layananhukum

Apa Pentingnya Pendaftaran Merek? Kalau Merek Tidak Terdaftar, Kenapa?

 

Pertanyaan

Selamat Sore Pak. Izin bertanya terkait permasalahan yang sedang saya hadapi sebagai seorang pengusaha.

Saya memiliki usaha kedai kopi dan roastery dengan nama 'Kopi Senja' yang sudah saya rintis dan bangun reputasinya selama kurang lebih dua tahun. Saya sudah berinvestasi cukup banyak untuk membangun merek ini, mulai dari desain logo, kemasan produk biji kopi yang khas, hingga promosi di media sosial.

Masalahnya, saya belum pernah mendaftarkan merek 'Kopi Senja' ini secara resmi ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sejujurnya, saya pikir itu proses yang rumit dan saya lebih fokus ke pengembangan produk dan operasional.

Baru-baru ini, saya dapat kabar ada pihak lain di kota yang berbeda yang menggunakan nama yang sangat mirip, yaitu 'Senja Kopi', untuk usaha sejenis dan bahkan logonya punya nuansa yang serupa. Tentu saya khawatir ini akan membuat pelanggan bingung dan merugikan usaha saya.

Melihat situasi ini, saya jadi bertanya-tanya, Pak. Apa sebetulnya hak hukum yang saya miliki atas merek 'Kopi Senja' ini, mengingat saya yang pertama kali menggunakan dan membesarkannya, meskipun belum terdaftar? Apa yang akan terjadi kalau ternyata pihak lain itu yang lebih dulu mendaftarkan mereknya? Apakah saya bisa kehilangan hak atas nama yang sudah saya bangun dengan susah payah ini?

Pada intinya, saya mohon pencerahannya yaitu Apa pentingnya pendaftaran merek itu? Kalau merek tidak terdaftar, kenapa? Terima Kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Dalam ekosistem perdagangan global dan digital yang hiperkompetitif, merek (brand) telah bertransformasi dari sekadar identitas menjadi salah satu aset korporasi yang paling berharga (most valuable corporate asset). Merek tidak lagi hanya berfungsi sebagai pembeda, melainkan sebagai representasi reputasi, jaminan kualitas, dan instrumen utama dalam membangun loyalitas konsumen. Ia adalah muara dari seluruh investasi, inovasi, dan strategi pemasaran yang dilakukan oleh sebuah entitas bisnis. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap aset vital ini bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis.

    Kegagalan dalam mendaftarkan merek membawa konsekuensi yuridis dan komersial yang fatal. Tanpa pendaftaran, sebuah entitas bisnis pada hakikatnya tidak memiliki “alas hak” atau dasar kepemilikan yang diakui secara formal oleh negara. Kondisi vakum hukum ini membuka pintu seluas-luasnya bagi praktik pembajakan merek (brand piracy), sengketa kepemilikan yang menguras sumber daya, kebingungan di tengah konsumen, dan pada akhirnya, hilangnya potensi komersial secara permanen.


    Pelaku usaha yang telah bersusah payah membangun citra dan reputasi dapat kehilangan hak atas nama yang telah ia besarkan dalam sekejap mata, hanya karena pihak lain lebih dahulu mendaftarkannya.

    Fondasi filosofis yang menjiwai hukum merek di Indonesia terangkum dalam sebuah adagium hukum fundamental yaitu “prior in tempore, potior in jure, yang berarti “yang pertama dalam waktu, lebih kuat dalam hak”. Adagium ini menjadi dasar bagi sistem pendaftaran merek di Indonesia yang menganut prinsip first-to-file atau sistem konstitutif.

    Melalui sistem ini, negara memberikan hak eksklusif kepada pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran merek ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), bukan kepada pihak yang pertama kali menggunakan merek tersebut dalam kegiatan perdagangan. Sistem ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum yang objektif dan terukur, di mana tanggal penerimaan permohonan menjadi penentu utama kepemilikan hak.  

    Namun, sistem first-to-file ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan kepastian hukum yang jelas. Di sisi lain, ia menciptakan kerentanan strategis bagi pelaku usaha—terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta merek asing yang belum berekspansi—yang telah membangun reputasi melalui penggunaan (use) namun lalai dalam pendaftaran (filing).

    Sebagaimana akan dianalisis lebih lanjut melalui studi kasus-kasus besar seperti Pierre Cardin dan Polo Ralph Lauren, prinsip ini dapat dimanfaatkan oleh pendaftar lokal untuk mengklaim merek-merek terkenal internasional. Hal ini menciptakan sebuah paradoks: sistem yang bertujuan menciptakan kepastian hukum justru dapat memfasilitasi persaingan usaha tidak sehat apabila tidak diimbangi dengan instrumen hukum lain yang krusial, yaitu doktrin itikad tidak baik (bad faith). Dengan demikian, pendaftaran merek bukanlah sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah tindakan preventif strategis yang mutlak diperlukan untuk mengamankan aset paling fundamental dalam dunia usaha.


    Untuk memahami secara komprehensif pentingnya pendaftaran merek, pemahaman mendalam terhadap definisi legal dan kerangka regulasi yang berlaku di Indonesia menjadi prasyarat utama. Kerangka ini tidak hanya mendefinisikan apa itu merek, tetapi juga menetapkan hierarki peraturan yang mengatur seluruh siklus hidup hak merek.

    Definisi Merek Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

    Regulasi utama yang menjadi rujukan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU MIG”. UU MIG memberikan definisi yang jelas dan terperinci mengenai terminologi-terminologi kunci dalam hukum merek.

    Sebagiamana ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU MIG menyatakan bahwa:

    “Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”  

    Definisi ini menunjukkan cakupan yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada merek tradisional (kata dan logo), tetapi juga mengakomodasi merek non-tradisional seperti bentuk tiga dimensi, suara, dan hologram, sejalan dengan perkembangan praktik bisnis modern.


    UU MIG juga secara spesifik membedakan merek berdasarkan penggunaannya pada barang atau jasa:

    1.        Pasal 1 ayat (2) UU MIG menyatakan bahwa: “Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.”  

    2.       Pasal 1 ayat (3) UU MIG menyatakan bahwa: “Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya.”  

    Definisi yang paling krusial terkait urgensi pendaftaran terdapat pada definisi Hak atas Merek. Pasal 1 ayat (5) UU MIG menyatakan bahwa:

    “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”  

    Frasa kunci dalam definisi ini adalah “diberikan oleh negara” dan “pemilik Merek yang terdaftar”. Kedua frasa ini secara tegas mengukuhkan bahwa hak eksklusif atas suatu merek di Indonesia tidak timbul secara otomatis karena penggunaan, melainkan lahir secara hukum melalui tindakan aktif pendaftaran yang disahkan oleh negara. Ini adalah inti dari sistem konstitutif yang menjadi landasan hukum merek di Indonesia.

    Regulasi Kunci Seputar Merek di Indonesia

    Perlindungan merek di Indonesia diatur dalam sebuah hierarki peraturan perundang-undangan yang saling melengkapi, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan teknis di tingkat kementerian.

    1.        Landasan hukum utama adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan terakhir disempurnakan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU MIG”. UU MIG ini menggantikan undang-undang sebelumnya (UU Nomor 15 Tahun 2001) dan memperkenalkan berbagai pembaruan, termasuk percepatan proses pendaftaran dan pengakuan terhadap merek non-tradisional;

    2.       Untuk mengatur aspek teknis dan prosedural pendaftaran, pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana. Regulasi yang paling relevan adalah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, yang selanjutnya disebut dengan “Permenkumham Pendaftaran Merek”. Peraturan ini menjabarkan secara rinci mengenai tata cara permohonan, pemeriksaan, perpanjangan, hingga pencatatan pengalihan hak.  

    Hak Eksklusif dan Syarat Perlindungan Merek

    Pendaftaran merek memberikan sebuah status hukum yang kuat bagi pemiliknya, yaitu berupa hak eksklusif. Namun, hak ini tidak dapat diperoleh untuk sembarang tanda. Sistem hukum merek menetapkan serangkaian syarat dan kriteria yang ketat untuk memastikan bahwa tanda yang didaftarkan memang layak berfungsi sebagai merek dan tidak melanggar kepentingan umum maupun hak pihak lain.

    Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (5) UU MIG, “hak eksklusif” adalah inti dari perlindungan merek. Hak ini memiliki dua dimensi utama:  

    1.       Dimensi Positif

    Hak untuk menggunakan sendiri merek tersebut dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Ini termasuk hak untuk memasang merek pada barang, kemasan, atau materi promosi;

    2.       Dimensi Negatif

    Hak untuk melarang pihak lain, tanpa persetujuannya, menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. Hak ini merupakan dasar untuk melakukan tindakan hukum, baik perdata maupun pidana, terhadap pelanggar.

    Penting untuk digarisbawahi bahwa hak eksklusif ini baru lahir secara hukum sejak tanggal merek tersebut terdaftar di DJKI. Inilah esensi dari sistem konstitutif yang diadopsi oleh Indonesia. Sistem ini berbeda dengan sistem deklaratif (first-to-use), di mana hak timbul karena pemakaian pertama. Dengan sistem konstitutif, pendaftaran bukanlah sekadar pencatatan administratif, melainkan momen lahirnya hak itu sendiri di mata hukum. Tanpa sertifikat merek sebagai bukti pendaftaran, seorang pelaku usaha tidak memiliki locus standi atau kedudukan hukum untuk mengklaim hak eksklusif dan menggugat pihak lain atas pelanggaran merek.


    Syarat dan Kriteria Merek yang Dapat Didaftar dan yang Ditolak

    UU MIG menetapkan dua lapis “gerbang filter” yang harus dilalui oleh sebuah permohonan pendaftaran merek, yaitu larangan absolut dan larangan relatif.  

    1.       Larangan Absolut (Merek yang Tidak Dapat Didaftar)

    Pasal 20 UU MIG mengatur tentang alasan-alasan absolut yang menyebabkan sebuah tanda tidak dapat didaftarkan sebagai merek. Larangan ini bersifat objektif dan bertujuan untuk melindungi kepentingan publik. Merek tidak dapat didaftar jika:

    -        Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

    -        Sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya (bersifat deskriptif). Contoh: mendaftarkan merek “Kopi Nikmat” untuk produk kopi;

    -        Memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, atau tujuan penggunaan barang dan/atau jasa;

    -        Memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;

    -        Tidak memiliki daya pembeda. Tanda yang terlalu sederhana (misalnya satu garis) atau terlalu rumit sehingga tidak dapat diingat, dianggap tidak memiliki daya pembeda;

    Merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum. Contoh: mendaftarkan kata “Restoran” sebagai merek untuk usaha rumah makan;

    Mengandung bentuk yang bersifat fungsional. Ketentuan ini, yang dipertegas dalam UU Cipta Kerja, mencegah monopoli atas bentuk produk yang memiliki fungsi teknis tertentu.  

    2.       Larangan Relatif (Merek yang Harus Ditolak)

    Pasal 21 UU MIG mengatur tentang alasan-alasan relatif, di mana permohonan harus ditolak karena berkonflik dengan hak pihak lain yang sudah ada sebelumnya. Larangan ini bersifat subjektif-relasional dan bertujuan melindungi kepentingan privat pemilik merek terdahulu. Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

    -       Merek terdaftar milik pihak lain atau yang dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

    -       Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

    -       Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu (misalnya, penggunaan merek tersebut akan mengurangi daya pembeda merek terkenal atau merusak reputasinya);

    -       Indikasi Geografis terdaftar.

    Selain itu, permohonan juga ditolak jika merek tersebut:

    -       Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

    -       Merupakan tiruan atau menyerupai nama, bendera, lambang atau simbol negara, atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

    -       Diajukan oleh pemohon yang beriktikad tidak baik.

    Kedua pasal ini merupakan benteng pertahanan utama dalam sistem pendaftaran merek. Sengketa hukum merek yang paling kompleks dan sengit, sebagaimana akan dibahas dalam analisis yurisprudensi, hampir selalu berpusat pada interpretasi Pasal 21 UU MIG.


     Konsep-konsep seperti “persamaan pada pokoknya”, kriteria “merek terkenal”, dan pembuktian “itikad tidak baikmenjadi arena pertempuran yuridis yang menentukan nasib kepemilikan sebuah merek. Kegagalan atau inkonsistensi DJKI dalam menerapkan filter ini secara cermat seringkali menjadi pemicu utama lahirnya sengketa yang harus diselesaikan di Pengadilan Niaga.

    Prosedur Pendaftaran Merek: Dari Permohonan Hingga Penerbitan Sertifikat

    Memahami alur prosedur pendaftaran merek secara detail adalah langkah krusial bagi setiap pelaku usaha. Proses ini, meskipun tampak birokratis, merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh hak eksklusif yang diakui negara. Alur ini diatur secara rinci dalam UU MIG dan Permenkumham Pendaftaran Merek.  

    Panduan Langkah-demi-Langkah

    1.       Pengajuan Permohonan (Aplikasi)

    Langkah awal adalah pengajuan permohonan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui DJKI. Berdasarkan Pasal 4 UU MIG, permohonan dapat diajukan secara elektronik (melalui laman resmi DJKI) atau non-elektronik (datang langsung). Permohonan harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen persyaratan, antara lain:  

    -        Formulir permohonan yang telah diisi lengkap;

    -        Label merek yang akan didaftarkan (dalam format digital atau fisik);

    -        Surat pernyataan kepemilikan merek yang ditandatangani pemohon;

    -        Bukti pembayaran biaya permohonan (PNBP);

    -        Surat kuasa, jika pengajuan dilakukan melalui konsultan KI.

    2.       Pemeriksaan Formalitas

    Setelah permohonan diterima, DJKI akan melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administratif (pemeriksaan formalitas). Jika terdapat kekurangan, pemohon akan diberi waktu untuk melengkapinya. Apabila semua persyaratan minimum (formulir, label merek, dan bukti bayar) terpenuhi, permohonan akan mendapatkan Tanggal Penerimaan (filing date), yang merupakan momen krusial dalam sistem first-to-file;

    3.       Pengumuman dalam Berita Resmi Merek (BRM)

    Permohonan yang telah lolos pemeriksaan formalitas akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek (BRM) yang dapat diakses publik. Sesuai Pasal 14 UU MIG, pengumuman ini berlangsung selama 2 (dua) bulan. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat atau pihak lain yang berkepentingan untuk mengetahui adanya permohonan pendaftaran merek tersebut;

    4.       Masa Oposisi (Keberatan dan Sanggahan)

    Selama periode pengumuman 2 bulan, setiap pihak dapat mengajukan keberatan (oposisi) secara tertulis kepada DJKI jika merasa bahwa merek yang dimohonkan tidak seharusnya didaftarkan, misalnya karena memiliki persamaan dengan merek miliknya. Berdasarkan Pasal 16 UU MIG, keberatan ini harus disertai alasan dan bukti yang kuat. Pihak pemohon kemudian diberikan hak untuk mengajukan sanggahan terhadap keberatan tersebut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU MIG;

    5.       Pemeriksaan Substantif

    Setelah masa pengumuman berakhir (dan setelah proses keberatan-sanggahan selesai, jika ada), permohonan akan masuk ke tahap pemeriksaan substantif. Pada tahap ini, seorang Pemeriksa Merek dari DJKI akan melakukan evaluasi mendalam untuk menentukan apakah merek tersebut dapat didaftar atau harus ditolak berdasarkan kriteria dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU MIG. Pemeriksaan ini mencakup penelusuran database merek untuk memeriksa adanya potensi persamaan dengan merek lain yang sudah terdaftar atau dimohonkan lebih dahululu;

    6.      Penerbitan Keputusan (Didaftar atau Ditolak)

    Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif, DJKI akan mengeluarkan keputusan. Jika permohonan disetujui, maka akan diterbitkan keputusan “didaftar”. Sebaliknya, jika ditemukan halangan berdasarkan Pasal 20 atau Pasal 21, akan diterbitkan keputusan “penolakan” beserta alasannya. Terhadap keputusan penolakan, pemohon dapat mengajukan permohonan banding kepada Komisi Banding Merek;

    7.       Penerbitan Sertifikat Merek

    Untuk permohonan yang keputusannya adalah “didaftar”, Menteri Hukum dan HAM akan menerbitkan Sertifikat Merek. Sesuai Pasal 25 UU MIG, sertifikat ini adalah bukti sah kepemilikan hak atas merek. Proses dari pengajuan hingga penerbitan sertifikat, jika berjalan lancar tanpa keberatan, kini dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu tahun, sebuah percepatan signifikan dibandingkan regulasi sebelumnya.  

    Jangka Waktu Perlindungan dan Perpanjangan

    -        Jangka Waktu Perlindungan: Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU MIG, merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, yang dihitung sejak Tanggal Penerimaan permohonan;

    -        Perpanjangan: Perlindungan ini dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama (10 tahun), dan dapat diperpanjang terus-menerus. Permohonan perpanjangan dapat diajukan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sebelum masa perlindungan berakhir. UU MIG juga memberikan masa tenggang (grace period), di mana permohonan perpanjangan masih dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal berakhirnya perlindungan, namun dengan pengenaan denda. Syarat utama perpanjangan adalah pemilik merek harus membuat surat pernyataan bahwa merek tersebut masih digunakan pada barang/jasa sesuai sertifikat dan barang/jasa tersebut masih diproduksi atau diperdagangkan.  

    Dinamika Sengketa Merek dalam Praktik Peradilan Indonesia

    Memahami hukum merek tidak cukup hanya dengan membaca teks undang-undang (das sollen), tetapi juga harus menyelami bagaimana hukum tersebut diinterpretasikan dan diterapkan dalam praktik peradilan (das sein). Putusan pengadilan, khususnya dari Pengadilan Niaga hingga Mahkamah Agung, memberikan pelajaran berharga mengenai dinamika, tantangan, dan evolusi penegakan hukum merek di Indonesia. Analisis terhadap beberapa kasus sengketa merek yang ikonik dapat memberikan gambaran konkret mengenai pertarungan prinsip-prinsip hukum di ruang sidang.

    Studi Kasus Mendalam

    1.       Kasus IKEA vs. PT Ratania Khatulistiwa (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015., tertanggal 12 Mei 2015)

    -        Fokus Analisis: Kasus ini menjadi preseden penting mengenai penghapusan merek terdaftar karena tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut (non-use cancellation), yang kini diatur dalam Pasal 74 UU MIG;

    -        Pertimbangan Hakim: Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan PT Ratania Khatulistiwa (perusahaan furnitur asal Surabaya) untuk menghapus pendaftaran merek “IKEA” milik Inter IKEA Systems B.V. dari Swedia untuk kelas barang 20 dan 21. Dasar utama putusan adalah bahwa merek terkenal tersebut terbukti tidak digunakan secara aktif dalam kegiatan perdagangan di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut sejak tanggal pendaftarannya;

    -        Implikasi: Putusan ini mengirimkan pesan yang kuat bahwa kepemilikan merek terdaftar bukanlah hak pasif yang abadi. Pemilik merek, sekalipun merupakan entitas global dengan merek yang sangat terkenal, memiliki kewajiban untuk secara nyata menggunakan mereknya di yurisdiksi Indonesia. Jika tidak, hak eksklusif tersebut rentan untuk dicabut melalui gugatan pihak lain yang berkepentingan. Ini menegaskan prinsip use it or lose it.

    2.       Kasus Geprek Bensu vs. I Am Geprek Bensu (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 576 K/Pdt.Sus-HKI/2020., tertanggal 20 Mei 2020)

    -       Fokus Analisis: Kasus ini adalah representasi klasik dari pertarungan antara prinsip first-to-file melawan doktrin itikad tidak baik (bad faith);  

    -       Pertimbangan Hakim: Mahkamah Agung menolak kasasi Ruben Onsu dan secara efektif memenangkan PT Ayam Geprek Benny Sujono (“I Am Geprek Bensu”) sebagai pemilik sah merek yang mengandung kata “Bensu”. Meskipun Ruben Onsu berargumen bahwa “Bensu” adalah singkatan namanya, hakim menilai bahwa pendaftaran merek-merek “Geprek Bensu” oleh Ruben Onsu dilakukan dengan itikad tidak baik. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Ruben Onsu sebelumnya adalah mitra bisnis yang mempromosikan “I Am Geprek Bensu”, kemudian mendaftarkan merek serupa untuk bisnisnya sendiri. Tindakan ini dianggap sebagai upaya mendompleng popularitas yang telah dirintis oleh pihak lain;

    -       Implikasi: Putusan ini menegaskan bahwa prinsip pendaftar pertama (first-to-file) tidaklah absolut. Prinsip ini dapat dikesampingkan apabila pendaftaran tersebut terbukti didasari oleh niat yang tidak jujur atau tidak baik. Putusan ini memberikan perlindungan penting bagi pengguna pertama (first user) yang beritikad baik terhadap manuver pendaftar belakangan yang oportunistik.

    3.       Kasus DC Comics (Superman) vs. PT Marxing Fam Makmur (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Pdt.Sus/Merek/2019/PN Niaga Jkt.Pst., tertanggal 25 November 2020)

    -        Fokus Analisis: Perlindungan merek terkenal (well-known mark) terhadap pendaftaran oleh pihak lokal yang beritikad tidak baik, bahkan untuk kelas barang yang berbeda;

    -        Pertimbangan Hakim: Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan gugatan DC Comics secara keseluruhan. Hakim menyatakan bahwa merek “SUPERMAN” milik DC Comics adalah merek terkenal di Indonesia. Oleh karena itu, pendaftaran merek “SUPERMAN” oleh PT Marxing Fam Makmur untuk produk wafer di kelas 30 dinilai dilandasi itikad tidak baik karena secara jelas meniru dan bertujuan mendompleng ketenaran dan reputasi global dari karakter dan merek milik DC Comics;

    -        Implikasi: Putusan ini mengafirmasi implementasi perlindungan lintas kelas bagi merek terkenal, sejalan dengan amanat Konvensi Paris dan Perjanjian TRIPS yang telah diratifikasi Indonesia. Ketenaran sebuah merek dapat menjadi dasar yang kuat untuk membatalkan pendaftaran merek yang identik atau serupa, meskipun digunakan untuk kategori produk yang sama sekali berbeda, untuk mencegah dilusi dan penyesatan konsumen.

    4.       Kasus Pierre Cardin (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 49 PK/Pdt.Sus-HKI/2018., tertanggal 28 Juni 2018)

    -       Fokus Analisis: Kasus ini menjadi contoh kontroversial mengenai penerapan kaku prinsip first-to-file dan daluwarsa pengajuan gugatan pembatalan;

    -       Pertimbangan Hakim: Mahkamah Agung, hingga tingkat Peninjauan Kembali, secara konsisten menolak gugatan pembatalan yang diajukan oleh Pierre Cardin dari Prancis dan memenangkan seorang pengusaha lokal, Alexander Satryo Wibowo. Pertimbangan utama hakim adalah bahwa pihak lokal telah mendaftarkan merek “Pierre Cardin” di Indonesia jauh lebih dahulu (sejak tahun 1977). Gugatan pembatalan dari pihak Prancis dianggap telah melewati batas waktu 5 tahun yang diatur dalam undang-undang merek saat itu;

    -       Implikasi: Putusan ini menuai banyak kritik karena dianggap mengabaikan status merek terkenal internasional dan unsur itikad baik. Kasus ini menjadi peringatan yang sangat keras (a stark warning) bagi pemilik merek global mengenai pentingnya pendaftaran proaktif di setiap yurisdiksi, termasuk Indonesia. Keterlambatan dalam mendaftar dapat berakibat pada hilangnya hak secara permanen, terlepas dari seberapa terkenal merek tersebut di dunia.

    5.       Kasus Polo Ralph Lauren (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 465 K/Pdt.Sus-HKI/2023., tertanggal 23 Mei 2023)

    -        Fokus Analisis: Sengketa kepemilikan merek yang sangat kompleks, melibatkan sejarah pengalihan hak, lisensi, dan klaim tumpang tindih sebagai pendaftar pertama yang sah;

    -        Pertimbangan Hakim: Sengketa merek Polo di Indonesia melibatkan berbagai pihak dan telah menghasilkan serangkaian putusan yang terkadang saling bertentangan. Namun, benang merah dari berbagai putusan tersebut adalah pertarungan pembuktian mengenai siapa pendaftar pertama yang sah dan beritikad baik di Indonesia. Hakim cenderung memenangkan pihak yang dapat menunjukkan rantai kepemilikan (chain of title) dan sejarah pendaftaran awal yang paling bersih dan sah secara hukum di Indonesia;

    -        Implikasi: Kasus Polo menyoroti krusialnya ketertiban administrasi dan dokumentasi hukum, terutama terkait perjanjian lisensi dan akta pengalihan hak atas merek. Sengketa tidak hanya dapat timbul dari pihak ketiga yang tidak berhubungan, tetapi juga sangat mungkin berasal dari mantan mitra bisnis, pemegang lisensi, atau distributor yang memanfaatkan celah dalam dokumentasi hukum.

    6.      Kasus Toyota (Lexus) vs. PT Lexus Daya Utama (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 194 K/Pdt/Sus/2011., tertanggal 20 April 2011)

    -       Fokus Analisis: Perlindungan merek terkenal terhadap potensi dilusi (brand dilution), yaitu pelemahan citra dan daya pembeda akibat penggunaan merek yang sama pada produk yang tidak sejenis;

    -       Pertimbangan Hakim: Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha menggugat PT Lexus Daya Utama yang mendaftarkan merek “Lexus” untuk produk yang tidak terkait dengan otomotif. Argumen utama Toyota adalah pendaftaran tersebut didasari itikad tidak baik untuk mengeksploitasi reputasi premium dan citra eksklusif yang telah dibangun oleh merek mobil Lexus secara global;

    -       Implikasi: Serupa dengan kasus Superman, kasus ini memperkuat doktrin perlindungan merek terkenal dari ancaman dilusi. Pengadilan mengakui bahwa kerugian bagi pemilik merek terkenal tidak hanya terjadi ketika ada persaingan langsung, tetapi juga ketika citra dan keunikan mereknya tergerus oleh penggunaan pada produk-produk lain yang mungkin memiliki kualitas atau citra yang berbeda.

    7.       Kasus Buttonscarves vs. Umamascarves (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 796 K/Pdt.Sus-HKI/2023., tertanggal 17 Juni 2023)

    -       Fokus Analisis: Pentingnya aspek formil atau prosedural dalam mengajukan gugatan sengketa merek, di samping kekuatan argumen substantif;

    -       Pertimbangan Hakim: Dalam kasus ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Niaga yang sebelumnya memenangkan Buttonscarves. Alasan pembatalan tersebut bukan karena MA tidak setuju dengan analisis “persamaan pada pokoknya”, melainkan karena alasan prosedural. Gugatan yang diajukan oleh Buttonscarves dinilai kabur (obscuur libel) karena mencampuradukkan dua dasar hukum yang berbeda dalam satu gugatan, yaitu gugatan pembatalan merek (berdasarkan Pasal 76 UU MIG) dan gugatan pelanggaran merek (berdasarkan Pasal 83 UU MIG). Kedua jenis gugatan ini memiliki syarat, tujuan, dan akibat hukum yang berbeda;

    -       Implikasi: Putusan ini menjadi pelajaran hukum acara yang sangat penting bagi para praktisi hukum. Kemenangan dalam sengketa merek tidak hanya bergantung pada pembuktian substantif (seperti kemiripan logo atau itikad tidak baik), tetapi juga sangat bergantung pada kepatuhan yang ketat terhadap hukum acara. Kesalahan dalam merumuskan surat gugatan dapat berakibat fatal, yaitu gugatan ditolak atau tidak dapat diterima karena alasan formil, terlepas dari seberapa kuat bukti substantif yang dimiliki.

    Sintesis Kritis Yurisprudensi Merek di Indonesia

    Dari serangkaian yurisprudensi tersebut, terbentang sebuah mozaik penegakan hukum merek yang dinamis dan terkadang sarat akan pertentangan dialektis antara prinsip-prinsip hukum fundamental. Di satu sisi, sistem peradilan menunjukkan kepatuhan yang rigid terhadap prinsip pendaftar pertama (first-to-file) dan daluwarsa gugatan, sebagaimana terlihat dalam kekalahan ikonik Pierre Cardin dari Prancis. Putusan ini menjadi preseden keras bahwa ketenaran global tidak serta-merta dapat menembus benteng formalitas pendaftaran dini.


    Namun, di sisi lain, Mahkamah Agung dalam kasus Geprek Bensu secara tegas menegaskan bahwa prinsip first-to-file tidaklah absolut. Doktrin itikad tidak baik (bad faith) terbukti menjadi instrumen korektif yang ampuh untuk mengalahkan pendaftar belakangan yang terbukti berniat mendompleng reputasi pihak lain, memberikan keadilan substantif bagi pengguna pertama yang jujur.

    Kekuatan doktrin perlindungan merek terkenal (well-known mark) juga mendapat afirmasi kuat dalam kasus Superman dan Lexus. Pengadilan mengakui bahwa perlindungan bagi merek-merek ini dapat melintasi batas kelas barang untuk mencegah dilusi dan eksploitasi reputasi. Namun, status sebagai merek terkenal tidak memberikan imunitas mutlak.

    Kasus IKEA menjadi pengingat tegas bahwa hak atas merek adalah hak yang aktif, bukan pasif. Kegagalan untuk menggunakan merek secara komersial di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut dapat berujung pada penghapusan pendaftaran, menegakkan prinsip use it or lose it.

    Kompleksitas sengketa merek tidak hanya terletak pada substansi. Sengketa multi-pihak seperti pada kasus Polo Ralph Lauren menyoroti betapa krusialnya pembuktian rantai kepemilikan (chain of title) yang bersih dan sah. Lebih jauh lagi, kasus Buttonscarves memberikan pelajaran hukum acara yang sangat berharga yaitu argumen substantif sekuat apa pun mengenai 'persamaan pada pokoknya' dapat dimentahkan oleh cacat formil dalam gugatan, seperti perumusan yang kabur (obscuur libel).


    Hal ini menegaskan bahwa kemenangan dalam sengketa merek adalah perpaduan antara kekuatan bukti substantif dan ketepatan strategi prosedural. Secara kolektif, putusan-putusan ini melukiskan lanskap yudisial di mana kepastian hukum formalitas pendaftaran senantiasa diuji oleh prinsip keadilan, itikad baik, dan kewajiban penggunaan, serta dibatasi oleh ketatnya hukum acara.  

    Strategi dan Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha

    Memahami kerangka hukum dan yurisprudensi adalah fondasi, namun pelaku usaha juga memerlukan strategi konkret untuk melindungi aset merek mereka. Perlindungan ini mencakup langkah-langkah preventif sebelum sengketa terjadi dan langkah-langkah reaktif ketika hak merek dilanggar.

    Membedah Konsep “Persamaan pada Pokoknya”

    Salah satu sumber sengketa merek yang paling umum adalah tuduhan adanya “persamaan pada pokoknya”. Konsep ini tidak berarti merek harus identik seluruhnya. Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG memberikan panduan untuk menilainya. Persamaan pada pokoknya dapat terjadi karena adanya kesan yang sama yang ditimbulkan oleh merek-merek tersebut, baik dari segi:

    -        Bentuk: Kemiripan visual pada logo atau elemen grafis;

    -        Cara Penempatan: Tata letak unsur-unsur merek yang mirip;

    -        Cara Penulisan: Penggunaan jenis huruf atau gaya penulisan yang serupa;

    -        Kombinasi Unsur: Gabungan antara kata dan logo yang menimbulkan kesan keseluruhan yang sama;

    -        Persamaan Bunyi Ucapan: Meskipun tulisannya berbeda, cara pengucapannya mirip sehingga dapat membingungkan konsumen (misalnya, “Cravit” dengan “Kravit”).

    Dalam praktiknya, hakim akan menilai berdasarkan persepsi konsumen rata-rata. Jika konsumen rata-rata kemungkinan besar akan bingung atau mengira kedua produk berasal dari sumber yang sama, maka unsur “persamaan pada pokoknya” dapat terpenuhi.  

    Strategi Hukum Menghadapi Merek Identik yang Sudah Terdaftar

    Ketika seorang pelaku usaha menemukan bahwa merek yang identik atau serupa dengan miliknya telah didaftarkan lebih dahulu oleh pihak lain, langkah hukum utama yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga.  

    -        Dasar Gugatan

    Gugatan ini dapat didasarkan pada alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21 UU MIG, sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) UU MIG. Pihak yang berkepentingan, misalnya pemilik merek tidak terdaftar yang telah menggunakan mereknya lebih dahulu, dapat mengajukan gugatan ini;

    -        Batas Waktu Gugatan

    menetapkan bahwa gugatan pembatalan yang didasarkan pada alasan persamaan dengan merek lain (Pasal 21) hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran merek yang digugat. Ini adalah aturan daluwarsa yang ketat, seperti yang terlihat dalam kasus Pierre Cardin;

    -        Senjata Pamungkas: Itikad Tidak Baik

    Terdapat pengecualian krusial terhadap aturan daluwarsa tersebut. Pasal 77 ayat (2) UU MIG menyatakan bahwa gugatan pembatalan pendaftaran merek dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang digugat didaftarkan dengan itikad tidak baik dan/atau bertentangan dengan ideologi negara, moralitas, dan ketertiban umum. Dalil itikad tidak baik menjadi “senjata pamungkas” yang memungkinkan pemilik merek yang sah untuk menggugat pembatalan kapan pun, selama ia dapat membuktikan bahwa pendaftar memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mendompleng ketenaran mereknya untuk menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Inilah dasar hukum yang menjadi kunci kemenangan dalam kasus Geprek Bensu dan Superman.  

    Perlindungan Hukum Preventif bagi Pelaku Usaha (Termasuk UMKM)

    Tindakan reaktif seperti gugatan pembatalan seringkali mahal dan memakan waktu. Oleh karena itu, strategi perlindungan yang paling efektif adalah tindakan preventif.

    1.        Pendaftaran Dini: Langkah paling fundamental adalah mendaftarkan merek sesegera mungkin, bahkan sebelum produk diluncurkan secara masif. Mengingat sistem first-to-file, menunda pendaftaran adalah risiko yang sangat besar;

    2.       Penelusuran Merek (Trademark Clearance): Sebelum mengajukan permohonan, lakukan penelusuran menyeluruh pada Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) DJKI untuk memastikan merek yang akan didaftarkan tidak memiliki persamaan dengan merek yang sudah ada;

    3.      Perlindungan bagi UMKM: Pemerintah menyadari pentingnya perlindungan HKI bagi UMKM sebagai tulang punggung ekonomi. Berbagai fasilitas telah disediakan, seperti tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang jauh lebih rendah untuk permohonan pendaftaran merek dari UMKM. Selain itu, pemerintah dan berbagai lembaga sering mengadakan program pendampingan dan fasilitasi pendaftaran merek gratis atau bersubsidi untuk mendorong kesadaran dan partisipasi UMKM dalam melindungi aset intelektual mereka. Mendaftarkan merek bukan lagi kemewahan bagi perusahaan besar, melainkan kebutuhan esensial bagi UMKM untuk dapat bersaing dan bertumbuh secara berkelanjutan.  

    Konklusi dan Proyeksi Perlindungan Merek di Indonesia

    Artikel ini telah menguraikan secara komprehensif dan mendalam mengenai urgensi, kerangka hukum, prosedur, serta dinamika sengketa merek di Indonesia. Dari seluruh penjabaran tersebut, dapat ditarik sebuah sintesis yang menjawab pertanyaan fundamental yang menjadi judul artikel ini.

    Pendaftaran merek menjadi krusial dan tak terhindarkan karena lima alasan utama. Pertama, pendaftaran adalah satu-satunya cara untuk menciptakan alas hak yang diakui oleh negara (legal title), yang mengubah sebuah nama atau logo dari sekadar tanda pengenal menjadi aset hukum yang dilindungi. Kedua, pendaftaran melahirkan hak eksklusif, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk menggunakan dan melisensikan mereknya secara komersial, serta yang lebih penting, untuk melarang pihak lain melakukan hal yang sama. Ketiga, sertifikat merek adalah dasar yuridis (locus standi) untuk dapat melakukan tindakan hukum, baik perdata maupun pidana, terhadap para pelanggar. Keempat, pendaftaran berfungsi sebagai benteng pertahanan preventif, yang secara otomatis akan menghalangi permohonan pendaftaran merek yang sama atau serupa oleh pihak lain di kemudian hari. Kelima, merek yang terdaftar memiliki nilai komersial yang jauh lebih tinggi; ia dapat dialihkan, dijaminkan sebagai objek fiduasia, dan menjadi aset tak berwujud yang signifikan dalam neraca perusahaan.


    Lalu, jika merek tidak terdaftar, kenapa? Konsekuensinya adalah kebalikan dari semua keuntungan tersebut. Tanpa pendaftaran, pelaku usaha tidak memiliki hak eksklusif di mata hukum. Ia tidak dapat melarang pihak lain menggunakan nama yang sama. Ia tidak dapat menggugat pelanggar. Ia rentan terhadap klaim dari pihak lain yang lebih dahulu mendaftarkan merek tersebut, sekalipun pihak lain itu beritikad tidak baik. Pada dasarnya, ia membangun sebuah “rumah bisnis” di atas “tanah” yang bukan miliknya secara hukum, yang dapat diambil alih kapan saja.

    Secara kritis, dapat disimpulkan bahwa kerangka hukum merek di Indonesia, yang berpusat pada UU MIG, telah cukup komprehensif dan sejalan dengan standar internasional. Namun, tantangan terbesar tidak lagi terletak pada ketersediaan norma hukum, melainkan pada konsistensi penegakan dan interpretasi yudisial. Yurisprudensi menunjukkan adanya tarik-menarik yang konstan antara kepastian hukum yang ditawarkan oleh prinsip first-to-file (seperti dalam kasus Pierre Cardin) dengan rasa keadilan yang terkandung dalam doktrin itikad tidak baik dan perlindungan merek terkenal (seperti dalam kasus Geprek Bensu dan Superman). Ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip-prinsip ini dapat menciptakan ketidakpastian bagi iklim usaha.

    Ke depan, proyeksi untuk perlindungan merek di Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuan sistem peradilan, khususnya Mahkamah Agung, dalam menciptakan yurisprudensi yang lebih seragam dan prediktabel. Diperlukan sebuah pedoman yang lebih jelas dari Mahkamah Agung dalam menafsirkan dan menyeimbangkan prinsip first-to-file dengan pembuktian itikad tidak baik, sehingga kepastian hukum dapat berjalan beriringan dengan keadilan substantif. Hanya dengan demikian, perlindungan merek di Indonesia dapat benar-benar menjadi fondasi yang kokoh bagi inovasi, persaingan usaha yang sehat, dan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.