp 58 miliar, yang diduga berkaitan dengan jabatannya dalam memfasilitasi kegiatan impor-ekspor. Kasus ini menunjukkan bagaimana seorang pejabat tinggi dapat “menjual” kewenangannya, menciptakan kerugian negara yang tidak langsung namun masif dengan merusak sistem pengawasan itu sendiri.

    Pertimbangan hakim yang menyatakan perbuatan terdakwa mencoreng institusi dan tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi pemerintah menegaskan dampak destruktif dari praktik semacam ini.  

    Di sisi lain, korupsi aktif yang melibatkan kolusi antara pelaku usaha dan pejabat untuk secara langsung menipu negara tercermin dalam kasus manipulasi Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Dalam Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 138/Pid.B/2023/PN Ptk, tertanggal 25 Oktober 2023, terdakwa Gunawan dan Rivay Manalu terbukti secara sah melakukan tindak pidana kepabeanan di bidang ekspor. Modusnya adalah dengan memberitahukan ekspor komoditas Crude Palm Oil (CPO) yang memiliki tarif bea keluar lebih tinggi, sebagai Palm Acid Oil (PAO) yang tarifnya lebih rendah. Akibatnya, mereka mendapatkan keuntungan dari selisih pembayaran bea keluar yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Kasus ini adalah contoh sempurna bagaimana system self-assessment yang dianut dalam UU Kepabeanan dapat dimanipulasi melalui deklarasi palsu, yang sangat mungkin terjadi berkat kolusi dengan oknum di lapangan yang memverifikasi dokumen.

    Kedua kasus ini menunjukkan bahwa korupsi bukanlah fenomena monolitik. Ia bisa bersifat top-down, di mana otoritas tinggi disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, dan bisa juga bersifat bottom-up, di mana terjadi kolusi di tingkat operasional untuk melakukan penipuan transaksional. Oleh karena itu, strategi anti-korupsi yang efektif harus berjalan di dua jalur yaitu pengawasan ketat terhadap gaya hidup dan kekayaan pejabat tinggi, serta pengetatan kontrol prosedural di tingkat transaksi untuk mencegah pemalsuan dokumen dan deklarasi.

    Kerugian Negara Akibat Kesalahan Prosedural Administratif

    Selain korupsi yang disengaja, kerugian negara dalam jumlah signifikan juga dapat timbul dari serangkaian kesalahan prosedural administratif. Kesalahan ini bisa berasal dari kelalaian, kompleksitas regulasi yang sulit dipahami, atau kelemahan sistemis dalam pengendalian internal DJBC itu sendiri. Bentuknya beragam, mulai dari kesalahan pengisian data dalam dokumen pabean seperti Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atau PEB, keterlambatan pemenuhan kewajiban dokumen, hingga ketidakpatuhan terhadap aturan larangan dan pembatasan (lartas).  

    Meskipun sistem kepabeanan menganut prinsip self-assessment, DJBC memiliki kewenangan korektif melalui ketentuan Pasal 17 UU tentang Kepabeanan untuk menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean jika ditemukan adanya kekurangan pembayaran. Namun, pelaksanaan kewenangan ini sendiri rentan terhadap kesalahan prosedur, yang jika terjadi, justru dapat merugikan negara. Hal ini terbukti dalam sengketa antara DJBC melawan PT. SUPERTONE yang berujung pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 283 B/PK/PJK/2021, tertanggal 3 Maret 2021. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai, yang secara efektif menguatkan putusan Pengadilan Pajak sebelumnya yang memenangkan banding dari PT. SUPERTONE. Beberapa analisis hukum terhadap kasus serupa menyimpulkan bahwa penerbitan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) oleh DJBC dapat dianggap cacat hukum jika tidak didahului oleh prosedur penetapan yang benar oleh Pejabat Bea dan Cukai di lapangan.  

    Putusan ini memiliki implikasi yang sangat serius. Ia menunjukkan bahwa negara dapat “kalah” dan kehilangan potensi penerimaan bukan karena penyelundupan atau penipuan oleh importir, melainkan karena aparaturnya sendiri gagal mengikuti prosedur administratif yang telah ditetapkan. Ketika tindakan korektif negara dinyatakan cacat hukum oleh pengadilan, hal ini menciptakan sebuah “insentif sesat” (perverse incentive). Kredibilitas dan otoritas DJBC di mata pelaku usaha tergerus. Pelaku usaha mungkin menjadi lebih berani untuk melakukan deklarasi yang agresif dengan asumsi bahwa penetapan kembali oleh DJBC dapat diperjuangkan dan dimenangkan di pengadilan.

    Akar dari masalah administratif ini seringkali terletak pada kelemahan sistem pengendalian internal (SPI), sebagaimana diungkap oleh BPK. Temuan BPK bahwa terdapat mekanisme kepabeanan yang belum memiliki payung hukum PMK yang jelas, serta praktik dokumentasi audit (KKA) yang tidak standar, menunjukkan adanya kekosongan dan kelemahan regulasi internal. Kelemahan inilah yang membuat tindakan administratif pejabat di lapangan menjadi rapuh secara hukum dan pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara.  

    Yurisprudensi sebagai Cermin: Analisis Putusan Pengadilan di Wilayah Kalimantan Barat

    Putusan-putusan pengadilan yang berasal dari yurisdiksi Kalimantan Barat memberikan gambaran yang lebih granular dan konkret mengenai jenis-jenis tindak pidana kepabeanan yang marak terjadi di wilayah perbatasan. Analisis terhadap putusan-putusan ini tidak hanya mengungkap modus operandi pelaku, tetapi juga menunjukkan bagaimana penegak hukum berupaya menjerat seluruh ekosistem kejahatan, dari hulu hingga hilir.


    Salah satu modus operandi paling umum di perbatasan adalah pemalsuan dokumen untuk mengelabui petugas. Kasus ini tergambar jelas dalam Putusan Pengadilan Negeri Sambas Nomor 286/Pid.B/2019/PN Sbs, tertanggal 19 Desember 2019. Terdakwa ZAENAL ARIFIN, seorang nakhoda kapal, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah”.

    Adapun Pertimbangan Majelis Hakim, yang didasarkan pada keterangan saksi dan pengakuan terdakwa, mengungkap secara detail bahwa terdakwa mengangkut muatan rotan seberat lebih dari 250 ton dengan tujuan ekspor ke Sibu, Malaysia. Namun, untuk mengelabui petugas, ia menggunakan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang mencantumkan tujuan domestik, yaitu Pontianak. Perbuatan ini secara nyata melanggar   ketentuan Pasal 102A huruf (e) UU tentang Kepabeanan. Putusan ini, yang menjatuhkan pidana penjara 1 tahun 2 bulan dan denda Rp 500 juta, menjadi preseden penting bahwa penggunaan dokumen yang tidak sesuai dengan tujuan sebenarnya adalah tindak pidana serius.  

    Lebih jauh, penegakan hukum di Kalimantan Barat tidak hanya menyasar pelaku penyelundupan (sisi penawaran), tetapi juga mereka yang menciptakan permintaan terhadap barang ilegal. Hal ini merupakan strategi krusial karena selama ada pasar yang menyerap, penyelundupan akan terus terjadi.

    Kerangka hukum untuk menjerat sisi permintaan ini terdapat dalam Pasal 103 huruf d UU tentang Kepabeanan. Implementasinya terlihat dari putusan kasasi di Mahkamah Agung yang menguatkan putusan sebelumnya dari Pengadilan Tinggi Pontianak yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 260 K/PID.SUS/2011, tertanggal 12 April 2011. Dalam putusan tersebut, seorang pemohon kasasi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “membeli barang yang diketahui dan diduga dari hasil kejahatan kepabeanan”.  

    Kombinasi dari kedua jenis putusan ini—yang menghukum pengangkut ilegal dan pembeli barang ilegal—mengungkapkan strategi penegakan hukum dua cabang (two-pronged strategy) yang diterapkan oleh negara. Menghukum penyelundup seperti Zaenal Arifin adalah upaya untuk memotong jalur pasokan (supply chain). Sementara itu, menghukum pembeli barang hasil kejahatan kepabeanan adalah upaya untuk menghancurkan pasar dan insentif ekonominya.

    Jika membeli barang selundupan menjadi aktivitas yang berisiko tinggi secara hukum, maka profitabilitas dari kegiatan penyelundupan itu sendiri akan menurun drastis. Ini menunjukkan bahwa perang melawan penyelundupan tidak bisa hanya dimenangkan di garis perbatasan, tetapi juga harus diperjuangkan di pasar-pasar domestik dengan menargetkan para penadah dan pembeli akhir.

    Dimensi Filosofis Kedaulatan Fiskal dan Keadilan Ekonomi

    Pengenaan bea keluar dan bea masuk lebih dari sekadar aktivitas teknis administrasi negara; ia adalah manifestasi fisik dari kedaulatan fiskal sebuah bangsa. Kedaulatan fiskal merupakan hak esensial negara untuk secara mandiri mengelola sumber daya keuangannya, memungut pajak dan bea, serta mengalokasikannya demi tercapainya cita-cita kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam filosofi dasar negara.

    Dalam konteks kepabeanan, ini berarti negara memiliki hak absolut untuk mengontrol setiap jengkal perbatasannya, mengatur lalu lintas barang, dan memastikan bahwa setiap pergerakan komoditas yang melintasi yurisdiksinya tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan demi kepentingan nasional.

    Setiap tindakan penyelundupan, penghindaran bea, atau korupsi di pos perbatasan pada hakikatnya adalah serangan langsung terhadap kedaulatan tersebut. Setiap rupiah yang hilang akibat praktik ilegal adalah dana yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, jalan, atau program kesejahteraan sosial lainnya.

    Dari perspektif keadilan ekonomi, bea cukai berfungsi sebagai instrumen penyeimbang. Bea masuk melindungi industri dan pekerja dalam negeri dari gempuran produk impor yang tidak adil. Bea keluar, khususnya untuk sumber daya alam, memastikan bahwa kekayaan alam yang diekstraksi dari bumi Indonesia memberikan manfaat maksimal bagi seluruh rakyat, sejalan dengan jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Ketika sistem ini bocor, yang terjadi bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga pengkhianatan terhadap prinsip keadilan. Beban negara menjadi tidak terdistribusi secara adil, di mana warga negara dan pelaku usaha yang patuh menjadi korban dari mereka yang beroperasi di luar hukum.  

    Kritik Sistematis terhadap Regulasi dan Implementasi

    Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum kepabeanan yang relatif komprehensif, implementasinya di lapangan, terutama di wilayah perbatasan yang kompleks seperti Kalimantan Barat, menunjukkan kelemahan-kelemahan sistematis yang mendasar. Pertama, terdapat disparitas akut antara cakupan hukum yang ambisius dan kapasitas pengawasan yang riil. Definisi “Daerah Pabean” yang sangat luas menjadi tidak bermakna ketika sumber daya pengawasan hanya mampu terkonsentrasi di segelintir titik resmi, meninggalkan ribuan kilometer garis perbatasan darat dan laut rentan terhadap eksploitasi.  

    Kedua, sistem formal yang dibangun oleh negara terbukti gagal bersaing dengan ekosistem ekonomi informal yang telah mengakar di masyarakat perbatasan. Ketergantungan masif pada jalur perdagangan non-prosedural menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum mampu mengakomodasi atau memberikan alternatif yang lebih baik bagi kebutuhan ekonomi dasar masyarakat. Ini bukan lagi sekadar masalah penegakan hukum, tetapi kegagalan kebijakan pembangunan perbatasan.  

    Ketiga, dinamisme regulasi, terutama frekuensi perubahan Peraturan Menteri Keuangan, justru menciptakan ketidakpastian hukum. Alih-alih adaptif, perubahan yang terlalu cepat tanpa sosialisasi yang memadai membuka celah interpretasi yang dapat dieksploitasi untuk tujuan koruptif atau menyebabkan kesalahan administratif yang merugikan.

    Keempat, temuan BPK mengenai buruknya kualitas dokumentasi audit (LHA dan KKA) di internal DJBC adalah lonceng bahaya yang menandakan lemahnya sistem pengendalian internal dan akuntabilitas. Ketiadaan jejak audit yang jelas dan dasar pertimbangan keputusan yang tidak terdokumentasi adalah lahan subur bagi penyalahgunaan wewenang.


    Terakhir, paradigma pengawasan yang ada saat ini cenderung bersifat reaktif. Fokusnya adalah pada penindakan setelah pelanggaran terjadi, bukan pada pencegahan proaktif. Meskipun banyak penindakan yang berhasil, modus penyelundupan yang terus berevolusi menunjukkan bahwa aparat hanya mengejar bayang-bayang, selalu satu langkah di belakang para pelaku kejahatan.

    Rekomendasi Radikal untuk Reformasi Bea Cukai

    Mengatasi kritik sistematis di atas memerlukan langkah-langkah reformasi yang berani, fundamental, dan melampaui pendekatan konvensional. Solusi yang ditawarkan harus menyentuh akar permasalahan, bukan sekadar menambal gejala.

    Revisi Komprehensif Kerangka Hukum dengan Pendekatan Holistik (Filosofis-Akademis)

    Perlu dilakukan kaji ulang terhadap UU tentang Kepabeanan untuk mengintegrasikan secara eksplisit dimensi pembangunan ekonomi perbatasan. Ini dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan legalisasi atau formalisasi perdagangan lintas batas tradisional skala kecil melalui mekanisme yang disederhanakan, seperti “Izin Perdagangan Lintas Batas Terbatas” atau zona ekonomi khusus mikro.

    Tujuannya adalah menarik aktivitas ekonomi dari “jalan tikus” ke dalam kerangka legal yang dapat diawasi dan dikenakan pungutan secara proporsional, sehingga mengubah ancaman menjadi peluang ekonomi. Selain itu, pemerintah harus berkomitmen untuk menciptakan regulasi yang lebih stabil dan prediktif, dengan masa transisi dan sosialisasi yang terstruktur untuk setiap perubahan signifikan.

    Transformasi Pengawasan Berbasis Teknologi dan Intelijen (Praktis-Radikal)

    Harus ada investasi besar-besaran pada teknologi pengawasan perbatasan yang terintegrasi. Ini bukan hanya tentang menambah jumlah kapal patroli atau kamera CCTV, melainkan membangun sebuah ekosistem pengawasan cerdas. Pemanfaatan drone pengintai jarak jauh yang dilengkapi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi pergerakan anomali di “jalan tikus”, penggunaan sensor bawah air di jalur-jalur laut yang rawan, serta implementasi sistem predictive analytics untuk menganalisis data manifes dan mengidentifikasi kargo berisiko tinggi secara otomatis. Lebih dari itu, perlu dibentuk sebuah “Pusat Fusi Intelijen Perbatasan” yang mengintegrasikan data real-time dari DJBC, TNI, Polri, BNN, dan bahkan otoritas negara tetangga untuk membongkar jaringan kejahatan dari akarnya.

    Reformasi Tata Kelola Internal dan Akuntabilitas (Akademis-Praktis)

    Menindaklanjuti temuan BPK, harus ada kebijakan tanpa toleransi terhadap dokumentasi yang tidak standar. Setiap keputusan diskresioner oleh pejabat Bea Cukai, terutama yang terkait penetapan nilai pabean, wajib didokumentasikan dalam sistem digital yang terpusat, terstandarisasi, dan tidak dapat diubah (immutable), lengkap dengan dasar pertimbangan yang jelas. Ini akan menciptakan jejak audit yang transparan dan akuntabel. Selain itu, mekanisme whistleblowing yang aman dan dilindungi harus diperkuat, serta audit eksternal yang independen terhadap kinerja operasional DJBC perlu dilakukan secara lebih berkala dan mendalam.

    Pendekatan Pembangunan Ekonomi Inklusif di Perbatasan (Filosofis-Radikal)

    Langkah paling fundamental adalah menggeser paradigma dari “menjaga perbatasan” menjadi “membangun perbatasan”. Kebijakan kepabeanan tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus terintegrasi dengan program pembangunan ekonomi lokal yang inklusif. Ini berarti pemerintah harus secara proaktif menciptakan peluang ekonomi yang sah dan berkelanjutan bagi masyarakat perbatasan, misalnya melalui pengembangan UMKM berorientasi ekspor, pembangunan infrastruktur logistik yang efisien, dan pemberian insentif bagi mereka yang beroperasi secara legal. Kerja sama bilateral dengan Malaysia harus diperluas, tidak hanya dalam aspek keamanan, tetapi juga dalam pembangunan ekonomi bersama di kawasan perbatasan untuk mengurangi disparitas yang menjadi pemicu utama perdagangan ilegal.

    Kesimpulan dan Rekomendasi

    Tulisan kami ini bersifat mendalam terhadap aturan dan praktik pengenaan bea keluar dan bea masuk di Indonesia, dengan lensa studi kasus perbatasan Kalimantan Barat, telah menyingkap sebuah realitas yang kompleks. Di satu sisi, terdapat kerangka hukum yang komprehensif dan upaya penegakan hukum yang tidak kenal lelah.


    Di sisi lain, terdapat celah sistemik yang signifikan antara mandat hukum dan kapasitas operasional, yang diperparah oleh tantangan geografis, tekanan sosio-ekonomi, dan kelemahan tata kelola internal. Celah inilah yang menjadi sumber kerugian negara, baik melalui korupsi yang terorganisir maupun kesalahan administratif yang berulang.

    Temuan Kunci

    1.       Disparitas Hukum dan Realitas Operasional

    Definisi “Daerah Pabean” yang sangat luas dalam UU Kepabeanan menciptakan klaim yurisdiksi yang mustahil untuk diawasi sepenuhnya dengan kapasitas sumber daya yang ada, melahirkan “kesenjangan penegakan” yang masif.

    2.       Tantangan di Setiap Jalur

    Jalur darat dirongrong oleh “jalan tikus” yang didorong oleh ketergantungan ekonomi informal. Jalur laut yang padat menjadi arena bagi kejahatan transnasional berskala besar. Sementara jalur udara, meskipun lebih terkontrol, menghadapi perang kecerdikan dalam modus penyembunyian.

    3.       Dua Akar Kerugian Negara

    Kerugian negara bersumber dari dua patologi utama: (a) Tindak Pidana Korupsi, yang terbukti dari kasus gratifikasi pejabat tinggi dan kolusi dalam manipulasi dokumen ekspor; dan (b) Kesalahan Prosedural Administratif, yang lahir dari regulasi yang kompleks, berubah-ubah, dan diperburuk oleh kelemahan sistem pengendalian internal sebagaimana diungkap oleh BPK.

    4.       Ketergantungan Ekonomi Lintas Batas

    Perdagangan informal yang masif di perbatasan bukanlah murni masalah kriminal, melainkan gejala dari kegagalan sistem formal dalam menyediakan alternatif ekonomi yang layak bagi masyarakat lokal, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan permisif bagi penyelundupan.

    Rekomendasi Strategis

    Untuk mengatasi permasalahan ini secara fundamental, diperlukan pendekatan holistik yang melampaui penegakan hukum konvensional. Rekomendasi berikut ditujukan kepada para pemangku kepentingan terkait:

    1.        Untuk Legislatif dan Pemerintah Pusat

    -         Harmonisasi dan Penyederhanaan Regulasi

    Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap hierarki peraturan, khususnya Peraturan Menteri Keuangan, untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas, dan kesederhanaan. Setiap perubahan signifikan harus disertai periode transisi dan sosialisasi yang memadai;

    -         Formalisasi Perdagangan Lintas Batas Tradisional

    Mengkaji dan mengimplementasikan skema legalisasi untuk perdagangan lintas batas skala kecil melalui mekanisme bea yang disederhanakan atau zona perdagangan terbatas, guna menarik aktivitas ekonomi informal ke dalam sistem yang sah dan dapat diawasi.

    2.       Untuk Kementerian Keuangan dan DJBC

    -         Investasi Teknologi dan Intelijen

    Mengalokasikan anggaran signifikan untuk membangun sistem pengawasan perbatasan terintegrasi berbasis teknologi (drone, sensor, AI, predictive analytics) dan membentuk Pusat Fusi Intelijen Perbatasan antar-lembaga;

    -         Reformasi Tata Kelola Internal dan Akuntabilitas

    Menindaklanjuti secara penuh rekomendasi BPK dengan memberlakukan standar dokumentasi audit (KKA) yang ketat dan dapat diaudit secara digital. Menerapkan kebijakan tanpa toleransi terhadap kegagalan dokumentasi dan memperkuat mekanisme pengawasan internal serta sistem whistleblowing yang melindungi pelapor;

    -         Sanksi Tegas dan Konsisten

    Menerapkan sanksi, baik administratif maupun pidana, secara tegas dan konsisten terhadap setiap pelanggaran untuk menciptakan efek jera yang nyata dan memaksimalkan upaya pemulihan kerugian negara.

    3.      Untuk Aparat Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan)

    -         Menjerat Ekosistem Kejahatan

    Meningkatkan fokus penuntutan tidak hanya pada pelaku penyelundupan (transportir), tetapi juga pada penadah dan pembeli barang hasil kejahatan kepabeanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Kepabeanan, untuk menghancurkan sisi permintaan dari pasar ilegal.

    4.       Untuk Pemerintah Daerah dan Badan Pembangunan Perbatasan

    -         Integrasi Kebijakan Ekonomi dan Keamanan

    Mengembangkan program pembangunan ekonomi yang terintegrasi di wilayah perbatasan, fokus pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi informal dan ilegal.

    Implementasi rekomendasi-rekomendasi ini secara terpadu dan berkelanjutan adalah kunci untuk tidak hanya meminimalkan kerugian negara, tetapi juga untuk meneguhkan kembali kedaulatan fiskal, mewujudkan keadilan ekonomi, dan mengubah wajah perbatasan Indonesia dari halaman belakang yang rentan menjadi beranda depan yang berdaya dan sejahtera.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini.  atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.