Pertanyaan
Selamat pagi,
Perkenalkan nama saya Ardi. Saya mengajukan pertanyaan
ini sebagai salah seorang warga dari Kalimantan Barat. Seperti yang mungkin
sudah banyak diketahui, kehidupan kami di sini sangat bergantung pada lahan
dan hutan. Belakangan ini, kami banyak mendengar kabar dan isu yang cukup
meresahkan mengenai pembentukan Satuan Tugas (Satgas) baru dari pemerintah
pusat yang disebut Satgas PKH.
Kabar yang beredar menyebutkan bahwa Satgas ini akan turun langsung untuk
menertibkan lahan-lahan, terutama perkebunan kelapa sawit dan kegiatan
lainnya yang dianggap masuk ke dalam kawasan hutan negara. Di Kalimantan
Barat, di mana batas antara kebun masyarakat, lahan adat, dan kawasan hutan
seringkali tidak jelas dan sudah menjadi sumber konflik selama
bertahun-tahun, kehadiran tim seperti ini tentu menimbulkan banyak
pertanyaan dan kekhawatiran.
Kenapa demikian? Sebagai masyarakat awam, kami butuh pemahaman yang jelas dan pasti agar
tidak termakan informasi yang simpang siur. Oleh karena itu, saya ingin
meminta penjelasan yang lengkap mengenai hal ini
dari Bang Eka selaku praktisi hukum dan peneliti hukum. Secara spesifik, pertanyaan saya
adalah:
1.
Apa sebenarnya Satgas PKH itu, dan apa yang melatarbelakangi pembentukannya
sehingga terasa begitu mendesak?
2.
Apa saja kewenangan Satgas PKH ini, khususnya dalam konteks di Kalimantan
Barat? Apakah benar mereka memiliki wewenang untuk langsung mengambil alih
atau mengeksekusi lahan yang sudah kami kelola secara turun-temurun tanpa
perlu adanya putusan dari pengadilan terlebih dahulu?
3.
Bagaimana kedudukan hukum kami sebagai masyarakat biasa atau petani kecil
di hadapan Satgas ini? Apa saja bentuk perlindungan hukum yang tersedia bagi
kami jika suatu saat lahan kami menjadi objek penertiban oleh Satgas
PKH?
Kami sangat berharap bisa mendapatkan jawaban yang tuntas, jelas, dan dapat
dipertanggungjawabkan agar kami di sini memiliki kepastian hukum dan tidak
terus-menerus merasa cemas.
Terima kasih atas perhatiannya.
Jawaban
Dilema Penertiban di Jantung Hutan Indonesia
Kawasan hutan Indonesia, yang sering disebut sebagai salah satu paru-paru
dunia, telah lama berada dalam kondisi kritis akibat kompleksitas
permasalahan tata kelola. Selama beberapa dekade, sektor kehutanan nasional
dihadapkan pada tantangan kronis yang mencakup tumpang-tindih perizinan,
maraknya kegiatan ilegal seperti pertambangan tanpa izin dan pembukaan
perkebunan di dalam kawasan hutan, serta konflik tenurial yang tak kunjung
usai antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal atau masyarakat adat.
Permasalahan ini tidak hanya menimbulkan kerugian negara yang signifikan
akibat hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak,
tetapi juga memicu kerusakan ekologis yang masif, termasuk deforestasi,
degradasi lahan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Kondisi ini menciptakan sebuah dilema fundamental bagi pemerintah. Di satu
sisi, negara memiliki mandat konstitusional untuk menguasai dan memanfaatkan
sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di sisi lain,
lemahnya penegakan hukum dan karut-marutnya administrasi perizinan telah
menyebabkan negara kehilangan kontrol atas sebagian besar aset hutannya.
Berbagai upaya yang telah dilakukan, termasuk melalui instrumen hukum yang
ada, dinilai belum berjalan efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal
untuk mengurai benang kusut tersebut. Kegagalan ini mendorong pemerintah
untuk mencari terobosan baru yang dianggap lebih tegas, cepat, dan
komprehensif.
Kelahiran Satgas PKH
Sebagai respons atas krisis tata kelola kehutanan yang berkepanjangan,
Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto membentuk
sebuah institusi ad hoc dengan kewenangan khusus, yaitu
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Pembentukan
Satgas ini dilegalisasi melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan
yang selanjutnya disebut dengan “Pepres 5/2025”. Kehadiran Satgas PKH menandai sebuah babak baru dalam pendekatan negara
untuk menegakkan kembali kedaulatannya di sektor kehutanan.
Secara deklaratif, tujuan pembentukan Satgas PKH adalah
untuk melaksanakan “tindakan pemerintah berupa penertiban Kawasan
Hutan”. Tujuan ini dijabarkan lebih lanjut menjadi tiga pilar utama
yaitu pertama,
penanganan dan perbaikan tata kelola kegiatan pertambangan, perkebunan,
dan kegiatan lainnya di dalam kawasan hutan; kedua, optimalisasi penerimaan negara; dan ketiga,
pemulihan penguasaan negara atas lahan di kawasan hutan. Dengan
mandat yang luas ini, Satgas PKH diposisikan sebagai ujung tombak pemerintah
dalam menghadapi para pelaku usaha ilegal dan menata kembali pemanfaatan
kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan.
Mengingat kewenangan Satgas PKH yang sangat besar dan implikasinya yang
luas, tulisan
ini diharapkan mampu untuk melakukan analisis yuridis-normatif yang komprehensif dan
kritis
serta membedah secara mendalam kedudukan, kewenangan, dan implikasi dari Satgas
PKH dalam konstelasi hukum dan tata kelola kehutanan di Indonesia.
Penulis di sini tidak hanya terbatas pada teks peraturan yang membentuknya, tetapi juga
mencakup penelusuran terhadap cikal bakal historisnya, pemetaan hirarki
dasar hukumnya, serta evaluasi terhadap mekanisme perlindungan hukum yang
tersedia bagi masyarakat yang terdampak oleh tindakannya.
Secara spesifik, tulisan
ini akan menjawab pertanyaan sentral: “Apa itu Satgas PKH, dan bagaimana
kewenangannya dalam menertibkan tanah yang dikuasai masyarakat atau
korporasi untuk dikembalikan menjadi tanah negara?” Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, ruang lingkup tulisan
ini meliputi:
1.
Penjelasan historis dan filosofis pembentukan Satgas, termasuk hubungannya dengan
satuan tugas sejenis yang pernah ada sebelumnya;
2.
Membedah secara yuridis terhadap kewenangan Satgas PKH berdasarkan Perpres Nomor
5 Tahun 2025 dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, seperti Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Cipta
Kerja;
3.
Kajian kritis terhadap kewenangan eksekusi “Penguasaan Kembali” dan
posisinya dalam hukum administrasi negara, khususnya terkait kebutuhan akan
putusan pengadilan;
4.
Identifikasi dan penjelasan mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
masyarakat atau badan hukum yang merasa dirugikan oleh tindakan Satgas
PKH;
5.
Putusan pengadilan yang relevan untuk memberikan gambaran konkret mengenai
implementasi dan kontrol yudisial terhadap kewenangan penertiban kawasan
hutan; serta
6.
Pembahasan mengenai aspek-aspek kontroversial yang menyertai kehadiran
Satgas PKH, seperti isu transparansi, akuntabilitas, dan potensi
“militerisasi” dalam penanganan konflik sumber daya alam.
Melalui pendekatan multidisipliner yang menggabungkan analisis hukum
yang mendalam, kebijakan publik, dan sosial, kami berharap tulisan atau artikel kami ini
dapat memberikan pemahaman yang utuh, berimbang, dan mendalam mengenai
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan sebagai fenomena institusional dalam
lanskap hukum Indonesia kontemporer.
Penjelasan
Historis: Evolusi Satuan Tugas Kehutanan
dari Satgas Sawit ke Satgas PKH
Pembentukan Satgas PKH melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025 bukanlah sebuah kebijakan yang muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan
puncak dari evolusi pendekatan pemerintah yang semakin mengandalkan model
satuan tugas (task force) untuk menangani isu-isu strategis yang
kompleks dan mendesak.
Cikal bakal atau anteseden langsung dari Satgas PKH dapat ditelusuri pada
kebijakan era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni pembentukan Satuan
Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi
Penerimaan Negara
(vide Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023).
Satuan tugas yang lebih dikenal sebagai “Satgas Sawit” ini dibentuk
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023. Dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, Satgas Sawit memiliki mandat yang lebih
spesifik, yaitu untuk mengatasi permasalahan dalam tata kelola industri
kelapa sawit, termasuk menyelesaikan persoalan perkebunan sawit ilegal yang
merambah ke dalam kawasan hutan, serta mengoptimalkan penerimaan negara dari
sektor tersebut. Satgas ini bekerja dengan mengandalkan data citra satelit
dan mekanisme pelaporan mandiri (self-reporting) dari para pelaku
usaha untuk memetakan luasan kebun sawit dan status perizinannya.
Transformasi dari Satgas Sawit yang berbasis Keppres menjadi Satgas PKH
yang berbasis Perpres menandakan adanya formalisasi dan eskalasi kewenangan
yang signifikan. Perubahan ini bukanlah sekadar perubahan nomenklatur,
melainkan sebuah pergeseran strategis dalam instrumen hukum yang
digunakan oleh negara. Secara doktrinal, Keppres memiliki sifat sebagai
sebuah penetapan atau keputusan administrasi yang konkret, individual,
dan final (beschikking). Ia
lebih berfungsi sebagai instrumen untuk membentuk sebuah tim atau
menetapkan kebijakan dalam kasus tertentu.
Sebaliknya, Peraturan Presiden (Perpres) memiliki sifat
sebagai sebuah peraturan (regeling)
yang bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus-menerus. Dalam
hierarki peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, Perpres
memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat dan mengikat secara umum
dibandingkan Keppres.
Langkah pemerintah untuk beralih dari Keppres ke Perpres menjadi dugaan kuat bahwa model Satgas Sawit kemungkinan dianggap kurang memiliki landasan hukum yang kokoh atau cakupan mandat yang terlalu sempit untuk menangani permasalahan yang bersifat sistemik. Ruang lingkup Satgas PKH diperluas secara drastis dari yang tadinya hanya berfokus pada “kelapa sawit” menjadi mencakup “kegiatan pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan”.
Dengan demikian, pembentukan Satgas PKH
dapat dibaca sebagai sebuah keputusan sadar untuk menciptakan suatu
Lembaga
ad hoc
yang lebih perkasa, dengan payung hukum yang lebih kuat dan mandat yang
jauh lebih luas, sebagai alat permanen negara dalam strategi penertiban
sumber daya alam. Ini adalah sebuah eskalasi dari penanganan masalah spesifik menjadi
sebuah pendekatan sistemik.
Landasan Filosofis dan Konstitusional
Setiap tindakan negara, terlebih yang berimplikasi besar seperti penertiban
kawasan hutan, memerlukan justifikasi filosofis dan konstitusional. Landasan
utama pembentukan Satgas PKH berakar pada
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
yang selanjutnya disebut dengan “UUD
NRI
1945”, yang menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pasal ini merupakan fondasi dari konsep “Hak Menguasai Negara” (HMN) atas
sumber daya alam. HMN memberikan wewenang kepada negara, yang diwakili oleh
pemerintah, untuk melakukan serangkaian tindakan pengurusan
(bestuursdaad), meliputi pengaturan, pengelolaan, pemanfaatan, dan
pengawasan.
Dalam konteks ini, maraknya aktivitas ilegal di kawasan hutan dianggap
sebagai bentuk penggerogotan terhadap HMN, yang berakibat pada hilangnya
kontrol negara dan tidak tercapainya tujuan “sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Oleh karena itu, Satgas PKH diposisikan sebagai instrumen
operasional negara untuk menegakkan kembali HMN dan memastikan bahwa
kekayaan alam hutan kembali dikelola untuk kepentingan publik yang lebih
luas.
Di samping landasan konstitusional tersebut, tindakan tegas Satgas PKH juga
dapat dianalisis melalui lensa adagium hukum klasik:
Salus populi suprema lex esto, yang berarti “kesejahteraan rakyat
adalah hukum tertinggi”.
Pemerintah, dalam menjustifikasi kebijakan penertiban, secara implisit
berargumen bahwa tindakan-tindakan luar biasa, termasuk “Penguasaan Kembali”
lahan, diperlukan untuk melindungi kepentingan kolektif dan kesejahteraan
umum jangka panjang. Kepentingan ini mencakup pemulihan fungsi ekologis
hutan, penyelamatan aset negara, dan optimalisasi penerimaan negara yang
pada akhirnya akan digunakan untuk pembangunan.
Menurut tafsir ini, kepentingan individu atau kelompok yang mungkin
terdampak oleh penertiban harus tunduk pada kepentingan publik yang lebih
besar. Adagium ini menjadi pembenaran filosofis bagi negara untuk mengambil
langkah-langkah yang mungkin terasa keras, dengan dalih bahwa hal tersebut
merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat sebagaimana
diamanatkan oleh konstitusi.
Membedah
Kewenangan Satgas PKH
Kewenangan Satgas PKH tidak berdiri sendiri, melainkan tertanam dalam
sebuah arsitektur hukum yang kompleks dan berlapis. Untuk memahami secara
utuh tugas, fungsi, dan wewenangnya, diperlukan pembedahan terhadap Perpres 5/2025 sebagai dasar hukum spesifiknya (lex specialis), serta
menelusuri keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (lex superior) dan peraturan pelaksana teknisnya.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 merupakan Lex Specialis
atau landasan operasional utama yang memberikan kehidupan dan kewenangan kepada
Satgas PKH. Berikut
beberapa pasal-pasal kuncinya mengungkapkan desain dan lingkup kerja Satgas secara
terperinci:
1)
Pasal 1
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, pasal ini memuat definisi-definisi krusial yang menjadi kerangka kerja
Satgas. Istilah seperti “Kawasan Hutan”, “Hutan Produksi”, “Hutan Lindung”,
dan “Hutan Konservasi” merujuk pada definisi dalam UU tentang Kehutanan. Namun, definisi yang paling sentral bagi operasional Satgas
adalah “Penguasaan Kembali”, yang didefinisikan sebagai
“tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat guna menyelamatkan dan
menertibkan penguasaan Kawasan Hutan”, serta “Denda Administratif” sebagai sanksi pembayaran sejumlah uang
akibat pelanggaran. Definisi ini menegaskan sifat tindakan Satgas sebagai
representasi dari Pemerintah Pusat;
2)
Pasal 2
dan Pasal
3
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, kedua pasal ini menetapkan bentuk-bentuk penertiban yang menjadi kewenangan
Satgas. Pasal 2 menegaskan bahwa penertiban adalah sebuah “tindakan
pemerintah” yang ditujukan kepada “Setiap Orang” (orang perseorangan atau
badan usaha) yang menguasai Kawasan Hutan secara tidak sah. Kemudian, Pasal 3
merincikan tiga bentuk tindakan tersebut:
(a)
penagihan Denda Administratif;
(b)
Penguasaan Kembali Kawasan Hutan; dan/atau
(c)
pemulihan aset di Kawasan Hutan.
Tiga pilar ini menjadi inti dari seluruh kegiatan operasional Satgas.
4.
Pasal 4
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, pasal ini mendefinisikan objek penertiban, yaitu siapa saja yang dapat
menjadi sasaran tindakan Satgas. Objeknya adalah “Setiap Orang” yang
melakukan kegiatan (pertambangan, perkebunan, dll.) di dalam Kawasan Hutan
Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi dengan berbagai skenario
pelanggaran, antara lain:
(a)
memiliki izin usaha tetapi tidak memenuhi persyaratan;
(b)
memiliki izin usaha tetapi diperoleh secara melawan hukum; dan
(c)
sama sekali tidak memiliki perizinan berusaha. Kategorisasi ini
memungkinkan Satgas untuk menerapkan sanksi yang berbeda sesuai dengan
tingkat pelanggaran;
5.
Pasal 8
dan Pasal
9
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025,
pasal-pasal ini secara formal membentuk Satgas PKH. Pasal 8 menyatakan bahwa
Satgas dibentuk “Untuk melaksanakan penertiban Kawasan Hutan” dan berada di
bawah serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pasal 9 mengatur
struktur organisasi Satgas yang terdiri dari dua lapis:
-
Pengarah (Steering Committee);
dan
-
Pelaksana (Executive Committee), sebuah struktur yang umum digunakan
untuk gugus tugas lintas-sektoral;
6.
Pasal 10
dan Pasal
11
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, di sini dirinci tugas masing-masing organ. Pengarah bertugas memberikan
arahan strategis serta melakukan pemantauan dan evaluasi. Sementara itu,
Pelaksana memiliki tugas-tugas operasional yang berat, antara lain:
(a)
melakukan inventarisasi hak negara;
(b)
melaksanakan langkah-langkah terobosan untuk mengatasi masalah;
(c)
melakukan upaya penegakan hukum yang efektif;
(d)
meningkatkan sinergi antar kementerian/lembaga; dan
(e)
melakukan koordinasi penegakan hukum.
Keterkaitan dengan Peraturan Induk (Hirarki Perundang-undangan)
Kewenangan yang diberikan oleh
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025
tidak dapat dilepaskan dari peraturan perundang-undangan yang menjadi payung
hukumnya
yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Ini adalah undang-undang induk di sektor kehutanan. UU Kehutanan meletakkan
dasar-dasar fundamental seperti Hak Menguasai Negara (HMN) atas hutan ,
klasifikasi fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi) , dan proses
pengukuhan kawasan hutan. Namun, perubahan paling signifikan yang menjadi
landasan bagi eksistensi Satgas PKH datang dari UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja mengubah beberapa pasal krusial dalam UU Kehutanan dan UU
P3H, dengan memperkenalkan pendekatan baru untuk menyelesaikan
“keterlanjuran” kegiatan usaha ilegal di dalam kawasan hutan. Melalui
penyisipan Pasal 110A dan Pasal
110B
UU tentang Cipta Kerja, yang mana
membuka jalan bagi penyelesaian melalui sanksi administratif (denda)
sebagai alternatif dari sanksi pidana, sebuah pendekatan yang dikenal
sebagai ultimum remedium (pidana sebagai upaya terakhir).
Kebijakan yang sering disebut sebagai “pemutihan” atau “amnesti parsial” inilah yang menjadi dasar hukum utama bagi Satgas untuk melakukan penagihan denda administratif.
Selanjutnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang selanjutnya disebut dengan “UU P3H”, UU P3H mengkategorikan perusakan hutan yang terorganisasi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kehadiran Satgas PKH dengan pendekatan administratifnya menciptakan sebuah dinamika hukum yang menarik. Di satu sisi, Satgas menawarkan penyelesaian non-pidana. Di sisi lain, Pasal 7 Perpres 5/ 2025 secara tegas menyatakan bahwa “Penertiban Kawasan Hutan... tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana”. Ketentuan ini menciptakan sebuah paradoks yaitu adanya jalur administratif tidak serta-merta menutup jalur pidana. Hal ini memberikan diskresi yang sangat besar kepada aparat penegak hukum (termasuk Satgas) untuk memilih jalur mana yang akan ditempuh terhadap suatu pelanggaran, yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kemudian dalam peraturan pelaksana di bawah undang-undang, kita memiliki PP Nomor
23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, yang mana peraturan ini merupakan turunan langsung dari UU tentang Cipta Kerja yang mengatur secara teknis penyelenggaraan kehutanan, mulai
dari perencanaan, pemanfaatan, hingga rehabilitasi. PP ini menjadi buku
panduan teknis bagi Satgas dalam memahami status dan pengelolaan kawasan
hutan yang menjadi objek penertiban.
PP Nomor
24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata
Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif
di Bidang Kehutanan,
ini adalah peraturan yang paling vital bagi operasional Satgas. PP ini
mengatur secara rinci dan rigid mengenai bagaimana Denda Administratif
dihitung, dikenakan, dan ditagih kepada para pelanggar. Tanpa PP ini,
kewenangan Satgas untuk menagih denda sebagaimana diamanatkan
Pasal 110A dan Pasal
110B UU
tentang
Cipta
Kerja tidak akan dapat dieksekusi. PP ini menjadi justifikasi prosedural
bagi setiap surat tagihan denda yang dikeluarkan dalam rangka penertiban.
Menelusuri Hirarki Dasar Hukum Kewenangan Satgas PKH
Untuk memberikan gambaran yang jernih mengenai arsitektur hukum yang
menopang Satgas PKH, penting untuk menelusuri bagaimana setiap kewenangan
utamanya memiliki akar pada peraturan di berbagai tingkatan, dari peraturan
pelaksana hingga undang-undang induk.
Pertama, kewenangan untuk melakukan Penagihan Denda Administratif, yang menjadi
salah satu pilar utama penertiban, secara spesifik diatur dalam
Pasal 3
huruf
(a)
dan Pasal 8
ayat
(2) Perpres
5/
2025. Kewenangan ini merupakan turunan langsung dari kebijakan yang
diperkenalkan oleh
khususnya melalui
Pasal 37
angka 20
Undang-Undang Cipta Kerja
yang menyisipkan Pasal 110A dan Pasal
110B
UU tentang Kehutanan, yang memungkinkan penyelesaian keterlanjuran melalui sanksi
administratif. Prosedur teknis mengenai cara menghitung dan menagih denda
ini kemudian diatur lebih lanjut secara rinci dalam
PP Nomor
24 Tahun 2021.
Kedua, kewenangan krusial untuk melakukan Penguasaan Kembali Kawasan Hutan
diberikan melalui Pasal 3
huruf
(a)
dan Pasal 8
ayat
(2) Perpres
5/
2025. Landasan fundamental dari kewenangan ini adalah konsep
Hak Menguasai Negara (HMN) atas sumber daya alam, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 4 UU
tentang Kehutanan. Adapun panduan teknis mengenai penyelenggaraan kehutanan, yang mencakup
bagaimana negara melaksanakan kontrolnya, dijabarkan dalam
PP Nomor
23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Ketiga, tugas untuk melakukan Pemulihan Aset di Kawasan Hutan, yang tercantum
dalam Pasal 3
huruf
(a)
dan Pasal 8
ayat
(2) Perpres
5/
2025, secara konseptual sejalan dengan prinsip pemulihan lingkungan hidup yang
diamanatkan dalam
Pasal 90 Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
selanjutnya disebut dengan “UU tentang P2LH”, yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengambil tindakan
pemulihan akibat kerusakan lingkungan.
Keempat, tugas operasional untuk melakukan Inventarisasi Hak Negara diatur dalam Pasal
11
ayat
(2)
huruf
(a) Perpres
5/
2025. Tugas ini merupakan implementasi dari mandat yang lebih tinggi
dalam
Pasal 13
UU tentang Kehutanan
yang mewajibkan adanya inventarisasi hutan. Pelaksanaan teknisnya juga
merujuk pada
PP Nomor
23 Tahun 2021.
Terakhir, kewenangan untuk melakukan Koordinasi Penegakan Hukum sebagaimana disebut
dalam Pasal 11
ayat
(2)
huruf
(e) Perpres
5/
2025, merupakan respons logis terhadap sifat kejahatan kehutanan.
Kewenangan ini selaras dengan semangat
Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang
mengkategorikan perusakan hutan sebagai kejahatan terorganisasi yang
memerlukan penanganan terkoordinasi dan efektif.
Rangkaian dasar hukum ini menegaskan bahwa Satgas PKH, meskipun merupakan
lembaga ad hoc yang dibentuk oleh Presiden, kewenangannya tidaklah
absolut. Setiap tindakannya harus dapat dilacak kembali ke peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, menciptakan sebuah rantai legitimasi
dari level operasional (Perpres) hingga level konstitusional (UUD NRI 1945).
Eksekusi Tanpa Palu Hakim?
Pandangan
Kewenangan “Penguasaan Kembali”
Salah satu kewenangan Satgas PKH yang paling fundamental dan berpotensi
menimbulkan gesekan di lapangan adalah “Penguasaan Kembali Kawasan Hutan”.
Kewenangan ini menimbulkan pertanyaan krusial
yaitu
dapatkah Satgas PKH secara langsung mengambil alih atau mengeksekusi
lahan yang dikuasai pihak lain tanpa melalui proses peradilan dan
mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)?
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pemahaman mengenai posisi
“Penguasaan Kembali” dalam kerangka Hukum Administrasi Negara Indonesia.
Dalam Perpres 5/
2025,
menyatakan bahwa:
“Penguasaan Kembali” didefinisikan sebagai
“tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat guna menyelamatkan dan
menertibkan penguasaan Kawasan Hutan”.
Dari perspektif hukum administrasi, tindakan ini dapat diklasifikasikan
sebagai sebuah
tindakan pemerintahan
(bestuurshandeling), lebih spesifik lagi sebagai bentuk dari
paksaan pemerintahan (bestuursdwang).
Bestuursdwang
adalah kewenangan yang dimiliki oleh organ pemerintahan untuk memaksakan
pemenuhan suatu kewajiban hukum atau mengakhiri suatu pelanggaran tanpa
perlu intervensi yudisial terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk
mengembalikan keadaan pada kondisi yang sesuai dengan hukum (rechtmatige toestand). Dalam konteks Satgas PKH, pelanggarannya adalah penguasaan kawasan hutan
secara tidak sah, dan tindakan “Penguasaan Kembali” bertujuan untuk
memulihkan kontrol negara atas kawasan tersebut.
Dengan demikian, secara doktrinal, perintah untuk melakukan “Penguasaan
Kembali” merupakan sebuah keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang (dalam hal ini, bisa jadi Menteri LHK atau pejabat
yang ditunjuk atas nama Satgas). Tindakan ini berbeda secara fundamental
dengan eksekusi putusan pengadilan. Eksekusi putusan adalah ranah
kewenangan yudikatif yang dilaksanakan oleh aparatur pengadilan (jurusita)
setelah adanya putusan hakim yang final dan mengikat. Sementara itu,
“Penguasaan Kembali” adalah manifestasi dari kekuasaan eksekutif.
Sehingga, meskipun Satgas memiliki kewenangan untuk memerintahkan “Penguasaan Kembali”
sebagai tindakan administratif, pelaksanaannya di lapangan tidak serta-merta
tanpa batas. Persoalan muncul ketika pihak yang menjadi objek penertiban
menolak untuk menyerahkan lahan secara sukarela. Dalam situasi seperti ini,
jika Satgas melakukan pengambilalihan paksa,
tindakan tersebut berisiko dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh
penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), terutama jika pihak yang ditertibkan memiliki klaim hukum (meskipun
mungkin diperdebatkan) atau sedang menempuh upaya hukum untuk melawan
keputusan tersebut.
Prosedur yang ideal dan sesuai dengan prinsip negara hukum
(rechtstaat) menuntut agar setelah keputusan administratif
dikeluarkan, pihak yang ditertibkan diberi kesempatan untuk mematuhinya
secara sukarela atau menempuh jalur hukum. Apabila
terjadi penolakan dan sengketa, penyelesaian akhir idealnya berada di tangan
pengadilan. Namun, Perpres 5/2025 tidak merinci secara detail prosedur teknis pelaksanaan “Penguasaan
Kembali” di lapangan, sehingga membuka ruang interpretasi yang luas dan
potensi konflik.
Kondisi ini diperumit oleh adanya paradoks antara jalur administratif dan
jalur pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Perpres 5/2025, pengenaan sanksi administratif tidak menghapuskan pertanggungjawaban
pidana. Ini adalah implementasi langsung dari model yang diperkenalkan oleh
UU tentang Cipta Kerja, yang bertujuan memberikan fleksibilitas kepada negara.
Namun, fleksibilitas ini melahirkan sebuah kewenangan diskresioner yang
sangat besar di tangan Satgas. Satgas dapat memilih untuk menawarkan “jalur
damai” melalui denda administratif kepada satu pihak, sementara di sisi lain
merekomendasikan proses pidana terhadap pihak lain meskipun jenis
pelanggarannya serupa. Pilihan antara “tongkat” (pidana) dan “wortel” (denda
administratif) ini sepenuhnya berada dalam kewenangan Satgas.
Konsekuensinya, tercipta suatu ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) bagi subjek hukum yang berhadapan dengan Satgas.
Mereka tidak dapat memprediksi secara pasti konsekuensi hukum dari tindakan
mereka. Apakah akan diselesaikan dengan denda, ataukah akan berujung pada
tuntutan pidana?
Diskresi yang luas ini, jika tidak diimbangi dengan kriteria yang jelas,
transparan, dan akuntabel, sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan praktik
penegakan hukum yang selektif. Ini menjadi salah satu titik paling kritis
dalam analisis kewenangan Satgas PKH, di mana efisiensi yang dikejar
berpotensi mengorbankan prinsip kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
hadapan hukum (equality before the law).
Perlindungan Hukum bagi Masyarakat: Upaya Hukum Melawan Tindakan Satgas PKH
Prinsip negara hukum (rechtstaat) mensyaratkan bahwa setiap tindakan
pemerintah yang merugikan warga negara harus dapat diuji dan dikoreksi
melalui mekanisme hukum yang tersedia. Meskipun Satgas PKH dibekali dengan
kewenangan yang sangat besar, tindakannya tidaklah kebal hukum. Terdapat
serangkaian jalur hukum, baik administratif maupun yudisial, yang dapat
ditempuh oleh masyarakat, kelompok masyarakat adat, maupun badan hukum yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan atau tindakan Satgas.
Sebelum menempuh jalur pengadilan, peraturan perundang-undangan di
Indonesia menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa di dalam lingkup
internal pemerintahan itu sendiri, yang dikenal sebagai upaya administratif.
Landasan hukum utama untuk mekanisme ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut dengan “UU
tentang Administrasi Pemerintah”. Upaya administratif terdiri dari dua bentuk:
-
Keberatan, upaya ini diajukan kepada badan atau pejabat pemerintahan yang mengeluarkan
keputusan yang merugikan. Sebagai contoh, jika seorang petani atau
perusahaan menerima Surat Keputusan (SK) Pengenaan Denda Administratif dari
Direktur Jenderal terkait di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) atas nama Satgas, pihak tersebut dapat mengajukan surat keberatan
resmi kepada Direktur Jenderal yang sama. Dalam surat keberatan, pemohon
dapat menguraikan alasan-alasan mengapa keputusan tersebut dianggap keliru,
baik dari segi fakta, prosedur, maupun penerapan hukumnya;
-
Banding Administratif, jika penyelesaian melalui keberatan tidak memuaskan atau tidak ditanggapi,
pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya banding administratif. Banding ini
diajukan kepada atasan dari pejabat atau instansi yang mengeluarkan
keputusan awal. Misalnya, jika keputusan awal dikeluarkan oleh seorang
Direktur Jenderal, maka banding administratif dapat diajukan kepada Menteri
LHK sebagai atasannya. UU tentang Administrasi Pemerintah
memberikan tenggat waktu bagi pejabat untuk merespons upaya administratif
ini, yang jika dilewati, dapat dianggap sebagai penolakan secara fiktif.
Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk
mengoreksi kesalahannya sendiri secara internal, sehingga lebih efisien dan
tidak semua sengketa harus bermuara di pengadilan.
Apabila upaya administratif tidak membuahkan hasil yang diharapkan, atau
dalam kasus-kasus tertentu di mana upaya administratif tidak diwajibkan,
maka pintu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terbuka sebagai benteng
terakhir bagi pencari keadilan.
PTUN adalah lembaga yudikatif yang secara khusus berwenang untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara.
Berikut adalah elemen-elemen kunci dalam mengajukan gugatan ke PTUN terkait
tindakan Satgas PKH:
1)
Objek Sengketa, yang menjadi objek gugatan di PTUN bukanlah Satgas PKH sebagai lembaga,
melainkan keputusan tertulis yang dikeluarkannya atau yang dikeluarkan oleh
pejabat lain atas nama Satgas. Keputusan ini harus memenuhi kriteria sebagai
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yaitu bersifat konkret, individual, dan
final yang menimbulkan akibat hukum. Contoh konkret objek sengketa
adalah:
a.
Surat Keputusan (SK) Pengenaan Denda Administratif;
b.
SK Penetapan Suatu Lahan sebagai Objek Penguasaan Kembali Kawasan
Hutan;
c.
SK Penolakan atas permohonan atau keberatan yang diajukan oleh masyarakat.
2)
Subjek Gugatan (Penggugat), gugatan dapat diajukan oleh “Setiap Orang” yang kepentingannya dirugikan
secara langsung oleh KTUN tersebut. Ini bisa berupa individu (petani,
anggota masyarakat adat), kelompok masyarakat, atau badan hukum (perusahaan,
yayasan);
3)
Tenggat Waktu, gugatan ke PTUN harus diajukan dalam tenggat waktu 90 (sembilan puluh) hari.
Penghitungan waktu ini dimulai sejak saat diterimanya atau diumumkannya KTUN
yang menjadi objek sengketa. Jika pihak penggugat tidak dituju langsung oleh
surat keputusan tersebut (misalnya, masyarakat sekitar yang terdampak),
tenggat waktu dihitung sejak ia mengetahui adanya KTUN yang merugikan
kepentingannya.
4)
Dasar Gugatan, sebuah KTUN dapat dimohonkan untuk dibatalkan oleh PTUN dengan mendalilkan
satu atau lebih alasan berikut, sebagaimana diatur dalam UU Peratun:
-
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku: Misalnya, jika penetapan denda tidak sesuai dengan formula perhitungan
dalam PP Nomor
24 Tahun 2021, atau jika penertiban dilakukan pada lahan yang secara sah
bukan merupakan kawasan hutan;
-
Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB): AUPB adalah prinsip-prinsip hukum tidak tertulis yang harus dijunjung
tinggi oleh pemerintah dalam setiap tindakannya. Gugatan dapat didasarkan
pada pelanggaran terhadap asas-asas seperti:
a)
Asas Kepastian Hukum (Rechtszekerheid): Keputusan yang berubah-ubah atau tidak konsisten;
b)
Asas Keterbukaan (Transparantie): Proses pengambilan keputusan yang tidak transparan;
c)
Asas Proporsionalitas: Sanksi yang dijatuhkan tidak sebanding dengan pelanggarannya;
d)
Asas Kecermatan: Pemerintah tidak cermat dalam mengumpulkan fakta sebelum mengeluarkan
keputusan;
e)
Asas Larangan Bertindak Sewenang-wenang (Detournement de Pouvoir): Kewenangan digunakan untuk tujuan lain di luar yang telah ditetapkan.
Melalui mekanisme gugatan PTUN, hakim akan menguji keabsahan
(rechtmatigheid) dari tindakan Satgas PKH, baik dari segi kewenangan,
prosedur, maupun substansinya. Ini memastikan bahwa kekuasaan eksekutif yang
besar tetap berada dalam koridor hukum dan tunduk pada pengawasan
yudisial.
Putusan PTUN Jakarta Nomor
26/G/2024/PTUN.JKT
Untuk memberikan gambaran nyata dan konkret mengenai bagaimana mekanisme
perlindungan hukum bekerja dalam praktik, analisis terhadap putusan
pengadilan menjadi sangat esensial.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta Nomor 26/G/2024/PTUN.JKT., tertanggal 18 Juli 2024, menyajikan sebuah studi kasus yang relevan dan
penting, di mana sebuah badan hukum swasta berhasil menantang keputusan
administratif yang dikeluarkan oleh otoritas kehutanan, yang notabene
merupakan jenis tindakan yang kini menjadi domain kerja Satgas PKH.
Pemaparan Kasus
Para Pihak, dalam perkara ini, pihak yang bertindak sebagai Penggugat adalah PT
Musirawas Citraharpindo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
perkebunan. Pihak Tergugat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Republik Indonesia
c.q. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, yang merupakan salah satu
organ utama pemerintah dalam administrasi kehutanan.
Objek Sengketa, objek yang digugat dan menjadi pokok sengketa adalah sebuah Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN), yaitu
Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Nomor:
SK-221/PHL/IPPH/HPL.4/11/2023. Keputusan ini berisi tentang
“Penetapan Besaran Tagihan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana
Reboisasi (DR) Atas Kegiatan Perkebunan Yang Telah Terbangun Di Kawasan
Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan Di Bidang Kehutanan”
atas nama PT Musirawas Citraharpindo.
Secara substansi, ini adalah bentuk sanksi administratif berupa denda yang
dikenakan kepada perusahaan karena dianggap telah membangun perkebunan di
dalam kawasan hutan tanpa izin kehutanan, sebuah tindakan yang persis jatuh
dalam lingkup kewenangan penertiban Satgas PKH yang diatur dalam
Perpres 5/2025
dan PP Nomor
24 Tahun 2021.
Duduk Perkara, PT Musirawas Citraharpindo dikenai sanksi administratif oleh pemerintah
(melalui Ditjen PHL KLHK) berdasarkan kerangka hukum yang lahir dari UU
Cipta Kerja, yang memungkinkan penyelesaian keterlanjuran usaha di kawasan
hutan melalui pembayaran denda. Merasa dirugikan oleh keputusan tersebut,
baik karena menganggap penetapannya tidak sah secara prosedural maupun
substansial, perusahaan tersebut menggunakan hak hukumnya untuk mengajukan
gugatan ke PTUN Jakarta, dengan tujuan agar keputusan tersebut dibatalkan
oleh pengadilan.
Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)
Meskipun detail lengkap pertimbangan hukum (ratio decidendi) dari
putusan ini memerlukan akses ke salinan putusan lengkap, amar putusan yang
tersedia memberikan petunjuk yang sangat jelas mengenai hasil akhir dari
pengujian yudisial yang dilakukan oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta.
Amar putusan tersebut berbunyi sebagai berikut:
Dalam
Penundaan
Menolak Permohonan Penundaan
Penggugat;
Dalam Eksepsi
Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima.
Dalam Pokok Perkara
-
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
-
Menyatakan batal Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari
Nomor: SK-221/PHL/IPPH/HPL.4/11/2023...;
-
Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan
Hutan Lestari Nomor: SK-221/PHL/IPPH/HPL.4/11/2023....
Dari amar putusan ini, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim, setelah
memeriksa bukti-bukti dan argumen dari kedua belah pihak, menemukan adanya
cacat hukum yang fatal dalam KTUN yang dikeluarkan oleh Tergugat. Pembatalan
sebuah KTUN oleh pengadilan biasanya didasarkan pada temuan bahwa keputusan
tersebut melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Kemungkinan besar, hakim
menilai bahwa Tergugat telah melakukan kesalahan dalam proses penerbitan SK,
misalnya tidak cermat dalam verifikasi data lapangan, keliru dalam
menerapkan formula perhitungan denda, atau gagal membuktikan secara
meyakinkan bahwa lahan yang menjadi objek sanksi memang benar berstatus
kawasan hutan yang diklaim.
Signifikansi Putusan
Putusan PTUN Jakarta dalam perkara Musirawas Citraharpindo ini
memiliki signifikansi yang sangat besar dalam konteks kewenangan Satgas PKH
dan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Putusan ini menjadi bukti empiris bahwa PTUN berfungsi sebagai mekanisme
check and balance yang vital dan efektif terhadap kekuasaan eksekutif
di bidang kehutanan. Ia menegaskan sebuah prinsip fundamental dalam negara
hukum
yaitu
kewenangan pemerintah, sebesar apapun itu, tidaklah absolut dan senantiasa
tunduk pada pengawasan yudisial (judicial review).
Keberhasilan PT
Musirawas Citraharpindo dalam membatalkan SK sanksi administratif dari KLHK
mengirimkan pesan yang kuat bahwa setiap keputusan yang diambil oleh
pemerintah dalam rangka penertiban kawasan hutan—termasuk yang nantinya akan
dieksekusi oleh Satgas PKH—haruslah didasarkan pada prosedur yang benar,
bukti yang kuat, dan dasar hukum yang solid. Pemerintah tidak bisa bertindak
sewenang-wenang. Setiap surat keputusan pengenaan denda atau perintah
penguasaan kembali yang dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan di
hadapan hukum.
Kasus ini secara langsung menjawab pertanyaan mengenai apakah ada
perlindungan hukum bagi pihak yang ditertibkan.
Jawabannya adalah ya, dan perlindungan itu nyata adanya melalui jalur
PTUN. Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang dapat dijadikan acuan oleh
individu, masyarakat adat, atau perusahaan lain yang mungkin akan berhadapan
dengan Satgas PKH di masa depan. Ia mengafirmasi supremasi hukum (rule of law)
atas supremasi kekuasaan (rule by law), memastikan bahwa penertiban
yang dilakukan adalah penertiban yang berkeadilan dan sesuai dengan koridor
hukum, bukan sekadar unjuk kekuatan negara (machtstaat).
Dimensi Kontroversial: Militerisasi, Transparansi, dan Keadilan Sosial
Di balik tujuan mulianya untuk menertibkan kawasan hutan dan menyelamatkan
penerimaan negara, kehadiran Satgas PKH tidak luput dari kritik dan
kontroversi yang tajam dari berbagai kalangan, terutama dari organisasi
masyarakat sipil. Kritik ini menyoroti tiga isu utama: potensi militerisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam, minimnya transparansi dan akuntabilitas,
serta potensi dampak negatif terhadap masyarakat adat dan petani kecil.
Salah satu kritik paling keras yang dilontarkan terhadap Perpres 5/2025 adalah keterlibatan unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri) secara
masif dan struktural dalam keanggotaan Satgas PKH. Berbagai organisasi
seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) menyuarakan kekhawatiran bahwa pendekatan ini menandai
kembalinya “militerisasi” dalam penanganan konflik agraria dan kehutanan,
sebuah pendekatan yang mengingatkan pada era Orde Baru.
Kritik ini bukan tanpa dasar. Jika ditelaah lebih dalam struktur Satgas PKH
dalam Perpres tersebut, terlihat jelas dominasi pejabat dari unsur
pertahanan dan keamanan. Keterlibatan ini dinilai tidak hanya berpotensi
menciptakan pendekatan yang represif dan intimidatif di lapangan, tetapi
juga menimbulkan pertanyaan serius dari segi hukum ketatanegaraan.
Pelibatan TNI dalam urusan di luar pertahanan negara diatur secara ketat
dalam undang-undang. Tugas-tugas semacam ini dikategorikan sebagai Operasi
Militer Selain Perang (OMSP). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
sebagaimana terakhir telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, pengerahan kekuatan TNI untuk OMSP harus didasarkan pada keputusan
politik negara, yang dalam banyak kasus memerlukan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Para kritikus berargumen bahwa penugasan TNI dalam Satgas PKH, yang
ditetapkan hanya melalui sebuah Peraturan Presiden, berpotensi melangkahi
mekanisme konstitusional tersebut. Apakah penertiban kawasan hutan dapat
dikategorikan sebagai OMSP yang tidak memerlukan persetujuan DPR? Pertanyaan
ini menjadi inti dari perdebatan hukum tata negara. Pelibatan militer
melalui Perpres dapat dianggap sebagai bentuk
executive overreach
atau
tindakan eksekutif yang melampaui batas kewenangannya, mengabaikan peran
pengawasan dari lembaga legislatif.
Lebih dari sekadar perdebatan hukum, pendekatan ini dikhawatirkan akan
mengubah dinamika konflik di lapangan dari sengketa administrasi atau
perdata menjadi isu keamanan, yang dapat merugikan posisi tawar masyarakat
yang lemah.
Isu Transparansi dan Akuntabilitas
Masalah lain yang menjadi sorotan adalah potensi minimnya transparansi dan
akuntabilitas dalam operasional Satgas PKH. Pengalaman dari Satgas Sawit
sebelumnya menunjukkan bahwa informasi mengenai progres kerja, subjek hukum
yang telah ditindak, besaran denda yang berhasil ditagih, dan alokasi dana
yang terkumpul seringkali sulit diakses oleh publik. Hanya melalui gugatan
sengketa informasi publik, sebagian data baru dapat terungkap.
Kekhawatiran ini kembali muncul terkait Satgas PKH. Perpres 5/
2025 memang mewajibkan Satgas untuk melapor kepada Presiden setidaknya
setiap enam bulan sekali. Namun, tidak ada kewajiban eksplisit dalam
peraturan tersebut yang mengharuskan laporan tersebut dipublikasikan secara
luas kepada masyarakat. Ketiadaan mekanisme transparansi yang kuat ini
bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya
asas keterbukaan. Publik berhak mengetahui bagaimana Satgas bekerja, siapa
saja yang menjadi targetnya (terutama korporasi besar), berapa besar
kerugian negara yang berhasil dipulihkan, dan bagaimana dana tersebut
dimanfaatkan. Tanpa transparansi, Satgas berisiko menjadi “kotak hitam” yang
kekuasaannya besar namun sulit diawasi, membuka celah bagi praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme, serta penegakan hukum yang tebang pilih.
Potensi Dampak terhadap Masyarakat Adat dan Petani Kecil
Meskipun pemerintah menyatakan bahwa target utama Satgas adalah korporasi
besar yang melakukan pelanggaran, rumusan hukum dalam Perpres 5/
2025 menggunakan frasa yang sangat luas, yaitu menargetkan “Setiap Orang”
yang melakukan penguasaan kawasan hutan secara tidak sah. Diksi yang netral
ini justru menimbulkan kekhawatiran besar bagi masyarakat adat dan petani
kecil.
Banyak komunitas adat dan lokal telah mendiami dan mengelola wilayah yang kemudian diklaim secara sepihak oleh negara sebagai “kawasan hutan” tanpa melalui proses konsultasi yang adil. Mereka hidup dan bertani di lahan tersebut secara turun-temurun, namun seringkali tidak memiliki alas hak formal yang diakui negara. Dengan pendekatan Satgas yang legalistik-formal, mereka sangat rentan untuk dikategorikan sebagai “pelanggar” atau “perambah ilegal”.
Alih-alih mendapatkan penyelesaian konflik tenurial yang berkeadilan dan
pengakuan atas hak-hak mereka, masyarakat adat dan petani kecil justru
berisiko menjadi korban kriminalisasi. Mereka bisa saja dihadapkan pada
pilihan yang sama dengan korporasi besar: membayar denda atau menghadapi
penguasaan kembali lahan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Hal ini
menyamaratakan posisi antara korporasi raksasa yang meraup keuntungan
miliaran dari aktivitas ilegal dengan masyarakat kecil yang berjuang untuk
bertahan hidup.
Oleh karena itu, organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan
AMAN mendesak agar penertiban yang dilakukan Satgas harus secara tegas
membedakan antara kejahatan korporasi dengan klaim historis masyarakat, dan
memprioritaskan penyelesaian konflik agraria serta pengakuan hutan adat,
bukan sekadar penegakan hukum yang buta terhadap konteks sosial dan sejarah.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Setelah melakukan analisis yuridis, historis, dan kritis yang mendalam,
laporan ini sampai pada beberapa kesimpulan kunci mengenai kedudukan,
kewenangan, dan implikasi dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas
PKH) di Indonesia.
Satgas PKH adalah Institusi Eksekutif yang Diperkuat dan
Diformalisasi
yaitu Satgas PKH bukanlah entitas yang sepenuhnya baru, melainkan evolusi dari
satuan tugas sebelumnya, seperti Satgas Sawit. Peralihannya dari landasan
hukum Keputusan Presiden (Keppres) ke Peraturan Presiden (Perpres)
menandakan sebuah eskalasi dan formalisasi. Ia kini menjadi sebuah badan
ad hoc eksekutif yang kuat, dengan mandat yang sangat luas untuk
menertibkan tidak hanya perkebunan sawit, tetapi seluruh kegiatan ilegal di
dalam kawasan hutan, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Kewenangan Berbasis Pendekatan Ganda
yaitu Administratif dan Pidana
yaitu menjadi inti kewenangan Satgas PKH terletak pada pendekatan
ultimum remedium yang diwarisi dari Undang-Undang Cipta Kerja. Alat
utamanya adalah sanksi administratif (denda) dan paksaan pemerintahan
(“Penguasaan Kembali”), yang memungkinkan penyelesaian di luar jalur
peradilan pidana. Namun, Perpres 5/
2025 secara eksplisit mempertahankan ancaman sanksi pidana. Kewenangan ganda
ini memberikan diskresi yang sangat besar kepada Satgas untuk menentukan
nasib hukum para pelanggar, menciptakan potensi ketidakpastian hukum dan
risiko penegakan hukum yang selektif.
Kewenangan “Penguasaan Kembali” lahan merupakan bentuk paksaan pemerintahan
(bestuursdwang) dan bukan eksekusi yudisial. Artinya, perintahnya
dapat dikeluarkan tanpa putusan pengadilan. Namun, kewenangan ini tidak
absolut. Pelaksanaannya harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum
administrasi, dan keputusannya dapat digugat dan diuji keabsahannya di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Studi kasus seperti Putusan PTUN Jakarta Nomor
26/G/2024/PTUN.JKT secara empiris
membuktikan bahwa PTUN berfungsi sebagai mekanisme
check and balance yang efektif. Pengadilan memiliki dan menggunakan wewenangnya untuk membatalkan
keputusan administratif dari otoritas kehutanan yang dianggap cacat hukum.
Ini menegaskan bahwa PTUN merupakan jalur perlindungan hukum utama dan nyata
bagi setiap pihak—baik individu, masyarakat, maupun korporasi—yang dirugikan
oleh tindakan Satgas.
Meskipun memiliki tujuan yang strategis, pembentukan dan desain Satgas PKH
diwarnai oleh kontroversi yang signifikan. Kritik utama mencakup
(a)
potensi militerisasi pengelolaan hutan akibat keterlibatan masif TNI/Polri
yang menimbulkan pertanyaan konstitusional;
(b)
minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam operasional dan pelaporannya;
serta
(c)
risiko ketidakadilan sosial, di mana pendekatan hukum yang kaku berpotensi
mengkriminalisasi masyarakat adat dan petani kecil yang memiliki klaim
historis atas tanah.
Rekomendasi Kebijakan Konstruktif
Berdasarkan temuan-temuan di atas, berikut adalah beberapa rekomendasi
kebijakan yang ditujukan kepada para pemangku kepentingan untuk memastikan
bahwa kerja Satgas PKH berjalan efektif, adil, dan sesuai dengan koridor
negara hukum.
Satgas harus segera menyusun SOP yang detail, jelas, dan transparan untuk
setiap tindakannya, terutama untuk “Penguasaan Kembali”. SOP ini harus
mencakup mekanisme notifikasi yang layak, verifikasi klaim partisipatif,
mediasi, dan pemberian jangka waktu yang cukup bagi pihak yang ditertibkan
untuk menempuh upaya hukum sebelum eksekusi fisik dilakukan.
Untuk menjawab kritik mengenai akuntabilitas, Satgas perlu membangun sebuah
dasbor atau portal daring yang dapat diakses publik. Portal ini harus
menyajikan data secara berkala mengenai kasus yang ditangani (dengan
anonimisasi jika diperlukan untuk individu), daftar korporasi yang dikenai
sanksi, jumlah denda yang ditetapkan dan yang telah dibayar, serta luasan
kawasan hutan yang berhasil dikuasai kembali.
Dalam operasionalnya, Satgas harus secara eksplisit membedakan antara
pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi skala besar untuk tujuan komersial
dengan penguasaan lahan oleh masyarakat adat atau petani kecil untuk
kebutuhan subsisten. Penanganan terhadap masyarakat harus mengedepankan
pendekatan penyelesaian konflik tenurial dan percepatan pengakuan hak, bukan
penegakan hukum semata.
Komisi IV dan Komisi III DPR RI harus secara aktif melakukan fungsi
pengawasan terhadap implementasi Perpres 5/2025. Pengawasan ini harus fokus pada dampak sosial, potensi pelanggaran
HAM, dan efektivitas Satgas dalam menindak korporasi besar.
DPR, melalui alat kelengkapannya, perlu melakukan kajian mendalam mengenai
aspek ketatanegaraan dari pelibatan TNI dalam Satgas PKH. Kajian ini penting
untuk memastikan bahwa model gugus tugas ini tidak melanggar prinsip-prinsip
Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan menjaga supremasi sipil.
Selain itu, untuk Organisasi masyarakat sipil dan praktisi hukum harus terus mengawal setiap
tindakan Satgas dan secara aktif memanfaatkan mekanisme gugatan PTUN untuk
menantang keputusan-keputusan yang dianggap sewenang-wenang atau tidak adil.
Langkah ini krusial untuk membangun yurisprudensi yang dapat memperjelas dan
membatasi ruang lingkup kewenangan Satgas.
Mengorganisasi
dan menyediakan bantuan hukum bagi komunitas-komunitas rentan yang berisiko
menjadi target penertiban, untuk memastikan mereka memahami hak-haknya dan
mampu mengakses mekanisme keadilan yang tersedia.
Bagi kalangan akademisi dan peneliti perlu terus melakukan studi independen untuk
mengevaluasi efektivitas dan dampak dari kebijakan Satgas PKH, guna
memberikan masukan berbasis bukti bagi perbaikan kebijakan di masa
depan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.