layananhukum

Begini Landasan Hukum, Prosedur, dan Pengaturan Abolisi di Indonesia

 

    Definisi Yuridis dan Hakikat Abolisi

    Secara yuridis, abolisi merupakan kewenangan konstitusional atau hak prerogatif Presiden Republik Indonesia untuk meniadakan atau menghentikan proses penuntutan pidana terhadap seseorang sebelum atau selama proses tersebut berlangsung. Dasar hukum utama kewenangan ini adalah Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”, yang secara tegas menyatakan:

    “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

    Penting untuk dicatat bahwa kewajiban meminta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini adalah ketentuan yang berlaku pasca-amandemen UUD NRI 1945. Kekeliruan sering terjadi karena peraturan pelaksananya yang sudah usang, yaitu Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, masih menyebutkan bahwa pertimbangan diminta dari Mahkamah Agung. Namun, sebagai norma hukum tertinggi, ketentuan dalam UUD 1945-lah yang kini menjadi acuan utama dalam praktik ketatanegaraan.  

    Dengan demikian, abolisi mengandung makna intervensi terhadap proses hukum pidana, yang secara langsung menghilangkan kewenangan negara untuk melakukan penuntutan terhadap individu tertentu. Akibat hukum dari abolisi bersifat final—ketika abolisi diberikan, penuntutan atas tindak pidana tersebut ditiadakan secara menyeluruh.[1]  

    Dalam tataran konseptual, abolisi bukanlah pembatalan atas perbuatan pidana itu sendiri, melainkan penghentian upaya hukum oleh negara untuk menuntut pelaku. Hakikat abolisi adalah hak prerogatif Presiden yang merupakan atribut jabatan kepala negara. Konsep ini berakar dari tradisi hukum klasik, terutama sistem monarki, di mana raja dianggap sebagai fountain of justice atau sumber keadilan tertinggi yang memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan dan penghapusan tuntutan pidana.[2]  

    Dalam konteks negara hukum modern, abolisi mengalami transformasi dari bentuk royal pardon menjadi mekanisme konstitusional yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas, seperti pemulihan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, hingga upaya rekonsiliasi nasional dalam situasi krisis atau transisi politik. Sebagaimana dinyatakan oleh Romli Atmasasmita, abolisi bukan hanya produk dari kebijakan pidana, melainkan juga bagian dari strategi politik hukum untuk menjaga stabilitas dan keadilan dalam kehidupan bernegara.[3]

    Untuk membingkai diskusi mengenai abolisi, relevan kiranya untuk merenungkan adagium hukum klasik yaitu Fiat Justitia Ruat Caelum—”Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.” Ungkapan ini mencerminkan paham keadilan prosedural yang keras dan tak kenal kompromi. Dalam perspektif hukum positif, adagium ini menegaskan bahwa proses hukum harus dijalankan secara ketat mengikuti aturan formal, apa pun risikonya bagi stabilitas sosial atau politik.[4] Prinsip ini sangat berakar dalam konsep negara hukum (rechtsstaat) yang menjunjung supremasi hukum dan persamaan di hadapan hukum sebagai nilai fundamental.[5]

    Namun, kehadiran konsep abolisi justru menantang ortodoksi ini. Abolisi diberikan bukan berdasarkan proses pembuktian kesalahan di pengadilan, melainkan melalui pertimbangan politik atau kepentingan negara yang lebih luas. Dalam sistem hukum Indonesia, abolisi diposisikan sebagai hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD NRI 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Amnesti dan Abolisi”.

    Pertentangan antara prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial inilah yang menjadi medan tarik-menarik konsep abolisi. Di satu sisi, prosedur hukum menuntut akuntabilitas melalui pembuktian di muka pengadilan; di sisi lain, abolisi membuka jalan bagi intervensi eksekutif dalam nama kepentingan nasional, rekonsiliasi, atau alasan kemanusiaan. Ketegangan ini bukan sekadar wacana hukum normatif, melainkan telah berulang kali muncul dalam praktik, terutama dalam kasus-kasus bernuansa politis.[6]

    Dalam kerangka tersebut, tulisan ini akan mengurai dinamika abolisi dalam sistem hukum Indonesia—dari landasan yuridis yang mengakar pada warisan royal prerogative of mercy hingga tantangan kontemporer dalam menyeimbangkan supremasi hukum dengan pragmatisme kekuasaan. Dengan memeriksa praktik dan preseden, artikel ini berusaha menavigasi titik temu (atau justru konflik) antara Fiat Justitia Ruat Caelum dan imperatif realpolitik dalam ruang konstitusional Indonesia.

    Pembedaan Konseptual: Abolisi, Amnesti, Grasi, dan Rehabilitasi

    Pemahaman yang akurat mengenai abolisi menuntut adanya pembedaan yang jelas dengan instrumen hukum serupa yang juga merupakan hak prerogatif Presiden. Kerancuan pemahaman di antara keempatnya seringkali terjadi di ruang publik, padahal masing-masing memiliki objek, waktu intervensi, dan akibat hukum yang secara fundamental berbeda.


    Abolisi secara spesifik menyasar pada proses hukum itu sendiri. Definisinya adalah peniadaan atau penghentian tuntutan pidana. Intervensi ini terjadi ketika proses hukum sedang berjalan atau bahkan sebelum dimulai, sehingga akibat hukumnya adalah negara kehilangan hak untuk menuntut. Kewenangan yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD NRI 1945 dan UU tentang Amnesti dan Abolisi ini memerlukan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan umumnya diberikan secara individual, meskipun dapat pula bersifat kolektif.  

    Berbeda dengan abolisi, amnesti memiliki cakupan yang lebih luas. Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan seluruh akibat hukum yang melekat pada suatu tindak pidana. Objeknya adalah perbuatan pidana itu sendiri, dan dapat diberikan sebelum atau sesudah adanya putusan pengadilan. 

    Karena sifatnya yang menghapuskan perbuatan pidana, amnesti seringkali diberikan secara kolektif dan memiliki dimensi politik yang kuat, seperti untuk tujuan rekonsiliasi nasional. Sama seperti abolisi, dasar hukumnya adalah Pasal 14 Ayat (2) UUD NRI 1945 dan UU tentang Amnesti dan Abolisi, serta memerlukan pertimbangan DPR RI. Akibat hukumnya adalah seluruh konsekuensi pidana, baik pokok maupun tambahan, dihapuskan, dan status hukum orang tersebut dipulihkan seolah-olah tidak pernah melakukan tindak pidana.  

    Sementara itu, grasi beroperasi pada ranah yang sama sekali berbeda. Grasi adalah pengampunan yang menyentuh pelaksanaan pidana dan hanya dapat diberikan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Grasi tidak menghapus kesalahan atau perbuatan pidana, melainkan hanya mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan hakim. Bersifat individual, pemberian grasi didasarkan pada Pasal 14 Ayat (1) UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, serta wajib memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI).  

    Terakhir, rehabilitasi adalah pemulihan hak terpidana dalam kedudukan, harkat, dan martabatnya. Sama seperti grasi, rehabilitasi hanya dapat diberikan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kewenangan yang didasarkan pada Pasal 14 Ayat (1) UUD NRI 1945 dan diatur lebih lanjut dalam KUHAP ini juga memerlukan pertimbangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Fokusnya adalah pada pemulihan hak-hak sipil dan politik seseorang setelah ia selesai menjalani proses hukum.

    Dari Tradisi Monarki hingga Era Republik

    Untuk memahami praktik abolisi di Indonesia saat ini, penelusuran jejak historisnya menjadi sebuah keniscayaan. Konsep ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil dari evolusi pemikiran hukum dan respons terhadap dinamika politik yang membentang dari tradisi hukum global hingga gejolak di awal kemerdekaan Indonesia.

    Akar konseptual abolisi modern dapat ditelusuri ke dalam tradisi hukum Inggris, khususnya institusi royal prerogative of mercy, yang memberi raja kewenangan absolut untuk memberikan pengampunan atau menganulir proses hukum terhadap subjeknya. Kewenangan ini dipandang sebagai manifestasi dari posisi raja sebagai sumber keadilan tertinggi. Namun, dalam perkembangan negara hukum modern dan sistem demokrasi konstitusional, kewenangan tersebut mengalami kodifikasi dan pembatasan institusional. Dalam sistem parlementer modern, misalnya, kewenangan pengampunan biasanya diberikan atas nasihat perdana menteri atau menteri kehakiman, sebagai bentuk akuntabilitas politik dalam praktik prerogatif kerajaan.[7]

    Menariknya, istilah “abolisi” juga memiliki sejarah penggunaan yang lebih luas secara semantik. Di Amerika Serikat pada abad ke-19, istilah ini menjadi identik dengan gerakan penghapusan perbudakan (abolitionism), yang menuntut diakhirinya sistem perbudakan sebagai bentuk kejahatan moral dan pelanggaran hak asasi manusia.[8] Di Eropa, istilah “abolition” kemudian mengemuka dalam konteks gerakan penghapusan hukuman mati (abolition of the death penalty), terutama pasca Perang Dunia II ketika konsensus hak asasi manusia mulai dikodifikasikan secara internasional.[9]


    Dalam konteks Indonesia, istilah “abolisi” mengalami transformasi makna menjadi penghapusan proses penuntutan pidana terhadap seseorang. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, abolisi dalam sistem hukum Indonesia merupakan hak prerogatif Presiden, yang dapat diberikan sebelum, selama, atau setelah proses hukum berlangsung, dan berbeda dari grasi yang diberikan setelah ada putusan pengadilan.[10] Dalam praktiknya, kewenangan ini tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga politis, sering kali digunakan untuk meredakan ketegangan politik atau mendukung agenda rekonsiliasi nasional.[11]

    Transformasi historis dan konseptual dari istilah “abolisi” ini memperlihatkan fleksibilitas makna dalam merespons kebutuhan keadilan substantif dalam berbagai konteks sosial-politik. Dari penghapusan status sosial yang menindas, ke penghapusan sanksi pidana yang kejam, dan akhirnya ke penghapusan proses hukum itu sendiri, abolisi menjadi instrumen hukum yang bermuatan moral, politis, dan konstitusional sekaligus.

    Praktik di Era Hindia Belanda: Warisan Kolonial

    Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tidak ditemukan instrumen hukum yang secara eksplisit bernama “abolisi”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië (yang kemudian menjadi KUHP Indonesia), tidak mengatur abolisi karena kewenangan semacam ini berada di ranah eksekutif, bukan hukum pidana materiel.

    Namun, bukan berarti tidak ada praktik yang fungsinya serupa. Gubernur Jenderal memiliki kewenangan untuk mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum, sebuah praktik yang dikenal sebagai asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) dan menjadi cikal bakal kewenangan seponering oleh Jaksa Agung saat ini. Selain itu, instrumen pengampunan lain seperti grasi telah diatur, misalnya dalam Gratieregeling yang dimuat dalam Staatsblad 1933 Nomor 22. Meskipun demikian, abolisi sebagai sebuah konsep hukum yang spesifik dan terlembagakan baru secara resmi muncul dalam sistem hukum Indonesia pasca-kemerdekaan.

    Kelahiran Abolisi dalam Hukum Nasional: Respon atas Gejolak Politik

    Lahirnya abolisi dalam tata hukum Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konteks politik di awal kemerdekaan. Instrumen hukum utama yang mengaturnya adalah Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Peraturan ini dibuat untuk melaksanakan amanat Pasal 107 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.  

    Tujuan pembentukan UU Darurat ini sangat spesifik dan berorientasi politik. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU Darurat, amnesti dan abolisi pada awalnya ditujukan “kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda”. Ketentuan ini secara gamblang menunjukkan karakter asli abolisi sebagai instrumen rekonsiliasi politik untuk menyudahi konsekuensi hukum dari konflik bersenjata selama masa revolusi fisik.  

    Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya perluasan makna dan penerapan abolisi. Jika pada awalnya abolisi ditujukan untuk menyelesaikan sengketa dengan kekuatan eksternal (Belanda), praktik di era Orde Lama dan Orde Baru menggunakannya untuk meredam gejolak dan pemberontakan internal. Pemberian abolisi kepada para pengikut pemberontakan DI/TII, Republik Maluku Selatan (RMS), Permesta, hingga Fretilin di Timor Timur adalah contoh nyata dari pergeseran ini. Meskipun subjeknya berubah, motifnya tetap konsisten, yaitu memadamkan “kejahatan politik” demi stabilitas dan keutuhan negara.  


    Era Reformasi kembali menyaksikan penggunaan abolisi untuk tujuan politik, kali ini diberikan kepada para aktivis yang di masa Orde Baru ditahan dan diadili atas tuduhan subversi, seperti Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas (vide Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1998). Namun, lompatan konseptual yang paling signifikan terjadi baru-baru ini dengan penerapan abolisi pada kasus yang tidak berkaitan dengan keamanan negara, melainkan tindak pidana korupsi. Pergeseran dari ranah kejahatan politik ke ranah kejahatan jabatan ini memunculkan ambiguitas dan kontroversi mendalam mengenai batasan “kepentingan negara” sebagai justifikasi utama pemberian abolisi, sebuah isu krusial yang akan dibahas lebih lanjut dalam laporan ini.

    Kerangka Hukum Abolisi di Indonesia

    Kewenangan Presiden untuk memberikan abolisi tidaklah tanpa dasar. Ia berakar pada konstitusi dan diatur lebih lanjut dalam peraturan setingkat undang-undang. Namun, kerangka hukum yang ada saat ini bukanlah sebuah bangunan yang kokoh. Ia diwarnai oleh disharmoni antara peraturan yang lebih tinggi dan lebih rendah, serta diliputi oleh kekosongan hukum yang signifikan, menjadikannya sumber ketidakpastian dan perdebatan.

    Fondasi tertinggi bagi kewenangan abolisi terletak dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara tegas menyatakan:

    “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”  

    Pasal ini adalah hasil dari Amandemen Kedua UUD 1945 pada tahun 2000. Sebelum amandemen, kewenangan Presiden untuk memberikan abolisi (bersama amnesti dan grasi) bersifat absolut. Penambahan frasa “dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” merupakan sebuah langkah fundamental untuk membatasi kekuasaan Presiden yang sebelumnya tanpa batas. Perubahan ini bertujuan untuk melembagakan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam pelaksanaan hak prerogatif yang sangat krusial ini. Dengan demikian, meskipun abolisi tetap merupakan hak prerogatif Presiden, pelaksanaannya tidak lagi dapat dilakukan secara sepihak.  

    Jika UUD NRI 1945 adalah fondasi konstitusional, maka landasan operasionalnya adalah Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Namun, undang-undang ini lebih tepat digambarkan sebagai sebuah “fosil legislatif”—sebuah produk hukum dari masa lalu yang substansinya tidak lagi sepenuhnya selaras dengan kerangka ketatanegaraan saat ini.  

    Berikut beberapa analisis terhadap pasal-pasal kuncinya menyingkapkan beberapa hal penting sekaligus problematis:

    1)         Pasal 1 UU Darurat 1954, menyatakan “Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.”;

                Pasal ini menetapkan dua syarat utama. Pertama, syarat materiel, yaitu pemberian abolisi harus didasarkan pada “kepentingan Negara”. Frasa ini bersifat sangat luas dan tidak memiliki parameter yang jelas, memberikan ruang diskresi yang amat besar bagi Presiden. Kedua, syarat formil, yaitu harus ada “nasihat tertulis dari Mahkamah Agung”. Syarat formil inilah yang menjadi sumber utama disharmoni regulasi;

    2)        Pasal 2 UU Darurat 1954, menyatakan bahwa “Amnesti dan abolisi diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.”

    Pasal ini secara spesifik membatasi lingkup subjek dan waktu penerapan undang-undang ini. Secara de jure, undang-undang ini seharusnya hanya berlaku untuk kasus-kasus yang terkait dengan revolusi fisik. Namun, secara de facto, praktik pemberian abolisi selama puluhan tahun telah mengabaikan batasan ini, yang menunjukkan bahwa undang-undang ini secara substansial telah kehilangan relevansi kontekstualnya;

    3)        Pasal 4 UU Darurat 1954 menyatakan “Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang termaksud dalam pasal 1 dan 2 dihapuskan. Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang termaksud dalam pasal 1 dan 2 ditiadakan.”  

    Ini adalah pasal yang paling fundamental dalam mendefinisikan akibat hukum dari abolisi. Frasa “penuntutan... ditiadakan” memiliki implikasi absolut yaitu negara kehilangan hak untuk menuntut, dan proses peradilan yang sedang berjalan harus dihentikan. Pasal inilah yang menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum dan pengadilan untuk melaksanakan Keputusan Presiden tentang abolisi.

    Disharmoni Regulasi: Pertentangan Antara UUD 1945 dan UU Darurat

    Masalah paling mendasar dalam kerangka hukum abolisi adalah adanya pertentangan norma (conflict of norms) antara konstitusi dan undang-undang pelaksananya.

    -           UUD 1945 (pasca-amandemen) mensyaratkan adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

    -           UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 mensyaratkan adanya nasihat dari Mahkamah Agung (MA).  

    Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, berlaku asas lex superior derogat legi inferiori, yang berarti peraturan yang lebih tinggi (“UUD NRI 1945”) mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (“UU Darurat 1954”). Oleh karena itu, ketentuan dalam UUD NRI 1945-lah yang harus diikuti. Praktik ketatanegaraan saat ini telah mengkonfirmasi hal ini; Presiden memang meminta pertimbangan dari DPR RI, bukan lagi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, ketika akan memberikan abolisi. Namun, fakta bahwa UU Darurat 1954 belum pernah direvisi atau dicabut untuk diselaraskan dengan UUD NRI 1945 menciptakan sebuah anomali hukum yang persisten.


    Kekosongan Hukum: Ketiadaan Peraturan Pelaksana

    Disharmoni regulasi ini diperparah oleh adanya kekosongan hukum (legal vacuum). Hingga saat ini, tidak ada satu pun peraturan pelaksana, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), maupun Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham), yang mengatur secara rinci dan teknis mengenai tata cara pengajuan dan pemrosesan permohonan abolisi.  

    Akibatnya, seluruh prosedur yang berjalan saat ini lebih didasarkan pada konvensi ketatanegaraan dan praktik ad hoc yang berkembang dari waktu ke waktu, bukan berdasarkan aturan hukum yang tertulis, jelas, dan transparan. Pemberian abolisi dilakukan secara kasuistis melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk setiap kasus. Ketiadaan prosedur baku ini menciptakan sebuah “kotak hitam prosedural” (procedural black box), di mana proses di internal pemerintah tidak dapat diawasi oleh publik.

    Kondisi ini membuka ruang yang sangat lebar bagi subyektivitas, potensi penyalahgunaan wewenang, dan tuduhan politisasi hukum, karena tidak ada parameter objektif yang dapat digunakan untuk menguji apakah suatu keputusan telah diambil secara patut dan benar. Keadaan ini menegaskan urgensi untuk segera membentuk sebuah undang-undang baru yang komprehensif, seperti Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (RUU GAAR), untuk mengatasi masalah fundamental ini.

    Mekanisme dan Prosedur Pemberian Abolisi (Lex Lata)

    Meskipun kerangka hukumnya problematis, praktik pemberian abolisi tetap berjalan berdasarkan konvensi dan alur kerja yang telah terbentuk. Bagian ini akan menguraikan bagaimana mekanisme dan prosedur tersebut berlangsung dalam praktiknya saat ini (lex lata), berdasarkan rekonstruksi dari berbagai kasus yang pernah terjadi.

    Secara historis dan doktrinal, subjek utama penerima abolisi adalah pelaku tindak pidana politik atau kejahatan yang mengancam keamanan negara (crimes against the state). Tujuannya adalah untuk rekonsiliasi dan memulihkan stabilitas nasional. Namun, karena landasan hukumnya, yakni Pasal 1 UU Darurat 1954, hanya menyebut frasa yang sangat umum yaitu “atas kepentingan Negara”, maka secara de jure tidak ada batasan mengenai jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diberikan abolisi.


    Elastisitas frasa “kepentingan Negara” ini memberikan diskresi yang amat luas kepada Presiden untuk menentukan siapa saja yang dianggap layak menerima abolisi. Praktik terkini, terutama dalam kasus yang menyangkut tindak pidana korupsi, menjadi bukti nyata dari perluasan subjek penerima ini, yang jauh melampaui konsepsi awalnya sebagai instrumen untuk kejahatan politik.

    Alur Prosedural Pemberian Abolisi (Praktik Saat Ini)

    Walaupun tidak ada peraturan teknis yang mengaturnya secara rinci, alur prosedural pemberian abolisi dapat direkonstruksi dari praktik yang selama ini berjalan, terutama berdasarkan informasi yang muncul ke publik saat proses berlangsung:  

    a)        Proses dapat dimulai dari beberapa jalur. Umumnya, inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan, yaitu tersangka/terdakwa, kuasa hukumnya, atau pihak keluarga yang mengajukan permohonan secara tertulis kepada Presiden. Namun, tidak tertutup kemungkinan inisiatif datang dari pemerintah sendiri, terutama jika pemberian abolisi dianggap sebagai bagian dari agenda politik yang lebih besar, seperti perdamaian atau rekonsiliasi nasional;

    b)        Permohonan yang masuk ke Istana Kepresidenan akan didisposisikan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI). Di kementerian ini, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) akan membentuk tim untuk melakukan kajian komprehensif dari berbagai aspek antara lain yuridis, sosiologis, politis, dan keamanan. Hasil kajian ini akan menjadi bahan pertimbangan awal bagi Presiden;

    c)        Apabila Presiden cenderung untuk mengabulkan permohonan, langkah selanjutnya, sesuai amanat Pasal 14 Ayat (2) UUD NRI 1945, adalah meminta pertimbangan dari DPR. Presiden akan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) yang berisi permohonan pertimbangan atas rencana pemberian abolisi kepada individu tertentu;

    d)        Setelah menerima Surpres, Pimpinan DPR akan menugaskan alat kelengkapan dewan yang relevan, yang dalam praktiknya adalah Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan), untuk membahas permohonan tersebut. Komisi III dapat mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak-pihak terkait sebelum merumuskan sikapnya. Hasil dari pembahasan ini adalah sebuah surat pertimbangan resmi dari DPR yang dikirimkan kembali kepada Presiden. Pertimbangan DPR ini secara hukum tidak mengikat, namun secara politik memiliki bobot yang sangat kuat’;

    e)        Dengan berbekal pertimbangan dari DPR, Presiden akan membuat keputusan final. Jika Presiden memutuskan untuk memberikan abolisi, maka akan diterbitkan sebuah Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pemberian Abolisi. Keppres ini bersifat individual dan konkret (beschikking);

    f)          Salinan Keppres yang telah diterbitkan kemudian disampaikan kepada lembaga-lembaga penegak hukum yang menangani perkara tersebut, seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta kepada pengadilan tempat perkara tersebut sedang diproses. Berdasarkan Keppres inilah, lembaga-lembaga tersebut secara hukum wajib untuk menghentikan seluruh proses hukum terhadap penerima abolisi.

    Akibat Hukum Pemberian Abolisi

    Konsekuensi yuridis dari terbitnya Keppres abolisi bersifat final dan imperatif. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 UU Darurat 1954, akibat hukumnya adalah ketentuan pasal 1 dan pasal 2 dihapuskan, dan penuntutan ditiadakan. Implikasi dari frasa ini adalah:  

    -           Negara kehilangan hak untuk menuntut (right to prosecute) orang tersebut atas tindak pidana yang sama di kemudian hari;

    -           Jika proses penyidikan atau penuntutan sedang berjalan, maka harus segera dihentikan;

    -           Jika perkara sudah dilimpahkan dan sedang diperiksa di pengadilan, maka majelis hakim harus menjatuhkan putusan sela atau putusan akhir yang menyatakan bahwa “penuntutan tidak dapat diterima” (niet-ontvankelijke verklaard);

    -           Secara efektif, dari perspektif hukum acara pidana, perkara tersebut dianggap gugur dan tidak pernah ada.

    Analisis Kasus dan Yurisprudensi

    Praktik pemberian abolisi di Indonesia telah menghasilkan serangkaian keputusan dan preseden yang membentuk pemahaman kita tentang instrumen ini. Analisis terhadap kasus-kasus historis, yurisprudensi yang relevan, dan studi kasus kontemporer dapat menyingkapkan bagaimana abolisi diterapkan, ditafsirkan, dan diperdebatkan dalam berbagai konteks politik dan hukum.

    Sejak kelahirannya, abolisi secara konsisten digunakan sebagai alat rekonsiliasi politik untuk mengakhiri konflik dan pemberontakan. Beberapa contoh pemberian abolisi yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia meliputi:

    1.          Melalui serangkaian Keppres, seperti Keppres Nomor 303 Tahun 1959 dan Keppres Nomor 449 Tahun 1961, Pemerintah memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut pemberontakan DI/TII di berbagai daerah, RMS di Maluku, dan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Tujuannya jelas adalah memulihkan keamanan dan mengintegrasikan kembali para pemberontak ke dalam pangkuan NKRI;

    2.         Kasus Timor Timur (1977), melalui Keppres Nomor 63 Tahun 1977, Presiden Soeharto memberikan abolisi kepada ribuan pengikut gerakan Fretilin. Langkah ini diambil untuk mendukung stabilitas dan kelancaran pembangunan di provinsi yang baru diintegrasikan tersebut;

    3.        Aktivis Politik Era Reformasi (1998-2000), transisi menuju demokrasi membuka babak baru penggunaan abolisi. Presiden B.J. Habibie, melalui Keppres Nomor 80 Tahun 1998, memberikan abolisi kepada Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas, dua tokoh yang ditahan atas tuduhan subversi oleh rezim Orde Baru. Langkah ini dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memberikan abolisi kepada aktivis Papua melalui Keppres Nomor 91 Tahun 2000 dan kepada Sawito Kartowibowo melalui Keppres Nomor 93 Tahun 2000.  

    Kasus-kasus ini menunjukkan sebuah benang merah yang konsisten menerangkan bahwa abolisi diterapkan pada tindak pidana yang berdimensi politik kuat, dengan tujuan utama untuk mencapai rekonsiliasi nasional, mengakhiri konflik, dan memfasilitasi transisi politik.


    Implikasi Abolisi terhadap Hak Lain

    Mengingat abolisi menghentikan proses sebelum adanya putusan final, yurisprudensi yang secara langsung membahasnya sangat langka. Namun, putusan pengadilan yang berkaitan dengan amnesti dapat digunakan sebagai analogi yang kuat untuk memahami daya jangkau hukum dari hak prerogatif ini. Salah satu putusan yang paling relevan adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 282 K/TUN/2010, tertanggal 27 Oktober 2010.

    Yang mana, Putusan ini berkaitan dengan gugatan Dr. Judilherry Justam, seorang PNS yang diberhentikan karena keterlibatannya dalam Petisi 50. Ia membandingkan kasusnya dengan A.M. Fatwa, yang juga diberhentikan karena kasus yang sama namun status PNS-nya dipulihkan setelah menerima amnesti dari Presiden.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung menyatakan:

    “Namun demikian keputusan amnesti dan abolisi itu yang menyangkut pemulihan hak-hak yang bersangkutan sebagai warga negara ternyata juga sekaligus memulihkan hak-hak A.M. Fatwa sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan akibat turut menandatangani Petisi 50.”.  

    Putusan ini menetapkan sebuah yurisprudensi yang sangat penting. Ia menegaskan bahwa dampak dari amnesti (dan secara logis dapat diperluas ke abolisi) tidak hanya terbatas pada penghapusan status pidana. Pemberian pengampunan oleh Presiden tersebut memiliki efek hukum yang meluas, yang secara otomatis juga memulihkan hak-hak perdata dan administratif lainnya yang hilang sebagai akibat dari proses pidana tersebut, seperti status kepegawaian. Ini menunjukkan betapa kuat dan komprehensifnya akibat hukum yang ditimbulkan oleh sebuah Keppres abolisi.

    Pemberian Abolisi kepada Tom Lembong

    Kasus pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Tom Lembong, pada tahun 2025 menjadi titik kulminasi dari segala problematika hukum dan politik yang melingkupi instrumen ini. Kasus ini berfungsi sebagai stress test yang mengekspos seluruh kelemahan fundamental dalam kerangka hukum abolisi di Indonesia.

    Tom Lembong Didakwa Dan Divonis  Terbukti Secara Sah Dan Meyakinkan Bersalah Oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana perkara Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst, dalam putusan yang dibacakan pada 18 Juli 2025, terkait kasus dugaan korupsi kebijakan impor gula. Namun, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) karena pihak Tom Lembong sedang menempuh upaya hukum banding.  

    Di tengah proses banding yang sedang berjalan, Presiden memberikan abolisi yang secara efektif menghentikan proses hukum tersebut secara permanen. Pemberian abolisi dalam kasus ini memicu badai kontroversi dan perdebatan sengit karena beberapa alasan fundamental:

    1.          Pergeseran Doktrinal dan Benturan Nilai

    Ini adalah preseden pertama di mana abolisi diberikan untuk kasus tindak pidana korupsi, bukan kejahatan politik atau keamanan negara. Langkah ini menciptakan benturan nilai yang tajam. Di satu sisi, pemerintah berdalih bahwa ini dilakukan demi “rekonsiliasi” dan “persatuan”. Di sisi lain, tindakan ini dianggap bertentangan secara diametral dengan semangat dan komitmen nasional untuk memberantas korupsi, yang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime);

    2.         Tensi dengan Proses Yudisial

    Tindakan eksekutif ini dilihat sebagai bentuk intervensi langsung terhadap proses peradilan yang sedang berjalan. Hal ini berpotensi mendelegitimasi kerja aparat penegak hukum (KPK/Kejaksaan) dan lembaga peradilan (pengadilan) yang telah menghabiskan sumber daya besar untuk mengusut dan mengadili perkara tersebut;

    3.        Politisasi Hukum dan “Transaksi Politik”

    Karena ketiadaan parameter “kepentingan negara” yang objektif dan prosedur yang transparan, banyak pihak mencurigai bahwa keputusan ini lebih didasari oleh pertimbangan politik pasca-kontestasi pemilu daripada pertimbangan hukum yang murni. Abolisi dituding telah menjadi “alat kompromi politik” untuk merangkul lawan politik, yang pada akhirnya mengorbankan prinsip supremasi hukum;

    4.        Dampak pada Kepastian Hukum dan Iklim Investasi

    Penggunaan kewenangan diskresioner yang begitu kuat dalam kasus yang menyangkut kebijakan publik (impor) menciptakan preseden yang meresahkan. Bagi investor, baik domestik maupun asing, kepastian hukum adalah segalanya. Sistem hukum yang dapat diintervensi oleh kekuasaan politik secara ad hoc akan dianggap tidak stabil dan tidak prediktabel, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan dan menurunkan minat investasi;

    Kasus Tom Lembong menjadi yurisprudensi politik yang berpotensi berbahaya. Ia membuka pintu bagi pejabat publik lain yang terjerat kasus korupsi untuk melobi dan menuntut perlakuan serupa dengan dalih rekonsiliasi atau stabilitas politik. Jika ini menjadi tren, maka abolisi yang sejatinya adalah instrumen luhur berisiko berubah menjadi mekanisme impunitas bagi elite politik, yang secara fundamental akan mencederai rasa keadilan masyarakat.

    Refleksi dan Arah Politik Hukum Abolisi di Masa Depan

    Perjalanan panjang abolisi dalam sistem hukum Indonesia, dari instrumen rekonsiliasi pasca-revolusi hingga menjadi episentrum kontroversi politik modern, menuntut sebuah refleksi mendalam. Sebagai sebuah kewenangan prerogatif, abolisi menyimpan dualisme yang tajam: ia bisa menjadi jembatan menuju keadilan restoratif, namun juga bisa menjadi jurang yang meruntuhkan supremasi hukum.

    Kajian ini telah mengidentifikasi serangkaian dilema fundamental yang melekat pada institusi abolisi di Indonesia. Pertama, adanya disharmoni regulasi antara UUD 1945 yang menghendaki pertimbangan DPR dan UU Darurat 1954 yang masih menyebut nasihat MA. Kedua, adanya kekosongan hukum karena ketiadaan peraturan pelaksana yang mengatur prosedur secara transparan dan akuntabel. Ketiga, dan yang paling krusial, adalah elastisitas makna “kepentingan Negara” yang menjadi dasar pemberian abolisi. Tanpa parameter yang jelas, frasa ini menjadi justifikasi yang rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik sesaat, berpotensi menciptakan impunitas, dan mencederai rasa keadilan publik.  

    Di satu sisi, abolisi adalah instrumen konstitusional yang luhur, dirancang untuk tujuan mulia seperti rekonsiliasi nasional dan perlindungan hak asasi manusia dari peradilan yang sesat. Namun di sisi lain, praktiknya, terutama dalam kasus-kasus terkini, menunjukkan betapa rentannya instrumen ini terhadap politisasi yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

    Menafsirkan “Kepentingan Negara”

    Untuk menutup refleksi ini, kita dapat berpaling pada adagium hukum lain yang relevan: Salus Populi Suprema Lex Esto, yang berarti “Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi”. Adagium ini memberikan lensa yang kuat untuk menafsirkan frasa “kepentingan Negara” yang menjadi syarat utama pemberian abolisi.  

    “Kepentingan Negara” seharusnya tidak ditafsirkan sebagai kepentingan sempit individu, kelompok, atau bahkan institusi negara itu sendiri. Sejalan dengan adagium Salus Populi Suprema Lex Esto, “kepentingan Negara” haruslah dimaknai sebagai kepentingan dan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan (the public good). Oleh karena itu, setiap keputusan untuk memberikan abolisi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pemerintah harus mampu menunjukkan secara meyakinkan bahwa penghentian sebuah proses penuntutan benar-benar akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi seluruh bangsa—seperti mencegah disintegrasi atau memulihkan perdamaian—dan bukan sekadar untuk melindungi figur tertentu dari jerat hukum, yang justru akan melukai rasa keadilan kolektif masyarakat.

    Urgensi Reformasi Legislatif

    Melihat berbagai persoalan fundamental yang telah diuraikan, langkah yang paling mendesak dan strategis adalah melakukan reformasi legislatif. Politik hukum ke depan harus diarahkan untuk menata ulang kerangka hukum abolisi agar lebih selaras dengan prinsip negara hukum demokratis yang transparan dan akuntabel.

    Rekomendasi utamanya adalah mendorong Pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (RUU GAAR). Sebuah undang-undang baru yang komprehensif mutlak diperlukan untuk:

    a)        Mencabut dan Menggantikan UU Darurat No. 11 Tahun 1954, sehingga undang-undang baru akan secara resmi mengakhiri masa berlaku “fosil legislatif” dan menyelaraskan peraturan setingkat undang-undang dengan amanat UUD 1945;

    b)        Memberikan Definisi dan Ruang Lingkup yang Jelas, dengan mendefinisikan secara tegas apa yang dimaksud dengan abolisi dan untuk jenis-jenis tindak pidana apa instrumen ini dapat diterapkan;

    c)        Mengatur Prosedur yang Transparan dan Akuntabel, yaitu dengan menetapkan tata cara, mekanisme, dan jangka waktu yang jelas untuk setiap tahapan proses pemberian abolisi, mulai dari pengajuan permohonan hingga penerbitan Keppres;

    d)        Menetapkan Kriteria Objektif, dengan merumuskan kriteria dan syarat yang lebih objektif dan terukur mengenai apa yang dapat dikategorikan sebagai “kepentingan Negara”. Hal ini krusial untuk membatasi ruang diskresi Presiden dan mencegah penyalahgunaan wewenang;

    e)        Penting untuk mempertimbangkan pembatasan atau bahkan pelarangan pemberian abolisi untuk kejahatan-kejahatan luar biasa tertentu, seperti korupsi, kejahatan hak asasi manusia berat, dan terorisme, sejalan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang menolak impunitas untuk kejahatan serius.  

    Tanpa reformasi legislatif yang fundamental, abolisi akan terus menjadi arena pertarungan politik yang mengabaikan kepastian hukum. Hanya dengan sebuah kerangka hukum yang baru, jelas, dan akuntabel, Indonesia dapat memastikan bahwa instrumen pengampunan yang luhur ini benar-benar digunakan untuk “keselamatan rakyat”, bukan untuk meruntuhkan pilar-pilar keadilan.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, ed. revisi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), 209.

    [2] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 342.

    [3] Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Penegakan Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2001), 89.

    [4] P. Freeman, “Fiat Justitia Ruat Caelum: Is This a Good Guide to the Role of a Specialist Appeal Court Judge?” in The Art of Judicial Reasoning, ed. John Tasioulas (Cham: Springer, 2019).

    [5] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 87.

    [6] D. Shanmuganathan, “Fiat Justitia, Ruat Coelum: Is the International Court of Justice Aware of This?” Amicus Curiae 2001, no. 34 (2012): 20–23.

    [7] R. M. Jackson, The Machinery of Justice in England, 7th ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 314

    [8] Manisha Sinha, The Slave’s Cause: A History of Abolition (New Haven: Yale University Press, 2016), 4.

    [9] Daniel Pascoe, “Three Coming Legal Challenges to Indonesia’s Death Penalty Regime,” SSRN Electronic Journal, 2015

    [10] Lidya Suryani Widayati, “Kedaluwarsa dan Grasi Sebagai Dasar Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana,” Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora 12 (2021): 81–99

    [11] A. Salam and Zahlul Pasha Karim, “Death Penalty in Indonesia: Revisiting the Debate Between the Retentionist and the Abolitionist,” Lentera Hukum 8, no. 1 (2021).