Definisi dan Filosofi Amnesti
Dalam khazanah Hukum Tata Negara
(“HTN”), amnesti merupakan satu di antara
instrumen hukum yang paling sarat dengan dimensi politik dan keadilan.
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani amnestia, yang berarti
“kelupaan” atau “pengampunan umum.” Secara yuridis, amnesti diartikan
sebagai tindakan hukum oleh kepala negara yang menghapuskan seluruh akibat
hukum pidana yang melekat pada suatu tindak pidana tertentu, baik yang
dilakukan oleh individu maupun sekelompok orang. Dalam esensinya,
amnesti menyatakan bahwa perbuatan pidana yang telah terjadi dianggap
tidak pernah ada, dan seluruh konsekuensi hukumnya—mulai dari penuntutan, persidangan,
hingga eksekusi pidana—ditiadakan.[1]
Konsep amnesti sebagai penghapusan akibat hukum pidana telah dikenal dalam
tradisi hukum sejak masa Romawi Kuno
(ancient rome)
dan berkembang dalam sistem hukum modern sebagai
bagian dari prerogatif kekuasaan eksekutif dalam menghadapi situasi luar
biasa, seperti konflik politik atau transisi kekuasaan. Dalam banyak sistem
hukum, termasuk Indonesia,
amnesti juga mencerminkan upaya negara dalam menyeimbangkan prinsip
keadilan hukum dengan kebutuhan rekonsiliasi
dan stabilitas sosial.
Selain sebagai tindakan penghapusan pidana, amnesti juga berfungsi sebagai
alat politik untuk menciptakan ruang dialog, perdamaian, dan pengampunan
dalam konteks transisi demokrasi atau pemulihan pasca-konflik. Dalam
praktiknya, amnesti dapat mencakup penghapusan penuntutan, pembatalan
putusan pidana, atau penghapusan status hukum terhadap suatu tindakan
tertentu.[2]
Secara filosofis, amnesti adalah manifestasi luar biasa dari ius poeniendi,
yakni hak negara untuk menghukum. Dalam konteks ini, negara secara sadar
memilih untuk tidak menggunakan hak absolutnya tersebut demi mencapai tujuan
yang dianggap lebih luhur dan fundamental. Kewenangan ini berakar dari
tradisi sistem monarki Inggris, di mana raja, sebagai sumber keadilan (fountain of justice), memiliki hak prerogatif untuk memberikan pengampunan (executive prerogative) kepada warganya.
Dalam sistem presidensial modern, kewenangan ini bertransformasi menjadi
hak prerogatif presiden, yang penggunaannya dibatasi dan diimbangi oleh
mekanisme ketatanegaraan. Penting untuk membedakan amnesti dari bentuk pengampunan negara lainnya.
Grasi adalah pengampunan yang bersifat individual, yang hanya mengubah,
meringankan, mengurangi, atau menghapus sanksi pidana yang telah dijatuhkan,
tanpa menghilangkan status terpidana dari orang yang bersangkutan. Abolisi
adalah penghentian proses penuntutan terhadap suatu perkara pidana yang
sedang atau akan berjalan, yang berarti perkara tersebut tidak akan pernah
sampai ke pengadilan.
Sementara itu, rehabilitasi adalah pemulihan hak, kehormatan, dan martabat
seseorang yang telah diputus bebas atau yang putusan pemidanaannya telah
dibatalkan.
Sehingga, dapat disimpulkan di sini bahwa amnesti, dengan cakupannya yang paling luas, menghapuskan tindak pidana itu
sendiri dari catatan hukum.
Adagium Hukum sebagai Landasan Pemikiran
Pemberian amnesti sering kali didasarkan pada pertimbangan “kepentingan
negara”, sebuah frasa yang tercantum secara eksplisit sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Untuk memahami makna filosofis di balik frasa ini, relevan untuk merujuk
pada adagium hukum Romawi:
Salus Populi Suprema Lex Esto, yang berarti “Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi”.
Adagium ini memberikan landasan pemikiran bahwa dalam situasi tertentu,
tindakan yang menjamin keselamatan, stabilitas, dan kebaikan bersama—seperti
rekonsiliasi nasional atau pemulihan rasa keadilan publik—dapat menjadi
justifikasi untuk menangguhkan penerapan hukum pidana secara normal.
“Kepentingan negara”, dalam bingkai adagium ini,
bukanlah kepentingan penguasa, melainkan kepentingan kolektif
masyarakat untuk mencapai perdamaian dan ketertiban.
Namun, penggunaan kewenangan ini juga menghadirkan dilema fundamental yang
terkandung dalam adagium lain
yaitu Fiat Justitia Ruat Caelum, yang berarti “Keadilan harus ditegakkan, meskipun langit akan runtuh”. Adagium ini merepresentasikan prinsip keadilan prosedural dan kepastian
hukum yang menuntut agar setiap pelanggaran hukum diproses dan dihukum tanpa
kecuali.
Ketegangan antara Salus Populi Suprema Lex Esto dan
Fiat Justitia Ruat Caelum inilah yang menjadi inti perdebatan dalam
setiap pemberian amnesti. Di satu sisi, ada tuntutan untuk mencapai tujuan
politik dan sosial yang lebih besar; di sisi lain, ada keharusan untuk
mempertahankan supremasi hukum dan tidak menciptakan preseden impunitas.
Konteks Global Amnesti
Untuk memperoleh perspektif yang lebih luas, penting untuk meninjau praktik
amnesti di panggung global, yang menunjukkan pola penggunaan universal
sebagai alat transisi politik. Sejarah mencatat praktik ini sejak zaman
Mesir Kuno, di mana Firaun Ramesses II dilaporkan mengampuni musuh-musuh
perangnya untuk menciptakan perdamaian.[3]
Di era yang lebih modern, beberapa contoh menonjol memberikan konteks yang
berharga:
-
Pasca-Perang Saudara, Pemerintah Yunani memberikan amnesti kepada para
anggota Partai Komunis Yunani melalui Perjanjian Varkiza
(Treaty of Varkiza)
pada tahun 1945. Langkah ini diambil sebagai upaya krusial untuk mengakhiri
konflik ideologis yang berkepanjangan dan memulai proses rekonsiliasi
nasional;[4]
-
Setelah kudeta militer yang menggulingkan Presiden Salvador Allende pada
tahun 1973, rezim militer di bawah Augusto Pinochet mengeluarkan dekret
amnesti. Meskipun kontroversial, tujuan awalnya adalah untuk meredam
pemberontakan dan konflik internal yang tersisa, sebagai bagian dari upaya
konsolidasi kekuasaan dan transisi menuju tatanan baru.[5]
Dari contoh-contoh ini, terlihat sebuah benang merah bahwa amnesti secara
historis sering kali menjadi instrumen politik yang digunakan pada
titik-titik kritis sejarah suatu bangsa, terutama untuk beralih dari periode
konflik bersenjata, perang saudara, atau perpecahan politik yang mendalam
menuju era perdamaian dan stabilitas.
Konteks global ini menjadi titik pijak yang penting untuk memahami
bagaimana Indonesia, sebagai negara yang lahir dari revolusi dan kerap
menghadapi pergolakan internal, mengadopsi dan kemudian mengadaptasi konsep
amnesti sesuai dengan dinamika politik dan hukumnya yang unik. Sebagaimana
akan diuraikan, praktik amnesti di Indonesia menunjukkan evolusi yang
menarik, dari alat rekonsiliasi pasca-konflik menjadi instrumen koreksi
terhadap sistem peradilan itu sendiri—sebuah perkembangan yang menandai
deviasi signifikan dari pola historis global.
Fondasi Yuridis Pemberian Amnesti di Indonesia
Kerangka hukum yang mengatur pemberian amnesti di Indonesia tersusun secara
hierarkis, mulai dari norma dasar dalam konstitusi hingga peraturan
pelaksana yang, meskipun usang, masih menjadi rujukan. Analisis terhadap
fondasi yuridis ini menyingkap adanya diskrepansi dan kekosongan hukum yang
signifikan.
Landasan konstitusional tertinggi bagi kewenangan Presiden untuk memberikan
amnesti tertuang dalam
Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI Tahun 1945”, yang berbunyi:
“Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal ini, yang merupakan hasil dari Amandemen Pertama UUD 1945, menandai
pergeseran fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum
amandemen, kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti dan hak-hak
prerogatif lainnya bersifat absolut dan tidak memerlukan persetujuan atau
pertimbangan dari lembaga negara lain. Perubahan ini secara eksplisit
bertujuan untuk membatasi kekuasaan Presiden yang terlampau besar (executive heavy) dan memperkuat mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Frasa kunci dalam pasal ini adalah “dengan memperhatikan pertimbangan”. Secara yuridis, kata “memperhatikan
pertimbangan” tidak sama dengan “dengan persetujuan”. Ini berarti bahwa
pertimbangan yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi Presiden.
Presiden tetap memegang diskresi akhir untuk memberikan atau tidak
memberikan amnesti.
Namun, dalam praktik ketatanegaraan yang demokratis, pengabaian terhadap
pertimbangan DPR akan membawa konsekuensi politik yang serius dan dapat
merusak hubungan kerja antara kedua lembaga negara. Dengan demikian,
Pasal 14 Ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945
menempatkan amnesti pada
titik persinggungan yang unik antara hukum dan politik, di mana keputusan
akhir Presiden, meskipun
sah secara hukum, harus dapat dipertanggungjawabkan secara politik kepada
wakil rakyat.
Meskipun UUD NRI Tahun 1945 adalah
sumber hukum tertinggi, peraturan teknis mengenai amnesti masih
mengacu pada produk hukum yang jauh lebih tua, yaitu
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi,
yang selanjutnya disebut dengan “UU Darurat 11/1954”. Undang-undang ini memuat dua pasal krusial yang, dalam praktiknya, masih
terus dirujuk hingga hari ini.
Pasal 1 UU Darurat 11/1954 menyatakan:
“Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi
kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden
memberi amnesti dan abolisi ini
setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan
nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.”
Pasal 4 UU Darurat 11/1954
mendefinisikan akibat hukum dari amnesti:
“Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang
termaksud dalam pasal 1 dan 2 dihapuskan.”
Pasal 4 inilah yang menjadi ketentuan paling relevan dan sering dikutip
dalam setiap penerbitan Keputusan Presiden tentang amnesti, karena ia
memberikan definisi yang jelas mengenai dampak hukum dari tindakan tersebut.
Namun, penggunaan UU Darurat 11/1954 dalam konteks ketatanegaraan saat ini
menimbulkan anomali dan problematika hukum yang serius. Terdapat sebuah
skisma konstitusional dan kekosongan hukum prosedural yang lahir dari
kegagalan legislatif untuk memperbarui peraturan ini.
Pertama, terjadi kontradiksi fundamental antara hukum pelaksana dan konstitusi. UU
Darurat 11/1954, yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950, mensyaratkan “nasihat tertulis dari Mahkamah Agung”. Di
sisi lain, UUD NRI Tahun 1945 pasca-amandemen secara tegas mensyaratkan “pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam praktiknya, pemerintah modern mengikuti amanat UUD NRI Tahun 1945
dengan meminta pertimbangan DPR, namun ironisnya masih merujuk pada UU
Darurat 11/1954 untuk landasan hukum formal dan akibat hukumnya.
Ini menciptakan sebuah praktik hukum yang tambal sulam dan tidak
koheren.
Kedua, UU Darurat 11/1954 pada hakikatnya bersifat einmalig, atau
hanya berlaku untuk satu kali kejadian spesifik.
Pasal 2 UU Darurat 11/1954 secara eksplisit menyatakan bahwa
amnesti dan abolisi ditujukan “kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan
sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara
Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda”.
Penggunaannya yang berkelanjutan untuk kasus-kasus modern, mulai dari
pemberontakan DI/TII hingga kasus UU ITE, merupakan sebuah “peregangan”
interpretasi hukum yang lahir dari ketiadaan alternatif legislasi yang
memadai.
Ketiga, undang-undang ini menciptakan kekosongan hukum prosedural. Ia sama sekali
tidak mengatur tata cara pengajuan amnesti, jangka waktu proses, partisipasi
publik, atau yang terpenting, kriteria objektif dari frasa “kepentingan Negara”. Kekosongan ini membuat proses pemberian amnesti menjadi kurang
transparan, tidak akuntabel, dan sangat rentan terhadap subjektivitas
politik penguasa.
Instrumen Eksekusi: Keputusan Presiden (Keppres)
Mekanisme pemberian amnesti secara formal diakhiri dengan penerbitan
Keputusan Presiden (Keppres). Keppres adalah produk hukum administratif
(beschikking) yang bersifat konkret, individual, dan final. Ia
menjadi instrumen eksekusi yang memberikan kekuatan hukum mengikat terhadap
keputusan amnesti. Pelaksanaan teknis dari Keppres ini, seperti pembebasan
narapidana dan penghapusan catatan hukum, kemudian dikoordinasikan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Jaksa Agung Republik
Indonesia.
Lintas Sejarah Amnesti: Dari Hindia Belanda hingga Era Kontemporer
Sejarah pemberian amnesti di Indonesia bukanlah sekadar rangkaian peristiwa
hukum, melainkan sebuah cermin yang merefleksikan dinamika politik,
prioritas rezim, dan evolusi pemahaman bangsa tentang keadilan dan
rekonsiliasi. Jejaknya dapat dilacak dari era kolonial hingga perdebatan
kontemporer, menunjukkan bagaimana instrumen ini bertransformasi dari alat
konsolidasi kekuasaan menjadi sarana koreksi peradilan.
Dalam kerangka sistem hukum kolonial yang mengadopsi tradisi
civil law Eropa Kontinental, mekanisme pengampunan dikenal sebagai
bentuk intervensi eksekutif atas putusan peradilan. Gubernur Jenderal
memiliki diskresi untuk memberikan pengampunan atau penghapusan hukuman tertentu demi kepentingan politik atau ketertiban
kolonial. Praktik ini mencerminkan warisan hukum kontinental Belanda yang
menempatkan kepala eksekutif sebagai otoritas tertinggi dalam sistem
peradilan kolonial, yang kemudian menjadi embrio kewenangan pengampunan
dalam sistem hukum nasional Indonesia setelah merdeka.[6]
Daniel S. Lev mencatat bahwa transisi dari kekuasaan kolonial ke republik
tidak serta-merta menghapus warisan yuridis masa lalu, melainkan banyak di
antaranya diadopsi dan disesuaikan dengan semangat konstitusi baru. Dalam
konteks ini, kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD NRI 1945 adalah
manifestasi modern dari tradisi prerogatif eksekutif yang dahulu dipegang
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[7]
Lebih jauh, Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa praktik pengampunan di
Indonesia—baik dalam bentuk amnesti, abolisi, maupun grasi—merupakan
kelanjutan dari tradisi hukum yang menempatkan kepala negara sebagai penjaga
terakhir nilai keadilan substantif, di luar mekanisme hukum yang formal.
Dalam praktik ketatanegaraan modern, tindakan tersebut bukan semata-mata
kekuasaan absolut, tetapi telah dibatasi oleh norma konstitusi dan
pengawasan politik melalui Dewan Perwakilan Rakyat.[8]
Oleh karena itu, evolusi amnesti di Indonesia harus dipahami dalam bingkai
historis yang berlapis: sebagai warisan kolonial, sebagai instrumen
konstitusional pascakemerdekaan, dan sebagai bagian dari dinamika negara
hukum demokratis. Amnesti telah bertransformasi dari instrumen konsolidasi
kekuasaan menjadi sarana koreksi sistem peradilan dan jembatan menuju
rekonsiliasi nasional.
Praktik pemberian amnesti di Indonesia bukanlah sekadar catatan kaki dalam
buku hukum, melainkan sebuah narasi konstruktif
yang merefleksikan denyut nadi politik bangsa dari masa ke masa. Setiap
Keputusan Presiden yang memberikan pengampunan umum menjadi penanda zaman,
merekam bagaimana negara merespons pemberontakan, merajut kembali tenun
kebangsaan yang terkoyak, mendekonstruksi warisan otoritarianisme, hingga
mengoreksi putusan peradilan yang mencederai rasa keadilan. Jejak-jejak ini,
dari era konsolidasi Orde Lama hingga preseden kemanusiaan di era
kontemporer, melukiskan evolusi amnesti sebagai instrumen yang dinamis dan
multifaset.
Pada masa awal kemerdekaan, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno,
amnesti menjadi alat vital untuk konsolidasi bangsa yang tengah rapuh akibat
berbagai pemberontakan. Melalui Keppres Nomor 303 Tahun 1959, pemerintah merangkul kembali para pengikut pemberontakan DI/TII pimpinan
Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan yang dianggap telah insyaf dan bersedia
kembali ke pangkuan NKRI.
Langkah ini kemudian diperluas secara masif melalui Keppres Nomor 449 Tahun 1961, yang menjadi salah satu amnesti terbesar dalam sejarah Indonesia. Keppres
ini tidak hanya menyasar sisa-sisa pengikut DI/TII, tetapi juga para
pemberontak dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI),
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), hingga Republik Maluku Selatan (RMS).
Tujuan utamanya jelas
yaitu mengakhiri pergolakan daerah dan menyatukan kembali elemen-elemen bangsa
yang tercerai-berai demi keutuhan negara.
Bergeser ke era Orde Baru, fokus politik berubah ke arah stabilitas
hegemonik. Amnesti digunakan secara lebih pragmatis dan terbatas. Contoh
paling menonjol adalah Keppres Nomor 63 Tahun 1977, yang memberikan amnesti umum kepada para pengikut gerakan Fretilin di
Timor Timur. Dalih “kepentingan Negara dan kesatuan bangsa” digunakan
untuk melancarkan program pembangunan di provinsi yang baru diintegrasikan
tersebut, sekaligus meredam potensi gangguan terhadap stabilitas politik
yang dijaga ketat oleh rezim.
Jatuhnya Orde Baru pada 1998 menandai babak baru yang dramatis. Amnesti
bertransformasi menjadi simbol dekonstruksi otoritarianisme. Presiden B.J.
Habibie, melalui Keppres Nomor 80 Tahun 1998, memberikan amnesti kepada dua tokoh oposisi vokal, Sri Bintang Pamungkas
dan Muchtar Pakpahan, yang dipenjara karena kritik keras mereka terhadap
rezim sebelumnya.
Langkah ini dilanjutkan dengan Keppres Nomor 123 Tahun 1998
yang membebaskan sejumlah aktivis politik lain, termasuk yang terkait isu
Aceh dan Timor Timur. Tongkat estafet reformasi dilanjutkan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang melalui Keppres Nomor 159 Tahun 1999, memberikan amnesti kepada Budiman Sudjatmiko dan aktivis Partai Rakyat
Demokratik (PRD) lainnya, yang menjadi “musuh negara” di era Orde Baru
karena dituduh mendalangi peristiwa 27 Juli 1996.
Pada era yang lebih modern, amnesti digunakan sebagai instrumen
penyelesaian konflik yang matang dan sebagai katup pengaman keadilan.
Sebagai implementasi krusial dari Perjanjian Damai Helsinki, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Keppres Nomor 22 Tahun 2005, yang memberikan amnesti umum kepada sekitar 1.200 anggota Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Langkah ini terbukti efektif mengakhiri konflik bersenjata
puluhan tahun di Serambi Mekkah.
Puncak evolusi amnesti terjadi pada masa Presiden Joko Widodo.
Melalui Keppres Nomor
24 Tahun 2019, amnesti diberikan kepada Baiq Nuril, seorang korban pelecehan seksual
yang justru dikriminalisasi oleh UU ITE. Ini adalah sebuah preseden
bersejarah, di mana amnesti untuk pertama kalinya diberikan bukan karena
alasan politik, melainkan murni atas dasar kemanusiaan dan sebagai koreksi
atas putusan peradilan yang dinilai telah mencederai rasa keadilan publik.
Tata Cara dan Mekanisme Pemberian Amnesti
Meskipun landasan hukumnya usang, praktik ketatanegaraan modern telah
membentuk sebuah alur prosedur yang relatif baku dalam proses pemberian
amnesti. Proses ini, yang didasarkan pada amanat UUD NRI Tahun 1945
pasca-amandemen, melibatkan interaksi formal antara Presiden dan DPR, yang
menegaskan sifat ganda amnesti sebagai instrumen hukum sekaligus
politik.
Proses pemberian amnesti dapat diuraikan ke dalam beberapa tahapan kunci
sebagai berikut:
1)
Inisiatif untuk memberikan amnesti berada di tangan Presiden. Inisiatif ini
dapat muncul dari pertimbangan Presiden sendiri atau sebagai respons
terhadap permohonan, desakan publik, atau rekomendasi dari berbagai kelompok
masyarakat. Perlu dicatat bahwa peraturan perundang-undangan yang ada tidak
mengatur secara spesifik mekanisme pengajuan permohonan amnesti secara
formal, sehingga sifatnya lebih banyak didasarkan pada momentum politik dan
diskresi Presiden;
2)
Setelah memutuskan untuk mempertimbangkan pemberian amnesti, Presiden
secara resmi akan mengirimkan surat kepada Pimpinan DPR. Surat Presiden
(Surpres) ini berisi permintaan agar DPR memberikan pertimbangan atas
rencana pemberian amnesti kepada individu atau kelompok tertentu. Sebagai
contoh, dalam wacana pemberian abolisi kepada Tom Lembong, proses formal
dimulai dengan pengiriman
Surpres Nomor R.43/PRES/07/2025;
3)
Setelah menerima Surpres, DPR akan memproses permintaan tersebut sesuai
dengan mekanisme internalnya. Kewenangan DPR untuk memberikan pertimbangan
ini diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan
dipertegas dalam peraturan perundang-undangan mengenai MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3). Biasanya, permintaan Presiden akan dibahas dalam Rapat
Pimpinan, dilanjutkan ke Badan Musyawarah (Bamus) untuk diagendakan, dan
kemudian dibahas di komisi terkait (umumnya Komisi III yang membidangi
hukum) atau langsung diambil keputusannya dalam Rapat Paripurna. Hasil dari
proses ini adalah sebuah keputusan DPR yang berisi pertimbangan, yang dapat
berupa persetujuan atau penolakan terhadap usulan Presiden;
4)
Setelah menerima surat balasan dari DPR yang berisi pertimbangan tersebut,
Presiden akan menggunakan hak prerogatifnya untuk membuat keputusan akhir.
Jika Presiden memutuskan untuk melanjutkan, maka ia akan menerbitkan
Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pemberian Amnesti. Keppres ini akan
mencantumkan nama-nama penerima amnesti dan menegaskan bahwa seluruh akibat
hukum pidana terhadap mereka dihapuskan;
5)
Keppres yang telah diterbitkan kemudian menjadi dasar bagi aparat penegak
hukum untuk melaksanakan amnesti. Sesuai dengan praktik yang ada,
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
serta Jaksa Agung. Pelaksanaan ini mencakup tindakan-tindakan konkret
seperti mengeluarkan terpidana dari lembaga pemasyarakatan, menghentikan
eksekusi pidana, dan membersihkan nama penerima amnesti dari catatan
kriminal negara.
Dimensi Politik dalam Prosedur Hukum
Meskipun alur di atas tampak sebagai sebuah prosedur hukum yang
terstruktur, setiap tahapannya tidak dapat dilepaskan dari dimensi politik
yang kental. Keputusan Presiden untuk menginisiasi proses amnesti sering
kali merupakan sebuah kalkulasi politik yang mempertimbangkan stabilitas,
citra pemerintah, dan tekanan publik. Pembahasan di DPR adalah arena
negosiasi dan kompromi politik antar fraksi, di mana pertimbangan yang
diberikan tidak murni bersifat yuridis, melainkan juga dipengaruhi oleh
kepentingan politik masing-masing partai.
Sifat pertimbangan DPR yang secara hukum tidak mengikat namun secara
politik sangat berpengaruh ini menempatkan Presiden dalam posisi yang
dilematis. Di satu sisi, Presiden memiliki kebebasan konstitusional untuk
membuat keputusan akhir. Di sisi lain, menentang pertimbangan DPR dapat
memicu ketegangan politik yang tidak produktif. Hal ini menegaskan kembali
bahwa amnesti adalah sebuah instrumen hukum-politik, di mana validitas
yuridis harus berjalan seiring dengan akseptabilitas politis. Perdebatan di
kalangan para ahli hukum tata negara pun sering kali berpusat pada apakah
lembaga politik seperti DPR merupakan institusi yang tepat untuk memberikan
pertimbangan dalam isu hukum yang sensitif, atau apakah peran tersebut
seharusnya lebih tepat diemban oleh lembaga yudisial seperti Mahkamah Agung,
sebagaimana yang diatur dalam UU Darurat 11/1954 yang kini telah usang.
Amnesti Baiq Nuril: Kemanusiaan Melampaui Formalisme Hukum
Kasus amnesti yang diberikan kepada Baiq Nuril Maknun pada tahun 2019
merupakan sebuah tonggak sejarah dalam praktik hukum di Indonesia. Kasus ini
tidak hanya menjadi preseden pemberian amnesti untuk tindak pidana
non-politik, tetapi juga menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana rasa
keadilan publik dan pertimbangan kemanusiaan dapat menerobos kekakuan
formalisme hukum, serta bagaimana amnesti dapat berfungsi sebagai katup
pengaman terakhir (ultimate safety valve) dalam sistem peradilan.
Latar Belakang Perkara
Baiq Nuril adalah seorang staf tata usaha honorer di sebuah SMAN di
Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2012, ia berulang kali menerima
telepon dari kepala sekolahnya, M, yang dalam percakapan tersebut sering
kali menceritakan pengalaman seksualnya dengan wanita lain. Merasa
dilecehkan secara verbal dan terancam, Baiq Nuril berinisiatif untuk merekam
salah satu percakapan telepon tersebut dengan tujuan untuk melindungi
dirinya dan memiliki bukti jika suatu saat ia dituduh memiliki hubungan
gelap dengan atasannya.
Rekaman tersebut ia simpan untuk dirinya sendiri. Namun, beberapa waktu
kemudian, rekaman itu tersebar di kalangan guru dan masyarakat luas setelah
seorang rekan kerjanya memindahkannya dari telepon genggam Baiq Nuril ke
laptop dan menyebarkannya. Akibat penyebaran rekaman tersebut, kepala
sekolah M dimutasi dari jabatannya. Merasa dirugikan, M kemudian melaporkan
Baiq Nuril ke polisi pada tahun 2015 dengan tuduhan melanggar Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ironisnya, Baiq Nuril, yang merupakan korban pelecehan, justru ditetapkan
sebagai tersangka dan perkaranya berlanjut ke pengadilan.
Perjalanan hukum Baiq Nuril menunjukkan betapa rumit dan tidak terduganya
sistem peradilan, yang pada akhirnya berujung pada suatu putusan yang
dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat.
Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN Mtr, tertanggal 26 Juli 2017, pada tingkat pertama, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram memutus bebas
Baiq Nuril. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa unsur “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan” sebagaimana didakwakan dalam
Pasal 27 Ayat (1) UU ITE tidak terbukti. Baiq Nuril dinyatakan tidak
bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Putusan ini disambut
baik oleh publik karena dianggap telah melindungi korban.
Kemudian, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 574
K/Pid.Sus/2018, tertanggal 26 September 2018, Jaksa Penuntut Umum tidak menerima putusan bebas tersebut dan mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Secara mengejutkan,
Majelis Hakim Kasasi MA mengabulkan permohonan jaksa dan membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Mataram. MA berpendapat bahwa unsur-unsur dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE telah
terpenuhi.
Baiq Nuril dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama
6 bulan serta denda sebesar Rp500 juta, subsider 3 bulan kurungan. Putusan ini membalikkan keadaan dan memicu kemarahan publik yang
luas.
Kemudian, diajukan Peninjauan kembali sebagaimana, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 83
PK/PID.SUS/2019, tertanggal 4 Juli 2019., sebagai upaya hukum luar biasa terakhir, tim kuasa hukum Baiq Nuril
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Namun, MA menolak permohonan PK tersebut dengan alasan tidak ditemukan
adanya novum (bukti baru yang menentukan) atau kekhilafan hakim
yang nyata dalam putusan kasasi. Dengan ditolaknya PK, putusan kasasi yang menghukum Baiq Nuril menjadi
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan siap untuk
dieksekusi.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti
Dengan tertutupnya semua jalur hukum formal, harapan terakhir Baiq Nuril
berada di tangan Presiden. Desakan publik yang masif dari berbagai elemen
masyarakat, aktivis HAM, dan bahkan anggota parlemen mendorong Presiden Joko
Widodo untuk mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah
menerima surat pertimbangan dari DPR yang menyetujui pemberian amnesti,
Presiden menandatangani
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2019 tentang
Pemberian Amnesti
pada tanggal 29 Juli 2019.
Pemberian amnesti ini merupakan sebuah terobosan hukum yang fundamental
karena beberapa alasan. Pertama, ia secara de facto telah
memperluas makna dan lingkup dari frasa “kepentingan negara”. Jika
sebelumnya frasa ini hampir selalu ditafsirkan dalam konteks keamanan
nasional, stabilitas politik, atau rekonsiliasi pasca-konflik bersenjata,
kasus Baiq Nuril menunjukkan bahwa “kepentingan negara” juga dapat
mencakup:
1)
Perlindungan terhadap warga negara
Melindungi warga negara, khususnya kelompok rentan seperti perempuan korban
kekerasan, dari dampak buruk penerapan undang-undang yang dinilai
problematik dan multitafsir seperti UU ITE;
2)
Penegakan keadilan substantif
Menegakkan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat (living law) ketika sistem peradilan formal dinilai telah gagal melakukannya dan
menghasilkan putusan yang bertentangan dengan nurani public;
3)
Pemulihan kepercayaan publik
Menjaga dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan institusi
hukum, yang terancam terkikis akibat putusan yang dianggap tidak adil.
Kedua, kasus ini menjadi manifestasi nyata dari adagium hukum “summum ius summa iniuria”, yang berarti “hukum yang tertinggi (diterapkan secara kaku) dapat menjadi ketidakadilan
yang terbesar”.
Putusan MA, meskipun secara prosedural sah, secara substansial dirasakan
sebagai sebuah ketidakadilan yang luar biasa.
Amnesti dalam konteks ini berfungsi sebagai mekanisme korektif, sebuah
intervensi dari cabang kekuasaan eksekutif untuk memperbaiki apa yang
dianggap sebagai kegagalan cabang kekuasaan yudikatif dalam memberikan
keadilan sejati.
Dengan demikian,
amnesti Baiq Nuril menandai pergeseran paradigma yang signifikan dalam
praktik hukum Indonesia.
Ia mengubah konsepsi amnesti dari yang semula murni alat politik untuk
rekonsiliasi konflik menjadi sebuah instrumen perlindungan hak asasi
manusia dan koreksi yudisial. Ini adalah
kemenangan keadilan substantif atas formalisme prosedural, yang
menegaskan bahwa hukum pada akhirnya harus melayani kemanusiaan.
Isu Kontemporer dan Urgensi Pembaruan Hukum Amnesti
Seiring dengan dinamika politik dan sosial yang terus berkembang,
kewenangan amnesti kembali menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan
sengit. Isu-isu kontemporer ini, ditambah dengan landasan hukum yang sudah
sangat usang, menggarisbawahi urgensi untuk melakukan pembaruan fundamental
terhadap kerangka hukum amnesti di Indonesia.
Memasuki era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, penggunaan hak
prerogatif ini kembali menjadi pusat perhatian publik dengan langkah
signifikan yang diambil terhadap beberapa tokoh politik. Secara khusus, dua
kasus menonjol yang memicu perdebatan luas adalah
pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan
amnesti kepada Hasto Kristiyanto.
Presiden memberikan abolisi kepada Tom Lembong, yang merupakan terdakwa
dalam kasus dugaan korupsi. Abolisi, yang berarti penghentian proses
penuntutan, diberikan setelah Presiden mendapatkan pertimbangan dari DPR RI
melalui Surat Presiden Nomor R.43/PRES/07/2025. Langkah ini secara efektif menghentikan proses hukum yang sedang berjalan
terhadapnya sebelum sampai pada putusan pengadilan.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto, yang telah divonis bersalah dalam kasus
korupsi, menerima amnesti.
Amnesti ini, yang menghapuskan seluruh akibat hukum pidana, merupakan
bagian dari pemberian pengampunan yang lebih luas kepada total 1.116
orang, sebagaimana tertuang dalam
Surat Presiden Nomor R 42/Pers/VII/2025. Pemberian amnesti massal ini juga mencakup kasus-kasus lain seperti
dugaan makar damai di Papua dan pidana terkait UU ITE.
Pemerintah dan para pendukungnya membingkai kebijakan ini dengan argumen
“kepentingan bangsa yang lebih besar”, rekonsiliasi nasional
pasca-polarisasi pemilu, serta upaya menjaga stabilitas nasional dan
mencegah perpecahan di masyarakat. Namun, langkah ini memicu kritik tajam,
terutama dari para aktivis antikorupsi.
Pemberian abolisi dan amnesti untuk kasus korupsi—yang dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)—dianggap berisiko merusak upaya pemberantasan korupsi, menciptakan
preseden impunitas, dan mencederai rasa keadilan publik.
Perdebatan-perdebatan ini menunjukkan betapa lentur dan politisnya
interpretasi frasa “kepentingan negara”, yang menjadi dasar utama pemberian
amnesti. Tanpa parameter yang jelas, kewenangan ini berisiko digunakan untuk
kepentingan politik sesaat ketimbang untuk kemaslahatan bangsa yang
sesungguhnya.
Urgensi Revisi Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954
Kondisi hukum yang ada saat ini sangat tidak memadai untuk menjawab
tantangan kontemporer. Kebutuhan untuk mengganti UU Darurat No. 11 Tahun
1954 dengan undang-undang baru yang komprehensif bersifat mendesak.
Argumen-argumen kunci yang mendukung urgensi ini, sebagaimana juga
teridentifikasi dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Grasi,
Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (RUU GAAR) yang disusun oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
Anarkisme Regulasi dan Ketidaksesuaian Konstitusional
Terdapat pertentangan fundamental (anarkisme regulasi) antara UU Darurat
11/1954 dengan UUD NRI Tahun 1945 pasca-amandemen. UU Darurat mensyaratkan
“nasihat Mahkamah Agung”, sementara UUD 1945 mengamanatkan “pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Praktik yang berjalan dengan mengikuti UUD 1945
namun tetap mendasarkan diri pada UU Darurat yang bertentangan menciptakan
ketidakpastian dan inkonsistensi hukum yang serius;
2)
Kekaburan Norma (Vagueness of Norms)
Frasa kunci “atas kepentingan Negara” dalam UU Darurat 11/1954 tidak
memiliki definisi dan parameter yang jelas, terukur, dan objektif. Kekaburan
norma ini membuka ruang yang sangat luas bagi interpretasi subjektif oleh
Presiden, yang dapat berubah-ubah sesuai dengan konstelasi politik. Sebuah
undang-undang modern harus merinci kriteria apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai “kepentingan negara”, misalnya terkait rekonsiliasi
nasional, kemanusiaan, atau koreksi terhadap kegagalan sistem
peradilan;
3)
Kekosongan Prosedural (Procedural Vacuum)
UU Darurat 11/1954 sama sekali tidak mengatur mekanisme dan prosedur
pemberian amnesti secara detail. Tidak ada ketentuan mengenai tata cara
pengajuan permohonan, syarat-syarat yang harus dipenuhi pemohon, jangka
waktu penyelesaian, serta mekanisme partisipasi publik yang bermakna
(meaningful participation). Kekosongan ini membuat seluruh proses menjadi
tidak transparan, tidak akuntabel, dan berpotensi tertutup dari pengawasan
publik;
4)
Kedaluwarsa Historis (Historical Obsolescence)
Undang-undang ini secara eksplisit dirancang untuk konteks historis yang
sangat spesifik, yaitu menyelesaikan akibat hukum dari persengketaan politik
antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda sebelum tahun 1949. Ia
bersifat einmalig (sekali pakai) dan secara filosofis maupun sosiologis sudah tidak
relevan lagi dengan dinamika kehidupan berbangsa, bernegara, dan kebutuhan
hukum masyarakat Indonesia di abad ke-21.
Arah Politik Hukum Amnesti
Masa depan pengaturan amnesti di Indonesia harus bergerak menuju sebuah
kerangka hukum yang modern, transparan, dan berkeadilan. Undang-undang baru
yang akan dibentuk idealnya tidak hanya mengatasi kelemahan-kelemahan UU
Darurat 11/1954, tetapi juga mengadopsi paradigma baru dalam memandang
pengampunan negara.
Salah satu arah yang patut dipertimbangkan adalah mengintegrasikan
prinsip-prinsip keadilan restoratif (restorative justice) ke dalam
mekanisme amnesti. Dalam pendekatan ini, fokus tidak hanya pada penghapusan
hukuman bagi pelaku, tetapi juga pada pemulihan kerugian dan penderitaan
yang dialami korban serta rekonsiliasi dengan masyarakat.
Proses amnesti yang restoratif akan melibatkan dialog yang konstruktif
antara pelaku, korban, dan perwakilan masyarakat untuk mencapai sebuah
penyelesaian yang adil dan memulihkan keharmonisan sosial yang terganggu
akibat tindak pidana. Dengan demikian, amnesti tidak lagi dilihat sebagai
tindakan pengampunan sepihak dari negara, melainkan sebagai sebuah proses
penyembuhan kolektif.
Amnesti sebagai Instrumen Keadilan Konstitusional
Amnesti, dalam lanskap hukum dan politik Indonesia, menempati posisi yang
unik dan kompleks. Ia merupakan kewenangan prerogatif Presiden yang
terkendali, sebuah instrumen konstitusional yang berdiri di persimpangan
antara kedaulatan hukum, kebutuhan politik, dan pencarian keadilan
substantif. Analisis komprehensif terhadap sejarah, dasar hukum, dan praktik
pemberiannya menunjukkan sebuah evolusi yang signifikan.
Dari yang semula merupakan alat politik untuk konsolidasi bangsa dan
meredam pemberontakan di era awal kemerdekaan, amnesti telah bertransformasi
menjadi simbol transisi demokrasi di era reformasi, dan puncaknya, menjadi
instrumen koreksi yudisial dan perlindungan hak asasi manusia dalam
kasus-kasus kemanusiaan seperti yang dialami Baiq Nuril.
Meskipun merupakan sebuah hak istimewa yang diberikan oleh konstitusi,
pelaksanaannya tidak boleh bersifat absolut atau sewenang-wenang. Mekanisme
“pertimbangan DPR” yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 menjadi pagar
konstitusional yang memastikan bahwa kewenangan ini dijalankan dengan
prinsip saling mengawasi dan mengimbangi. Keputusan untuk memberikan amnesti
harus senantiasa didasarkan pada pertimbangan “kepentingan negara” yang
ditafsirkan secara luas dan mendalam, melampaui kepentingan politik partisan
atau sesaat, menuju kemaslahatan bangsa yang lebih besar, baik dalam bentuk
rekonsiliasi nasional, pemulihan rasa keadilan publik, maupun perlindungan
terhadap warga negara dari ketidakadilan.
Namun, seluruh praktik yang berjalan saat ini berdiri di atas fondasi hukum
yang rapuh dan usang. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, dengan
segala kontradiksi konstitusional, kekaburan norma, kekosongan prosedural,
dan kedaluwarsa historisnya, sudah tidak lagi memadai untuk menjadi landasan
hukum bagi praktik ketatanegaraan modern. Kekosongan legislasi ini
menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka ruang bagi politisasi yang
berlebihan.
Oleh karena itu, kesimpulan akhir dan rekomendasi yang paling mendesak menurut kami
adalah perlunya tindakan legislatif yang segera dan tegas. Pembentukan dan
pengesahan sebuah undang-undang baru yang komprehensif mengenai Grasi,
Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (GAAR) adalah sebuah keniscayaan hukum
dan politik. Undang-undang baru ini mutlak diperlukan untuk:
a)
Menyelaraskan hukum pelaksana dengan amanat konstitusi
pasca-amandemen;
b)
Mendefinisikan secara jelas dan terukur parameter “kepentingan negara”
untuk setiap jenis pengampunan;
c)
Mengatur tata cara dan mekanisme yang transparan, akuntabel, dan
partisipatif; dan
d)
Mengadopsi paradigma keadilan yang lebih modern, termasuk prinsip-prinsip
keadilan restoratif.
Dengan adanya kerangka hukum yang modern, Indonesia dapat memastikan bahwa
amnesti dijalankan bukan sebagai anomali, melainkan sebagai instrumen
keadilan konstitusional yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, yang pada
akhirnya memperkuat sendi-sendi negara hukum yang demokratis dan
berkeadilan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Faustin Z. Ntoubandi,
Amnesty for Crimes under International Law
(Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), 9-10.
[2]
Joko Sriwidodo, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Penerbit
Kepel Press, 2023), 244.
[3]
Grimal, A History of Ancient Egypt,
256.
[4]
Louise Mallinder,
Global Comparison of Amnesty Laws
(Siracusa: The International Institute of Higher Studies in Criminal
Sciences, August 2009), 14.
[5]
Ibid, 15.
[6]
R. W. van Goor,
Indonesië: Staatkundige geschiedenis, 1798–1975
(Haarlem: Fibula-van Dishoeck, 1976), 59.
[7]
Daniel S. Lev,
Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected
Essays
(Leiden: KITLV Press, 2000), 101–102.
[8]
Jimly Asshiddiqie,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 187–189.