Pengantar
Dalam ekosistem bisnis modern, Merek telah bertransformasi dari sekadar
tanda pembeda menjadi salah satu aset tak berwujud (intangible asset)
yang paling vital dan bernilai. Merek tidak lagi hanya berfungsi sebagai
identitas produk, melainkan telah
menjadi representasi dari reputasi, jaminan kualitas, dan muara dari
kepercayaan konsumen yang memiliki nilai ekonomi signifikan.
Seiring dengan meningkatnya nilai strategis Merek, mekanisme
komersialisasinya pun berkembang pesat. Salah satu instrumen
yuridis-ekonomis yang paling fundamental dalam optimalisasi nilai Merek
adalah lisensi.
Lisensi Merek merupakan sebuah instrumen strategis yang memungkinkan
pemilik Merek (Pemberi Lisensi atau Licensor) untuk melakukan
ekspansi pasar dan memperoleh keuntungan ekonomi berkelanjutan tanpa harus
menanggung beban investasi dan risiko operasional secara langsung.
Kerangka hukum yang melandasi setiap perjanjian lisensi di Indonesia
berakar pada prinsip-prinsip fundamental hukum perdata. Dua adagium hukum
menjadi pilar utamanya.
Pertama, adagium Pacta Sunt Servanda, yang berarti “setiap perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Prinsip ini termaktub secara eksplisit dalam
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut dengan “KUHPerdata”, yang menegaskan kekuatan mengikat dari suatu perjanjian lisensi yang
telah disepakati para pihak.
Kedua, Asas Itikad Baik (Good Faith atau Goede Trouw), yang
berasal dari tradisi hukum Romawi (Bonafides), menjiwai pelaksanaan
setiap perjanjian. Asas ini menuntut agar para pihak melaksanakan hak
dan kewajibannya dengan mengindahkan norma kepatutan dan kejujuran, sebuah
prinsip yang menjadi faktor krusial dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana
akan dijabarkan lebih lanjut dalam artikel ini.
Arsitektur hukum yang secara spesifik mengatur lisensi Merek di Indonesia
dibangun di atas fondasi regulasi yang komprehensif, mencakup:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU Merek”;
2.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2018 tentang
Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual, yang selanjutnya disebut dengan “PP 36/2018”.
Pemahaman terhadap kerangka hukum lisensi Merek di Indonesia meniscayakan
pengenalan atas dualisme fundamental yang ada di dalamnya. Terdapat aspek
substantif yang diatur dalam UU Merek, yang mendefinisikan hakikat,
hak, kewajiban, dan isi dari perjanjian lisensi itu sendiri.
Di sisi lain, terdapat aspek prosedural-administratif yang diatur
secara rinci dalam PP 36/2018, yang menitikberatkan pada kewajiban pencatatan perjanjian untuk
memberikan akibat hukum terhadap pihak ketiga. Kegagalan dalam memahami dan
mematuhi kedua aspek ini merupakan sumber risiko hukum yang signifikan.
Sebuah perjanjian lisensi yang sah secara substantif karena telah memenuhi
syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, namun tidak dicatatkan sesuai amanat PP 36/2018, akan memiliki kekuatan hukum yang lemah secara eksternal. Perjanjian
tersebut memang mengikat para pihak yang membuatnya (inter partes),
tetapi tidak dapat sepenuhnya ditegakkan terhadap pihak ketiga (erga omnes) yang mungkin memiliki klaim atau kepentingan, misalnya dalam kasus
kepailitan penerima lisensi.
Definisi dan Hakikat Yuridis Lisensi Merek
Untuk memahami secara utuh mekanisme lisensi Merek, esensial untuk terlebih
dahulu membedah definisi normatifnya.
Pasal 1 Angka 19 UU Merek menyatakan bahwa:
“Lisensi adalah
izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada
pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis sesuai peraturan
perundang-undangan untuk menggunakan Merek terdaftar.”
Dari definisi tersebut, dapat diidentifikasi beberapa unsur yuridis kunci
yang membentuk hakikat lisensi Merek:
1.
“Izin”: Kata “izin” menegaskan bahwa lisensi pada hakikatnya adalah sebuah
perbuatan hukum dari pemilik Merek yang memberikan hak (bukan kewajiban)
kepada pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, yaitu
menggunakan Merek. Kepemilikan hak atas Merek tidak beralih;
2.
“Pemilik Merek terdaftar”: Unsur ini merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non). Hanya
Merek yang telah melalui proses pendaftaran di Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI) dan telah diterbitkan sertifikatnya yang dapat menjadi
objek lisensi yang sah. Merek yang belum terdaftar tidak memiliki landasan
hukum untuk dilisensikan;
3.
“Perjanjian secara tertulis”: Definisi ini menggarisbawahi adanya syarat formalitas (formality requirement). Perjanjian lisensi Merek harus dituangkan dalam bentuk tertulis dan
tidak dapat dilakukan secara lisan untuk dapat memiliki kekuatan hukum yang
sempurna.
Penting untuk melakukan distingsi yang tegas antara Lisensi dengan
Pengalihan Hak atas Merek. Lisensi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 42 UU Merek, hanya memberikan hak pakai (ius utendi) yang terbatas, baik dari
segi waktu, wilayah, maupun jenis barang dan/atau jasa. Kepemilikan Merek
secara penuh tetap berada pada Pemberi Lisensi.
Sebaliknya, Pengalihan Hak, yang diatur dalam
Pasal 41 UU Merek, merupakan
perbuatan hukum yang memindahkan kepemilikan Merek secara permanen kepada
pihak lain melalui mekanisme seperti pewarisan, hibah, atau perjanjian
jual beli. Akibat dari pengalihan hak,
pemilik semula kehilangan seluruh hak eksklusifnya atas Merek tersebut.
Meskipun diatur secara khusus dalam UU Merek,
perjanjian lisensi sebagai suatu bentuk perikatan tetap tunduk pada rezim
hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Hal ini berarti, selain harus memenuhi ketentuan spesifik dalam UU Merek
dan PP 36/2018, sebuah
perjanjian lisensi juga wajib memenuhi empat syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Objek Lisensi: Ruang Lingkup dan Batasan Barang dan/atau Jasa
Salah satu aspek paling strategis dalam negosiasi perjanjian lisensi adalah
penentuan ruang lingkup atau objek lisensi.
Pasal 42 ayat (1) UU Merek memberikan fleksibilitas yang luas
bagi para pihak dengan menyatakan bahwa pemilik Merek terdaftar dapat
memberikan Lisensi kepada pihak lain untuk
“menggunakan Merek tersebut baik sebagian maupun seluruh jenis barang
dan/atau jasa”. Ketentuan ini membuka peluang komersial yang signifikan, memungkinkan
pemilik Merek untuk menyusun strategi lisensi yang berlapis sesuai dengan
target pasar dan model bisnis yang diinginkan.
Namun, fleksibilitas ini tidaklah tanpa batas. Ruang lingkup lisensi secara
inheren dibatasi oleh cakupan perlindungan Merek itu sendiri, yaitu kelas
barang dan/atau jasa di mana Merek tersebut telah terdaftar dan disetujui
oleh DJKI. Seorang pemilik Merek yang mendaftarkan Mereknya hanya untuk
kelas 25 (pakaian) tidak dapat secara sah melisensikan Merek tersebut untuk
digunakan pada produk di kelas 30 (kopi dan teh). Setiap upaya untuk
melisensikan di luar cakupan pendaftaran akan menjadi batal demi hukum
karena objek perjanjiannya tidak memenuhi syarat “suatu hal tertentu”.
Lebih jauh, terdapat batasan implisit yang bersumber dari ketentuan
mengenai Merek yang tidak dapat didaftar.
Pasal 20 UU Merek melarang pendaftaran Merek yang, antara
lain, bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan,
moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Sekalipun sebuah Merek yang mengandung unsur terlarang ini lolos dari
proses pemeriksaan dan berhasil didaftarkan, perjanjian lisensi atas Merek
tersebut berpotensi besar untuk batal demi hukum. Hal ini karena
tujuan dari perjanjian tersebut dapat dianggap tidak memenuhi syarat
“suatu sebab yang halal” (causa yang halal), salah satu dari empat pilar keabsahan perjanjian menurut Pasal 1320
KUHPerdata.
Ketentuan yang mengizinkan lisensi atas “sebagian” barang atau jasa
menciptakan peluang strategis yang dikenal sebagai “segmentasi lisensi”. Sebagai contoh, pemilik Merek “ELEGANZA” yang terdaftar untuk kelas 18
(tas kulit) dan kelas 25 (sepatu) dapat melisensikan hak produksi tas kepada
Perusahaan A dan hak produksi sepatu kepada Perusahaan B. Strategi ini dapat
memaksimalkan penetrasi pasar. Namun, di sisi lain, ia juga melahirkan
risiko.
Tanpa penyusunan klausul perjanjian yang sangat presisi dan cermat,
potensi tumpang tindih dan sengketa antar-penerima lisensi menjadi sangat
tinggi.
Misalnya,
apakah Perusahaan A boleh menjual produknya melalui saluran distribusi
daring, yang berpotensi mengkanibalisasi pasar Perusahaan B?
Semakin terperinci segmentasi lisensi yang dilakukan, semakin kompleks dan
krusial peranan draf perjanjian dalam mendefinisikan batasan produk, saluran
distribusi, dan target pasar untuk setiap lisensi yang diberikan.
Anatomi Perjanjian Lisensi Merek yang Sah Menurut Hukum
Sebuah perjanjian lisensi Merek yang kokoh secara hukum harus dibangun di
atas dua fondasi yaitu
pemenuhan syarat fundamental keabsahan perjanjian secara umum dan
pencantuman muatan wajib yang disyaratkan secara khusus oleh peraturan
perundang-undangan.
Syarat Fundamental Keabsahan Perjanjian
Sebagaimana telah disinggung, setiap perjanjian lisensi Merek harus tunduk
pada empat syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: Harus ada pertemuan kehendak yang bebas antara Pemberi dan Penerima
Lisensi, tanpa adanya unsur paksaan (dwang), kekhilafan
(dwaling), atau penipuan (bedrog);
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan: Para pihak, baik individu maupun badan hukum yang diwakili oleh
pengurusnya yang sah, harus memiliki kewenangan hukum untuk bertindak dan
mengikatkan diri dalam perjanjian;
3.
Suatu hal tertentu: Objek perjanjian harus jelas, yaitu Merek spesifik yang dilisensikan
(dengan menyebutkan nomor pendaftarannya) serta ruang lingkup penggunaan
yang terdefinisi dengan baik;
4.
Suatu sebab yang halal: Tujuan dari dibuatnya perjanjian lisensi tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Muatan Wajib dalam Perjanjian Lisensi
Di samping syarat umum di atas, PP 36/2018 secara imperatif
menetapkan klausul-klausul minimum yang wajib termuat dalam naskah
perjanjian lisensi. Pasal 7 PP 36/2018 berfungsi sebagai
daftar periksa (checklist) bagi para pihak untuk memastikan kepatuhan
regulasi.
Muatan Wajib Perjanjian Lisensi Merek (berdasarkan Pasal 7 PP
36/2018)
Klausul Wajib |
Deskripsi dan Implikasi Hukum |
Tanggal, bulan, tahun, dan tempat penandatanganan |
Menentukan momen lahirnya perikatan dan dapat menjadi acuan dalam
penentuan hukum yang berlaku (choice of law) atau forum
penyelesaian sengketa (choice of forum). |
Nama dan alamat para pihak |
Mengidentifikasi subjek hukum yang terikat oleh perjanjian secara
jelas dan tidak ambigu untuk kepastian hukum. |
Objek perjanjian lisensi |
Wajib menyebutkan secara spesifik Merek yang dilisensikan, termasuk
nomor pendaftaran dan kelas barang/jasa, untuk menghindari sengketa
ruang lingkup. |
Ketentuan lisensi (eksklusif/non-eksklusif, sublisensi) |
Mendefinisikan tingkat hak yang diberikan. Lisensi eksklusif
melarang Pemberi Lisensi untuk melisensikan kepada pihak lain atau
menggunakan sendiri Merek tersebut di wilayah yang sama. Lisensi
non-eksklusif memberikan kebebasan bagi Pemberi Lisensi untuk
melakukan hal tersebut. Klausul sublisensi mengatur apakah Penerima
Lisensi boleh melisensikan kembali haknya kepada pihak ketiga. |
Jangka waktu perjanjian |
Menentukan durasi berlakunya lisensi. Tanpa klausul ini, perjanjian
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai kapan hak dan
kewajiban para pihak berakhir. |
Wilayah berlaku perjanjian |
Membatasi area geografis operasional Penerima Lisensi (misalnya,
“hanya untuk peredaran di wilayah Republik Indonesia” atau “khusus
di Provinsi Bali”). |
Pihak yang melakukan pembayaran biaya tahunan untuk Paten |
Meskipun secara redaksional menyebut Paten, prinsip alokasi biaya
pemeliharaan Kekayaan Intelektual ini relevan dan sebaiknya
diterapkan juga untuk Merek, misalnya dengan mengatur siapa yang
bertanggung jawab atas biaya perpanjangan perlindungan Merek setiap
10 tahun. |
Klausul Larangan (Prohibited Clauses)
Hukum Indonesia tidak memberikan kebebasan berkontrak yang absolut dalam
perjanjian lisensi. Pasal 6 PP 36/2018 secara tegas menetapkan
batasan-batasan dengan melarang pencantuman klausul-klausul tertentu.
Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang:
1.
Dapat merugikan perekonomian Indonesia dan kepentingan nasional
Indonesia;
2.
Memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam
melakukan pengalihan, penguasaan, dan pengembangan teknologi;
3.
Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat;
4.
Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai
agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Keberadaan klausul larangan ini menunjukkan sebuah pergeseran paradigma.
Perjanjian lisensi Merek tidak lagi dipandang murni sebagai urusan privat
antara dua entitas bisnis. Negara, melalui DJKI, memposisikan diri sebagai
“penjaga gerbang” (gatekeeper) yang memastikan bahwa praktik
komersialisasi kekayaan intelektual sejalan dengan kebijakan ekonomi
nasional yang lebih luas dan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Ini berarti, dalam proses pemeriksaan permohonan pencatatan,
DJKI tidak hanya berperan sebagai pencatat administratif pasif, tetapi
juga memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian substantif terhadap
dampak ekonomi dan sosial dari perjanjian tersebut. Konsekuensinya, para pihak, terutama entitas asing yang melisensikan
Merek atau teknologinya ke Indonesia, harus merancang klausul perjanjian
dengan sangat hati-hati agar tidak melanggar batasan-batasan kebijakan
publik ini.
Prosedur Pencatatan Perjanjian Lisensi pada DJKI
Salah satu elemen terpenting dalam administrasi hukum lisensi Merek di
Indonesia adalah kewajiban pencatatan. Perjanjian lisensi yang telah
ditandatangani oleh para pihak wajib diajukan permohonan pencatatannya
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui DJKI. Tujuan utama dari
pencatatan ini adalah agar perjanjian tersebut memiliki akibat hukum tidak
hanya kepada para pihak, tetapi juga kepada pihak ketiga.
Prosedur pencatatan perjanjian lisensi Merek dapat diuraikan dalam
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Pengajuan Permohonan: Permohonan diajukan secara daring (online) melalui sistem
elektronik DJKI pada laman resmi https://merek.dgip.go.id/;
2.
Kelengkapan Dokumen Persyaratan: Pemohon wajib mengunggah dokumen-dokumen yang disyaratkan, yang
meliputi:
-
Salinan perjanjian lisensi yang telah ditandatangani para pihak;
-
Salinan atau petikan resmi sertifikat Merek yang menjadi objek lisensi dan
masih dalam masa berlaku;
-
Surat Kuasa khusus yang ditandatangani di atas meterai, apabila permohonan
diajukan melalui Konsultan Kekayaan Intelektual;
-
Penggunaan kuasa ini bersifat wajib jika Pemberi atau Penerima Lisensi
berkedudukan tetap di luar wilayah Indonesia;
-
Bukti pembayaran biaya permohonan sesuai dengan tarif Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku.
3.
Pemeriksaan oleh DJKI: Setelah permohonan diajukan, DJKI akan melakukan dua tahap pemeriksaan.
Pertama, pemeriksaan kelengkapan dokumen. Kedua, pemeriksaan kesesuaian
substansi perjanjian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk
memastikan tidak adanya klausul terlarang sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 PP 36/2018. Apabila ditemukan kekurangan, DJKI akan memberitahukan kepada pemohon,
dan pemohon diberikan waktu paling lama 30 hari untuk melengkapi kekurangan
tersebut.
4.
Persetujuan, Pencatatan, dan Pengumuman: Apabila seluruh persyaratan telah terpenuhi dan substansi perjanjian
dinyatakan sesuai, Menteri (melalui DJKI) akan menerbitkan surat pencatatan
perjanjian lisensi dalam jangka waktu paling lambat 2 hari kerja.
Selanjutnya, perjanjian tersebut akan dicatat dalam daftar umum lisensi dan
diumumkan kepada publik melalui Berita Resmi Merek.
Dialektika Hak dan Kewajiban Para Pihak
Perjanjian lisensi melahirkan hubungan hukum timbal balik yang di dalamnya
terkandung serangkaian hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Keseimbangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban ini menjadi kunci
keberhasilan hubungan lisensi.
Hak dan Kewajiban Pemberi Lisensi (Licensor)
-
Hak-Hak Pemberi Lisensi:
-
Menerima pembayaran royalti atau imbalan lain dari Penerima Lisensi
sesuai dengan jumlah dan jadwal yang disepakati;
-
Melakukan pengawasan dan kontrol kualitas (quality control)
terhadap barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan oleh
Penerima Lisensi menggunakan Merek yang dilisensikan, untuk menjaga
reputasi Merek;
-
Tetap menggunakan sendiri Merek tersebut atau melisensikannya kepada
pihak lain, kecuali apabila perjanjian lisensi yang disepakati bersifat
eksklusif.
-
Kewajiban-Kewajiban Pemberi Lisensi:
a.
Memberikan izin dan menjamin bahwa Penerima Lisensi dapat menggunakan Merek
tersebut secara aman dan tanpa gangguan dari pihak ketiga selama jangka
waktu perjanjian;
b.
Menjamin bahwa ia adalah pemilik sah dan satu-satunya yang berhak atas
Merek yang dilisensikan;
c.
Menjaga agar pendaftaran Mereknya tetap berlaku selama jangka waktu
lisensi, termasuk dengan melakukan perpanjangan perlindungan Merek secara
tepat waktu.
Hak dan Kewajiban Penerima Lisensi (Licensee)
-
Hak-Hak Penerima Lisensi:
a.
Menggunakan Merek yang dilisensikan untuk kegiatan komersial sesuai dengan
ruang lingkup yang telah diperjanjikan, mencakup jenis barang/jasa, wilayah,
dan jangka waktu;
b.
Mendapatkan perlindungan hukum dalam menggunakan Merek tersebut dari klaim
pihak ketiga, yang harus dijamin oleh Pemberi Lisensi.
-
Kewajiban-Kewajiban Penerima Lisensi:
a.
Membayar royalti atau imbalan lainnya kepada Pemberi Lisensi secara penuh
dan tepat waktu;
b.
Menjaga kualitas barang dan/atau jasa yang menggunakan Merek tersebut
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Pemberi Lisensi;
c.
Tidak menggunakan Merek di luar ruang lingkup yang telah disepakati dalam
perjanjian;
d.
Menjunjung tinggi asas itikad baik dengan tidak melakukan tindakan-tindakan
yang dapat merugikan citra Merek atau kepentingan Pemberi Lisensi, termasuk
dan terutama tidak mendaftarkan Merek yang identik atau memiliki persamaan
pada pokoknya.
Aspek Finansial dan Perpajakan: Mekanisme Pembayaran Royalti
Royalti merupakan jantung dari aspek finansial dalam sebuah perjanjian
lisensi. Secara definitif, royalti adalah imbalan yang dibayarkan atas
pemanfaatan hak ekonomi dari suatu kekayaan intelektual, dalam hal ini
Merek, yang diterima oleh pemiliknya. Mekanisme perhitungannya sangat
bervariasi dan bergantung sepenuhnya pada kesepakatan para pihak, namun
beberapa model yang lazim digunakan antara lain:
-
Persentase dari penjualan kotor (gross sales) atau penjualan bersih
(net sales);
-
Biaya tetap (fixed fee) untuk setiap unit produk yang terjual;
-
Pembayaran sekaligus di muka (lump-sum payment);
-
Kombinasi dari model-model di atas.
Pembayaran dan penerimaan royalti memiliki implikasi perpajakan yang wajib
dipatuhi oleh para pihak di Indonesia.
1.
Pajak Penghasilan (PPh): Royalti merupakan objek PPh. Pihak yang membayarkan royalti (Penerima
Lisensi) wajib melakukan pemotongan PPh.
-
PPh Pasal 23: Apabila royalti dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri (baik badan
usaha maupun orang pribadi), maka dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan
tarif 15% dari jumlah bruto. Terdapat ketentuan khusus bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi yang menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN),
di mana tarif efektif yang berlaku menjadi 6% dari jumlah bruto;
-
PPh Pasal 26: Apabila royalti dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri, maka dikenakan
pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto, atau tarif yang
lebih rendah sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) atau Tax Treaty yang berlaku antara Indonesia dengan
negara domisili penerima royalti.
2.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pemanfaatan Merek sebagai Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud
merupakan transaksi yang terutang PPN.
-
Apabila Pemberi Lisensi adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam negeri, ia
wajib memungut PPN dengan tarif 11% atas royalti yang diterima;
-
Apabila Pemberi Lisensi berkedudukan di luar daerah pabean (luar negeri),
maka Penerima Lisensi di Indonesia wajib melakukan penyetoran sendiri PPN
yang terutang atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean.
Patologi Perjanjian Lisensi: Sengketa dan Mekanisme Penyelesaian
Meskipun dirancang untuk menciptakan hubungan bisnis yang saling
menguntungkan, perjanjian lisensi tidak luput dari potensi sengketa.
Beberapa sumber permasalahan yang lazim terjadi antara lain adalah
wanprestasi (misalnya, kegagalan membayar royalti), penggunaan Merek di luar
lingkup yang diperjanjikan, kegagalan Penerima Lisensi dalam menjaga standar
kualitas, dan yang paling fundamental, adanya tindakan yang didasari oleh
itikad tidak baik dari salah satu pihak.
Apabila sengketa timbul, para pihak dapat menempuh beberapa jalur
penyelesaian. Sesuai dengan kompetensi absolutnya, Pengadilan Niaga adalah
forum yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara di bidang Merek,
termasuk sengketa yang lahir dari perjanjian lisensi. Selain itu, para pihak
juga dapat memilih forum arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa,
dengan syarat pilihan forum tersebut telah disepakati dan dicantumkan secara
tegas dalam klausul perjanjian lisensi mereka.
Studi Kasus: Analisis Itikad Buruk Penerima Lisensi dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 106/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN Jkt.Pst, tertanggal 14 Februari 2023
Putusan ini menjadi sebuah preseden penting yang mengilustrasikan bagaimana
pengadilan menerapkan asas itikad baik dalam sengketa Merek, khususnya
ketika melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan bisnis sebelumnya.
-
Para Pihak: Gugatan diajukan oleh
PT TONG SHEN ENTERPRISE CO., LTD. (Penggugat), sebuah perusahaan dari
Taiwan, melawan PT. INTI JAYA LEMINDO (Tergugat I) dan
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Tergugat II);
-
Fakta Hukum (Feiten): Penggugat adalah pemilik sah dan pendaftar pertama Merek “G” beserta
logonya untuk produk lem/perekat di Indonesia, dengan pendaftaran yang telah
diperpanjang hingga tahun 2030 (No. Pendaftaran IDM000236218). Tergugat I,
yang memiliki hubungan bisnis dengan Penggugat, secara diam-diam dan tanpa
izin mengajukan permohonan pendaftaran Merek baru (No. Pendaftaran
IDM000901899) yang dinilai memiliki persamaan pada pokoknya dengan Merek
milik Penggugat, untuk jenis barang yang sama yaitu lem/perekat. Perlu
dicatat, hubungan hukum lisensi Penggugat adalah dengan pihak ketiga, yaitu
PT. Putra Permata Majuperkasa, bukan dengan Tergugat I;
-
Pertimbangan Hukum Hakim (Ratio Decidendi): Majelis Hakim melakukan analisis mendalam untuk membuktikan adanya itikad
tidak baik dari Tergugat I. Hakim secara tegas mengaitkan antara adanya
“persamaan pada pokoknya” dengan keberadaan itikad buruk. Dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan:
“bahwa adaya persamaan pada pokoknya erat kaitannya dengan itikad tidak
baik dalam hal persaingan tidak jujur dengan berupaya menggunakan merek
dengan meniru merek yang sudah ada sebelumnya, sehingga merek atau barang
atau jasa yang diproduksi secara pokoknya sama dan menimbulkan kesan
kepada masyarakat seolah olah barang atau jasa yang diproduksinya sama
dengan merek yang sudah ada”.
Hakim menemukan bahwa Merek yang didaftarkan Tergugat I memiliki persamaan
substansial dengan Merek Penggugat, yang mencakup :
1.
Unsur Dominan: Sama-sama memiliki unsur utama huruf “G” dengan etiket logo yang
serupa;
2.
Tampilan Visual: Memiliki tampilan yang secara keseluruhan menimbulkan kesan yang
sama;
3.
Kelas dan Jenis Barang: Didaftarkan pada kelas barang yang sama (Kelas 1) untuk jenis produk yang
identik (lem perekat). Berdasarkan “Doktrin Nearly Resembles”, Majelis Hakim
berpendapat bahwa kemiripan visual ini berpotensi besar mengecoh konsumen,
yang mungkin menganggap produk Tergugat I sebagai varian dari produk
Penggugat. Tindakan Tergugat I yang seharusnya dapat menciptakan Merek lain
tanpa harus meniru logo Penggugat—yang notabene sudah dikenalinya melalui
hubungan bisnis—dipandang sebagai puncak dari itikad buruk dan pelanggaran
terhadap asas kepatutan dan kejujuran.
-
Amar Putusan (Dictum): Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pengadilan Niaga mengabulkan gugatan
Penggugat untuk seluruhnya. Pengadilan menyatakan bahwa Tergugat I adalah
pendaftar Merek yang beritikad tidak baik dan memerintahkan Tergugat II
(DJKI) untuk membatalkan serta mencoret pendaftaran Merek milik Tergugat I
(No. IDM000901899) dari Daftar Umum Merek;
-
Implikasi Putusan: Putusan ini mengirimkan pesan yuridis yang kuat bahwa hubungan bisnis,
sekalipun tidak dalam bentuk perjanjian lisensi formal, dibangun di atas
fondasi kepercayaan (trust) dan itikad baik. Pengadilan tidak akan
memberikan toleransi terhadap tindakan suatu pihak yang menyalahgunakan
pengetahuan yang diperolehnya dari hubungan bisnis untuk mendaftarkan Merek
yang dapat merugikan mitranya dan menciptakan persaingan usaha tidak
sehat.
Proyeksi dan Rekomendasi Yuridis
Rezim hukum yang mengatur lisensi Merek di Indonesia merupakan sebuah
perpaduan yang kompleks antara asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata,
regulasi substantif yang spesifik dalam UU Merek, serta mekanisme pengawasan
administratif yang ketat melalui PP 36/2018. Dari seluruh rangkaian aturan
tersebut, asas itikad baik tampil sebagai benang merah yang mengikat dan
menjadi jiwa dari setiap interaksi para pihak, mulai dari tahap negosiasi,
pelaksanaan, hingga penyelesaian sengketa. Pencatatan perjanjian lisensi
bukan lagi sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah keharusan
yuridis untuk memperoleh perlindungan hukum yang paripurna terhadap pihak
ketiga.
Berdasarkan analisis komprehensif di atas, dapat dirumuskan beberapa
rekomendasi praktis bagi para pelaku usaha yang hendak memasuki perjanjian
lisensi Merek:
-
Bagi Pemberi Lisensi (Licensor):
1.
Lakukan uji tuntas (due diligence) yang mendalam terhadap rekam
jejak dan reputasi calon Penerima Lisensi sebelum mengikatkan diri dalam
perjanjian;
2.
Susunlah draf perjanjian lisensi dengan klausul yang sangat detail dan
presisi, terutama mengenai ruang lingkup lisensi, standar kontrol kualitas,
mekanisme pelaporan, dan hak audit;
3.
Segera setelah penandatanganan, lakukan permohonan pencatatan perjanjian
lisensi ke DJKI untuk mengamankan posisi hukum Anda terhadap pihak
ketiga.
-
Bagi Penerima Lisensi (Licensee):
1.
Pahami secara cermat setiap batasan hak yang diberikan dalam perjanjian,
termasuk batasan wilayah, waktu, dan jenis produk;
2.
Hormati hak eksklusif milik Pemberi Lisensi. Jangan pernah mencoba untuk
mendaftarkan Merek yang serupa, identik, atau melakukan modifikasi atas
Merek tanpa izin tertulis yang tegas, karena tindakan semacam itu hampir
pasti akan ditafsirkan oleh pengadilan sebagai manifestasi dari itikad
buruk.
Pada akhirnya, kepatuhan terhadap kerangka hukum lisensi yang komprehensif
ini tidak hanya berfungsi sebagai alat mitigasi risiko sengketa. Lebih dari
itu, ia merupakan fondasi esensial untuk membangun ekosistem bisnis yang
berbasis pada kepercayaan, persaingan yang sehat, inovasi yang
berkelanjutan, dan pada gilirannya, meningkatkan daya saing ekonomi secara
keseluruhan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.