layananhukum

Begini Aturan Mengenai Pengosongan Rumah yang Wajib Kamu Pahami

 

Pertanyaan

Selamat siang, Pak. Saya ingin berkonsultasi mengenai masalah pengosongan rumah yang sedang saya hadapi. Begini ceritanya, beberapa waktu lalu saya memenangkan lelang eksekusi hak tanggungan atas sebuah rumah yang diselenggarakan oleh KPKNL. Saya sudah melunasi seluruh kewajiban pembayaran dan telah menerima Kutipan Risalah Lelang sebagai bukti sah kepemilikan saya.

Masalahnya, debitur lama beserta keluarganya masih menempati rumah tersebut dan menolak untuk pindah secara sukarela. Saya sudah mencoba berbicara baik-baik, namun mereka bersikeras bahwa proses lelang tidak sah dan mereka tidak akan meninggalkan rumah itu.

Saya benar-benar bingung dan khawatir, Pak. Apa langkah hukum yang harus saya tempuh selanjutnya? Apakah saya boleh melakukan pengosongan paksa sendiri, ataukah ada prosedur resmi yang harus diikuti? Saya pernah dengar prosesnya harus melalui pengadilan, tapi saya tidak paham bagaimana memulainya dan apa dasar hukumnya. Apakah Kutipan Risalah Lelang yang saya miliki sudah cukup kuat untuk menjadi dasar pengosongan?

Mohon pencerahannya, Pak. Saya ingin memahami aturan mainnya secara lengkap agar tidak salah langkah dan justru terjerat masalah hukum di kemudian hari. Terima kasih banyak atas waktu dan perhatian Bapak.

Jawaban

    Pendahuluan

    Hak milik atas suatu benda, khususnya properti seperti rumah, merupakan hak kebendaan yang paling fundamental dan utama dalam sistem hukum keperdataan. Namun, pemilikan hak semata tidak akan berarti tanpa adanya penguasaan secara fisik.

    Dalam dinamika hukum, sering kali terjadi situasi di mana seseorang yang berhak secara hukum atas sebuah rumah justru tidak dapat menguasainya karena rumah tersebut masih ditempati oleh pihak lain yang tidak lagi memiliki alas hak yang sah. Di sinilah mekanisme pengosongan rumah berperan sebagai instrumen penegakan hukum untuk memulihkan hak yang terlanggar.

    Proses pengosongan rumah bukanlah sebuah tindakan fisik yang dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Ia merupakan puncak dari serangkaian proses hukum yang sah, yang didasarkan pada adagium hukum universal “ubi jus ibi remedium”, yang berarti “di mana ada hak, di sana ada pemulihannya”. Pelaksanaan pengosongan yang didasarkan pada perintah atau instrumen hukum yang sah juga dilindungi oleh adagium “executio iuris non habet iniuriam”, yang menegaskan bahwa eksekusi yang dijalankan sesuai koridor hukum tidak dapat dianggap sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian atau ketidakadilan.

    Secara garis besar, sistem hukum di Indonesia menyediakan dua jalur utama untuk melaksanakan pengosongan paksa terhadap sebuah rumah. Jalur pertama adalah jalur yudisial murni, yang bermula dari adanya sengketa keperdataan (misalnya, wanprestasi jual beli atau sengketa kepemilikan) yang kemudian diputus oleh pengadilan. Eksekusi pengosongan baru dapat dijalankan setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

    Jalur kedua adalah jalur eksekusi langsung atas dasar titel eksekutorial, yang memungkinkan pemegang hak untuk mengeksekusi objek tanpa perlu melalui proses gugatan dari awal. Jalur ini dimungkinkan karena adanya instrumen hukum tertentu, seperti Sertifikat Hak Tanggungan atau Grosse Risalah Lelang, yang oleh undang-undang diberikan kekuatan eksekutorial setara dengan putusan pengadilan.


    Artikel ini bertujuan untuk memberikan panduan hukum yang komprehensif, terstruktur, dan mendalam mengenai aturan pengosongan rumah di Indonesia. Pembahasan akan mencakup landasan filosofis, kerangka hukum, prosedur teknis di Pengadilan Negeri dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), hingga aspek-aspek krusial seperti kewenangan Pengadilan Agama dalam sengketa syariah dan mekanisme perlindungan hukum bagi para pihak.

    Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat menjadi rujukan otoritatif bagi pemilik hak, penghuni, kreditur, pembeli lelang, praktisi hukum, dan masyarakat luas yang berkepentingan dalam memahami kompleksitas hukum pengosongan properti.

    Definisi dan Hakikat Pengosongan Rumah

    Dalam terminologi hukum acara perdata, pengosongan rumah secara paksa merupakan salah satu bentuk dari Eksekusi Riil (Reële Executie). Eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan hakim yang amar atau diktumnya bersifat penghukuman (condemnatoir) untuk memerintahkan Tergugat (pihak yang kalah) melakukan suatu perbuatan nyata, bukan untuk membayar sejumlah uang. Dasar hukum untuk eksekusi riil ini dapat ditemukan dalam Pasal 1033 Reglement op de Rechtsvordering (Rv), serta secara implisit diatur dalam Pasal 200 ayat (11) Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya disebutHIR) dan Pasal 218 ayat (2) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (selanjutnya disebut “RBg”).

    Perbuatan nyata yang diperintahkan dalam eksekusi riil dapat beragam, antara lain :

    1.        Menyerahkan suatu barang tertentu;

    2.       Mengosongkan sebidang tanah atau rumah;

    3.      Melakukan suatu perbuatan tertentu; atau

    4.       Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan.

    Dengan demikian, hakikat dari pengosongan rumah adalah tindakan paksa yang sah secara hukum, yang dilakukan oleh aparat negara (umumnya Jurusita Pengadilan dengan bantuan aparat keamanan), untuk mengeluarkan penghuni dan barang-barangnya dari sebuah rumah agar penguasaan fisik atas rumah tersebut dapat diserahkan kepada pihak yang dinyatakan berhak menurut hukum.


    Penting untuk membedakan secara tegas antara pengosongan yang bersifat sukarela, yang terjadi atas dasar kesepakatan para pihak (misalnya, berakhirnya masa sewa-menyewa), dengan pengosongan paksa (gedwongen ontruiming), yang memerlukan intervensi institusi negara karena pihak yang menempati menolak untuk menyerahkan objek secara sukarela.

    Kewajiban untuk mengosongkan rumah tidak timbul secara tiba-tiba. Kewajiban ini harus lahir dari suatu peristiwa hukum yang diakui dan memiliki akibat hukum.

    Berikut adalah tiga sumber utama yang melahirkan kewajiban pengosongan yang dapat dieksekusi secara paksa.

    Wanprestasi dalam Hubungan Keperdataan

    Sumber paling umum dari sengketa pengosongan adalah pelanggaran terhadap perjanjian (wanprestasi). Suatu perjanjian yang dibuat secara sah, yakni memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata”)—sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal—akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana ditegaskan dalam asas pacta sunt servanda pada Pasal 1338 KUHPerdata.

    Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka ia dianggap telah melakukan wanprestasi. Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan:

    “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

    Wanprestasi inilah yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau pembatalan perjanjian disertai ganti rugi, yang sering kali berujung pada tuntutan pengosongan. Contoh konkretnya adalah:

    1)        Perjanjian Jual Beli: Penjual yang telah menerima pembayaran lunas namun menolak menyerahkan dan mengosongkan rumah kepada pembeli;

    2)       Perjanjian Sewa-Menyewa: Penyewa yang masa sewanya telah berakhir namun menolak untuk meninggalkan rumah yang disewanya, melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata.

    Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde)

    Apabila terjadi sengketa yang timbul dari wanprestasi atau sengketa kepemilikan lainnya, dan pihak yang wajib mengosongkan menolak melakukannya secara sukarela, pihak yang berhak harus menempuh jalur pengadilan. Syarat utama agar putusan pengadilan dapat dieksekusi adalah putusan tersebut harus bersifat condemnatoir (menghukum) dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sebuah putusan dianggap telah inkracht apabila:

    -        Putusan pengadilan tingkat pertama tidak diajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu yang ditentukan;

    -        Putusan pengadilan tingkat banding tidak diajukan upaya hukum kasasi; atau

    -        Putusan kasasi atau peninjauan kembali telah diucapkan.

    Amar putusan yang bersifat condemnatoir dalam konteks ini biasanya berbunyi, “Menghukum Tergugat untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa kepada Penggugat dalam keadaan baik dan tanpa beban apapun.”


    Kekuatan Eksekutorial Melekat pada Instrumen Hukum Tertentu

    Sistem hukum Indonesia secara pragmatis menciptakan instrumen-instrumen hukum tertentu yang memiliki kekuatan eksekusi setara dengan putusan pengadilan. Hal ini bertujuan untuk efisiensi dan kepastian hukum, terutama dalam sektor ekonomi dan keuangan. Dua instrumen utama yang relevan adalah:

    1.       Sertifikat Hak Tanggungan

    Pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut “UU Hak Tanggungan”) menyatakan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ini memberikan hak kepada kreditur (pemegang Hak Tanggungan) untuk langsung memohon eksekusi lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) apabila debitur cidera janji;

    2.       Grosse Risalah Lelang

    Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang dan merupakan akta autentik. Pemenang lelang dapat meminta diterbitkannya Grosse Risalah Lelang, yaitu salinan otentik dari Risalah Lelang yang pada bagian kepalanya juga memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2024 tentang Risalah Lelang (selanjutnya disebut “PMK 86/2024”), grosse ini memberikan kekuatan eksekutorial kepada pemenang lelang untuk memohon pengosongan objek lelang kepada pengadilan.

    Keberadaan dua jalur untuk memperoleh kekuatan eksekutorial—melalui putusan yudisial dan melalui instrumen dengan titel eksekutorial—merupakan sebuah pilihan kebijakan hukum yang fundamental. Jalur yudisial yang klasik menjamin perlindungan hak para pihak melalui proses pembuktian yang komprehensif di persidangan. Namun, untuk sektor ekonomi yang bergerak cepat seperti perbankan, proses peradilan yang panjang dianggap berisiko dan tidak efisien.

    Oleh karena itu, UU Hak Tanggungan dan peraturan lelang menciptakan sebuah “jalan pintas” eksekusi untuk memberikan kepastian dan kecepatan dalam penyelesaian kredit macet, yang esensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Konsekuensinya, “jalan pintas” ini mengorbankan sebagian proses pembuktian yudisial di muka.

    Sebagai penyeimbang, hukum acara perdata menyediakan mekanisme perlawanan (verzet) sebagai katup pengaman krusial untuk melindungi hak-hak debitur atau pihak ketiga dari potensi eksekusi yang tidak adil atau keliru. Dengan demikian, hukum eksekusi menjadi arena dinamis yang menyeimbangkan antara efisiensi ekonomi dan perlindungan hak-hak fundamental individu.

    Prosedur Eksekusi Pengosongan Melalui Lembaga Peradilan

    Ketika kewajiban pengosongan tidak dipenuhi secara sukarela, lembaga peradilan menjadi benteng terakhir untuk menegakkan hukum. Prosedur eksekusi di pengadilan diatur secara ketat untuk memastikan proses berjalan adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

    Proses eksekusi pengosongan di Pengadilan Negeri (PN) dijalankan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua PN yang memeriksa dan memutus perkara tersebut pada tingkat pertama. Alur prosesnya, sebagaimana dirangkum dari HIR/RBg dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 40/DJU/SK/HM.02.3/1/2019 tentang Pedoman Eksekusi Pada Pengadilan Negeri (selanjutnya disebut “Pedoman Eksekusi Badilum”), adalah sebagai berikut:

    Tahap Permohonan dan Administrasi Awal

    1.        Pengajuan Permohonan: Pihak yang menang perkara (pemohon eksekusi), baik secara langsung maupun melalui kuasanya, mengajukan permohonan eksekusi secara tertulis kepada Ketua PN yang berwenang;

    2.       Kelengkapan Dokumen: Permohonan harus dilampiri dengan dokumen-dokumen penting, antara lain: fotokopi salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, relaas (surat pemberitahuan) putusan kepada pihak pemohon, surat kuasa khusus jika dikuasakan, serta identitas lengkap para pihak;

    3.      Telaah dan Penetapan Biaya: Panitera akan melakukan telaah atas kelengkapan dan keabsahan permohonan, yang hasilnya dituangkan dalam sebuah resume. Jika permohonan dinilai dapat dilaksanakan, pengadilan akan menerbitkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang berisi rincian panjar biaya eksekusi yang harus dibayarkan oleh pemohon.

    Tahap Peringatan (Aanmaning)

    Tahap ini merupakan inti dari upaya persuasif yang diwajibkan oleh hukum sebelum tindakan paksa dilakukan.

    1.        Penetapan Aanmaning: Setelah biaya panjar dilunasi, Ketua PN mengeluarkan Penetapan Aanmaning (Peringatan/Teguran);

    2.       Pemanggilan Termohon: Berdasarkan penetapan tersebut, Jurusita/Jurusita Pengganti memanggil pihak yang kalah (termohon eksekusi) untuk hadir di hadapan Ketua PN pada hari dan tanggal yang telah ditentukan;

    3.      Pemberian Peringatan: Dalam sidang insidentil tersebut, Ketua PN akan memperingatkan termohon eksekusi untuk melaksanakan isi putusan secara sukarela. Sesuai Pasal 196 HIR / Pasal 207 RBg, termohon diberikan tenggang waktu paling lama 8 (delapan) hari untuk memenuhi putusan tersebut terhitung sejak tanggal peringatan diberikan. Seluruh proses ini dicatat dalam Berita Acara Sidang Aanmaning.

    Tahap Pelaksanaan Eksekusi Riil

    Jika setelah lewatnya tenggang waktu 8 hari termohon eksekusi tidak juga melaksanakan putusan, maka proses eksekusi paksa dapat dilanjutkan.

    1.        Penetapan Perintah Eksekusi: Atas permohonan lanjutan dari pemohon, Ketua PN akan mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi perintah kepada Panitera/Jurusita untuk melaksanakan eksekusi pengosongan;

    2.       Pencocokan Objek (Constatering): Sebelum hari-H pelaksanaan, Jurusita, didampingi oleh para pihak dan aparat desa/kelurahan, akan melakukan peninjauan ke lokasi objek eksekusi. Tujuannya adalah untuk melakukan pencocokan guna memastikan batas-batas, luas, dan kondisi objek sesuai dengan yang tertera dalam amar putusan. Kegiatan ini dituangkan dalam Berita Acara Constatering.

    3.      Koordinasi Keamanan: Ketua PN akan berkoordinasi secara resmi dengan aparat keamanan, seperti Kepolisian Resor setempat, untuk meminta bantuan pengamanan selama proses eksekusi. Jika termohon eksekusi adalah anggota TNI (aktif maupun purnawirawan), koordinasi juga harus melibatkan Polisi Militer;

    4.       Pemberitahuan Pelaksanaan: Jurusita menyampaikan surat pemberitahuan kepada termohon eksekusi mengenai hari dan tanggal pelaksanaan eksekusi, dengan memberikan jangka waktu yang patut dan wajar;

    5.       Pelaksanaan Pengosongan: Pada hari yang telah ditetapkan, Jurusita, dengan disaksikan oleh saksi-saksi dan diamankan oleh aparat, akan memimpin proses pengosongan. Pelaksanaan harus dilakukan dengan mengedepankan pendekatan persuasif dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Barang-barang milik termohon akan dikeluarkan dari rumah. Pemohon eksekusi dapat diwajibkan untuk menyediakan tempat penampungan sementara (gudang) untuk menyimpan barang-barang tersebut atas biayanya sendiri;

    6.      Penyerahan Objek: Segera setelah objek dinyatakan kosong, pada hari yang sama, Jurusita akan menyerahkan rumah tersebut kepada pemohon eksekusi atau kuasanya. Proses serah terima ini dituangkan dalam Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi dan Penyerahan.

    Kewenangan Absolut Pengadilan Agama dalam Eksekusi Jaminan Perbankan Syariah

    Seiring dengan berkembangnya sistem ekonomi syariah di Indonesia, terjadi pergeseran yurisdiksi yang signifikan dalam penyelesaian sengketa, termasuk dalam hal eksekusi jaminan.


    Kewenangan absolut Pengadilan Agama (PA) dalam sengketa perbankan syariah ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut “UU Perbankan Syariah”), yang menyatakan:

    “(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.”

    Sebelumnya, terdapat ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah, yang seolah-olah mengizinkan para pihak untuk memilih Pengadilan Negeri sebagai forum penyelesaian sengketa dalam akad mereka. Kerancuan ini secara tuntas diselesaikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013. Putusan ini menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, putusan MK ini menegaskan bahwa kewenangan untuk mengadili sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah, adalah kompetensi absolut (mutlak) dari lingkungan Peradilan Agama.

    Implikasi dalam Praktik Eksekusi

    Prinsip hukum menyatakan bahwa perjanjian jaminan, seperti Hak Tanggungan, bersifat accessoir atau melekat pada perjanjian pokoknya (akad pembiayaan). Artinya, jika perjanjian pokoknya adalah akad syariah (misalnya, murabahah atau musyarakah mutanaqisah), maka sengketa yang timbul dari jaminan Hak Tanggungan yang melekat padanya juga harus diselesaikan menurut prinsip syariah dan menjadi kewenangan Pengadilan Agama.

    Oleh karena itu, permohonan eksekusi atas Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan untuk menjamin pembiayaan dari bank syariah harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi lokasi objek jaminan. Prosedur eksekusinya pada dasarnya sama dengan yang berlaku di Pengadilan Negeri, yaitu mengacu pada ketentuan HIR/RBg, dimulai dari tahap aanmaning hingga pelaksanaan eksekusi riil oleh Jurusita Pengadilan Agama. Sebagai contoh konkret, dalam Putusan Pengadilan Agama Palu Nomor 510/Pdt.G/2020/PA.Pal, tertanggal 3 November 2020, majelis hakim mengabulkan gugatan wanprestasi yang diajukan oleh sebuah bank syariah terhadap nasabahnya atas Akad Murabahah bil Wakalah. Dalam pertimbangannya, hakim secara eksplisit menyatakan bahwa karena debitur telah terbukti wanprestasi, maka bank (Penggugat) berwenang untuk menjual tanah dan bangunan yang menjadi jaminan di muka umum (lelang) guna menutupi kerugian yang diderita. Putusan semacam inilah yang menjadi dasar hukum yang kuat bagi kreditur untuk melanjutkan proses eksekusi jaminan melalui lelang.


    Perkembangan ini menciptakan sebuah “fragmentasi yurisdiksi” dalam hukum eksekusi properti. Jika sebelumnya eksekusi properti merupakan domain tunggal Pengadilan Negeri, kini yurisdiksinya terbagi dua secara tegas: sengketa yang lahir dari akad konvensional menjadi wewenang Pengadilan Negeri, sementara sengketa yang lahir dari akad syariah menjadi wewenang absolut Pengadilan Agama.

    Fragmentasi ini menuntut adaptasi dan spesialisasi dari seluruh pemangku kepentingan. KPKNL, sebagai pelaksana lelang, harus mampu berkoordinasi dengan dua lingkungan peradilan yang berbeda. Advokat dan praktisi hukum harus menguasai hukum acara di kedua yurisdiksi tersebut. Bagi masyarakat dan pelaku usaha, hal ini menegaskan pentingnya memahami secara cermat jenis akad yang mereka tandatangani, karena pilihan akad tersebut akan menentukan di forum peradilan mana hak-hak mereka akan diperjuangkan atau dieksekusi.


    Selain melalui gugatan di pengadilan, pengosongan rumah sering kali merupakan tahap lanjutan dari proses lelang eksekusi, terutama dalam konteks penyelesaian kredit macet yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Jalur ini memiliki prosedur yang khas yang melibatkan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

    Peran KPKNL dan Dasar Hukum Lelang Eksekusi Hak Tanggungan

    KPKNL adalah unit vertikal di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Kementerian Keuangan, yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara lelang di Indonesia, termasuk lelang eksekusi. Dalam konteks Hak Tanggungan, lelang eksekusi dapat dilakukan berdasarkan dua kewenangan utama yang dimiliki oleh kreditur (bank) selaku pemegang Hak Tanggungan Pertama, sebagaimana diatur dalam UU Hak Tanggungan:

    1.        Parate Eksekusi: Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut apabila debitur cidera janji;

    2.       Eksekusi Berdasarkan Titel Eksekutorial: Berdasarkan Pasal 20 UU Hak Tanggungan jo. Pasal 14 UU Hak Tanggungan, kekuatan eksekutorial yang melekat pada Sertifikat Hak Tanggungan memberikan dasar bagi kreditur untuk memohon pelaksanaan lelang melalui KPKNL.

    Prosedur teknis pelaksanaan lelang, mulai dari permohonan, pengumuman, hingga penunjukan pemenang, diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (selanjutnya disebut “PMK 122/2023”).

    Prosedur Pengosongan oleh Pemenang Lelang

    Setelah seseorang dinyatakan sebagai pemenang lelang dan telah melunasi seluruh kewajibannya, ia tidak secara otomatis dapat menguasai objek lelang. Jika objek tersebut masih dihuni oleh debitur atau pihak lain dan mereka menolak untuk keluar, pemenang lelang harus menempuh prosedur hukum untuk melakukan pengosongan.

    -        Langkah 1: Memperoleh Bukti Kepemilikan yang Sah

    Langkah pertama dan paling fundamental bagi pemenang lelang adalah memperoleh bukti otentik atas kemenangannya. Setelah harga lelang dilunasi, Pejabat Lelang akan menerbitkan Kutipan Risalah Lelang. Dokumen ini sangat krusial karena menurut Pasal 1 PMK 86/2024, Risalah Lelang adalah sebuah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna mengenai terjadinya jual beli Lelang;

    -        Langkah 2: Upaya Pengosongan Sukarela

    Hukum mengamanatkan bahwa tanggung jawab untuk mengosongkan objek lelang berada sepenuhnya di tangan pembeli. Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan persuasif kepada penghuni untuk mengosongkan rumah secara sukarela. Pemenang lelang dapat menunjukkan Kutipan Risalah Lelang sebagai bukti kepemilikan yang sah dan memberikan tenggang waktu yang wajar bagi penghuni untuk berkemas dan pindah;

    -        Langkah 3: Permohonan Eksekusi Pengosongan ke Pengadilan

    Apabila upaya sukarela tidak membuahkan hasil, pemenang lelang tidak perlu mengajukan gugatan kepemilikan baru dari awal. Sistem hukum telah menyediakan jalur yang lebih singkat dan efektif, antara lain:

    1.           Permohonan Grosse Risalah Lelang: Pemenang lelang mengajukan permohonan kepada KPKNL yang menyelenggarakan lelang untuk menerbitkan Grosse Risalah Lelang. Dokumen ini adalah salinan otentik dari Risalah Lelang yang pada bagian kepalanya dibubuhi irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang memberikannya kekuatan eksekutorial;

    2.          Permohonan Eksekusi ke Pengadilan: Berbekal Grosse Risalah Lelang tersebut, pemenang lelang dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi pengosongan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi objek lelang (atau Ketua Pengadilan Agama jika lelang berasal dari eksekusi jaminan syariah).

    Landasan yuridis untuk permohonan langsung ini sangat kuat dan telah menjadi yurisprudensi tetap, sebagaimana ditegaskan dalam Rumusan Kamar Perdata hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (selanjutnya disebut “SEMA 4/2014”), yang menyatakan:

    “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi pengosongan dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan.”

    Setelah permohonan eksekusi diterima oleh pengadilan, proses selanjutnya akan mengikuti alur yang sama seperti eksekusi putusan pengadilan, yaitu melalui tahap aanmaning dan pelaksanaan eksekusi riil oleh Jurusita.


    Kehati-hatian Pejabat Lelang dan Akibat Hukum Risalah Lelang Cacat Prosedur

    Kekuatan hukum dari Risalah Lelang sangat bergantung pada kesempurnaan prosedur yang mendahuluinya. Oleh karena itu, peran Pejabat Lelang menjadi sangat sentral dan menuntut tingkat kehati-hatian yang tinggi.

    Pejabat Lelang, baik Pejabat Lelang Kelas I (PNS Kementerian Keuangan) maupun Pejabat Lelang Kelas II (swasta), adalah pejabat umum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memimpin pelaksanaan lelang. Tanggung jawab utamanya antara lain memastikan kelengkapan dan keabsahan formal dokumen persyaratan lelang, memimpin jalannya lelang secara transparan dan adil, serta puncaknya adalah membuat Risalah Lelang sebagai akta otentik yang mencatat seluruh proses dan hasil lelang.

    Apabila dalam pelaksanaan lelang terjadi cacat prosedur, maka Risalah Lelang yang diterbitkan dapat digugat pembatalannya di pengadilan. Gugatan tersebut umumnya didasarkan pada dalil Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad). Beberapa contoh cacat prosedur yang dapat membatalkan lelang antara lain :

    -        Pengumuman lelang tidak sesuai dengan ketentuan (misalnya, kurang jangka waktu atau media yang salah);

    -        Nilai limit yang ditetapkan oleh penjual tidak wajar atau jauh di bawah harga pasar;

    -        Adanya konflik kepentingan, misalnya pemenang lelang terafiliasi dengan penjual atau Pejabat Lelang;

    -        Objek yang dilelang tidak sesuai dengan yang diumumkan atau dijaminkan.

    Sebagai contoh yurisprudensi yang sangat berpengaruh, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 112K/Pdt/1997, tertanggal 20 April 1999, menegaskan bahwa suatu pelelangan dapat dibatalkan apabila harga lelang yang terbentuk jauh di bawah nilai agunan dan pemenang lelang adalah pegawai dari pihak pemohon lelang (kreditur), yang menimbulkan cacat etis dan konflik kepentingan. Putusan-putusan pengadilan lainnya juga kerap membatalkan Risalah Lelang karena berbagai alasan prosedural, seperti kesalahan pada objek lelang atau ketidaksesuaian data dalam pengumuman lelang.

    Risalah Lelang dapat diibaratkan sebagai sebuah “jembatan hukum” yang mentransfer hak kepemilikan dari debitur kepada pemenang lelang. Kekuatan jembatan ini sepenuhnya bergantung pada fondasi prosedural yang kokoh. Proses lelang yang sangat formalistik, di mana setiap tahapannya diatur secara rigid oleh PMK 122/2023, adalah fondasi tersebut. Putusan-putusan pengadilan yang membatalkan lelang menunjukkan bahwa hakim akan memeriksa dengan sangat teliti setiap detail pra-lelang.

    Cacat sekecil apapun dapat dianggap fatal dan meruntuhkan “jembatan” tersebut. Hal ini menciptakan risiko laten bagi pembeli lelang; meskipun telah menang dan membayar lunas, kepemilikan mereka masih dapat digugat di kemudian hari. Oleh karena itu, due diligence (uji tuntas) bagi calon pembeli lelang tidak cukup hanya pada kondisi fisik properti, tetapi juga harus mencakup riwayat sengketa dan validitas prosedur lelang itu sendiri. Bagi kreditur, ini menjadi pengingat untuk bekerja sama secara cermat dengan KPKNL guna memastikan tidak ada celah prosedur yang dapat dimanfaatkan debitur untuk menggagalkan eksekusi.

    Perbandingan Prosedur Eksekusi Pengosongan

    Aspek Perbandingan

    Jalur 1: Eksekusi Berdasarkan Putusan Pengadilan

    Jalur 2: Eksekusi Pengosongan oleh Pemenang Lelang

    Dasar Hukum Utama

    HIR/RBg; Pedoman Eksekusi Badilum

    UU Hak Tanggungan; PMK 122/2023; SEMA 4/2014

    Pemicu Proses

    Wanprestasi/Perbuatan Melawan Hukum yang telah diputus pengadilan

    Debitur wanprestasi atas perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan

    Dokumen Awal

    Surat Gugatan Perdata

    Surat Permohonan Lelang dari Kreditur ke KPKNL

    Proses Utama

    Persidangan (Pembuktian, Saksi, dll.) Putusan Inkracht

    Penilaian Aset Pengumuman Lelang Pelaksanaan Lelang

    Institusi Kunci

    Pengadilan Negeri / Pengadilan Agama

    Kreditur (Bank) KPKNL Pengadilan Negeri / Agama

    Dokumen Final

    Salinan Putusan Inkracht van Gewijsde

    Kutipan Risalah Lelang & Grosse Risalah Lelang

    Langkah ke Pengadilan

    Mengajukan Permohonan Eksekusi atas Putusan yang telah inkracht

    Mengajukan Permohonan Eksekusi Pengosongan atas dasar Grosse Risalah Lelang

    Sifat Permohonan

    Implementasi langsung dari amar putusan yang sudah ada

    Meminta pengadilan mengeksekusi hak baru yang lahir dari proses lelang

    Perlindungan Hukum, Peran Profesi, dan Aspek Kritis Lainnya

    Proses eksekusi pengosongan, meskipun merupakan penegakan hukum, sarat dengan potensi konflik dan pelanggaran hak jika tidak dikelola dengan benar. Oleh karena itu, hukum acara perdata menyediakan mekanisme perlindungan bagi semua pihak yang terlibat.

    Eksekusi bukanlah proses yang kebal terhadap koreksi. Terdapat beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh untuk melawan atau menangguhkan pelaksanaan eksekusi.

    Perlawanan Pihak Tereksekusi (Partij Verzet)

    Upaya hukum ini diajukan oleh pihak yang kalah (tereksekusi) terhadap pelaksanaan eksekusi. Namun, dasar perlawanannya sangat terbatas. Berdasarkan yurisprudensi, partij verzet hanya dapat diajukan dengan alasan bahwa termohon eksekusi telah memenuhi kewajibannya sesuai amar putusan, atau terjadi kesalahan prosedural dalam proses eksekusi itu sendiri (misalnya, objek yang akan dieksekusi melebihi apa yang tertera dalam putusan). Pada prinsipnya, perlawanan ini tidak menangguhkan jalannya eksekusi, kecuali Ketua Pengadilan berpendapat lain berdasarkan alasan yang sangat mendesak.

    Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

    Ini adalah upaya hukum yang paling sering ditemui dalam praktik. Derden Verzet diajukan oleh pihak ketiga yang tidak menjadi pihak dalam perkara pokok, namun merasa hak-haknya dirugikan karena barang miliknya ikut tersita atau akan dieksekusi. Dasar hukumnya adalah Pasal 195 ayat (6) HIR / Pasal 206 ayat (6) RBg.

    Secara tradisional, derden verzet didasarkan atas hak milik, di mana pelawan harus membuktikan bahwa objek yang disita adalah miliknya, bukan milik termohon eksekusi. Namun, yurisprudensi Mahkamah Agung telah memperluas cakupan perlindungan ini. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indoensia Nomor 306 K/Sip/1962, tertanggal 31 Oktober 1962 ditegaskan bahwa perlawanan pihak ketiga dapat diterima tidak hanya atas dasar hak milik, tetapi juga dapat didasarkan pada hak-hak lainnya seperti hak pakai, Hak Guna Bangunan (HGB), hak sewa, atau bahkan hak tanggungan. Pemegang hak-hak tersebut harus dilindungi dari suatu sita atau eksekusi di mana mereka bukan pihak dalam perkara. Perlawanan ini diajukan dalam bentuk gugatan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan eksekusi, dengan mendudukkan pemohon dan termohon eksekusi sebagai para Terlawan.


    Gugatan Biasa

    Perlawanan, baik partij verzet maupun derden verzet, adalah upaya hukum yang dapat ditempuh selama proses eksekusi belum selesai dilaksanakan. Apabila eksekusi pengosongan telah tuntas dilakukan dan objek telah diserahkan kepada pemohon eksekusi, maka upaya hukum yang tersedia bagi pihak yang merasa dirugikan adalah dengan mengajukan gugatan perdata biasa, bukan lagi melalui mekanisme perlawanan.

    Peran Sentral Advokat dalam Proses Pengosongan

    Kompleksitas prosedur dan potensi sengketa dalam proses pengosongan menempatkan advokat pada peran yang sangat strategis, baik bagi pihak pemohon maupun termohon eksekusi.

    -        Bagi Pemohon Eksekusi/Pemenang Lelang: Seorang advokat berperan krusial sejak tahap awal, yaitu menyusun permohonan eksekusi yang lengkap dan memenuhi seluruh syarat formil sesuai Pedoman Eksekusi Badilum. Advokat akan memastikan semua dokumen pendukung, seperti putusan inkracht atau Grosse Risalah Lelang, telah valid. Selama proses berjalan, advokat akan menjadi penghubung utama dengan panitera dan jurusita, mengawal setiap tahapan mulai dari aanmaning, constatering, koordinasi keamanan, hingga pelaksanaan eksekusi di lapangan untuk memastikan hak kliennya terpenuhi secara tuntas;

    -        Bagi Termohon Eksekusi/Pihak Ketiga: Peran advokat adalah sebagai garda terdepan perlindungan hukum. Advokat akan secara cermat menelaah seluruh proses hukum yang telah berjalan untuk mengidentifikasi adanya potensi cacat hukum, baik dalam putusan pokok, prosedur lelang, maupun dalam proses eksekusi itu sendiri. Berdasarkan temuan tersebut, advokat akan menyusun strategi perlawanan (verzet) atau gugatan pembatalan lelang, merumuskan dalil-dalil hukum yang kuat, dan mewakili klien dalam persidangan untuk mempertahankan hak-haknya;

    -        Peran Preventif: Lebih dari sekadar peran reaktif dalam sengketa, advokat juga memiliki fungsi preventif yang vital. Dalam penyusunan perjanjian (jual beli, perjanjian kredit, sewa-menyewa), seorang advokat yang cermat akan merancang klausul-klausul yang jelas dan mengikat mengenai kewajiban pengosongan, sanksi atas keterlambatan, dan mekanisme penyelesaian sengketa untuk meminimalisir potensi konflik di kemudian hari.

    Analisis Kritis “Jasa Pengosongan Rumah” di Luar Jalur Resmi

    Di tengah masyarakat, terkadang muncul fenomena penawaran “jasa pengosongan rumah” yang beroperasi di luar koridor hukum resmi. Praktik ini sering kali melibatkan penggunaan intimidasi, kekerasan, atau pengerahan massa (premanisme) untuk memaksa penghuni keluar dari sebuah properti. Penting untuk ditegaskan bahwa tindakan semacam ini adalah ilegal dan berpotensi menyeret pelakunya ke dalam ranah hukum pidana.

    Pengosongan paksa yang dilakukan tanpa perintah pengadilan atau tanpa keterlibatan aparat penegak hukum yang sah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, antara lain:

    -       Sebagaimana diatur dalam Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu memaksa orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;

    -       Pasal 385 KUHP dapat menjerat pelaku yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukar, atau menjadikan tanggungan suatu hak atas tanah atau rumah padahal ia tahu bahwa orang lain yang berhak;

    -       Tindak Pidana Lainnya: Bergantung pada eskalasi di lapangan, tindakan ini juga dapat berujung pada tindak pidana pengrusakan barang (Pasal 406 KUHP) atau bahkan penganiayaan (Pasal 351 KUHP).

    Satu-satunya mekanisme pengosongan paksa yang diakui dan dilindungi oleh negara hukum adalah prosedur yang dijalankan oleh institusi yang berwenang (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama) melalui aparatnya (Jurusita) dan dengan bantuan aparat keamanan negara (Polri/TNI). Menggunakan jasa ilegal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga tidak memberikan kepastian hukum dan justru dapat menimbulkan masalah hukum baru yang lebih kompleks bagi pemilik properti itu sendiri.


    Penutup

    Pengosongan rumah merupakan manifestasi konkret dari penegakan hak keperdataan yang dijamin oleh negara. Analisis komprehensif menunjukkan bahwa hukum Indonesia menyediakan dua jalur utama yang sah untuk mencapainya: jalur yudisial melalui eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan jalur eksekusi langsung berdasarkan titel eksekutorial yang melekat pada Sertifikat Hak Tanggungan dan Grosse Risalah Lelang.

    Jalur yudisial, yang berpuncak pada eksekusi riil oleh Pengadilan Negeri, mensyaratkan proses aanmaning sebagai upaya persuasif terakhir sebelum tindakan paksa dilakukan. Di sisi lain, jalur lelang yang difasilitasi oleh KPKNL memberikan mekanisme yang lebih cepat bagi kreditur dan pemenang lelang, di mana Risalah Lelang berfungsi sebagai dasar untuk memohon eksekusi pengosongan langsung ke pengadilan tanpa perlu gugatan baru. Perkembangan hukum ekonomi syariah juga telah menegaskan kewenangan absolut Pengadilan Agama untuk menangani eksekusi jaminan yang lahir dari akad syariah, menciptakan dualisme yurisdiksi yang harus dipahami oleh semua pihak.

    Titik-titik kritis dalam setiap proses meliputi kepatuhan yang ketat terhadap prosedur—mulai dari kelengkapan permohonan, keabsahan proses lelang, hingga pelaksanaan eksekusi di lapangan—karena setiap cacat prosedur berpotensi menjadi dasar perlawanan hukum yang dapat menunda atau bahkan membatalkan seluruh proses.

    Berdasarkan pembahasan di atas, berikut adalah beberapa rekomendasi strategis bagi para pihak yang berkepentingan:

    1.        Bagi Kreditur dan Pemilik Hak: Kunci utama keberhasilan eksekusi adalah persiapan yang matang. Susunlah perjanjian (perjanjian kredit, jual beli, atau sewa) dengan klausul yang kuat, jelas, dan tidak ambigu mengenai kewajiban pengosongan. Pastikan setiap langkah prosedural, mulai dari pemberian somasi hingga pengajuan permohonan lelang atau eksekusi, dilakukan secara cermat dan terdokumentasi dengan baik untuk menghindari celah gugatan di kemudian hari.

    2.       Bagi Debitur dan Penghuni: Memahami hak-hak hukum adalah esensial. Anda berhak mendapatkan peringatan (aanmaning) yang layak dari pengadilan sebelum eksekusi paksa dilakukan. Jika Anda meyakini ada cacat hukum dalam proses yang berjalan (misalnya, prosedur lelang tidak sah atau putusan keliru), segera konsultasikan dengan advokat untuk menjajaki kemungkinan mengajukan perlawanan atau upaya hukum lainnya dalam tenggang waktu yang ditentukan.

    3.      Bagi Pemenang Lelang: Jangan hanya terpaku pada harga dan lokasi properti. Lakukan due diligence (uji tuntas) yang komprehensif, tidak hanya terhadap kondisi fisik dan legalitas objek, tetapi juga terhadap riwayat sengketa dan proses lelang itu sendiri. Memahami bahwa kemenangan lelang adalah awal dari proses penguasaan, bukan akhir, akan mempersiapkan Anda untuk menempuh langkah-langkah hukum selanjutnya, termasuk permohonan eksekusi pengosongan.

    Pada akhirnya, pengosongan rumah adalah cerminan dari bekerjanya prinsip negara hukum. Kepatuhan mutlak pada prosedur hukum yang telah ditetapkan adalah satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan, memberikan kepastian hukum, dan yang terpenting, menghindari tindakan main hakim sendiri. Proses yang mungkin terasa panjang dan birokratis sejatinya dirancang untuk melindungi hak semua pihak secara seimbang. Dengan memahami dan menghormati setiap tahapannya, penegakan hak atas properti dapat berjalan secara efektif, adil, dan beradab.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.