layananhukum

Alasan Majelis Hakim Pengadilan Agama Menolak Perkara Perceraian: Studi Pertimbangan Hukum Perkara Andre Taulany

 

    Pengantar

    Perkara perceraian yang melibatkan figur publik Andre Taulany dan istrinya, yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Banten, menawarkan lebih dari sekadar narasi berita dunia hiburan. Kasus ini, yang terangkum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 69/Pdt.G/2024/PTA.Btn., tertanggal 14 November 2024, menjelma menjadi sebuah studi kasus hukum (legal case study) yang signifikan dan mendalam. Hingga, akhirnya belakangan Andre Taulany belakangan kembali mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama Tigaraksa sebagaimana perkara nomor: 1673/Pdt.G/2025/PATigaraksa pada 19 April 2025.

    Meskipun menyita perhatian luas masyarakat, nilai substansial dari perkara ini tidak terletak pada status para pihaknya, melainkan pada ratio decidendi atau pertimbangan hukum majelis hakim yang mencerminkan filosofi fundamental peradilan agama di Indonesia.

    Putusan ini menjadi preseden penting yang menegaskan kembali prinsip sakralitas perkawinan (mitsaqan ghalidzan) dan asas mempersulit perceraian, yang merupakan pilar utama dalam hukum keluarga Islam dan hukum positif di Indonesia.

    Signifikansi putusan ini terletak pada bagaimana majelis hakim secara cermat mengintegrasikan berbagai lapisan norma hukum—mulai dari hukum positif nasional, hukum Islam yang terkodifikasi, hingga sumber hukum Islam primer—untuk membangun sebuah argumentasi yang koheren dan kokoh. Hakim tidak hanya berhenti pada pembuktian dalil-dalil formal, tetapi juga melakukan ijtihad interpretatif terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan, menunjukkan peran aktif peradilan sebagai penjaga nilai-nilai syariah.

    Tesis utama dari tulisan ini adalah bahwa penolakan permohonan cerai talak yang diajukan oleh Pemohon (Andre Taulany) bukanlah sebuah keputusan arbitrer atau sekadar respons atas “rujuk” sesaat. Sebaliknya, putusan tersebut merupakan sebuah konstruksi yuridis yang berlapis dan kokoh. Majelis hakim secara brilian mengangkat fakta terjadinya hubungan intim antara suami-istri selama proses persidangan menjadi sebuah halangan hukum (legal impediment) yang tak terhindarkan. Halangan ini dibangun di atas doktrin fiqh tentang talak bid'ah (talak yang terlarang), yang pada akhirnya secara efektif menggugurkan seluruh dalil dan dasar permohonan cerai yang diajukan. Tulisan hukum ini diharapkan dapat membedah putusan tersebut dari perspektif praktis, akademis, dan filosofis untuk menyingkap kekayaan yurisprudensi yang terkandung di dalamnya.

    Kronologi dan Duduk Perkara: Dari Konflik Hingga Momen Kunci di Persidangan

    Untuk memahami kompleksitas pertimbangan hakim, penting untuk menelusuri alur perkara dari awal, mulai dari dalil yang diajukan hingga terungkapnya fakta hukum yang menjadi titik balik.

    Dalil Permohonan Cerai (Posisi Pemohon)

    Permohonan cerai talak diajukan oleh Pemohon (Andre Taulany) dengan mendalilkan bahwa keutuhan rumah tangganya telah retak. Menurut Pemohon, sejak tahun 2020, kehidupan perkawinannya tidak lagi tenteram karena diwarnai oleh “perbedaan pendapat dan perselisihan semakin tajam”. Konflik ini, menurut dalil Pemohon, berpuncak pada kondisi pisah ranjang sejak akhir tahun 2023, yang mengakibatkan hilangnya keharmonisan dan tidak tercapainya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Perkawinan”.  

    Secara formal, alasan yang diajukan ini berusaha memenuhi kriteria perceraian yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan jika “antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri”. Alasan ini juga sejalan dengan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.  

    Sikap Termohon dan Putusan Tingkat Pertama

    Menanggapi permohonan tersebut, Termohon (istri) secara tegas menolak untuk bercerai. Sikapnya didasarkan pada keyakinan bahwa rumah tangga mereka masih dapat diperbaiki dan kembali rukun serta harmonis. Pertimbangan utama Termohon adalah masa depan ketiga anak mereka, buah dari perkawinan yang telah terjalin.


    Pada tingkat pertama, Pengadilan Agama Tigaraksa, sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 1668/Pdt.G/2024/PA.Tgrs., tertanggal 19 September 2024, setelah melalui proses persidangan, menjatuhkan putusan yang menolak permohonan cerai dari Pemohon. Putusan ini menjadi dugaan awal bahwa majelis hakim tingkat pertama telah menemukan fakta atau pertimbangan yang melemahkan atau bahkan menggugurkan dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon.  

    Proses Banding dan Terungkapnya Fakta Krusial

    Tidak puas dengan putusan tingkat pertama, Pemohon mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama Banten. Dalam memori bandingnya, Pemohon tetap bersikukuh pada dalil-dalil awalnya dan memohon agar PTA Banten membatalkan putusan PA Tigaraksa serta mengabulkan permohonan cerainya.  

    Namun, dalam proses pemeriksaan di tingkat banding inilah terungkap sebuah fakta hukum kunci yang mengubah arah dan substansi perkara secara fundamental. Terungkap bahwa pada tanggal 14 Agustus 2024, ketika proses persidangan masih berlangsung, Pemohon dan Termohon “telah memadu kasih, saling mencintai dan bahkan keduanya telah melakukan hubungan layaknya suami isteri”. Fakta ini bukan sekadar klaim sepihak dari Termohon, melainkan diakui dan dibenarkan secara langsung oleh Pemohon sendiri di hadapan persidangan. Pengakuan ini, dalam kacamata hukum acara, memiliki kekuatan pembuktian yang sangat tinggi. Majelis hakim tingkat banding mengkategorikan pengakuan tersebut sebagai bukti yang sempurna dan mengikat (volledige bekentenis) sesuai dengan ketentuan Pasal 165 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) serta Pasal 1867 dan 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.  

    Terungkapnya fakta ini menyebabkan pergeseran fokus perkara yang signifikan. Jika pada awalnya sengketa berpusat pada pembuktian ada atau tidaknya perselisihan terus-menerus (syiqaq), kini pertanyaan hukumnya berubah secara drastis yaitu “Apa makna dan akibat hukum dari terjadinya hubungan suami-istri di tengah-tengah proses perceraian yang sedang berjalan?” Tindakan yang bersifat sangat pribadi ini ternyata memiliki konsekuensi yuridis yang menentukan, yang pada akhirnya meruntuhkan seluruh bangunan argumentasi yang telah disusun oleh Pemohon.

    Tiga Pilar Pertimbangan Hakim

    Putusan PTA Banten yang menguatkan penolakan cerai tidak didasarkan pada satu alasan tunggal, melainkan ditopang oleh tiga pilar pertimbangan yang saling menguatkan. Ketiga pilar ini mencakup analisis faktual-filosofis, konstruksi yuridis-materiil yang teknis, dan penegasan kembali tujuan luhur perkawinan.

    Pilar Pertama: Hubungan Suami-Istri sebagai Penggugur Dalil Perceraian secara Faktual dan Filosofis

    Majelis hakim tingkat banding tidak memandang fakta hubungan intim sebagai sekadar insiden biologis. Lebih dari itu, hakim melakukan interpretasi mendalam dan memaknainya sebagai sebuah tindakan rekonsiliasi aktif yang secara filosofis dan faktual telah menghapuskan alasan perceraian. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa dengan terjadinya hubungan tersebut, “telah hapus perselisihan dan pertengkaran tersebut, yang bermakna hakikatnya masih rukun dan harmonis”.  


    Secara tegas, majelis hakim menolak argumen kuasa hukum Pemohon yang menduga adanya “rekayasa dan manipulasi serta itikad buruk” dari pihak Termohon untuk menghindari perceraian. Hakim justru membalikkan logika tersebut dengan merujuk pada spirit dari firman Allah SWT dalam   Surat An-Nisa ayat 34:

    فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

    Artinya: “Maka jika mereka taat kepadamu, janganlah kamu carikan mereka jalan (yang lain)”.  

    Dalam penafsiran hakim, ketaatan istri yang dimanifestasikan melalui pemenuhan kewajiban batiniah (hubungan biologis) dipandang sebagai bentuk kepatuhan dan upaya perbaikan dari pihak istri. Konsekuensinya, ketika istri telah menunjukkan ketaatan tersebut, maka suami secara syar'i kehilangan dasar atau justifikasi untuk “mencari jalan lain,” dalam hal ini melanjutkan proses perceraian. Ini adalah sebuah lompatan logis dari teks normatif-teologis ke dalam konsekuensi yuridis-prosedural. Hakim secara efektif menyatakan bahwa tindakan rekonsiliasi faktual yang telah terjadi mengalahkan niat cerai yang terdaftar secara formal.


    Pendekatan ini menunjukkan bahwa Peradilan Agama tidak hanya berfungsi sebagai corong undang-undang, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika perkawinan Islam. Penafsiran terhadap ketaatan istri di sini tidak dipandang secara patriarkis, melainkan resiprokal; ketaatan istri menimbulkan kewajiban bagi suami untuk menghentikan usahanya mencari jalan perpisahan.

    Pilar Kedua: Konstruksi Talak Bid'ah sebagai Halangan Yuridis-Materiil

    Ini merupakan pilar argumentasi hukum yang paling teknis dan paling kuat dalam putusan tersebut. Majelis hakim menyatakan bahwa permohonan cerai Pemohon tidak dapat dibenarkan karena “telah menyalahi nas syar'i atau aturan syariah atau hukum materiel”. Hakim membangun sebuah halangan hukum (legal impediment) berdasarkan konsep talak bid'ah.

    Hakim merujuk pada pandangan para ulama fikih klasik terkemuka seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Qayyim, yang mendefinisikan talak bid'ah sebagai talak yang tidak sah atau setidaknya terlarang karena menyalahi tuntunan syariat. Salah satu bentuk talak bid'ah yang paling relevan dengan kasus ini adalah “Menjatuhkan talak saat istri dalam keadaan suci tapi sudah digauli”. Konsep ini telah dikodifikasikan dalam hukum positif Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 121 KHI mendefinisikan talak sunny (talak yang sesuai sunnah) sebagai talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri pada waktu suci tersebut. Sebaliknya, Pasal 122 KHI secara implisit melarang talak bid'i, yaitu talak yang dijatuhkan pada kondisi yang tidak sesuai dengan sunnah, termasuk setelah istri digauli.  


    Argumentasi ini diperkuat dengan landasan dalil yang paling otoritatif, yaitu Hadis riwayat Imam Bukhari mengenai sahabat Abdullah bin Umar RA. Ketika Ibnu Umar mentalak istrinya yang sedang dalam keadaan haid, Rasulullah SAW marah dan memerintahkannya untuk rujuk. Nabi kemudian memberikan petunjuk tata cara talak yang benar: tahanlah istri hingga ia suci, kemudian biarkan ia haid lagi, lalu biarkan ia suci kembali. Setelah itu, jika masih berkehendak, suami boleh menahannya (tidak jadi cerai) atau mentalaknya sebelum menggaulinya (qabla an yamassa).

    Logika hukum yang dibangun hakim sangatlah cermat. Karena Pemohon (suami) telah menggauli Termohon (istri) selama proses persidangan, maka apabila pengadilan mengabulkan permohonan cerai dan Pemohon mengucapkan ikrar talak, talak tersebut secara tak terhindarkan akan jatuh dalam kondisi bid'ah (terjadi setelah berhubungan badan dalam masa suci). Untuk menghindari terjadinya suatu perbuatan yang terlarang secara syar'i, majelis hakim mengambil langkah preventif dengan menolak permohonan tersebut sejak awal. Ini adalah manifestasi nyata dari peran preventif peradilan (preventive justice) dan penerapan kaidah fikih saddu al-dzari'ah (menutup jalan yang dapat membawa kepada keburukan). Hakim tidak hanya bereaksi terhadap apa yang telah terjadi, tetapi juga secara proaktif mencegah pelanggaran syariat yang akan terjadi.

    Pilar Ketiga: Penegasan Kembali Tujuan Luhur Perkawinan (Maqasid al-Nikah)

    Sebagai penutup pertimbangannya, majelis hakim kembali ke fondasi filosofis hukum perkawinan. Hakim menyimpulkan bahwa terjadinya hubungan intim antara Pemohon dan Termohon adalah penanda bahwa “hati keduanya masih diliputi rasa saling menyayangi dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.  

    Argumentasi ini menegaskan kembali bahwa tujuan utama dari hukum perkawinan bukanlah untuk memfasilitasi perpisahan, melainkan untuk memelihara dan melindungi ikatan suci yang bertujuan menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan ditemukannya secercah harapan untuk rukun—yang dibuktikan secara nyata melalui tindakan paling intim antara suami dan istri—maka asas mempersulit perceraian harus diutamakan di atas keinginan subjektif salah satu pihak untuk berpisah. Putusan ini menjadi pengingat bahwa perceraian dalam Islam adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium) yang hanya dapat ditempuh ketika semua pintu rekonsiliasi telah tertutup rapat.


    Tinjauan Yuridis: Lapisan-Lapisan Hukum dalam Putusan

    Putusan PTA Banten ini ditenun dari berbagai benang hukum yang berlapis, menunjukkan kemampuan hakim dalam mensintesiskan norma-norma dari berbagai sumber hukum menjadi satu kesatuan pertimbangan yang utuh.

    Hukum Positif Nasional: UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975

    1)        Pasal 1 UU tentang Perkawinan

    Pasal ini digunakan sebagai landasan filosofis tertinggi. Dengan merujuk pada tujuan perkawinan untuk membentuk “keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal”, hakim menegaskan bahwa setiap tindakan yang mengarah pada rekonsiliasi, seperti hubungan intim yang terjadi, harus diprioritaskan di atas niat untuk bercerai.  

    2)       Pasal 39 ayat (2) UU tentang Perkawinan

    Pasal ini menjadi dasar dari asas mempersulit perceraian. Syarat “cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri” menjadi fokus utama. Fakta hubungan intim digunakan oleh hakim sebagai bukti telak untuk membantah bahwa syarat “tidak ada harapan rukun lagi” telah terpenuhi.  

    3)       Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975

    Peraturan pelaksana ini merinci alasan-alasan perceraian, termasuk huruf (f) mengenai “perselisihan dan pertengkaran terus-menerus”. Dalil awal Pemohon yang bersandar pada pasal ini dianggap gugur dengan sendirinya setelah terungkapnya fakta rekonsiliasi faktual.

    Hukum Islam yang Dikodifikasi: Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    1)       Pasal 115 KHI

    Menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah upaya damai gagal. Putusan ini secara implisit menunjukkan bahwa perdamaian tidak hanya terjadi melalui mediasi formal, tetapi juga dapat terjadi melalui tindakan nyata para pihak di luar pengadilan.  

    2)      Pasal 117 KHI

    Mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama. Pertimbangan hakim yang menolak permohonan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya ikrar talak yang cacat secara syar'i.  

    3)      Pasal 121 & 122 KHI

    Ini adalah pasal-pasal KHI yang paling relevan dan menjadi inti dari argumen talak bid'ah. Pasal 121 mendefinisikan talak sunny sebagai talak yang dijatuhkan saat istri dalam keadaan suci dan belum dicampuri. Sementara itu, Pasal 122 mendefinisikan talak bid'i sebagai talak yang dilarang, yang mencakup kondisi mentalak istri yang dalam keadaan suci namun telah dicampuri. Pertimbangan hakim secara langsung mengimplementasikan semangat dan substansi dari kedua pasal ini.  

    Sumber Hukum Islam Primer: Al-Qur'an dan Hadis

    1)        Q.S. An-Nisa : 34

    Sebagaimana telah dianalisis, ayat ini tidak digunakan secara harfiah untuk melegitimasi superioritas suami, melainkan ditafsirkan secara filosofis oleh hakim untuk menciptakan kewajiban timbal balik. Ketaatan istri dalam melayani suami (sebagai bentuk upaya damai) melahirkan kewajiban bagi suami untuk tidak “mencari jalan lain” (perceraian).  

    2)       Hadis Riwayat Bukhari tentang Ibnu Umar

    Hadis ini menjadi hujjah (argumen hukum) utama dan preseden historis yang paling kuat bagi hakim. Petunjuk Rasulullah SAW yang sangat spesifik untuk mentalak istri “sebelum menggaulinya” (qabla an yamassa) menjadi landasan yuridis-materiil bagi hakim untuk menyatakan bahwa permohonan cerai yang akan berujung pada talak setelah digauli adalah permohonan yang tidak dapat dibenarkan secara syar'i.  

    Analisis Komparatif: Menempatkan Putusan dalam Peta Yurisprudensi

    Putusan dalam perkara Andre Taulany ini tidak berdiri dalam ruang hampa. Ia merupakan bagian dari sebuah pola yurisprudensi yang konsisten di lingkungan peradilan agama Indonesia, yang secara gigih mempertahankan asas mempersulit perceraian, terutama ketika terdapat indikasi kerukunan kembali.

    Beberapa putusan lain menunjukkan tren serupa. Misalnya, Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 3270/Pdt.G/2023/PA.Dpk., tertanggal 28 Desember 2023, tidak menerima permohonan cerai dengan amar “tidak dapat diterima” (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena para pihak terbukti masih tinggal serumah dan bahkan berhubungan badan pada bulan pengajuan gugatan. Dasar utama hakim dalam putusan tersebut adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2022, yang mensyaratkan adanya pisah tempat tinggal minimal 6 (enam) bulan untuk alasan perselisihan terus-menerus.

    Putusan tersebut secara Bersama-sama dengan putusan kasus Andre Taulany, menunjukkan adanya benang merah yurisprudensi yang kuat.


    Perspektif Praktis (Implikasi bagi Advokat dan Para Pihak)

    Bagi para praktisi hukum, khususnya advokat, putusan ini adalah sebuah pelajaran berharga. Ia menjadi “peringatan” bahwa konsistensi antara dalil yang diajukan dalam surat gugatan/permohonan dengan perilaku faktual klien selama proses persidangan adalah mutlak. Mendalilkan adanya pertengkaran hebat dan pecahnya perkawinan (syiqaq) sementara pada saat yang sama klien masih menjalin hubungan intim dengan pasangannya adalah sebuah kontradiksi fatal yang dapat meruntuhkan seluruh perkara.

    Putusan ini juga menyoroti pentingnya tahap mediasi dan upaya perdamaian. Rekonsiliasi, sekecil apa pun bentuknya, dapat memiliki akibat hukum yang signifikan. Para pihak yang berperkara harus memahami bahwa tindakan mereka, bahkan yang dianggap pribadi, berada di bawah pengawasan hukum dan dapat menjadi dasar pertimbangan hakim.

    Perspektif Akademis (Diskursus Teori Hukum)

    Dari sudut pandang akademis, kasus ini membuka kembali diskursus mengenai tegangan antara hak otonom individu untuk mengakhiri sebuah ikatan perkawinan (ranah hak privat) dengan peran negara melalui institusi peradilan sebagai penjaga institusi sosial perkawinan (ranah kepentingan publik). Putusan ini jelas menunjukkan bahwa Peradilan Agama di Indonesia memposisikan dirinya lebih sebagai penjaga institusi perkawinan.

    Selain itu, putusan ini adalah contoh nyata bagaimana Peradilan Agama tidak menganut aliran positivisme hukum secara kaku. Hakim tidak hanya menjadi “mulut undang-undang” (la bouche de la loi), tetapi secara aktif menggali, menafsirkan, dan menerapkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat Islam, yaitu norma-norma fiqh, bahkan ketika berhadapan dengan hukum positif yang sudah terkodifikasi seperti KHI. Penggunaan langsung hadis dan pendapat ulama klasik sebagai dasar putusan menunjukkan vitalitas hukum Islam materiil dalam praktik peradilan.

    Perspektif Filosofis (Maqasid al-Shari'ah)

    Secara filosofis, putusan ini merupakan cerminan dari penerapan tujuan-tujuan luhur syariat Islam (Maqasid al-Shari'ah). Upaya hakim untuk mempertahankan perkawinan adalah wujud dari hifdz al-nasl (menjaga keturunan dan keutuhan keluarga), yang merupakan salah satu dari lima tujuan pokok syariat (al-maqasid al-khamsah). Dengan mempersulit perceraian ketika masih ada harapan rukun, hakim berupaya melindungi struktur keluarga sebagai unit dasar masyarakat dan meminimalisir dampak negatif perceraian terhadap anak-anak.

    Keadilan dalam putusan ini tidak diukur dari kacamata kepuasan individual (mengabulkan keinginan Pemohon untuk bercerai), melainkan dari kacamata kemaslahatan yang lebih besar (maslahah 'ammah). Kemaslahatan tersebut adalah terjaganya sakralitas ikatan perkawinan dan pencegahan perpisahan yang dinilai belum mendesak dan masih dapat diperbaiki.

    Kesimpulan dan Implikasi

    Penolakan permohonan cerai talak dalam perkara Andre Taulany oleh Pengadilan Tinggi Agama Banten merupakan sebuah putusan yang kaya akan substansi hukum dan filosofi. Keputusan tersebut tidak lahir dari pertimbangan yang dangkal atau sekadar karena para pihak “rujuk” sesaat. Sebaliknya, ia didasarkan pada sebuah bangunan argumentasi hukum yang canggih, sistematis, dan berlapis. Majelis hakim secara brilian telah mentransformasikan fakta terjadinya hubungan suami-istri selama proses persidangan menjadi sebuah halangan yuridis yang tak terbantahkan, terutama melalui konstruksi doktrin talak bid'ah yang berakar kuat pada hadis Nabi dan pandangan ulama fiqh.

    Putusan ini secara gamblang menunjukkan beberapa poin penting:

    1.       Prioritas Rekonsiliasi

    Bahwa setiap tindakan yang mengindikasikan adanya kerukunan dan keutuhan ikatan batin akan diprioritaskan oleh hakim di atas dalil perselisihan;

    2.       Peran Preventif Hakim

    Bahwa Hakim Peradilan Agama tidak hanya bertindak sebagai wasit pasif, tetapi juga sebagai penjaga syariat yang aktif mencegah terjadinya perbuatan yang terlarang, seperti jatuhnya talak bid'ah;

    3.       Integrasi Hukum

    Bahwa Putusan ini adalah contoh paripurna bagaimana hakim mensintesiskan hukum positif (UU Perkawinan, KHI), hukum Islam materiil (fiqh), dan filosofi hukum Islam (Maqasid al-Shari'ah) dalam satu tarikan napas pertimbangan.

    Secara lebih luas, putusan ini memperkuat citra dan identitas Pengadilan Agama sebagai institusi yang tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa perkawinan, tetapi juga sebagai benteng penjaga nilai-nilai fundamental hukum keluarga Islam. Bagi publik dan para pencari keadilan, kasus ini memberikan pemahaman mendalam bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama bukanlah sebuah prosedur mekanis yang mudah, melainkan sebuah proses yudisial yang dipertimbangkan secara hati-hati dan mendalam dari berbagai lapisan norma, etika, dan filosofi hukum.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini.  atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.