Pertanyaan
Selamat malam, Bang Eka.
Mohon maaf mengganggu waktunya. Saya Risma. Saat ini saya sedang menghadapi
proses hukum terkait dugaan tindak pidana pencurian ringan (Tipiring).
Prosesnya berjalan sangat cepat, dan saya mendapat informasi bahwa karena
ini hanya perkara “ringan”, sidangnya pun akan menggunakan Acara Pemeriksaan
Cepat.
Beberapa orang menyarankan saya untuk tidak perlu menggunakan advokat,
katanya hanya akan menambah biaya dan memperumit proses yang seharusnya
sederhana. Mereka bilang, lebih baik dihadapi sendiri saja karena ancaman
hukumannya juga tidak berat.
Namun, terus terang saya sangat awam mengenai hukum, Bang. Saya khawatir
dan tidak mengerti sama sekali tentang prosedur di pengadilan, hak-hak apa
saja yang saya miliki, atau bagaimana cara membela diri yang benar. Saya
takut salah langkah dan pada akhirnya merugikan diri saya sendiri, meskipun
ini hanya perkara Tipiring.
Melihat kondisi ini, saya ingin meminta pandangan Abang sebagai ahli hukum.
Apakah dalam kasus seperti yang saya alami, pendampingan oleh seorang
advokat itu benar-benar diperlukan? Ataukah argumen bahwa perkara ini
“ringan” dan prosesnya “cepat” memang membuat peran advokat menjadi tidak
signifikan, sehingga lebih baik saya hadapi sendiri demi efisiensi?
Terima kasih banyak atas pencerahannya, Bang.
Jawaban
Pengantar
Adagium hukum fundamental “access to justice for all” (akses
terhadap keadilan untuk semua) dan
“equality before the law” (persamaan di hadapan hukum) merupakan
pilar utama dalam bangunan sistem peradilan pidana modern, termasuk di
Indonesia.
Prinsip-prinsip ini mengamanatkan bahwa setiap individu, tanpa memandang
status sosial-ekonomi maupun berat ringannya tuduhan pidana yang
dihadapinya, berhak atas proses peradilan yang adil dan berimbang. Namun,
dalam implementasinya, penegakan prinsip luhur ini menghadapi sebuah
paradoks, terutama dalam konteks penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring).
Di satu sisi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merancang
suatu mekanisme khusus yang disebut Acara Pemeriksaan Cepat untuk
perkara Tipiring, sebagaimana diatur dalam Pasal 205 hingga
Pasal 210 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP”.
Prosedur ini didesain untuk mencapai efisiensi, kecepatan, dan biaya
ringan, sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Tujuannya adalah untuk menghindari proses birokrasi peradilan yang
berbelit-belit untuk perkara-perkara yang dianggap sepele. Di sisi lain,
penyederhanaan prosedur ini secara inheren menciptakan potensi asimetri
informasi dan ketidakseimbangan kekuasaan yang signifikan antara
terdakwa—yang seringkali awam hukum—dengan aparat penegak hukum. Dalam acara ini, Penyidik bertindak sekaligus sebagai Penuntut, suatu
fusi peran yang tidak ditemukan dalam acara pemeriksaan biasa.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan krusial yaitu “perlukah seorang advokat mendampingi terdakwa dalam perkara yang oleh
hukum dianggap “ringan”? Artikel ini berargumen bahwa meskipun pendampingan advokat tidak bersifat
wajib (mandatory) secara hukum bagi terdakwa Tipiring, keberadaannya
merupakan suatu kebutuhan krusial (necessity).
Kehadiran advokat esensial untuk menjamin terwujudnya prinsip
equality of arms (keseimbangan kekuatan para pihak), melindungi
hak-hak prosedural terdakwa yang rentan terabaikan, dan pada akhirnya
mencapai keadilan substantif, bukan sekadar keadilan formal-prosedural yang
dibungkus dalam efisiensi.
Dalam sistem acara cepat, di mana mekanisme
checks and balances antara penyidik dan penuntut umum dilebur menjadi
satu, peran advokat sebagai penyeimbang menjadi semakin vital. Tanpa
pendampingan hukum, terdakwa yang tidak memahami seluk-beluk hukum acara
akan berhadapan seorang diri dengan aparatur negara yang telah membangun
kasus sejak awal, menciptakan sebuah arena peradilan yang timpang sejak
mula.
Untuk mengupas tuntas persoalan ini, pembahasan akan dimulai dengan
menjabarkan landasan konseptual mengenai hakikat pendampingan hukum dan
kualifikasi Tipiring. Selanjutnya, artikel ini akan menganalisis secara
mendalam mekanisme acara pemeriksaan cepat yang bersifat sui generis.
Puncak analisis akan berfokus pada telaah kritis mengenai urgensi peran
advokat, yang diperkuat dengan studi kasus putusan pengadilan. Terakhir,
pembahasan akan menyentuh isu-isu praktis terkait pemidanaan dan wajib
lapor, sebelum ditutup dengan kesimpulan serta rekomendasi.
Hakikat Pendampingan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana
Pemahaman mengenai peran advokat dalam perkara Tipiring harus diawali
dengan pembedahan terhadap konsep dasar pendampingan hukum itu sendiri, yang
diatur baik dalam undang-undang profesi maupun hukum acara.
Landasan utama bagi profesi advokat di Indonesia adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang selanjutnya disebut dengan “UU Advokat”. Sebagaimana
ketentuan Pasal 1 Angka 2 UU Advokat, didefinisikan secara komprehensif mengenai lingkup kerja advokat:
“Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan
konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien.”
Definisi ini menunjukkan bahwa pendampingan hukum merupakan salah satu
bentuk jasa hukum yang fundamental. Lebih lanjut, UU Advokat juga membedakan
antara jasa hukum komersial dengan bantuan hukum cuma-cuma.
Pasal 1 Angka 9 UU Advokat menyatakan:
“Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara
cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu.”
Ketentuan ini, yang diperkuat oleh Pasal 22 UU Advokat, menegaskan bahwa pemberian bantuan hukum gratis bukanlah sekadar pilihan,
melainkan kewajiban profesi (officium nobile) untuk memastikan akses
keadilan bagi masyarakat miskin.
Hak Universal atas Bantuan Hukum dalam KUHAP
Sementara UU Advokat mengatur dari sisi profesi, KUHAP mengatur hak atas
bantuan hukum dari perspektif tersangka/terdakwa.
Pasal 54 KUHAP, menjadi fondasi utama hak ini:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.”
Frasa kunci dalam pasal ini adalah “berhak”, yang mengindikasikan bahwa ini
adalah hak yang bersifat fakultatif. Artinya, setiap tersangka atau
terdakwa, tanpa terkecuali dan terlepas dari jenis tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, memiliki pilihan untuk menggunakan atau tidak
menggunakan jasa penasihat hukum. Hak ini melekat sejak seseorang ditetapkan
sebagai tersangka pada tingkat penyidikan hingga perkaranya memperoleh
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Untuk memahami mengapa pendampingan advokat dalam perkara Tipiring menjadi
sebuah diskursus, penting untuk mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan
Tipiring itu sendiri, baik dari sisi hukum acara maupun hukum materiil.
Definisi Yuridis-Prosedural
Definisi formal Tipiring yang menjadi dasar penerapan Acara Pemeriksaan
Cepat terdapat dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama tiga bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian
ini.”
Berdasarkan pasal ini, kriteria suatu perkara digolongkan sebagai Tipiring
adalah murni berdasarkan ancaman sanksi pidana yang diatur dalam
undang-undang, bukan berdasarkan kompleksitas atau dampak sosial perbuatan
tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) memuat beberapa pasal yang
secara eksplisit dikualifikasikan sebagai delik “ringan”. Namun, relevansi
pasal-pasal ini, terutama yang menyangkut nilai kerugian, telah diubah
secara fundamental oleh
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, yang selanjutnya disebut dengan “PERMA Tipiring”.
PERMA Tipiring lahir sebagai respons atas nilai mata uang dalam KUHPidana
yang sudah tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.
Pasal 1 PERMA Tipiring secara signifikan mengubah lanskap
penegakan hukum pidana dengan menyatakan bahwa frasa “dua ratus lima puluh rupiah” dalam pasal-pasal seperti Pencurian Ringan (vide Pasal 364),
Penggelapan Ringan (vide Pasal 373), Penipuan Ringan (vide Pasal 379), Perusakan Ringan (vide Pasal 407), dan Penadahan Ringan
(vide Pasal 482)
harus dibaca menjadi “Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah)”.
Implikasi dari penyesuaian ini sangat besar.
Banyak kasus pencurian, penggelapan, atau penipuan dengan nilai kerugian
di bawah Rp2,5 juta yang sebelumnya diadili dengan acara pemeriksaan
biasa, kini secara otomatis harus diadili dengan Acara Pemeriksaan
Cepat. Konsekuensi lebih lanjut adalah terdakwa dalam kasus-kasus tersebut
tidak dapat dikenakan penahanan, karena ancaman pidananya tetap di
bawah ambang batas penahanan KUHAP.
Secara sistematis, delik-delik yang umum dikategorikan sebagai Tipiring
dalam KUHPidana dapat dipetakan ke dalam dua kelompok utama antara lain
kejahatan terhadap pribadi dan kejahatan terhadap harta benda.
Kelompok pertama mencakup delik yang menyerang kehormatan atau integritas
fisik seseorang, namun dengan dampak terbatas. Contoh utamanya adalah
Penganiayaan Ringan sebagaimana diatur dalam
Pasal 352 KUHPidana, yang didefinisikan sebagai penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan bagi korban untuk menjalankan
pekerjaan atau jabatannya, dengan ancaman pidana penjara maksimal tiga
bulan. Selain itu, terdapat pula Penghinaan Ringan dalam
Pasal 315 KUHPidana, yang menyasar penghinaan yang tidak bersifat
pencemaran atau fitnah, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu.
Kelompok kedua, yang cakupannya diperluas secara drastis oleh
PERMA Tipiring, adalah kejahatan terhadap harta benda yang kualifikasi
“ringan”-nya ditentukan oleh nilai kerugian yang tidak signifikan. Kunci
utama untuk delik-delik ini adalah batasan nilai kerugian ekonomis yang
oleh PERMA
Tipiring telah disesuaikan menjadi tidak lebih dari Rp2.500.000,00.
Termasuk di dalamnya adalah:
1)
Pencurian Ringan (vide Pasal 364 KUHPidana) merupakan bentuk pokok dari pencurian biasa, namun nilai barang yang dicuri
tidak melampaui batas tersebut;
2)
Penggelapan Ringan (vide Pasal 373 KUHPidana), merujuk pada penggelapan barang (bukan ternak) yang nilainya di bawah
ambang batas yang sama;
3)
Penipuan Ringan (vide Pasal 379 KUHPidana), meliputi perbuatan penipuan di mana nilai barang, utang, atau piutang
yang menjadi objeknya tidak melebihi Rp2.500.000,00;
4)
Perusakan Ringan (vide Pasal 407 KUHPidana), berlaku untuk perbuatan merusak barang milik orang lain dengan total
kerugian di bawah batas yang telah disesuaikan; dan
5)
Penadahan Ringan (vide Pasal 482 KUHPidana),
merupakan perbuatan menadah barang hasil kejahatan ringan (seperti dari
Pasal 364, 373, dan 379), di mana nilai barang tersebut juga tidak melebihi
batas yang ditentukan.
Seluruh delik dalam kelompok kedua ini memiliki ancaman pidana penjara yang
seragam, yaitu paling lama tiga bulan, yang secara langsung
mengklasifikasikannya untuk diadili melalui Acara Pemeriksaan Cepat. Perlu
dicatat bahwa meskipun nilai kerugian telah disesuaikan, nilai denda nominal
yang tercantum dalam pasal-pasal KUHP tersebut belum mengalami penyesuaian
yang relevan secara universal.
Mekanisme Acara Pemeriksaan Cepat
Acara Pemeriksaan Cepat untuk Tipiring merupakan sebuah prosedur yang
bersifat sui generis atau unik, dengan alur dan karakteristik yang
menyimpang secara signifikan dari acara pemeriksaan biasa. Penyimpangan ini,
meskipun bertujuan untuk efisiensi, membawa implikasi mendalam terhadap
hak-hak terdakwa.
Proses peradilan Tipiring berlangsung dengan sangat singkat, sebagaimana
diatur dalam Pasal 205 sampai dengan
Pasal 210 KUHAP. Alurnya adalah sebagai berikut:
1.
Penyidikan yaitu Proses dimulai di tingkat penyidikan oleh pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS).
2.
Pelimpahan Cepat, setelah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selesai dibuat,
Penyidik, atas kuasa penuntut umum, wajib dalam waktu tiga hari untuk
menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, dan ahli (jika ada)
langsung ke sidang pengadilan. Tahap penuntutan oleh Kejaksaan secara formal
dilangkahi;
3.
Penetapan Sidang, Pengadilan, setelah menerima pelimpahan, wajib
menetapkan hari sidang dalam waktu tujuh hari. Perkara yang diterima harus
segera disidangkan pada hari itu juga.
Keunikan acara cepat terletak pada peran para aktornya:
1.
Penyidik:
Memegang peran ganda yang sangat dominan. Ia tidak hanya berfungsi sebagai
pemeriksa di tingkat penyidikan, tetapi juga bertindak sebagai penuntut di
muka persidangan. Fusi peran ini menghilangkan fungsi kontrol yang biasanya
dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap hasil penyidikan polisi.
Akibatnya, BAP yang disusun oleh penyidik menjadi dasar tunggal bagi
penuntutan tanpa adanya evaluasi independen dari institusi lain, yang
berpotensi menciptakan bias konfirmasi (confirmation bias).
2.
Hakim:
Pemeriksaan perkara dilakukan oleh Hakim Tunggal (single judge),
bukan majelis hakim. Sesuai Pasal 205 ayat (3) KUHAP, putusan yang
dijatuhkan bersifat final di tingkat pertama dan terakhir (in de eerste en laatste aanleg). Artinya, tidak ada upaya hukum banding maupun kasasi yang dapat
ditempuh. Satu-satunya pengecualian adalah jika hakim menjatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan (penjara atau kurungan), di mana terdakwa masih
memiliki hak untuk mengajukan banding;
3.
Advokat:
Sebagaimana telah diuraikan, peran advokat dalam acara ini bersifat
fakultatif, sepenuhnya bergantung pada kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan
finansial terdakwa untuk menunjuknya.
Karakteristik Prosedural yang Membedakan
Selain peran aktor yang khas, prosedur acara cepat juga ditandai oleh
penyederhanaan administrasi yang ekstrem:
1.
Tidak Ada Surat Dakwaan Formal
Uraian tindak pidana yang didakwakan tidak dituangkan dalam surat dakwaan
yang disusun cermat oleh jaksa. Sebagai gantinya, BAP yang dibuat oleh
Penyidik atau catatan yang dibuatnya berfungsi sebagai dasar pemeriksaan di
persidangan.
2.
Penyederhanaan Administrasi Persidangan
Berita Acara Sidang tidak wajib dibuat, kecuali jika hakim menemukan adanya
ketidaksesuaian antara fakta persidangan dengan BAP Penyidik. Putusan pun
tidak dibuat dalam format khusus, melainkan cukup dicatat dalam buku
register perkara.
3.
Saksi Tidak Wajib Bersumpah
Pasal 208 KUHAP
mengatur bahwa saksi dalam acara ini tidak perlu mengucapkan sumpah atau
janji, kecuali hakim memandang hal tersebut perlu. Hal ini dapat mengurangi
bobot kekuatan pembuktian dari keterangan saksi.
Penyederhanaan ini, meski mempercepat proses, secara sistematis
menghilangkan beberapa lapis perlindungan dan peninjauan yang menjadi
standar dalam acara pemeriksaan biasa. Setiap “jalan pintas” prosedural ini
secara kolektif menciptakan sebuah sistem di mana kesalahan atau potensi
penyalahgunaan wewenang pada tahap penyidikan dapat dengan mudah terbawa
hingga ke putusan akhir tanpa adanya mekanisme kontrol yang memadai. Dalam
kerangka inilah, kehadiran advokat menjadi satu-satunya pihak yang mampu
secara aktif menantang setiap tahapan dalam linimasa yang sangat terkompresi
ini.
Urgensi Peran Advokat Dalam Acara Pemeriksaan Cepat
Meskipun hukum acara tidak mewajibkan, terdapat argumen-argumen kuat yang
menunjukkan bahwa pendampingan advokat dalam perkara Tipiring bukan sekadar
pilihan, melainkan sebuah kebutuhan mendesak untuk tercapainya peradilan
yang adil.
Alasan utama mengapa negara tidak menyediakan advokat secara cuma-cuma bagi
terdakwa Tipiring yang tidak mampu terletak pada batasan yang diatur dalam
Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Pasal ini menyatakan:
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan
pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.”
Pasal ini secara imperatif mewajibkan penunjukan penasihat hukum oleh
negara, namun hanya untuk kategori tindak pidana berat. Ancaman pidana untuk
Tipiring, yaitu penjara atau kurungan paling lama 3 bulan, berada jauh di
bawah ambang batas minimal 5 tahun yang disyaratkan oleh pasal tersebut.
Akibatnya, terjadi kekosongan hukum (vacuum of norm) dalam kewajiban
negara untuk melindungi hak atas bantuan hukum bagi kelompok terdakwa yang
paling rentan dalam perkara-perkara “kecil” ini. Beban untuk mendapatkan
pendampingan hukum sepenuhnya diserahkan kepada inisiatif dan kemampuan
individu terdakwa.
Dalam konteks acara pemeriksaan cepat yang serba ringkas dan didominasi
oleh peran Penyidik, kehadiran advokat menjadi krusial karena beberapa
alasan berikut:
1.
Perlindungan Hak Prosedural
Terdakwa yang awam hukum seringkali tidak menyadari hak-hak fundamentalnya,
seperti hak untuk diam, hak untuk tidak memberatkan diri sendiri, hak untuk
mengajukan saksi yang meringankan (a de charge), atau bahkan hak
untuk memahami secara utuh substansi tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Advokat berperan sebagai garda terdepan untuk memastikan seluruh hak
prosedural ini dihormati oleh aparat penegak hukum.
2.
Menguji Pembuktian (Testing the Evidence)
Dalam acara cepat, Penyidik menyajikan bukti dan saksi yang mendukung
dakwaannya. Tanpa adanya pihak yang secara kritis menguji bukti tersebut,
persidangan berisiko menjadi proses formalitas untuk mengesahkan hasil
penyidikan. Advokat memiliki kompetensi teknis untuk menguji validitas alat
bukti, relevansi keterangan saksi, serta menunjukkan adanya kelemahan atau
inkonsistensi dalam pembuktian yang diajukan Penyidik.
3.
Menjaga Keseimbangan Kekuatan (Equality of Arms)
Prinsip ini menuntut adanya keseimbangan posisi antara pihak yang menuduh
(penuntut) dan pihak yang dituduh (terdakwa). Dalam acara Tipiring, di mana
Penyidik merangkap sebagai penuntut, terjadi ketidakseimbangan kekuatan yang
ekstrem. Advokat hadir untuk menyeimbangkan posisi ini, mencegah potensi
intimidasi, dan memastikan terdakwa dapat menyampaikan pembelaannya secara
bebas dan efektif.
4.
Membuka Alternatif Penyelesaian
Seorang advokat tidak hanya berpikir secara litigasi. Dalam banyak kasus
Tipiring, seperti pencurian ringan atau perusakan barang, solusi yang lebih
adil dan memulihkan seringkali dapat dicapai di luar pengadilan. Advokat
dapat secara proaktif menginisiasi mediasi penal antara pelaku dan korban
atau mengupayakan penerapan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice), sebuah pendekatan yang semakin diakui dalam sistem peradilan untuk
memulihkan kerugian korban dan hubungan sosial, bukan semata-mata menghukum
pelaku.
Studi Kasus – Analisis Putusan Pengadilan
Untuk melihat bagaimana ketiadaan advokat berdampak dalam praktik, analisis
terhadap putusan pengadilan dapat memberikan gambaran konkret. Salah satu
contoh representatif adalah
Putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 41/Pid.C/2020/PN Rgt, tertanggal 2 Oktober 2020.
Detail Kasus:
-
Terdakwa: Samsidah;
-
Status Pendampingan:
Terdakwa tidak didampingi oleh Penasihat Hukum;
-
Dakwaan:
Melanggar Pasal 364 KUHP (Pencurian Ringan) karena didakwa mengambil
buah kelapa sawit milik PT. Tesso Indah yang ditaksir seharga Rp120.000,00
(seratus dua puluh ribu rupiah);
-
Fakta Persidangan:
Terdakwa mengakui perbuatannya di hadapan hakim, menyatakan penyesalannya,
dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi;
-
Pertimbangan Hukum Hakim:
Hakim menilai perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
Namun, hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, antara lain
terdakwa bersikap sopan, mengakui terus terang perbuatannya, menyesali
perbuatannya, dan belum pernah dihukum.
-
Amar Putusan:
1.
Menyatakan Terdakwa Samsidah telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian Ringan”.
2.
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1 (satu) bulan.
3.
Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian
hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana
melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) bulan
berakhir.
4.
Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).
Putusan ini merupakan cerminan tipikal dari penanganan perkara Tipiring
yaitu proses yang cepat, pengakuan terdakwa sebagai dasar utama pembuktian,
dan vonis berupa pidana percobaan. Namun, perlu diajukan pertanyaan kritis
yaitu apakah hasil yang sama akan tercapai jika terdakwa didampingi oleh
seorang advokat?
Seorang advokat dapat mengambil langkah-langkah strategis yang tidak
mungkin dilakukan oleh terdakwa yang awam hukum. Pertama, advokat bisa
proaktif melakukan negosiasi dengan pihak korban untuk mencapai perdamaian
sebelum sidang. Adanya surat perdamaian dan kesepakatan ganti rugi dapat
menjadi pertimbangan yang sangat kuat bagi hakim untuk menjatuhkan putusan
yang lebih ringan atau bahkan menerapkan prinsip keadilan restoratif, yang
berfokus pada pemulihan. Kedua, advokat akan memastikan bahwa nilai kerugian
yang didakwakan (dalam hal ini Rp120.000,00) benar-benar akurat dan berada
di bawah batas Rp2.500.000,00 sesuai PERMA Tipiring. Ketiga, advokat dapat
menyusun dan menyampaikan argumen-argumen yang meringankan (misalnya, alasan
ekonomi yang mendesak atau keterpaksaan) secara lebih sistematis dan
persuasif di hadapan hakim.
Pada akhirnya, ketiadaan advokat dalam kasus ini menempatkan terdakwa dalam
posisi yang sepenuhnya pasif. Ia hanya bisa mengikuti alur proses yang
ditentukan oleh Penyidik dan Hakim, serta menerima putusan tanpa memahami
sepenuhnya alternatif pembelaan atau penyelesaian yang mungkin tersedia
baginya.
Isu-Isu Praktis Dalam Penanganan Perkara Tipiring
Selain persoalan pendampingan hukum, terdapat beberapa isu praktis lain
dalam penanganan perkara Tipiring yang perlu dipahami secara jernih,
terutama terkait sistem pemidanaan dan mekanisme wajib lapor.
Analisis terhadap berbagai putusan perkara Tipiring, termasuk kasus di PN
Bangkinang dan yurisprudensi lainnya , menunjukkan adanya tren yang kuat di
kalangan hakim untuk menjatuhkan pidana percobaan (voorwaardelijke straf). Pidana percobaan berarti terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana (misalnya, 1 bulan penjara), namun pidana tersebut tidak perlu
dijalani selama terdakwa tidak melakukan tindak pidana lain dalam kurun
waktu tertentu (masa percobaan, misalnya 3 bulan).
Preferensi ini dapat dipahami dari beberapa sudut pandang. Pertama, hal ini
sejalan dengan semangat efisiensi peradilan dan tujuan untuk tidak membebani
lembaga pemasyarakatan yang sudah kelebihan kapasitas dengan pelaku
kejahatan ringan. Kedua, pidana percobaan dianggap lebih mendidik dan
memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri di tengah
masyarakat tanpa harus merasakan stigmatisasi sebagai seorang narapidana.
Pendekatan ini mencerminkan pergeseran paradigma pemidanaan dari retributif
(pembalasan) menuju korektif dan rehabilitatif, terutama untuk delik-delik
yang tidak menimbulkan bahaya signifikan bagi masyarakat.
Seringkali muncul pertanyaan mengenai apakah terdakwa Tipiring dapat
dikenai sanksi wajib lapor. Untuk menjawab ini, perlu dipahami terlebih
dahulu posisi hukum dari mekanisme wajib lapor dalam sistem peradilan pidana
Indonesia.
Dalam kerangka KUHAP, “wajib lapor” bukanlah merupakan salah satu jenis
pidana pokok maupun pidana tambahan. Sebaliknya, wajib lapor adalah salah
satu bentuk syarat yang dapat dikenakan oleh penyidik, penuntut umum, atau
hakim dalam rangka penangguhan penahanan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Artinya, seorang tersangka atau terdakwa yang sedang ditahan dapat
mengajukan permohonan agar penahanannya ditangguhkan (dikeluarkan dari
tahanan), dan sebagai jaminannya, aparat penegak hukum dapat menetapkan
syarat-syarat tertentu, seperti wajib lapor, tidak keluar kota, atau tidak
keluar rumah.
Dengan memahami posisi hukum wajib lapor, relevansinya dalam konteks
Tipiring dapat dianalisis secara logis.
1.
Langkah pertama adalah menentukan apakah seorang terdakwa Tipiring dapat
ditahan. Pasal 21 ayat (4) KUHAP secara tegas menyatakan bahwa
penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau
perbuatan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;
2.
Ancaman pidana maksimal untuk semua jenis Tipiring adalah 3 bulan penjara
(atau 4 bulan 2 minggu untuk penghinaan ringan), yang berada jauh di bawah
ambang batas 5 tahun tersebut;
3.
Secara khusus, konsiderans PERMA Tipiring juga secara eksplisit
menyatakan bahwa salah satu tujuan penyesuaian nilai kerugian adalah agar
terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan.
Berdasarkan rangkaian argumentasi yuridis tersebut, dapat ditarik
kesimpulan yang definitive yaitu
karena seorang terdakwa yang didakwa dengan Tipiring secara hukum tidak
dapat ditahan, maka mekanisme penangguhan penahanan menjadi tidak
relevan. Konsekuensinya, syarat-syarat yang melekat pada penangguhan penahanan,
termasuk wajib lapor, secara yuridis tidak dapat diterapkan pada terdakwa
dalam Acara Pemeriksaan Cepat.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Analisis komprehensif terhadap kerangka hukum dan praktik peradilan perkara
Tindak Pidana Ringan (Tipiring) membawa pada sebuah kesimpulan yang bersifat
dualistis. Secara normatif-yuridis, berdasarkan ketentuan
Pasal 56 KUHAP, tidak ada kewajiban bagi negara untuk menunjuk seorang advokat guna
mendampingi terdakwa Tipiring, bahkan bagi mereka yang tidak mampu
sekalipun. Hal ini disebabkan ancaman pidana Tipiring yang jauh di bawah
ambang batas yang disyaratkan oleh pasal tersebut.
Namun, secara substantif dan dari perspektif jaminan atas peradilan yang
adil (fair trial), pendampingan advokat merupakan sebuah kebutuhan
esensial. Struktur Acara Pemeriksaan Cepat yang melebur peran penyidik dan
penuntut, meniadakan surat dakwaan formal, dan membatasi upaya hukum, secara
inheren menciptakan ketidakseimbangan kekuatan yang merugikan posisi
terdakwa. Dalam kondisi demikian, kehadiran advokat menjadi satu-satunya
instrumen efektif untuk mengimbangi dominasi aparat penegak hukum,
melindungi hak-hak prosedural terdakwa yang rentan terabaikan, dan
memastikan bahwa putusan yang dijatuhkan benar-benar didasarkan pada
keadilan substantif. Efisiensi prosedural yang menjadi ruh dari acara cepat
tidak boleh menjadi justifikasi untuk mengorbankan prinsip-prinsip
fundamental perlindungan hukum dan hak asasi manusia. Kecepatan tidak boleh
mengorbankan keadilan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, dirumuskan beberapa rekomendasi praktis
sebagai berikut:
1.
Bagi Pencari Keadilan:
Masyarakat yang dihadapkan pada dakwaan Tipiring hendaknya didorong untuk
secara proaktif menggunakan haknya yang dijamin oleh
Pasal 54 KUHAP untuk mendapatkan bantuan hukum. Bagi yang tidak
mampu, akses terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyediakan layanan
hukum secara cuma-cuma (pro bono) harus diupayakan sebagai langkah
pertama untuk memastikan pembelaan yang layak.
2.
Bagi Aparat Penegak Hukum:
Meskipun tidak diwajibkan oleh hukum, direkomendasikan agar Penyidik dan
Hakim, dalam menjalankan tugasnya, senantiasa mengedepankan semangat
perlindungan hak tersangka/terdakwa. Sejalan dengan spirit
Pasal 114 KUHAP, Penyidik sebaiknya secara aktif memberitahukan hak
terdakwa untuk didampingi penasihat hukum di awal pemeriksaan, dan Hakim di
persidangan dapat memberikan waktu yang cukup bagi terdakwa untuk
mengupayakan pendampingan hukum sebelum melanjutkan pemeriksaan.
3.
Bagi Organisasi Advokat:
Organisasi advokat diserukan untuk terus memperkuat dan memperluas jangkauan
program bantuan hukum cuma-cuma, dengan memberikan perhatian khusus pada
perkara-perkara Tipiring. Kasus-kasus ini seringkali menimpa masyarakat
lapisan bawah yang paling rentan dan tidak memiliki pengetahuan serta sumber
daya untuk membela diri, sehingga menjadi ladang pengabdian yang paling
relevan bagi profesi advokat sebagai officium nobile.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.