Pengantar
Pendampingan hukum pada tahap penyidikan merupakan salah satu pilar
fundamental dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Tahap ini adalah garda
terdepan dalam perlindungan hak asasi manusia bagi seorang tersangka, di
mana prinsip universal presumption of innocence (praduga tak
bersalah) harus dijunjung tinggi. Kehadiran penasihat hukum bukan sekadar
pemenuhan formalitas prosedural, melainkan esensi dari hak atas pembelaan
yang adil (right to a fair trial) sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP”.
Pada fase ini, posisi tersangka berada dalam keadaan yang rentan terhadap
potensi tekanan psikologis maupun penyalahgunaan wewenang, sehingga peran
pendamping hukum menjadi krusial untuk memastikan proses berjalan sesuai
koridor hukum. Namun, realitas di lapangan seringkali menghadirkan sebuah
dilema yuridis yang kompleks, terutama yang menyangkut figur “Advokat
Magang” atau “Calon Advokat”. Persoalan mendasar timbul dari adanya
kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Advokat”.
Undang-undang ini, sebagai landasan utama profesi advokat di Indonesia,
secara tegas mengatur syarat, hak, dan kewajiban seorang Advokat, namun sama
sekali tidak memberikan definisi, status, maupun batasan kewenangan yang
jelas bagi individu yang sedang menjalani masa magang. Ketiadaan pengaturan
eksplisit ini menciptakan ambiguitas hukum yang signifikan. Akibatnya, untuk
memahami kedudukan Advokat Magang, para praktisi hukum terpaksa merujuk pada
peraturan internal organisasi profesi, yang secara hierarki peraturan
perundang-undangan berada di bawah undang-undang.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa ketiadaan definisi “Advokat Magang” dalam
UU tentang Advokat bukanlah sebuah kelalaian legislatif semata. Hal ini
dapat ditafsirkan sebagai sebuah pendelegasian kewenangan pengaturan (delegated legislation) secara implisit kepada Organisasi Advokat. Legislator memandang bahwa
proses magang merupakan bagian dari ranah internal pendidikan dan pembinaan
profesi. Dinamika ini menjadikan peraturan yang dikeluarkan oleh Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) memiliki peran sentral dan kekuatan mengikat bagi
para anggotanya. Akan tetapi, pada saat yang sama, status hukum dari
peraturan organisasi ini menjadi rentan ketika dihadapkan pada kerangka
hukum acara pidana yang diatur oleh sebuah undang-undang (KUHAP), sehingga
menimbulkan potensi ketidakpastian hukum yang dapat berimplikasi serius.
Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini akan melakukan telaah
hukum secara komprehensif untuk menjawab beberapa pertanyaan fundamental:
(1)
Sejauh mana kewenangan yuridis seorang Advokat Magang dalam mendampingi
klien pada tahap penyidikan perkara pidana?;
(2)
Apakah tindakan pendampingan yang dilakukan oleh Advokat Magang sah secara
hukum dan apa saja batasannya?;
(3)
Bagaimana implikasi hukum dari tindakan tersebut, termasuk dalam konteks
penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan potensi seorang Advokat
Magang untuk menjadi saksi dalam sidang praperadilan?
Tulisan ini diusung dalam analisis ini yaitu
meskipun tidak dilarang secara eksplisit oleh peraturan
perundang-undangan, kewenangan Advokat Magang untuk mendampingi klien di
tingkat penyidikan bersifat derivatif, terbatas, dan harus selalu berada
di bawah supervisi langsung Advokat Pendamping. Praktik pendampingan mandiri oleh Advokat Magang berisiko menimbulkan
cacat formil yang dapat merugikan kepentingan hukum klien.
Mendefinisikan Subjek dan Tindakan Hukum
Untuk menganalisis permasalahan ini secara mendalam, perlu dipetakan
terlebih dahulu kerangka regulasi yang relevan yang mendefinisikan subjek
hukum yang terlibat (Advokat dan Advokat Magang) serta tindakan hukum yang
dilakukan (pendampingan di tingkat penyidikan).
KUHAP merupakan landasan utama (lex specialis) bagi seluruh proses
peradilan pidana di Indonesia. Hak seorang tersangka untuk didampingi
penasihat hukum diatur secara tegas dalam beberapa pasalnya.
Pasal 54 KUHAP menyatakan:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan
pada setiap tingkatan pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.”
Hak ini diperkuat lebih lanjut dalam Pasal 69 KUHAP, yang memberikan
akses bagi penasihat hukum untuk berhubungan langsung dengan kliennya sejak
awal proses hukum. Pasal tersebut berbunyi:
“Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau
ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.”
Istilah kunci yang secara konsisten digunakan oleh KUHAP untuk merujuk pada
figur pendamping hukum adalah “penasihat hukum”. Namun, KUHAP sendiri tidak
memberikan definisi yang terperinci mengenai siapa yang dimaksud dengan
“penasihat hukum” tersebut.
Definisi dan Status Advokat menurut UU Advokat
Kekosongan definisi “penasihat hukum” dalam KUHAP diisi oleh UU Advokat,
yang merupakan lex specialis bagi profesi hukum di Indonesia.
Pasal 1 Angka 1 UU tentang Advokat mendefinisikan Advokat
sebagai:
“...orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini.”
Definisi ini memberikan kualifikasi yang jelas bahwa subjek yang berwenang
memberikan jasa hukum adalah “Advokat”. Status Advokat kemudian ditegaskan
dalam Pasal 5 ayat (1) UU tentang Advokat yang menyatakan bahwa
Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri. Dengan
demikian, secara logis dan sistematis, figur “penasihat hukum” yang dimaksud
dalam KUHAP adalah “Advokat” sebagaimana didefinisikan dalam UU Advokat.
Advokat Magang: Sosok Tanpa Definisi dalam Undang-Undang
Di sinilah letak inti permasalahan. UU tentang Advokat, meskipun mewajibkan
magang sebagai salah satu syarat untuk menjadi Advokat, tidak memberikan
definisi yuridis bagi subjek yang sedang menjalani proses tersebut.
Pasal 3 ayat (1) huruf g UU tentang Advokat hanya menyatakan
bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi Advokat adalah
“magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor
Advokat”. Penjelasan atas pasal ini hanya menyebutkan bahwa magang dimaksudkan agar
calon advokat memiliki pengalaman praktis.
Kekosongan hukum ini kemudian diisi oleh peraturan organisasi profesi,
yaitu
Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat, yang selanjutnya disebut dengan “Peraturan PERADI 1/2015”. Peraturan
inilah yang secara teknis mengatur pelaksanaan magang, termasuk
mendefinisikan istilah “Calon Advokat” dan “Advokat Pendamping”.
Dari pemetaan ini, muncul sebuah potensi benturan norma (conflict of norms). KUHAP, sebagai undang-undang, mensyaratkan kehadiran “penasihat hukum”.
UU tentang Advokat, juga sebagai undang-undang, secara implisit
mendefinisikan “penasihat hukum” sebagai “Advokat” yang telah memenuhi
serangkaian kualifikasi formal, termasuk telah bersumpah di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi.
Sementara itu, figur “Advokat Magang” diciptakan dan diatur kewenangannya
hanya oleh Peraturan PERADI, yang secara hierarki berada di bawah
undang-undang. Konsekuensinya, secara yuridis-formal, seorang penyidik
kepolisian dapat mengajukan argumentasi hukum yang kuat untuk menolak
kehadiran seorang Advokat Magang yang datang mendampingi klien seorang diri,
dengan alasan bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi kualifikasi sebagai
“penasihat hukum” sebagaimana dimaksud oleh KUHAP juncto UU Advokat.
Ini merupakan risiko hukum yang nyata dan dapat merugikan hak konstitusional
tersangka.
Kewenangan Advokat Magang di Tingkat Penyidikan
Kewenangan Advokat Magang dalam praktik pendampingan di tingkat penyidikan
harus dianalisis melalui tiga aspek krusial: batasan pendampingan di bawah
supervisi, keabsahan penandatanganan BAP, dan kedudukannya dalam sistem
peradilan pidana.
Satu-satunya norma yang secara eksplisit mengatur batasan kewenangan
Advokat Magang adalah Pasal 7 Peraturan PERADI 1/2015, yang
menyatakan:
“Calon Advokat tidak dibenarkan memberikan jasa hukum secara langsung
kepada klien, hanya diperbolehkan untuk mendampingi dan atau membantu
advokat pendamping dalam memberikan jasa hukum.”
Ketentuan ini mengandung dua frasa kunci yang bersifat limitative yaitu
“mendampingi” dan “membantu”.
1.
Membantu Advokat Pendamping
Frasa ini menyiratkan peran yang bersifat suportif dan berada di belakang
layar, seperti melakukan riset hukum, mempersiapkan draf dokumen, atau
membuat catatan selama proses pemeriksaan berlangsung.
2.
Mendampingi Advokat Pendamping
Frasa ini dapat ditafsirkan sebagai kehadiran fisik bersama dengan Advokat
Pendamping saat memberikan jasa hukum kepada klien.
Larangan “memberikan jasa hukum secara langsung” menjadi titik kritis.
Kehadiran seorang Advokat Magang di ruang pemeriksaan seorang diri, tanpa
didampingi oleh Advokat Pendamping, secara substantif dapat dikategorikan
sebagai tindakan memberikan jasa hukum secara langsung. Pada saat itu, ia
bertindak sebagai satu-satunya representasi hukum klien dalam berhadapan
dengan penyidik, yang merupakan inti dari pemberian jasa hukum. Dengan
demikian, kehadiran fisik Advokat Pendamping menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk melegitimasi peran dan tindakan Advokat Magang selama proses
penyidikan.
Larangan dalam Pasal 7 Peraturan PERADI 1/2015 ini sejatinya merupakan
sebuah mekanisme perlindungan ganda. Di satu sisi, ia melindungi klien dari
potensi kerugian akibat nasihat hukum yang belum teruji dari seorang
personel yang belum terkualifikasi secara penuh. Di sisi lain, ia melindungi
Advokat Magang itu sendiri dari tanggung jawab profesional dan hukum yang
berat, seperti gugatan malapraktik, yang belum siap mereka emban. Dengan
mewajibkan adanya supervisi, tanggung jawab hukum dan etis secara final akan
selalu berada di pundak Advokat Pendamping, yang menjamin adanya kontrol
kualitas dan akuntabilitas.
Penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (BAP): Kajian Formalitas dan Keabsahan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah dokumen otentik yang berisi catatan
resmi mengenai keterangan seorang saksi atau tersangka dalam proses
penyidikan. Penandatanganan BAP oleh pihak yang diperiksa dan penyidik
adalah elemen esensial. Kehadiran dan penandatanganan oleh penasihat hukum
pada BAP berfungsi sebagai bukti pengawasan terhadap jalannya pemeriksaan
dan untuk memastikan hak-hak klien tidak dilanggar, meskipun bukan merupakan
syarat sahnya BAP itu sendiri.
Status hukum tanda tangan seorang Advokat Magang pada BAP menjadi sangat
ambigu dan bergantung pada konteksnya:
1.
Apabila Advokat Magang turut menandatangani BAP bersama-sama dengan Advokat
Pendamping, tanda tangannya dapat diterima sebagai bagian dari konfirmasi
kehadiran tim kuasa hukum;
2.
Tindakan ini sangat rentan untuk dipermasalahkan secara hukum. Pihak lawan,
misalnya dalam gugatan praperadilan, dapat berargumen bahwa proses
pendampingan dilakukan oleh subjek yang tidak memiliki kualifikasi formil
sebagai penasihat hukum. Hal ini berpotensi mendelegitimasi proses
pemeriksaan dan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak tersangka
untuk didampingi oleh penasihat hukum yang sah.
Kedudukan Advokat Magang dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam integrated criminal justice system, Advokat memiliki kedudukan
yang setara dengan penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, dan Hakim).
Sebaliknya, Advokat Magang tidak memiliki status tersebut. Kedudukan mereka
adalah sebagai peserta pelatihan (trainee) atau asisten profesional
yang berada dalam lingkup tanggung jawab dan pengawasan penuh dari Advokat
Pendamping. Setiap tindakan hukum yang mereka lakukan, selama berada dalam
koridor kewenangannya, secara hukum dianggap sebagai tindakan yang dilakukan
atas nama dan untuk tanggung jawab Advokat Pendampingnya.
Advokat Magang sebagai Saksi dalam Praperadilan
Salah satu isu turunan yang kompleks adalah ketika seorang Advokat Magang
yang pernah mendampingi klien di tingkat penyidikan dipanggil untuk menjadi
saksi dalam sidang praperadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai
kewajiban menjaga rahasia klien dan hak ingkar.
Hak Ingkar (Verschoningsplicht) dan Kewajiban Menjaga Rahasia
Klien
Prinsip kerahasiaan hubungan advokat-klien adalah salah satu pilar utama
profesi advokat. Pasal 19 UU Advokat secara tegas menyatakan:
“Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh
dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang.”
Kewajiban ini, yang juga ditegaskan dalam Kode Etik Advokat Indonesia
(KEAI), melahirkan hak ingkar (verschoningsplicht), yaitu hak seorang
profesional untuk menolak memberikan kesaksian di muka pengadilan mengenai
hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena profesi atau jabatannya.
Dalam konteks praperadilan yang mempersoalkan sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penyitaan, keterangan mengenai apa yang sebenarnya terjadi
selama proses pemeriksaan di tingkat penyidikan menjadi sangat relevan.
Advokat Magang yang hadir pada saat itu memiliki pengetahuan langsung dan
berpotensi dipanggil sebagai saksi, baik oleh pihak pemohon (kliennya)
maupun termohon (penyidik).
Meskipun Advokat Magang secara formal belum berstatus sebagai “Advokat”,
kewajiban kerahasiaan profesi seharusnya tetap melekat padanya. Hal ini
karena informasi yang ia peroleh didapatkan dalam rangka “membantu” dan
“mendampingi” Advokat Pendamping dalam menjalankan hubungan profesionalnya
dengan klien. Kewajiban kerahasiaan ini melekat pada informasi itu sendiri
dan konteks perolehannya, bukan semata-mata pada status formal penyandang
jabatan. Memaksa seorang Advokat Magang untuk bersaksi mengenai substansi
pembicaraan atau peristiwa yang ia ketahui karena perannya dalam
pendampingan, pada hakikatnya adalah melanggar esensi dari kerahasiaan
hubungan advokat-klien.
Kewajiban menjaga rahasia profesi bagi Advokat Magang dapat dipandang
bersifat accessorium, yaitu kewajiban yang melekat dan mengikuti
kewajiban utama yang dimiliki oleh Advokat Pendamping sebagai prinsipalnya.
Hubungan hukum utama terjalin antara klien dengan kantor advokat (yang
diwakili oleh Advokat Pendamping). Advokat Magang bertindak sebagai agen
atau instrumen dalam pelaksanaan hubungan hukum tersebut. Berdasarkan
prinsip hukum keagenan, seorang agen terikat oleh kewajiban yang sama dengan
prinsipalnya terkait kerahasiaan.
Konsekuensi logisnya, jika kewajiban kerahasiaan melekat pada Advokat
Magang, maka hak untuk menolak membuka rahasia tersebut (hak ingkar) juga
harus dapat dieksekusi olehnya. Menolak hak ingkar Advokat Magang akan
menciptakan sebuah celah hukum yang berbahaya, yang memungkinkan rahasia
klien dibocorkan melalui “pintu belakang”, dan hal ini jelas bertentangan
dengan semangat perlindungan hukum yang terkandung dalam Pasal 19 UU
Advokat.
Mencari Kepastian Hukum dari Putusan Pengadilan
Meskipun belum terdapat yurisprudensi yang secara spesifik membahas
pendampingan oleh Advokat Magang dalam perkara pidana, terdapat putusan
pengadilan di ranah perdata yang memberikan petunjuk signifikan mengenai
bagaimana pengadilan memandang kualifikasi Advokat Magang.
Dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 534 K/Ag/2015, tertanggal
28 Juli 2015, Mahkamah Agung memberikan kaidah hukum yang sangat fundamental terkait
kualifikasi formal seorang advokat untuk dapat beracara di pengadilan.
Perkara ini, meskipun berada dalam ranah hukum perdata agama, berpusat pada
sebuah eksepsi mengenai keabsahan kuasa hukum yang belum pernah disumpah di
sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sebagaimana diwajibkan oleh
Pasal 4 ayat (1) UU tentang Advokat.
Dalam kasus tersebut, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Semarang menolak
eksepsi tersebut dengan merujuk pada yurisprudensi lain (Putusan Mahkamah Agung Nomor 397 K/Ag/2012) yang memperbolehkan calon advokat pemegang izin sementara (figur yang
sepadan dengan advokat magang) untuk diikutsertakan dalam surat kuasa
asalkan didampingi oleh advokat pendamping. Namun, Mahkamah Agung secara
tegas membatalkan putusan PTA Semarang tersebut dengan pertimbangan hukum
yang sangat rasional dan relevan untuk dianalogikan dalam konteks ini.
Ratio decidendi
(alasan hukum yang mendasari putusan) dari putusan Mahkamah Agung ini adalah
sebagai berikut:
1.
Mahkamah Agung menegaskan bahwa kewajiban seorang advokat untuk bersumpah
di Pengadilan Tinggi adalah aturan yang mengikat dan tidak dapat
dikesampingkan. Ketiadaan sumpah ini mengakibatkan seorang advokat tidak
memiliki ius standi atau kualifikasi hukum untuk mewakili kepentingan
klien di persidangan.
2.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa argumen PTA Semarang yang menggunakan
yurisprudensi tentang advokat magang adalah keliru dan tidak tepat.
Yurisprudensi tersebut hanya berlaku untuk subjek hukum “calon advokat
pemegang izin sementara” yang statusnya jelas-jelas sedang magang dan berada
di bawah supervisi. Sementara dalam perkara a quo, kuasa hukum yang
dipermasalahkan adalah seorang yang mengaku sebagai “Advokat” dari sebuah
organisasi advokat, bukan seorang magang. Dengan demikian, standar
kualifikasi yang diterapkan haruslah standar penuh seorang Advokat, yaitu
telah disumpah oleh Pengadilan Tinggi.
Elaborasi dari putusan ini memberikan dua implikasi penting bagi kedudukan
Advokat Magang. Pertama, putusan ini menunjukkan betapa ketatnya Mahkamah
Agung dalam menafsirkan syarat-syarat formil seorang penasihat hukum. Jika
seorang yang telah diangkat oleh organisasi advokat pun dianggap tidak
berkualifikasi hanya karena belum melalui prosesi sumpah di Pengadilan
Tinggi, maka secara a contrario (penalaran sebaliknya), seorang
Advokat Magang yang kualifikasinya jelas berada di bawahnya, sudah pasti
tidak dapat dibenarkan untuk bertindak secara mandiri.
Kedua, dengan menolak relevansi yurisprudensi tentang advokat magang,
Mahkamah Agung secara tidak langsung memperkuat batasan bahwa kewenangan
seorang magang hanya ada dalam konteks “diikutsertakan” dan “didampingi”,
bukan sebagai pembenaran untuk bertindak sendiri atau untuk melegitimasi
figur lain yang belum memenuhi syarat formil. Prinsip ini, meskipun lahir
dari sengketa perdata, bersifat universal dan sangat logis untuk diterapkan
secara lebih ketat dalam ranah hukum pidana, di mana hak asasi yang paling
fundamental, yaitu kemerdekaan seseorang, menjadi taruhannya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan analisis normatif terhadap KUHAP, UU Advokat, Peraturan PERADI
1/2015, serta telaah terhadap yurisprudensi yang relevan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Seorang Advokat Magang diperbolehkan untuk turut serta dalam proses
pendampingan klien pada tingkat penyidikan perkara pidana. Namun, kewenangan
ini tidak bersifat mandiri dan dibatasi secara ketat oleh dua syarat
kumulatif:
1.
Peran Advokat Magang terbatas pada “membantu” dan “mendampingi” Advokat
Pendamping. Peran ini tidak mencakup tindakan hukum yang bersifat substantif
dan mandiri, seperti memberikan nasihat hukum langsung kepada klien saat
pemeriksaan, mengajukan keberatan hukum kepada penyidik, atau membuat
keputusan strategis terkait pembelaan;
2.
Pelaksanaan peran tersebut wajib dilakukan di bawah supervisi dan kehadiran
fisik langsung dari seorang Advokat Pendamping. Tindakan mandiri yang
dilakukan oleh Advokat Magang, termasuk hadir seorang diri dalam pemeriksaan
atau menandatangani BAP tanpa disertai tanda tangan Advokat Pendamping,
berisiko tinggi untuk dianggap sebagai cacat formil dan tidak memenuhi
kualifikasi sebagai “penasihat hukum” yang sah menurut hukum.
Mengingat adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam peraturan
setingkat undang-undang dan demi terwujudnya kepastian hukum yang melindungi
hak tersangka serta memberikan pedoman yang jelas bagi para calon advokat,
maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut (de lege ferenda):
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu mempertimbangkan untuk
melakukan revisi terbatas terhadap UU Advokat atau menerbitkan Peraturan
Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU Advokat. Pengaturan tersebut
hendaknya secara eksplisit mendefinisikan status hukum, ruang lingkup
kewenangan, hak, kewajiban, serta batasan-batasan yang tegas bagi Advokat
Magang dalam sistem peradilan pidana. Langkah ini krusial untuk menutup
celah hukum yang ada, menyelaraskan kebutuhan praktik dengan kerangka hukum
formil, dan pada akhirnya memperkuat jaminan hak atas pembelaan yang adil
bagi setiap warga negara.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.