layananhukum

Jenis-Jenis Kasus Merek yang Sering Terjadi dan Wajib Diwaspadai

 

    Pengantar

    Dalam ekosistem perdagangan global yang dinamis, merek bukan lagi sekadar tanda pengenal; ia telah bertransformasi menjadi aset intelektual dan komersial yang paling berharga bagi suatu subjek hukum bisnis.

    Merek merepresentasikan reputasi, jaminan kualitas, dan nilai ekonomi yang terakumulasi dari waktu ke waktu, berfungsi sebagai jembatan komunikasi esensial antara produsen dan konsumen.

    Perlindungan hukum yang kuat terhadap aset ini menjadi imperatif untuk menjaga iklim persaingan usaha yang sehat, melindungi konsumen dari produk tiruan, serta mendorong inovasi dan pertumbuhan industri, termasuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).  

    Di Indonesia, payung hukum utama yang memberikan perlindungan terhadap merek adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang selanjutnya disebut dengan “UU MIG”. Regulasi ini, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, merupakan lex specialis yang mengatur secara komprehensif mengenai hak dan kewajiban pemilik merek, prosedur pendaftaran, hingga mekanisme penyelesaian sengketa.

    UU MIG ini pun telah mengalami beberapa penyesuaian melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya, yang menunjukkan adaptasi hukum terhadap perkembangan ekonomi dan teknologi.  

    Meskipun kerangka hukum telah tersedia, sengketa merek di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Kasus-kasus yang melibatkan merek-merek ternama hingga UMKM kerap menghiasi ruang pengadilan, menyoroti kompleksitas dan tingginya risiko hukum yang dihadapi para pelaku usaha. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap jenis-jenis sengketa merek—meliputi aspek perdata, pidana, dan tata usaha negara—bukan lagi sekadar pengetahuan teoretis, melainkan sebuah keharusan strategis.

    Artikel ini akan membedah setiap jalur penyelesaian sengketa tersebut secara komprehensif, diperkaya dengan analisis yurisprudensi terkini, untuk memberikan panduan bagi para pelaku usaha dalam memitigasi risiko dan menegakkan hak kekayaan intelektualnya secara efektif.

    Membedah Pelanggaran Merek: Definisi Yuridis dan Konsep Kunci

    Untuk dapat memahami seluk-beluk sengketa merek, pertama-tama perlu dipahami definisi yuridis dan konsep-konsep fundamental yang menjadi landasan setiap klaim pelanggaran.

    Menurut Pasal 1 Angka 1 UU MIG, Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Definisi modern ini menunjukkan cakupan perlindungan yang luas, tidak hanya terbatas pada tanda-tanda konvensional.


    Perlindungan hukum atas merek diperoleh melalui pendaftaran pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Indonesia menganut sistem konstitutif (first-to-file system), di mana hak atas merek dianggap lahir pada saat merek tersebut didaftarkan, bukan pada saat pertama kali digunakan. Pendaftaran ini melahirkan apa yang disebut “Hak atas Merek”, yaitu hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu (10 tahun dan dapat diperpanjang) dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya (lisensi).  

    Konsep Pelanggaran Inti: “Persamaan pada Pokoknya atau Keseluruhannya”

    Jantung dari mayoritas sengketa pelanggaran merek terletak pada interpretasi frasa “persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”. Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG memberikan panduan bahwa yang dimaksud dengan “persamaan pada pokoknya” adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur, maupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam Merek tersebut.  

    Pada praktiknya, penilaian ini tidak bersifat matematis, melainkan bersifat holistik dan psikologis, dengan mempertimbangkan bagaimana seorang konsumen rata-rata akan mempersepsikan kedua merek tersebut. Apakah kemiripan yang ada berpotensi menimbulkan kebingungan (likelihood of confusion) mengenai asal-usul barang atau jasa? Faktor-faktor seperti kemiripan visual (logo, warna), fonetik (bunyi ucapan), dan konseptual (makna yang ditimbulkan) menjadi pertimbangan utama hakim.

    Subjektivitas dalam penilaian ini sering kali menjadi sumber utama litigasi, di mana perbedaan-perbedaan minor pada sebuah merek belum tentu cukup untuk menghindarkannya dari gugatan pelanggaran. Sebagai contoh, dalam sengketa antara MS Glow dan PS Glow, kemiripan fonetik dan struktur akronim menjadi salah satu dasar gugatan, yang menunjukkan betapa krusialnya interpretasi konsep ini.  

    Elemen Krusial: “Itikad Tidak Baik” (Bad Faith)

    Sistem first-to-file yang dianut Indonesia memberikan kepastian hukum bagi pendaftar pertama. Namun, untuk mencegah penyalahgunaan sistem ini, UU MIG memperkenalkan doktrin “itikad tidak baik” (bad faith) sebagai katup pengaman keadilan. Pasal 21 ayat (3) UU MIG secara tegas menyatakan bahwa permohonan pendaftaran merek harus ditolak jika diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.  

    “Itikad tidak baik” tidak didefinisikan secara eksplisit dalam undang-undang, namun yurisprudensi dan doktrin hukum telah membentuk pemahaman yang solid. Secara umum, itikad tidak baik diartikan sebagai niat yang tidak jujur untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.


    Riwayat hubungan bisnis antara para pihak sebelum pendaftaran merek menjadi sangat relevan dalam menentukan ada atau tidaknya itikad tidak baik. Kasus fenomenal “Geprek Bensu” menjadi preseden penting di mana Mahkamah Agung membatalkan pendaftaran merek milik Ruben Onsu karena dianggap didaftarkan dengan itikad tidak baik, mengingat statusnya yang sebelumnya merupakan duta merek dari “I Am Geprek Bensu” milik PT Ayam Geprek Benny Sujono. Hal ini menunjukkan bahwa pengadilan tidak hanya melihat formalitas pendaftaran, tetapi juga substansi dan kejujuran di balik pendaftaran tersebut.  

    Tiga Pilar Penyelesaian Sengketa Merek di Indonesia

    Ketika terjadi pelanggaran hak atas merek, pemilik merek yang sah memiliki tiga jalur hukum utama untuk menegakkan haknya. Setiap jalur memiliki karakteristik, tujuan, dan konsekuensi yang berbeda, sehingga pemilihannya harus didasarkan pada strategi dan tujuan yang ingin dicapai.

    Jalur Perdata: Gugatan di Pengadilan Niaga

    Jalur perdata merupakan mekanisme yang paling umum digunakan untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan dan pelanggaran hak merek. Kewenangan absolut untuk mengadili sengketa ini berada di tangan Pengadilan Niaga, sebuah pengadilan khusus yang dirancang untuk menangani perkara bisnis dengan cepat dan efisien.  

    Dasar Hukum dan Jenis Gugatan

    1.       Gugatan Pelanggaran Merek (vide Pasal 83 UU MIG)

    Ini adalah gugatan utama yang diajukan oleh pemilik merek terdaftar atau penerima lisensi terhadap pihak lain yang tanpa hak menggunakan merek dengan persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya. Tuntutan yang dapat diajukan adalah gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut;

    2.       Gugatan Pembatalan Merek (vide Pasal 76 UU MIG)

    Gugatan ini dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan (misalnya, pemilik merek yang lebih dulu ada namun tidak terdaftar, atau pemilik merek terkenal) untuk membatalkan pendaftaran merek pihak lain. Alasannya adalah karena merek yang digugat tersebut seharusnya tidak dapat didaftar atau harus ditolak berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21 UU MIG, termasuk karena adanya persamaan atau pendaftaran dengan itikad tidak baik;

    3.       Gugatan Penghapusan Merek (vide Pasal 74 UU MIG)

    Pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan penghapusan pendaftaran suatu merek dengan alasan merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir (non-use); 

    4.       Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (vide Pasal 1365 KUHPerdata)

    Sebelum adanya UU Merek yang komprehensif, gugatan sering didasarkan pada perbuatan melawan hukum (PMH). Namun, saat ini jalur tersebut dianggap kurang efektif karena prosesnya yang lebih panjang di pengadilan negeri biasa dan beban pembuktian yang lebih kompleks dibandingkan dengan gugatan yang spesifik berdasarkan UU MIG.  

    Proses beracara di Pengadilan Niaga diatur secara khusus untuk menjamin kecepatan, di mana putusan harus dijatuhkan paling lama 90 hari. Upaya hukum yang tersedia hanyalah kasasi langsung ke Mahkamah Agung, dan dalam kondisi tertentu, dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).

    Studi Kasus Kunci

    -        Sengketa “Geprek Bensu”: Asas First-to-File vs. Itikad Tidak Baik

    Sengketa antara PT Ayam Geprek Benny Sujono (“I Am Geprek Bensu”) melawan Ruben Onsu (“Geprek Bensu”) adalah contoh klasik pertarungan antara pendaftar pertama dengan pihak yang mengklaim hak berdasarkan popularitas dan itikad tidak baik. Meskipun Ruben Onsu mendaftarkan beberapa varian merek “Bensu”, Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) yang telah berkekuatan hukum tetap, membatalkan merek-merek milik Ruben Onsu. Ratio decidendi (pertimbangan hukum) utama hakim adalah bahwa PT Ayam Geprek Benny Sujono adalah pendaftar pertama yang sah untuk merek yang mengandung unsur “Bensu”. Lebih krusial lagi, pendaftaran yang dilakukan oleh Ruben Onsu dinilai dilandasi itikad tidak baik, karena ia sebelumnya menjabat sebagai duta merek (brand ambassador) untuk “I Am Geprek Bensu”. Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa asas first-to-file tidak bersifat absolut dan dapat dikoreksi oleh doktrin itikad tidak baik;

    -        Sengketa “MS Glow vs. PS Glow”: Interpretasi “Persamaan pada Pokoknya” dan Ganti Rugi Fantastis

    Kasus ini menyoroti bagaimana pengadilan menerapkan konsep “persamaan pada pokoknya”. Dalam Putusan PN Niaga Surabaya No. 2/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN.Niaga.Sby, majelis hakim mengabulkan gugatan PT Pstore Glow Bersinar Indonesia (PS Glow) terhadap PT Kosmetika Cantik Indonesia (MS Glow). Hakim berpendapat bahwa merek “MS Glow” memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek “PS Glow” yang terdaftar lebih dahulu untuk kelas barang yang sama (kosmetik). Kemiripan bunyi dan struktur akronim dianggap berpotensi mengecoh konsumen. Putusan ini menjadi fenomenal karena menghukum MS Glow untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 37,9 miliar kepada PS Glow. Kasus ini juga menunjukkan adanya disparitas putusan, di mana Pengadilan Niaga Medan dalam perkara lain justru memenangkan MS Glow, yang menciptakan ketidakpastian hukum hingga akhirnya diselesaikan di tingkat kasasi;

    -        Sengketa “IKEA”: Prinsip “Gunakan atau Hilangkan” (Use It or Lose It)

    Dalam Putusan MA No. 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015, Mahkamah Agung menolak kasasi dari Inter IKEA System B.V. dan menguatkan putusan Pengadilan Niaga yang menghapuskan pendaftaran merek “IKEA” untuk kelas barang 20 dan 21 (furnitur dan perabot rumah tangga). Gugatan penghapusan diajukan oleh perusahaan lokal, PT Ratania Khatulistiwa, dengan dalil bahwa IKEA tidak menggunakan mereknya di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut untuk kelas barang tersebut. Kasus ini menjadi preseden kuat bahwa bahkan merek terkenal global sekalipun tidak kebal dari ketentuan non-use. Pemilik merek memiliki kewajiban untuk secara aktif menggunakan mereknya dalam kegiatan perdagangan untuk setiap kelas barang yang didaftarkan, jika tidak, mereka berisiko kehilangan hak eksklusifnya.

    Jalur Pidana: Sanksi Tegas bagi Pelaku Pelanggaran

    Selain upaya perdata, UU MIG juga menyediakan instrumen hukum pidana untuk memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggaran merek, khususnya pemalsuan dan peredaran barang palsu.

    Ketentuan Pidana Utama

    1.        Pasal 100 UU MIG

    Pasal ini adalah delik utama dalam pelanggaran merek.

    -         Ayat (1) menargetkan pelaku yang dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya (pemalsuan identik atau produk “KW Super”) dengan merek terdaftar, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar;

    -         Ayat (2) menargetkan pelaku yang menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya (peniruan) dengan merek terdaftar, dengan sanksi yang sedikit lebih ringan, yaitu pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar.  

    1. Pasal 102 UU MIG

    Pasal ini dirancang untuk menjerat pihak-pihak dalam rantai distribusi. Setiap orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana pelanggaran merek dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta. Ini berarti, tidak hanya produsen, tetapi juga distributor, grosir, dan pengecer barang palsu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.  

    Sifat Delik Aduan

    Satu aspek krusial dari penegakan hukum pidana merek di Indonesia adalah sifatnya sebagai delik aduan (complaint-based offense), sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU MIG. Ini berarti, proses hukum pidana hanya dapat dimulai apabila ada pengaduan resmi dari pihak yang dirugikan, yaitu pemilik merek terdaftar atau penerima lisensi. Tanpa adanya aduan, aparat penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan secara proaktif. Implikasinya, beban untuk melakukan investigasi awal, mengumpulkan bukti, dan melaporkan pelanggaran berada di pundak pemilik merek. Hal ini menuntut pemilik merek untuk aktif memantau pasar dan mengambil tindakan hukum jika menemukan adanya pemalsuan.  


    Studi Kasus: Pemalsuan Pelumas “Yamalube”

    Sebagai ilustrasi konkret, Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 86/Pid.B/2023/PN Smg., tertanggal 13 April 2023, merepresentasikan lebih dari sekadar catatan penegakan hukum terhadap seorang pengecer pelumas palsu. Putusan ini berfungsi sebagai studi kasus empiris yang krusial, memberikan gambaran mendalam mengenai penerapan praktis UU MIG dalam membongkar sebuah jaringan pemalsuan yang terstruktur.

    Kasus ini, yang melibatkan pemalsuan pelumas dengan merek terdaftar “YAMALUBE” (Nomor Pendaftaran IDM000235273) milik Yamaha Hatsudoki Kabushiki Kaisha, menyoroti efektivitas sinergi antara investigasi proaktif oleh pemilik merek melalui kuasa hukumnya, SKC Law, dengan proses peradilan pidana yang sistematis.  

    Nilai utama dari putusan ini tidak hanya terletak pada amar putusannya, tetapi pada kemampuannya untuk membedah secara rinci modus operandi para pelaku, dari hulu (produsen) hingga hilir (pengecer). Lebih jauh, putusan ini mengilustrasikan bagaimana konstruksi dakwaan yang tepat, didukung oleh serangkaian alat bukti yang saling menguatkan—mulai dari bukti fisik, keterangan saksi, hingga analisis forensik—dapat secara efektif membuktikan unsur-unsur pidana yang kompleks. Dengan demikian, kasus ini menawarkan wawasan strategis yang berharga bagi pemilik merek, praktisi hukum, dan aparat penegak hukum dalam merumuskan pendekatan yang lebih efektif untuk memberantas pelanggaran hak kekayaan intelektual di Indonesia.

    Terdakwa dalam perkara ini, Ali Mahmudi, hanyalah satu mata rantai di bagian hilir dari sebuah operasi yang lebih besar. Memetakan struktur jaringan ini esensial untuk memahami konteks perbuatan terdakwa dan ketepatan dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum. Berdasarkan keterangan para saksi di persidangan, struktur jaringan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

    -        Produsen/Otak Intelektual: Djiwa Kusuma Agung, yang juga dikenal dengan alias Agung atau Anton, merupakan pusat dari operasi ini. Ia tidak hanya mengelola proses produksi pelumas palsu di tiga lokasi berbeda di Semarang, tetapi juga bertanggung jawab atas pengadaan bahan baku, pembelian mesin-mesin produksi, perekrutan karyawan, dan pengaturan skema distribusi. Perannya sebagai otak intelektual menempatkannya di puncak hierarki jaringan kriminal ini;

    -        Pekerja Produksi: Saksi Nur Majit adalah salah satu karyawan yang bekerja di bawah arahan Anton. Kesaksiannya memberikan gambaran detail mengenai proses produksi ilegal, mulai dari pengisian oli curah ke dalam botol-botol bekas, pemasangan segel dan tutup palsu, hingga proses pengemasan akhir. Perannya adalah sebagai eksekutor teknis dalam proses manufaktur;

    -        Kurir/Logistik: Saksi Tri Widodo, alias Junet atau Dodo, berperan penting dalam rantai distribusi. Ia bertugas mengantarkan produk jadi dari gudang produksi ke berbagai tujuan, termasuk pengiriman langsung ke toko milik Terdakwa Ali Mahmudi di Demak, serta ke perusahaan ekspedisi untuk didistribusikan ke luar pulau seperti Pontianak;

    -        Pengecer/Terdakwa: Ali Mahmudi, pemilik “Toko Ali Motor” atau “Berkah Oli/Pelumas,” berada di ujung rantai distribusi. Ia secara rutin membeli pelumas Yamalube palsu dari Anton untuk kemudian dijual kembali kepada konsumen akhir. Aktivitas penjualannya dilakukan baik melalui toko fisiknya di Demak maupun secara daring melalui akun Facebook bernama “gudang oli”.  

    Struktur dan alur kerja jaringan ini menunjukkan pembagian peran yang sistematis. Di puncak, Djiwa Kusuma Agung alias Anton bertindak sebagai produsen dan otak intelektual yang mengelola tiga lokasi produksi, membeli bahan baku serta mesin, merekrut karyawan, hingga mengatur penjualan dan distribusi; dalam perkara ini, ia berstatus sebagai saksi namun menjadi terdakwa dalam berkas terpisah.

    Di level operasional produksi, Nur Majit berperan sebagai pekerja yang melakukan tugas-tugas teknis seperti mengisi oli ke botol bekas, memasang segel dan tutup, melakukan pengemasan, hingga mengawasi tempat kerja; ia dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan Ali Mahmudi. Rantai distribusi kemudian dipegang oleh Tri Widodo alias Junet atau Dodo, yang bertugas sebagai kurir logistik. Ia mengantarkan produk jadi ke berbagai tujuan, termasuk secara langsung kepada pengecer seperti Ali Mahmudi dan ke jasa ekspedisi untuk pengiriman antarpulau, dan ia pun berstatus sebagai saksi. Pada ujung rantai, Ali Mahmudi bertindak sebagai pengecer (reseller) yang membeli pelumas palsu dari Anton untuk dijual kembali melalui toko fisiknya dan platform online Facebook, menempatkannya sebagai terdakwa dalam Putusan No. 86/Pid.B/2023/PN Smg.


    Jaringan yang dipimpin oleh Anton menjalankan model bisnis ilegal yang terbilang canggih dan berskala industri, bukan sekadar operasi rumahan yang serampangan. Analisis terhadap modus operandi mereka menunjukkan adanya perencanaan, investasi modal, dan strategi bisnis yang matang.

    Konstruksi Dakwaan: Membedah Pasal 102 vs. Pasal 100 UU MIG

    Ketepatan dalam merumuskan surat dakwaan merupakan kunci keberhasilan penuntutan dalam perkara pidana. Dalam kasus Ali Mahmudi, Penuntut Umum menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap UU MIG dengan tidak mendakwanya sebagai produsen, melainkan sebagai pedagang. Terdakwa didakwa melanggar Pasal 102 UU MIG, yang berbunyi:

    “Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

    Pasal ini secara spesifik menargetkan para pelaku di rantai distribusi—pengecer, distributor, atau pedagang perantara—yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya memperdagangkan produk hasil pelanggaran merek. Tindak pidana yang menjadi rujukan dalam pasal ini adalah yang diatur dalam Pasal 100 ayat (2) UU MIG, yaitu

    “menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan”.  

    Pilihan strategis untuk menggunakan Pasal 102, bukan Pasal 100, sangatlah tepat. Untuk membuktikan pelanggaran Pasal 100, jaksa harus menunjukkan keterlibatan langsung terdakwa dalam proses produksi atau setidaknya persekongkolan untuk memproduksi. Hal ini akan menjadi beban pembuktian yang lebih berat.

    Sebaliknya, dengan Pasal 102, fokus pembuktian beralih pada elemen mens rea (sikap batin) terdakwa sebagai seorang pedagang: apakah ia “mengetahui atau patut diduga mengetahui” bahwa barang yang ia perdagangkan adalah palsu. Standar “patut diduga” ini memberikan ruang bagi jaksa untuk menggunakan bukti-bukti keadaan (circumstantial evidence), seperti disparitas harga yang ekstrem, untuk membangun argumen bahwa setiap pedagang yang wajar dan beritikad baik seharusnya menaruh curiga terhadap legalitas produk tersebut. Strategi penuntutan ini terbukti sangat efektif dalam menjerat pelaku di level hilir dan merupakan contoh penerapan hukum yang presisi untuk memutus mata rantai distribusi barang palsu.

    Kekuatan Sinergis Alat Bukti: Dari Investigasi Swasta hingga Forensik

    Keberhasilan penuntutan dalam kasus ini tidak bergantung pada satu alat bukti tunggal, melainkan pada sinergi dari berbagai jenis bukti yang secara kolektif membangun sebuah narasi kejahatan yang koheren dan tak terbantahkan.

    1.        Bukti Permulaan (Investigasi Swasta): Proses hukum ini diawali oleh inisiatif pemilik merek. Tim investigator dari kantor hukum SKC Law melakukan investigasi lapangan yang berujung pada sebuah test purchase (pembelian uji coba) di toko milik Ali Mahmudi pada 29 September 2022. Mereka membeli satu karton oli Yamalube seharga Rp 750.000. Hasil pembelian ini menjadi bukti permulaan yang konkret, yang tidak hanya mengonfirmasi penjualan produk palsu oleh terdakwa tetapi juga menjadi pemicu untuk laporan polisi dan investigasi lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.  

    2.       Bukti Dokumen (Legalitas Merek): Untuk membuktikan adanya hak yang dilanggar, Penuntut Umum menghadirkan bukti berupa salinan Sertifikat Merek Nomor IDM000235273 atas nama Yamaha Hatsudoki Kabushiki Kaisha. Dokumen ini secara sah menetapkan bahwa Yamaha adalah satu-satunya pihak yang berhak menggunakan merek “YAMALUBE” untuk produk pelumas di Indonesia, sehingga penggunaan merek tersebut oleh pihak lain tanpa izin merupakan perbuatan melawan hukum.  

    3.      Bukti Fisik (Perbandingan Produk): Di persidangan, dihadirkan sampel produk pelumas Yamalube asli sebagai pembanding dengan produk palsu yang disita dari toko terdakwa. Tim investigator memaparkan perbedaan-perbedaan kasat mata, antara lain kualitas bahan kemasan yang lebih rendah, logo pada tutup botol yang tidak memiliki ciri spesifik seperti produk asli, serta kualitas cetakan label yang berbeda. Perbandingan fisik ini memberikan visualisasi yang jelas kepada Majelis Hakim mengenai tindakan pemalsuan yang telah terjadi.  

    4.       Bukti Forensik (Validasi Ilmiah): Puncak dari proses pembuktian material adalah hasil pemeriksaan dari laboratorium forensik. Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No. Lab: 3030/KKF/2022 tanggal 28 Desember 2022 menyimpulkan secara tegas bahwa sampel oli yang disita dari terdakwa “Tidak Identik” dengan sampel oli Yamalube asli. Bukti ilmiah ini bersifat final dan objektif, menghilangkan segala keraguan mengenai keaslian produk dan secara efektif mementahkan potensi pembelaan bahwa produk tersebut mungkin asli tetapi berasal dari sumber yang tidak resmi. Bukti ini menjadi “paku terakhir” yang mengunci fakta bahwa barang yang diperdagangkan terdakwa adalah benar-benar palsu.  

    Unsur Pidana: Pembuktian “Mengetahui atau Patut Menduga”

    Fokus utama dari pertimbangan hukum Majelis Hakim (ratio decidendi) dalam menyatakan Terdakwa Ali Mahmudi bersalah adalah terpenuhinya unsur kunci dalam Pasal 102 UU MIG: “mengetahui atau patut diduga mengetahui”. Hakim tidak mendasarkan putusannya pada pengakuan terdakwa semata, melainkan pada analisis objektif terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

    Majelis Hakim menyimpulkan bahwa Ali Mahmudi setidaknya telah memenuhi standar “patut menduga”. Landasan utama dari kesimpulan ini adalah disparitas harga yang sangat signifikan. Terdakwa membeli produk dengan harga Rp 580.000 per karton, sementara harga pasar resmi untuk produk yang sama adalah sekitar Rp 900.000 per karton. Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa selisih harga yang mencapai lebih dari 35% ini seharusnya menjadi “lonceng peringatan” (red flag) yang sangat jelas bagi setiap pedagang yang menjalankan bisnisnya dengan wajar dan beritikad baik. Pembelaan terdakwa yang menyatakan ia tidak tahu bahwa oli tersebut palsu dan bahkan menggunakannya untuk motor pribadinya menjadi tidak relevan.


    Putusan ini secara implisit menerapkan doktrin hukum willful blindness (kebutaan yang disengaja), di mana seseorang tidak dapat berlindung di balik ketidaktahuan jika ia sengaja menghindari fakta-fakta yang seharusnya menimbulkan kecurigaan. Dengan kata lain, pengadilan menetapkan sebuah standar kewajiban uji tuntas (due diligence) bagi para pedagang. Mereka tidak bisa begitu saja menerima produk dari sumber yang tidak jelas dengan harga yang tidak masuk akal tanpa menanggung risiko hukum.

    Putusan ini mengirimkan pesan yang kuat kepada seluruh pelaku usaha di rantai distribusi yaitu ketidaktahuan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesengajaan untuk tidak mencari tahu bukanlah pembelaan yang sah di mata hukum. Ini merupakan preseden penting yang memperkuat perlindungan merek dengan membebankan tanggung jawab verifikasi yang wajar kepada para pengecer.

    Dialektika Faktor Memberatkan dan Meringankan: Menuju Hukuman Percobaan

    Dalam menjatuhkan pidana, Majelis Hakim melakukan penyeimbangan yang cermat antara faktor-faktor yang memberatkan dan yang meringankan. Proses ini menunjukkan penerapan prinsip proporsionalitas dalam pemidanaan, di mana hukuman disesuaikan tidak hanya dengan jenis kejahatannya, tetapi juga dengan tingkat kesalahan dan peran pelaku dalam tindak pidana tersebut.

    Faktor Memberatkan: Hakim hanya menemukan satu faktor yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa telah merugikan konsumen, khususnya para pemilik kendaraan bermotor roda dua yang menggunakan produk palsu tersebut. Kerugian ini tidak hanya bersifat materiil tetapi juga dapat membahayakan keselamatan karena penggunaan pelumas di bawah standar dapat merusak mesin kendaraan.  

    Faktor Meringankan: Di sisi lain, hakim mengidentifikasi beberapa faktor yang meringankan, antara lain:  

    1.        Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya;

    2.       Terdakwa bersikap sopan selama persidangan;

    3.      Terdakwa mengakui kesalahannya dan menyatakan penyesalan;

    4.       Skala keterlibatan terdakwa relatif kecil. Hakim secara spesifik mencatat bahwa terdakwa hanya mampu menjual sekitar 3 hingga 4 karton pelumas palsu per bulan, dengan keuntungan yang sangat minim, yaitu sekitar Rp 4.000 per botol.

    Pencantuman detail mengenai keuntungan yang kecil ini sangatlah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa hakim secara sadar membedakan peran dan tingkat kesalahan Ali Mahmudi sebagai pengecer skala kecil dengan Anton sebagai produsen yang meraup keuntungan puluhan juta rupiah per bulan. Dengan mempertimbangkan skala ekonomi perbuatan terdakwa, hakim menerapkan prinsip keadilan yang tidak menyamaratakan hukuman bagi semua pelaku, melainkan menyesuaikannyadengan kontribusi dan keuntungan masing-masing dari tindak pidana tersebut.

    Keadilan Restoratif sebagai Pertimbangan Utama: Dampak Pencabutan Laporan

    Aspek yang paling menonjol dan progresif dari putusan ini adalah bobot signifikan yang diberikan hakim pada pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang diinisiasi oleh korban, yaitu Yamaha. Dalam pertimbangannya, hakim secara eksplisit menyebutkan dua tindakan penting dari pihak Yamaha melalui kuasa hukumnya :  

    1.        Pencabutan Laporan: Pihak Yamaha secara resmi mencabut laporannya di kepolisian terhadap Terdakwa Ali Mahmudi.

    2.       Penawaran Pembinaan: Yamaha menyatakan telah dan akan melakukan “pembinaan” kepada terdakwa, dengan tujuan agar Ali Mahmudi dapat beralih menjadi penjual resmi produk-produk Yamalube yang asli di bengkelnya.

    Tindakan ini menunjukkan sebuah strategi perlindungan merek yang sangat canggih dan pragmatis. Alih-alih hanya berfokus pada penghukuman (retributive justice), Yamaha memilih untuk “mengubah” pelaku level hilir menjadi bagian dari solusi. Bagi Yamaha, strategi ini memiliki banyak keuntungan: membersihkan saluran distribusi, menambah jumlah penjual resmi, mendapatkan informasi pasar, dan menunjukkan itikad baik di mata hukum.


    Bagi pengadilan, pendekatan ini disambut baik dan menjadi salah satu pertimbangan utama yang mendorong dijatuhkannya hukuman percobaan. Hakim melihat bahwa tujuan pemidanaan—yaitu memperbaiki pelaku dan memulihkan kerugian—sebagian telah tercapai melalui inisiatif korban. Putusan ini menjadi preseden berharga yang memberikan sinyal positif kepada pemilik merek lain bahwa pengadilan menghargai upaya penyelesaian yang tidak semata-mata bersifat punitif. Ini membuka jalan bagi model penegakan hukum HKI yang lebih kolaboratif, di mana ancaman sanksi pidana digunakan sebagai daya tawar (leverage) untuk mencapai tujuan bisnis yang lebih konstruktif, yaitu memulihkan integritas pasar.

    Makna Hukuman Percobaan: Efektivitas dan Preseden

    Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan masa percobaan selama 1 (satu) tahun. Artinya, terdakwa tidak perlu menjalani hukuman penjara, kecuali jika ia melakukan tindak pidana lain dalam kurun waktu satu tahun masa percobaannya.  

    Hukuman percobaan ini merupakan jalan tengah yang cerdas dan efisien. Di satu sisi, putusan ini tetap menyatakan terdakwa “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah”, sehingga memberikan efek jera dan menegaskan bahwa memperdagangkan barang palsu adalah tindak pidana. Ancaman pidana penjara yang ditangguhkan menjadi pengingat serius bagi terdakwa untuk tidak mengulangi perbuatannya. Di sisi lain, hukuman ini mengakui peran minor terdakwa, itikad baik dari korban, serta prinsip keadilan restoratif.

    Dari perspektif sistem peradilan, putusan ini mencerminkan pendekatan yang pragmatis. Sistem peradilan tidak dibebani dengan proses pemenjaraan untuk pelaku level bawah, sehingga sumber daya penjara yang terbatas dapat difokuskan untuk pelaku kejahatan yang lebih serius, seperti produsen dan distributor besar dalam jaringan ini (Anton). Dengan demikian, hukuman percobaan dalam kasus ini bukan hanya bentuk keringanan, tetapi juga sebuah instrumen hukum yang efektif untuk mencapai keadilan yang proporsional, memberikan efek jera, dan mendorong pemulihan tanpa membebani sistem secara berlebihan.

    Jalur Tata Usaha Negara (TUN): Menguji Kebijakan Administratif DJKI

    Jalur ketiga yang seringkali luput dari perhatian adalah penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jalur ini tidak mengadili sengketa antar individu atau badan hukum swasta, melainkan menguji keabsahan tindakan atau keputusan administratif yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah.

    Kewenangan PTUN dalam Sengketa Merek

    Dalam konteks hukum merek, pejabat yang dimaksud adalah Menteri Hukum dan HAM c.q. Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). PTUN berwenang mengadili gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh DJKI yang dianggap merugikan seseorang atau badan hukum. KTUN ini harus bersifat konkret, individual, dan final.  

    Objek Sengketa Tipikal

    Objek sengketa yang paling relevan untuk diajukan ke PTUN adalah keputusan penghapusan merek terdaftar atas prakarsa Menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 dan 73 UU MIG. Menteri dapat menghapus pendaftaran merek jika, misalnya, merek tersebut bertentangan dengan ideologi negara atau memiliki persamaan dengan indikasi geografis. Pemilik merek yang merasa dirugikan oleh keputusan penghapusan ini dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk membatalkan KTUN tersebut. Ini merupakan mekanisme checks and balances yudisial terhadap kewenangan eksekutif di bidang kekayaan intelektual.

    Studi Kasus: Pembatalan Penghapusan Merek “I AM GEPREK BENSU”

    Sengketa merek “Geprek Bensu” tidak hanya bergulir di Pengadilan Niaga, tetapi juga di PTUN. Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 197/G/2020/PTUN-JKT., tertanggal , Yangcent (pemilik “I AM GEPREK BENSU”) menggugat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang menghapus beberapa pendaftaran merek miliknya atas prakarsa Menteri. Majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan batal KTUN yang dikeluarkan oleh Menteri. Hakim menilai bahwa keputusan penghapusan tersebut tidak didasarkan pada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).  

    Kasus ini mengilustrasikan strategi litigasi multi-jalur yang canggih. Sembari berjuang di Pengadilan Niaga untuk membuktikan kepemilikan hakiki atas merek, pihak “I AM GEPREK BENSU” juga menggunakan PTUN untuk melawan tindakan administratif DJKI yang merugikan mereka. Kemenangan di PTUN dapat memperkuat posisi tawar dan legalitas merek dalam sengketa perdata yang berjalan paralel.

    Memilih Arena Pertarungan: Analisis Kritis Tiga Jalur Penyelesaian Sengketa

    Memahami bahwa sengketa merek dapat diselesaikan melalui tiga jalur hukum yang berbeda—Perdata, Pidana, dan Tata Usaha Negara (TUN)—adalah langkah awal. Namun, langkah yang lebih krusial adalah memilih arena pertarungan yang tepat. Keputusan ini bersifat strategis, karena setiap jalur memiliki “lawan”, tujuan, dan konsekuensi yang secara fundamental berbeda. Ini bukan sekadar pilihan prosedur, melainkan penentuan taktik untuk mencapai hasil yang paling efektif.


    Arena Perdata di Pengadilan Niaga dapat diibaratkan sebagai medan pertempuran utama antar pelaku bisnis. Di sini, “lawan” Anda adalah kompetitor atau pihak lain yang diduga melanggar hak eksklusif merek Anda. Tujuan utamanya bersifat restoratif dan kompensatoris: menuntut ganti rugi atas kerugian finansial yang diderita, memaksa pelanggar menghentikan semua aktivitas ilegalnya, serta yang paling fundamental, menegaskan atau bahkan membatalkan status kepemilikan suatu merek. Putusan yang dihasilkan bersifat konkret terhadap para pihak, misalnya menghukum tergugat membayar sejumlah uang atau menyatakan pendaftaran mereknya batal demi hukum. Jalur ini adalah pilihan logis ketika tujuan Anda adalah memulihkan kerugian komersial dan mengoreksi persaingan pasar yang tidak sehat secara langsung.  

    Berbeda secara diametral, Arena Pidana memposisikan negara sebagai penuntut. Di sini, “lawan” Anda bukan lagi sekadar kompetitor, melainkan seorang “terdakwa” yang perbuatannya dianggap sebagai kejahatan terhadap ketertiban umum. Tujuan utamanya bukan kompensasi, melainkan punitif atau penghukuman untuk memberikan efek jera. Sanksinya berupa pidana penjara dan/atau denda yang masuk ke kas negara. Pemilik merek bertindak sebagai pelapor yang memicu bekerjanya mesin penegakan hukum. Jalur ini menjadi sangat relevan dan strategis ketika menghadapi pemalsuan skala besar yang tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga membahayakan konsumen dan merusak reputasi merek secara masif. Gugatan perdata mungkin dapat menghentikan satu pelaku, namun ancaman pidana dapat membongkar seluruh jaringan produksi dan distribusi barang palsu.  

    Terakhir, Arena Tata Usaha Negara (TUN) adalah forum yang unik di mana “lawan” Anda bukanlah pelaku usaha lain, melainkan pejabat pemerintah itu sendiri, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM c.q. DJKI. Gugatan ini tidak mempersoalkan pelanggaran oleh pihak swasta, melainkan menguji keabsahan keputusan administratif yang dikeluarkan oleh DJKI, seperti keputusan penghapusan merek atas prakarsa menteri. Tujuannya bersifat korektif: meminta pengadilan untuk membatalkan keputusan pejabat yang dianggap keliru, sewenang-wenang, atau bertentangan dengan hukum.


    Kemenangan di PTUN tidak menghasilkan ganti rugi dari kompetitor, tetapi memulihkan status hukum merek Anda yang terancam oleh tindakan administratif negara. Ini adalah mekanisme check and balance yang esensial, memastikan bahwa lembaga pemerintah yang berwenang mengatur merek juga tunduk pada supremasi hukum.

    Secara ringkas, pemetaan strategis ini menunjukkan bahwa setiap jalur memiliki peran spesifik. Jika tujuan utama adalah kompensasi finansial dan penghentian pelanggaran oleh kompetitor, jalur perdata di Pengadilan Niaga adalah pilihan yang tepat. Jika tujuannya adalah memberikan efek jera maksimal terhadap jaringan pemalsuan, jalur pidana harus ditempuh. Sementara itu, jika masalahnya bersumber dari keputusan administratif DJKI yang dianggap keliru, maka PTUN adalah satu-satunya forum yang berwenang.

    Poin Kritis dan Strategi Mitigasi bagi Pelaku Usaha

    Dari analisis berbagai jenis kasus di atas, dapat ditarik beberapa poin kritis dan strategi mitigasi yang wajib diwaspadai oleh setiap pelaku usaha:

    1.        Pendaftaran Proaktif adalah Kunci: Mengingat Indonesia menganut asas first-to-file, menunda pendaftaran merek adalah risiko yang fatal. Segera daftarkan merek Anda begitu konsep bisnis terbentuk untuk mengamankan hak eksklusif.  

    2.       Lakukan Due Diligence Menyeluruh: Sebelum mengajukan pendaftaran, lakukan penelusuran merek secara komprehensif di database DJKI dan pasar. Pastikan merek yang akan didaftarkan tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek lain yang sudah ada untuk menghindari potensi gugatan pembatalan di kemudian hari.

    3.      Prinsip “Gunakan atau Hilangkan” (Use It or Lose It): Sebagaimana ditunjukkan oleh kasus IKEA, pendaftaran saja tidak cukup. Merek harus digunakan secara aktif dan konsisten dalam kegiatan perdagangan untuk setiap kelas barang/jasa yang didaftarkan. Dokumentasikan setiap bukti penggunaan (faktur, materi promosi, dll.) sebagai persiapan jika menghadapi gugatan penghapusan.  

    4.       Monitoring Pasar dan Tindakan Cepat: Mengingat sifat delik aduan dalam hukum pidana, pemilik merek harus proaktif memantau pasar, baik online maupun offline, untuk mendeteksi adanya produk palsu atau tiruan. Jika ditemukan, segera ambil tindakan hukum dengan membuat laporan ke pihak berwenang.

    5.       Perjanjian yang Jelas dan Mengikat: Pelajaran dari kasus “Geprek Bensu” sangat jelas: dalam setiap kerjasama yang melibatkan penggunaan merek (misalnya dengan duta merek, mitra bisnis, atau franchisee), buatlah perjanjian tertulis yang secara eksplisit mengatur kepemilikan hak atas merek dan batasan penggunaannya untuk mencegah sengketa di masa depan.   

    Peneguhan Hak dan Keadilan dalam Hukum Merek

    Sengketa merek merupakan realitas yang tak terhindarkan dalam dunia bisnis. Kompleksitasnya mencakup berbagai dimensi hukum, mulai dari ranah privat antar pelaku usaha, intervensi negara melalui sanksi pidana, hingga pengawasan yudisial terhadap tindakan administrasi pemerintahan. UU MIG telah menyediakan serangkaian mekanisme yang komprehensif bagi pemilik merek untuk melindungi dan menegakkan hak-haknya.

    Pemahaman mendalam terhadap tiga pilar penyelesaian sengketa—perdata di Pengadilan Niaga, pidana melalui delik aduan, dan administratif di PTUN—adalah bekal strategis bagi setiap pelaku usaha. Setiap jalur menawarkan solusi yang berbeda, dan pilihan yang tepat bergantung pada sifat pelanggaran dan tujuan yang ingin dicapai. Yurisprudensi dari kasus-kasus besar seperti “IKEA”, “Geprek Bensu”, dan “MS Glow vs. PS Glow” memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana prinsip-prinsip hukum merek seperti first-to-file, itikad tidak baik, persamaan pada pokoknya, dan non-use diterapkan dalam praktik.


    Pada akhirnya, perlindungan merek adalah sebuah proses berkelanjutan yang dimulai dari pendaftaran proaktif, penggunaan yang konsisten, pengawasan pasar yang waspada, hingga penegakan hukum yang tegas. Sebagaimana adagium hukum menyatakan, Ubi jus ibi remedium—di mana ada hak, di sana ada pemulihannya. UU MIG menyediakan berbagai remedium tersebut. Namun, perlu diingat pula adagium Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat, bahwa beban pembuktian selalu berada di pundak pihak yang mendalilkan adanya pelanggaran. Oleh karena itu, kesiapan dalam mengumpulkan bukti dan merumuskan strategi hukum yang tepat menjadi penentu kemenangan dalam menegakkan keadilan di ranah hak kekayaan intelektual.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.