layananhukum

Dugaan Korupsi Dana Desa: Membedah Batas Sanksi Administratif dan Pidana dalam Kerangka Hukum Terkini

 

Pengantar

Pemerintah Republik Indonesia, dalam semangat membangun negara dari pinggiran, telah menempatkan desa sebagai subjek fundamental pembangunan. Kebijakan desentralisasi fiskal melalui program Dana Desa, yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang selanjutnya disebut denganUU Desa, merupakan instrumen strategis untuk mengakselerasi kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Alokasi dana yang masif, mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya, ditujukan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.  

Namun, di balik tujuan mulia tersebut, terbentang sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Data yang dirilis oleh lembaga pemantau korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) secara konsisten menempatkan sektor anggaran desa sebagai salah satu area paling rawan praktik korupsi di Indonesia.

Fenomena ini menciptakan situasi di mana dana yang seharusnya menjadi motor penggerak kesejahteraan justru berpotensi menjadi sumber permasalahan hukum yang kompleks dan serius bagi aparatur desa. Besarnya dana yang dikelola seringkali tidak diimbangi dengan kapasitas sumber daya manusia yang merata dan sistem pengawasan yang robust, sehingga menciptakan celah signifikan bagi terjadinya penyimpangan.  

Kondisi ini memunculkan sebuah pertanyaan yuridis yang fundamental dan mendesak untuk dijawab yaitu di manakah letak garis batas yang tegas antara sebuah kesalahan prosedur atau kelalaian administratif (maladministrasi) yang layak dikenai sanksi administratif, dengan suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang yang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi?

Ketidakjelasan dalam menjawab pertanyaan ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi luas. Di satu sisi, ia berisiko mengkriminalisasi kepala desa atau perangkat desa yang sejatinya hanya melakukan kesalahan prosedur tanpa niat jahat. Di sisi lain, ia dapat menjadi celah bagi pelaku korupsi untuk berlindung di balik dalih “kesalahan administrasi” demi menghindari jerat hukum pidana.

Kompleksitas ini semakin bertambah dengan adanya dinamika regulasi terkini. Perubahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 8 tahun melalui UU Desa terbaru, misalnya, tidak hanya berdampak pada stabilitas politik di tingkat desa, tetapi secara implisit juga mengubah lanskap risiko korupsi.

Masa jabatan yang lebih panjang berpotensi mengurangi tekanan politik jangka pendek yang seringkali memicu praktik korupsi instan, namun di sisi lain dapat menciptakan “zona nyaman” yang rentan disalahgunakan apabila mekanisme pengawasan internal dan eksternal tidak berjalan efektif.

Oleh karena itu, tulisan ini akan berupaya untuk membedah batas antara sanksi administratif dan sanksi pidana dalam pengelolaan Dana Desa menjadi sebuah keniscayaan, tidak hanya untuk memberikan kepastian hukum, tetapi juga untuk melindungi program strategis nasional ini dari ancaman korupsi.  

Dimensi Hukum Administrasi: Pengawasan dan Penindakan Internal sebagai Garda Terdepan

Dalam kerangka hukum modern, penanganan dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan tidak serta-merta diarahkan ke ranah pidana. Hukum administrasi menyediakan mekanisme internal melalui pengawasan dan penjatuhan sanksi administratif sebagai garda terdepan. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga marwah penyelenggaraan pemerintahan, mengedepankan efektivitas, dan memprioritaskan pemulihan kerugian negara sebelum menerapkan sanksi pidana sebagai upaya pamungkas (ultimum remedium).

Konsep Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Administrasi

Landasan utama untuk mengidentifikasi penyimpangan administratif adalah konsep penyalahgunaan wewenang (détournement de pouvoir). Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut denganUU Administrasi Pemerintahan, secara tegas melarang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyalahgunakan wewenang. Lebih lanjut, Pasal 17 ayat (2) mengklasifikasikan larangan tersebut ke dalam tiga bentuk, yaitu:

1.        Melampaui wewenang;

2.       Mencampuradukkan wewenang; dan/atau

3.      Bertindak sewenang-wenang.

Dalam konteks Dana Desa, seorang Kepala Desa dapat dianggap melampaui wewenang jika ia menggunakan dana untuk kegiatan di luar kewenangan desa, seperti membiayai program tingkat kabupaten. Ia dapat dianggap mencampuradukkan wewenang jika menggunakan Dana Desa untuk kepentingan partai politiknya. Sementara itu, tindakan sewenang-wenang terjadi jika keputusan penggunaan dana didasarkan pada subjektivitas tanpa pertimbangan yang objektif dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian wewenang.

Dinamika hukum pasca-terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang turut memberikan nuansa baru pada konsep ini. Salah satu perubahan signifikan dalam UU Administrasi Pemerintahan adalah modifikasi pada syarat penggunaan diskresi. Kebijakan ini, yang bertujuan menyederhanakan birokrasi dan mempercepat pengambilan keputusan, berpotensi memperluas ruang diskresi bagi pejabat pemerintah.

Batasan antara diskresi yang sah untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dan penyalahgunaan wewenang menjadi semakin tipis. Seorang Kepala Desa, misalnya, dapat berargumen bahwa penggunaan dana di luar yang telah dianggarkan dalam APBDes merupakan bentuk diskresi untuk merespons kebutuhan darurat warga.

Situasi ini menuntut Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk tidak lagi hanya memeriksa kepatuhan prosedur formal, tetapi juga harus mampu menilai kelayakan, proporsionalitas, dan tujuan hakiki dari sebuah keputusan diskresioner—sebuah tugas yang jauh lebih kompleks.  

Peran Sentral Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)

Sebagai lini pertama dalam penegakan hukum administrasi, APIP, yang dalam konteks pemerintah daerah diemban oleh Inspektorat, memegang peranan sentral. Kewenangan ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa, yang selanjutnya disebut denganPermendagri 73/2020. Peraturan ini mengamanatkan APIP untuk melakukan pengawasan yang mencakup seluruh tahapan pengelolaan keuangan desa, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban.  

Posisi APIP sebagai garda terdepan semakin dikukuhkan melalui Nota Kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diperbarui pada tahun 2023. Kesepakatan ini merupakan penegasan politik hukum yang mengedepankan pendekatan “administratif terlebih dahulu” (administrative-first approach). Berdasarkan nota kesepahaman ini, laporan atau pengaduan masyarakat yang diterima oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terkait dugaan penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk pengelolaan Dana Desa, akan dikoordinasikan terlebih dahulu dengan APIP.

APIP kemudian diberi ruang untuk melakukan pemeriksaan atau audit investigatif. Jika hasil pemeriksaan APIP menyimpulkan bahwa penyimpangan tersebut murni bersifat administratif dan tidak ditemukan niat jahat (mens rea), maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme administratif, seperti pengembalian kerugian negara. Namun, jika ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya unsur pidana, APIP akan menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada APH untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.

Meskipun demikian, efektivitas pendekatan ini sangat bergantung pada kapasitas, independensi, dan integritas APIP itu sendiri. Apabila APIP di daerah lemah, kekurangan sumber daya, atau rentan terhadap intervensi politik, maka mekanisme ini justru berisiko menjadi “tameng” bagi pelaku korupsi untuk lolos dari jerat pidana dengan dalih sekadar melakukan pengembalian kerugian negara.

Hierarki Sanksi Administratif bagi Kepala Desa

Apabila dari hasil pemeriksaan APIP terbukti adanya penyalahgunaan wewenang yang bersifat administratif, UU Desa telah menyediakan hierarki sanksi yang jelas. Pasal 28 dan Pasal 30 UU Desa mengatur bahwa Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban atau melanggar larangan dapat dikenai sanksi administratif berupa:  

1.        Teguran lisan dan/atau teguran tertulis;

2.       Penghentian sementara dan/atau pemberhentian.

Sanksi ini dijatuhkan oleh Bupati/Wali Kota melalui mekanisme yang melibatkan rekomendasi dari Camat. Lebih spesifik lagi, jika kesalahan administratif tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara, maka sanksi utamanya adalah pemulihan kerugian tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan, yang menyatakan:

Dalam hal kesalahan administratif yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan menimbulkan kerugian keuangan negara, maka Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan wajib mengembalikan kerugian keuangan negara.”  

Dengan demikian, kerangka hukum administrasi telah menyediakan jalur penyelesaian yang komprehensif, mulai dari deteksi melalui pengawasan APIP hingga penjatuhan sanksi yang bersifat korektif dan pemulihan.

Dimensi Hukum Pidana: Ultimum Remedium dalam Pemberantasan Korupsi Dana Desa

Ketika suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan Dana Desa melampaui batas kesalahan administratif dan terbukti didasari oleh niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain, maka hukum pidana tampil sebagai benteng terakhir (ultimum remedium). Penerapan sanksi pidana bertujuan tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memberikan efek jera (deterrent effect) dan menjaga kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan desa.

Anatomi Delik Korupsi yang Menjerat Aparatur Desa

Dua pasal utama dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, yang selanjutnya disebut denganUU Tipikor, yang paling relevan untuk menjerat pelaku korupsi Dana Desa adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”  

Unsur-unsur kunci dalam pasal ini adalah “setiap orang”, “secara melawan hukum”, “memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi”, dan “dapat merugikan keuangan negara”. Sifat “melawan hukum” di sini mencakup baik perbuatan yang bertentangan dengan hukum formil (peraturan perundang-undangan) maupun hukum materiil (rasa keadilan dan norma yang hidup di masyarakat).

Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor menyatakan:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”  

Perbedaan fundamental antara kedua pasal ini terletak pada subjek dan cara perbuatannya. Sebagaimana ditegaskan dalam yurisprudensi, seperti Putusan Mahkamah Agung Nomor 463 K/Pid.Sus/2017, Pasal 2 berlaku untuk “setiap orang” (baik pejabat maupun non-pejabat), sedangkan Pasal 3 secara spesifik ditujukan kepada mereka yang memiliki “jabatan atau kedudukan” dan menyalahgunakan kewenangan yang melekat padanya. Dalam konteks Dana Desa, Kepala Desa dan perangkatnya sangat rentan dijerat dengan Pasal 3 karena status mereka sebagai pejabat yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan keuangan desa.  

Pembuktian Kerugian Keuangan Negara: Sebuah Keharusan Absolut

Salah satu elemen paling esensial (elementen van het delict) dalam delik korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor adalah adanya kerugian keuangan negara. Tanpa adanya pembuktian mengenai kerugian ini, maka delik korupsi tidak dapat dikatakan sempurna. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penentuan Kerugian Negara menegaskan bahwa instansi yang secara konstitusional berwenang untuk menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).  

Dalam praktik penegakan hukum, APH seringkali meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit investigatif dan perhitungan kerugian negara. Kewenangan BPKP ini didasarkan pada perannya sebagai aparat pengawasan intern pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Hasil audit dari BPK atau BPKP inilah yang kemudian menjadi alat bukti krusial di persidangan untuk membuktikan besaran kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa.  

Proyeksi Perubahan dalam KUHP Baru dan Potensi Implikasinya

Lanskap hukum pidana korupsi di Indonesia akan menghadapi pergeseran paradigma yang signifikan dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang selanjutnya disebut denganKUHP Baru, pada Januari 2026. Kebijakan kodifikasi ini menarik sejumlah delik korupsi dari rezim UU Tipikor yang bersifat khusus (lex specialis) ke dalam hukum pidana umum, sebuah langkah yang memicu perdebatan tajam di kalangan praktisi dan akademisi hukum.  

Perubahan yang paling krusial terletak pada formulasi sanksi pidana. Untuk delik yang setara dengan Pasal 2 UU Tipikor (memperkaya diri secara melawan hukum), Pasal 603 KUHP Baru secara dramatis menurunkan ancaman pidana penjara minimum dari 4 tahun menjadi hanya 2 tahun. Lebih mengkhawatirkan lagi, denda minimum yang sebelumnya dipatok Rp200.000.000,00 anjlok menjadi hanya Rp10.000.000,00 (Kategori II).  

Sementara itu, untuk delik yang paling relevan bagi aparatur desa, yakni penyalahgunaan wewenang yang setara dengan Pasal 3 UU Tipikor, Pasal 604 KUHP Baru memang menaikkan ancaman pidana penjara minimum dari 1 tahun menjadi 2 tahun. Namun, kenaikan ini dibayangi oleh penurunan drastis denda minimum dari Rp50.000.000,00 menjadi hanya Rp10.000.000,00. Meskipun denda maksimum untuk kedua delik tersebut dinaikkan menjadi Rp2.000.000.000,00 (Kategori VI), pelemahan pada sanksi minimum berpotensi mengirimkan sinyal impunitas dan mengurangi efek jera secara signifikan.  

Kodifikasi ini menciptakan sebuah dilema yuridis yang serius. Di satu sisi, ia merupakan upaya untuk menyatukan hukum pidana nasional. Namun di sisi lain, ia berisiko menggerus sifat kekhususan (lex specialis) dari UU Tipikor yang dirancang untuk menangani kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Adanya dua sumber hukum dengan ancaman sanksi yang berbeda dapat memicu ketidakpastian hukum, disparitas putusan, dan membuka celah bagi terdakwa untuk melakukan “jual-beli pasal” (forum shopping) demi mendapatkan sanksi yang paling ringan. Pada akhirnya, perubahan ini berpotensi menjadi sebuah regresi dalam perang melawan korupsi, mereduksi bobot kejahatan korupsi, dan melemahkan instrumen hukum yang selama ini menjadi andalan dalam menjaga uang negara.  

Kapan Kesalahan Administrasi Bertransformasi Menjadi Kejahatan?

Pemisahan antara ranah administratif dan pidana bukanlah suatu pilihan bebas, melainkan sebuah konsekuensi logis dari pembuktian unsur-unsur delik, terutama unsur kesalahan batin atau niat jahat (mens rea) dari pelaku. Titik singgung inilah yang menjadi kunci bagi APIP dan APH dalam menentukan arah penanganan suatu kasus.

Mens Rea (Niat Jahat) sebagai Elemen Pembeda Kunci

Perbedaan fundamental antara maladministrasi dengan korupsi terletak pada unsur batiniah pelakunya. Maladministrasi umumnya didasari oleh kelalaian (culpa), ketidaktahuan, atau keterbatasan kapasitas dalam memahami dan menjalankan prosedur yang benar. Sementara itu, korupsi selalu didasari oleh kesengajaan (dolus) dan niat jahat (mens rea) untuk melakukan perbuatan yang dilarang, yaitu memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum.

Landasan filosofis dalam hukum pidana ini terangkum dalam adagium “Actus non facit reum, nisi mens sit rea”, yang berarti “suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali jika ada niat jahat”. Dalam persidangan tindak pidana korupsi, jaksa penuntut umum memiliki beban pembuktian untuk menunjukkan adanya mens rea ini. Niat jahat tersebut tidak bisa hanya diasumsikan, melainkan harus dibuktikan melalui serangkaian bukti yang saling bersesuaian, misalnya:

-        Adanya aliran dana dari rekening kas desa ke rekening pribadi terdakwa atau keluarganya;

-        Pembuatan kuitansi, nota, atau laporan pertanggungjawaban fiktif;

-        Adanya persekongkolan atau konspirasi dengan pihak ketiga (misalnya, suplier) untuk menaikkan harga (mark-up);

-        Penggunaan dana untuk kepentingan yang sama sekali tidak relevan dengan program pembangunan desa, seperti untuk berjudi atau kepentingan pribadi lainnya.

Tanpa pembuktian adanya mens rea, suatu penyimpangan pengelolaan Dana Desa, meskipun terbukti merugikan keuangan negara, lebih tepat diklasifikasikan sebagai pelanggaran administratif yang penyelesaiannya adalah melalui pengembalian kerugian dan sanksi administratif lainnya.

Studi Kasus dari Ruang Sidang

Analisis terhadap putusan pengadilan dapat memberikan gambaran konkret mengenai bagaimana hakim mempertimbangkan batas antara ranah administratif dan pidana.

Contoh Kasus 1: Putusan yang Menegaskan Batas Administratif

-        Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3210 K/Pid.Sus/2023  

a.        Kasus Posisi: Terdakwa, seorang Kepala Desa, didakwa melakukan tindak pidana korupsi karena melakukan pencairan dan penggunaan Dana Desa untuk membiayai beberapa kegiatan yang tidak teranggarkan dalam APBDes. Terdakwa berdalih bahwa kegiatan tersebut bersifat mendesak untuk kepentingan akomodasi masyarakat. Hasil audit menemukan adanya ketidaksesuaian dalam laporan pertanggungjawaban yang mengakibatkan kerugian negara.

b.       Pertimbangan Hukum Hakim (Ratio Decidendi): Dalam putusan semacam ini, hakim akan menelisik secara mendalam pembuktian mens rea. Apabila dalam persidangan tidak ditemukan bukti bahwa terdakwa secara pribadi menerima aliran dana atau diuntungkan dari penyimpangan tersebut, dan perbuatan itu murni disebabkan oleh kesalahan prosedur atau kekeliruan dalam menentukan prioritas tanpa adanya niat jahat untuk korupsi, maka hakim dapat mempertimbangkan perbuatan tersebut lebih condong ke ranah pelanggaran administratif. Fakta bahwa terdakwa bersikap kooperatif dan telah mengembalikan seluruh kerugian keuangan negara seringkali menjadi pertimbangan yang meringankan;

c.        Amar Putusan: Amar putusan dalam kasus seperti ini bisa bervariasi. Hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan dari tuntutan jaksa dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas. Dalam beberapa kasus ekstrem di mana unsur mens rea sama sekali tidak terbukti, hakim bahkan dapat menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), meskipun perbuatan tersebut terbukti dilakukan, namun perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana.

Contoh Kasus 2: Putusan yang Menegaskan Unsur Pidana Korupsi

-        Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 13/PID.SUS-TPK/2023/PT. SMG 

a.        Kasus Posisi: Terdakwa, seorang Kepala Desa, didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait penyalahgunaan wewenang dalam kegiatan penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dana yang telah dicairkan dari kas desa dengan peruntukan sebagai modal BUMDes, terbukti tidak pernah disetorkan ke rekening BUMDes dan justru digunakan oleh terdakwa untuk kepentingan pribadi;

b.       Pertimbangan Hukum Hakim (Ratio Decidendi): Dalam kasus ini, pertimbangan hakim akan fokus pada bukti-bukti yang secara terang benderang menunjukkan adanya kesengajaan (dolus) dan niat jahat. Bukti-bukti tersebut antara lain: (1) catatan rekening koran yang menunjukkan dana tidak pernah masuk ke BUMDes; (2) bukti transaksi penggunaan dana untuk kepentingan pribadi terdakwa; dan (3) adanya upaya terdakwa untuk membuat laporan pertanggungjawaban fiktif seolah-olah dana telah disetorkan. Hakim akan menegaskan bahwa serangkaian perbuatan ini secara kumulatif telah melampaui batas kesalahan administratif dan secara sempurna memenuhi seluruh unsur delik korupsi sebagaimana didakwaka;

c.        Amar Putusan: Amar putusan dalam kasus ini akan secara tegas menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sanksi yang dijatuhkan tidak hanya berupa pidana penjara dan denda, tetapi juga pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar jumlah kerugian negara yang dinikmatinya. Apabila uang pengganti tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana penjara (subsidair).

Kewenangan Kelembagaan dan Sinergi Penegakan Hukum

Penanganan dugaan korupsi Dana Desa melibatkan berbagai institusi dengan kewenangan yang berbeda-beda. Sinergi yang efektif antar lembaga menjadi kunci untuk memastikan penegakan hukum berjalan secara adil, efisien, dan tidak tumpang tindih.

Batasan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Meskipun korupsi Dana Desa menjadi perhatian publik, penting untuk dipahami bahwa penanganan kasus ini secara langsung bukanlah yurisdiksi utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subjek hukum yang menjadi kewenangan penindakan KPK terbatas pada penyelenggara negara, penegak hukum, dan pihak lain yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh keduanya, dengan kriteria kerugian negara di atas Rp1 miliar. Kepala Desa, menurut berbagai penafsiran hukum, tidak termasuk dalam kategori “Penyelenggara Negara” sebagaimana didefinisikan secara limitatif dalam undang-undang tersebut.  

Oleh karena itu, peran KPK dalam pemberantasan korupsi Dana Desa lebih bersifat sebagai pendorong atau trigger mechanism. Sesuai Pasal 6 UU KPK, KPK memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (Kejaksaan dan Polri) serta melakukan supervisi terhadap instansi tersebut. KPK dapat menindaklanjuti laporan masyarakat dengan meneruskannya kepada Kejaksaan atau Polri, sambil melakukan pemantauan terhadap penanganan kasus tersebut.  

Implementasi Ideal Koordinasi APIP-APH di Lapangan

Nota Kesepahaman tahun 2023 antara Kemendagri, Kejaksaan, dan Polri menyediakan cetak biru untuk alur kerja yang sinergis antara APIP dan APH. Implementasi ideal dari kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut :  

1.        Penerimaan Laporan: Laporan atau pengaduan masyarakat mengenai dugaan penyimpangan Dana Desa diterima oleh APH (Kejaksaan Negeri atau Kepolisian Resor).

2.       Koordinasi Awal: Sebelum melakukan penyelidikan atau penyidikan, APH melakukan koordinasi dengan APIP (Inspektorat Kabupaten/Kota) untuk menentukan apakah laporan tersebut berindikasi pidana atau administratif.

3.      Pemeriksaan oleh APIP: Laporan tersebut dilimpahkan kepada APIP untuk dilakukan pemeriksaan atau audit investigatif dalam jangka waktu yang disepakati, misalnya 60 hari kerja.

4.       Kesimpulan APIP:

-            Ranah Administratif: Jika hasil pemeriksaan APIP menyimpulkan bahwa yang terjadi adalah murni kesalahan administratif tanpa adanya mens rea, maka kasus diselesaikan di tingkat APIP. Penyelesaiannya berupa rekomendasi pengembalian kerugian negara dan penjatuhan sanksi administratif oleh Bupati/Wali Kota;

-            Indikasi Pidana: Jika dalam pemeriksaannya APIP menemukan bukti permulaan yang cukup mengenai adanya niat jahat dan unsur-unsur tindak pidana korupsi, maka Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) diserahkan kembali kepada APH.

5.       Proses Hukum Pidana: Berdasarkan LHP dari APIP, APH melanjutkan proses ke tahap penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

Meskipun alur kerja ini terlihat ideal, tantangan di lapangan adalah adanya “zona abu-abu” dalam menafsirkan antara kesalahan administratif dan indikasi pidana. Untuk itu, diperlukan adanya pedoman teknis bersama yang lebih detail dan terukur sebagai kriteria objektif bagi APIP dan APH di seluruh daerah. Hal ini krusial untuk mencegah terjadinya disparitas penanganan dan untuk memastikan setiap kasus ditangani secara proporsional dan berkeadilan.

Arah Kebijakan dan Mitigasi Risiko Hukum

Analisis terhadap kerangka hukum yang berlaku menunjukkan bahwa dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi pidana dalam penanganan dugaan korupsi Dana Desa bukanlah sebuah pilihan bebas (discretionary choice), melainkan sebuah konsekuensi logis dari proses pembuktian, khususnya terkait ada atau tidaknya unsur kesalahan batin (mens rea) pada pelaku. Kebijakan untuk memperkuat jalur penyelesaian administratif melalui APIP merupakan langkah progresif yang sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Namun, penguatan ini tidak boleh menumpulkan ketajaman hukum pidana sebagai benteng terakhir (ultimum remedium) dalam menjaga amanah uang rakyat dari praktik korupsi yang disengaja.

Untuk menavigasi kompleksitas ini dan memitigasi risiko hukum di masa depan, diperlukan beberapa langkah strategis yang terintegrasi:

1.        Penguatan Kapasitas dan Independensi APIP

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus berkomitmen untuk memperkuat APIP (Inspektorat Daerah) secara kelembagaan. Ini mencakup alokasi anggaran yang memadai untuk operasional pengawasan, penyelenggaraan pelatihan audit investigatif dan forensik secara berkelanjutan bagi para auditor, serta yang terpenting, menjaga independensi APIP dari segala bentuk intervensi politik agar dapat bekerja secara objektif dan profesional.

2.       Peningkatan Literasi Hukum Aparatur Desa

Pencegahan adalah kunci. Program pendampingan dan penyuluhan hukum yang proaktif harus digalakkan. Kejaksaan melalui program seperti “Jaga Desa” dan Pemerintah Daerah melalui dinas terkait harus secara rutin memberikan sosialisasi kepada Kepala Desa dan perangkatnya. Materi sosialisasi harus berfokus pada tata kelola keuangan desa yang baik dan benar sesuai standar dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Dana Desa , serta pemahaman mendalam mengenai prioritas penggunaan dana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang relevan.  

3.      Optimalisasi Pengawasan Partisipatif

Pengawasan yang paling efektif adalah pengawasan yang datang dari masyarakat itu sendiri. Sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri 73/2020, Pemerintah Desa memiliki kewajiban untuk mempublikasikan dokumen perencanaan (APBDes) dan laporan realisasi anggaran secara transparan, periodik, dan mudah diakses oleh seluruh warga desa. Transparansi ini akan memberdayakan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat untuk menjalankan fungsi kontrol sosialnya, sehingga dapat mendeteksi potensi penyimpangan sejak dini dan menciptakan pemerintahan desa yang akuntabel.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.